Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Novel ‘Seberkas Cahaya Di Palestina’ ( base on true story)’ Category

Namaku Mada. Sebenarnya wajahku biasa-biasa saja. Namun orang bilang aku memiliki kepribadian menarik hingga banyak orang senang berteman denganku. Aku dilahirkan 18 tahun yang lalu di sebuah kota kecil di pulau Dewata sebagai anak tunggal. Ibuku adalah seorang putri asli Bali. Sedangkan ayahku seorang warga Indonesia keturunan Cina.

Waktu aku kecil ayahku sering bercerita dengan penuh kebanggaan tentang kakek moyangnya. Kakek moyangnya tersebut adalah seorang pelaut andal. Lebih dari seratus tahun yang lalu dengan hanya mengandalkan perahu tongkang sederhana ia bersama kawan-kawannya mengarungi samudra Cina Selatan nan luas menuju ke kepulauan Indonesia selama berbulan-bulan lamanya.

Setelah mengalami beberapa kali badai dan topan akhirnya mereka terdampar di salah satu kepulauan kecil di Filipina. Dari pulau tersebut mereka kemudian berpencar. Kakek memilih melanjutkan petualangan berbahayanya hingga akhirnya dengan selamat tiba di pesisir Bali. Ia adalah hanya 3 diantara 8 kawannya yang selamat dari perjalanan maut tersebut. Di pulau inilah kakek kemudian memulai kehidupan barunya. Di tanah ini pula kakek  kemudian  menikahi seorang gadis Bali sebagaimana juga ayah yang menikah dengan ibu 18 tahun yang lalu.

Kakeklah yang mengajari ayah bagaimana caranya berbisnis.hingga akhirnya ayah seperti sekarang ini. Ayahku saat ini adalah seorang bos  perusahaan penghasil  makanan laut yang sukses. Aku sangat mengaguminya. Namun bersamaan dengan kesuksesannya  itu sesungguhnya aku justru mulai kehilangan dirinya. Dulu, ketika masih di Bali ayah sering mengajakku bermain-main air, pasir dan mencari kerang-kerangan di pantai. Bahkan pada hari-hari pertama kepindahan kami ke Jakartapun ayah masih sering mengajakku  jalan-jalan ke pasar ikan di Kamal. Kadang kami memancing kemudian  berdua kami membakar ikan-ikan hasil tangkapan kami tersebut sebelum akhirnya menyantapnya dengan lahap. Namun makin hari ayah makin sibuk sehingga akhirnya yang tertinggal hanyalah kenangan manisnya saja.

Sementara ibu, ia adalah seorang penasehat ekonomi di sebuah perusahaan swasta Perancis. Ia seorang pekerja yang tekun dan rajin. Seingatku sejak aku kecil bahkan hingga saat inipun hampir sepanjang waktu ibu dihabiskan di tempatnya bekerja. Itu sebabnya aku tidak begitu akrab dengannya. Kadang aku berpikir apakah ibu tidak menyayangiku? Beruntung  aku masih mempunyai  tante  yang amat memperhatikanku.

Tante Rani adalah adik ayah. Ia adalah tipe perempuan setia yang menjunjung tinggi arti sebuah cinta sejati. Sayang suaminya meninggal hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Sejak itu tante Rani tidak pernah lagi mau menikah. Waktunya hanya dihabiskannya dengan membaca dan bermain piano kesayangannya. Ia tinggal bersama kami sejak orangtuaku pindah ke Jakarta. Ketika itu aku berumur 4 tahun. Ialah yang  menemaniku melalui hari-hari pertamaku di TK. Ia pulalah yang mengajariku pentingnya arti sebuah kejujuran dan kebersihan hati. Seperti halnya kebanyakan keturunan Cina yang masih memegang teguh ajaran leluhur, tante Rani adalah seorang pemeluk agama Kong Hu Chu yang taat. Hampir setiap hari Senin dan Kamis  ia berpuasa. Itu sebabnya orangtuaku  mempercayakan pendidikan spiritualku padanya.

Darinya pula, ketika aku sudah agak besar, aku tahu bahwa ayah adalah seorang pecandu minuman keras dan doyan mabuk-mabukan. Kebiasaan buruk ini mulai  merasuki dirinya setahun sebelum ibu melahiranku. Inilah yang menyebabkan ibu lebih betah di tempatnya bekerja daripada di rumah. Aku memang sering memergoki ayah dan  ibu bertengkar, ntah apa yang diributkan. Namun dihadapanku mereka selalu berusaha menutupinya.

***

Pada suatu hari di awal tahun 2000, ibu mendapat tawaran untuk melanjutkan program pendidikan S2 di universitas Sorbonne, Paris, Perancis. Tentu saja ibu tidak menyiakan-nyiakan kesempatan emas tersebut. Ibu mengajakku untuk menemaninya selama ia menuntut ilmu di kota pusat mode dunia tersebut. Sementara ayah tetap di Jakarta.  Namun ia janji  akan sering-sering menengok kami berdua. Maka dengan penuh semangat berangkatlah kami menuju kota yang terkenal dengan menara Eiffelnya itu. Sedih juga aku terpaksa berpisah dengan ayah  terutama dengan tante Rani. Tapi itulah hidup. Dengan mata berkaca-kaca tante Rani menasehatiku banyak-banyak agar selalu berhati-hati di negri orang terutama dalam menghadapi pergaulan bebas anak-anak muda di negri yang begitu mendewakan azas demokrasi ini.

Ingatlah selalu Mada…kita ini masyarakat Timur yang masih dan senantiasa menjunjung tinggi agama, budaya dan sopan santun. Hormatilah aturan dan orang yang lebih tua”, begitu ia mewanti-wantiku.

Pesawat yang kami tumpangi menjejakkan rodanya di  Charles de Gaulle Airport Paris pada pagi hari bulan Agustus  yang cerah. Temperatur sekitar 34 derajat Celcius di siang hari. Jadi kurang lebih sama dengan  Jakarta. Di airport kami dijemput oleh sebuah kendaraan milik perusahaan dimana ibu bekerja. Kami langsung menuju apartemen dimana kami akan tinggal selama di Paris. Dengan suka cita melalui jendela mobil kami menikmati pemandangan kota yang begitu mempesona ini.

Bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur cantik  khas Eropa berjajar dalam blok-blok yang teratur rapi. Restoran dengan meja dan kursinya yang ditata dibawah payung-payung lebar di pedestrian, jalan bagi pejalan kaki yang lebar terlihat dimana-mana. Yang juga tak kalah menarik dalam pandanganku sebagai seorang anak laki adalah mobil-mobil yang berseliweran di sepanjang jalan. Aku perhatikan rupanya sedan-sedan  mewah berbagai merk yang di Jakarta   hanya dipakai orang-orang kaya saja di kota ini dijadikan taxi!  Berbagai merek mobil mewah seperti Mercedes, Peugeout, BMW, Honda keluaran baru memenuhi jalanan, woow…

Di kota ini  aku sekolah di sebuah sekolah swasta dengan 2 bahasa pengantar yaitu Inggris dan Perancis. Ketika itu usiaku 15 tahun. Jadi aku dimasukkan ke kelas troisieme atau setingkat kelas 3 SMP di Indonesia. Di Perancis, menuntut ilmu di sekolah adalah wajib bagi seluruh warga dan gratis pula kecuali tentu saja sekolah swasta. Jadi tidak ada alasan seorang anak tidak sekolah karena alasan tidak mampu atau tidak lulus tes. Umurlah yang menentukan kelas setiap anak yang baru pindah sekolah.

Agak berbeda dengan sekolah di Indonesia, tingkat pendidikan SD atau disebut Ecole Primer lamanya hanya 5 tahun. SMP yang mereka namakan College diselesaikan dalam waktu 4 tahun dan SMA atau Lycee 3 tahun. Jadi totalnya tetap 12 tahun sama dengan di Indonesia. Namun penyebutan kelasnya sendiri tidak dibedakan antara SD, SMP atau SMA. Klas 1 SD disebut onzieme yang berarti ke 11 , klas 2 SD disebut dixieme yang berarti ke 10. Demikian seterusnya  hingga klas 2 SMA yang disebut premiere yang berarti ke 1 dan yang terakhir adalah klas terminal atau klas 3 SMA.

Sebagian besar murid sekolah yang dikenal dengan nama Ecole Active Bilingue ini adalah warga non Perancis. Bahkan di kelasku hampir setengahnya  adalah dari Asia namun sayang tak satupun yang berasal dari Indonesia. Hari-hari pertama sekolahku tak terlalu istimewa. Aku diminta memperkenalkan diri dalam bahasa Perancis namun setelah aku katakan bahwa aku tidak bisa berbahasa tersebut maka akupun memperkenalkan diriku dalam bahasa Inggris yang agak kacau. Mulanya aku agak tak percaya diri dengan kekuranganku itu. Namun setelah kusadari bahwa sebagian teman-temankupun tidak  berbahasa Inggris dengan sempurna akupun menjadi lebih tenang dan santai.

Aku selalu merasa penasaran menebak identitas diri orang asing yang baru aku temui atau aku kenal “, begitu kata wali kelasku yang asli Perancis. “ Untuk sekedar berkomunikasi dengan orang lain seseorang  tidak  harus berbicara dengan logat sesempurna orang yang menggunakan bahasa asing  tersebut sebagai bahasa ibunya. Justru disitu letak daya tariknya”, lanjut guru tersebut dengan logat bahasa Inggris yang agak aneh. Belakangan aku baru tahu bahwa logat seperti itu sangat khas logat orang Perancis berbahasa Inggris.  Maka sejak saat itu aku jadi tertarik untuk  memperhatikan logat bicara orang-orang di sekitarku terutama ketika aku harus berdesak-desakan di dalam Metro, angkutan umum masal bawah tanah Perancis.

Di  kota Paris ini kesempatan bertemu dengan orang asing sangatlah  besar. Hampir semua lapisan masyarakat kota ini baik penduduk asli maupun wisatawan asing dan lokal, pejabat maupun rakyat biasa memilih Metro sebagai alat transportasi. Karena selain lebih cepat dan tepat waktu juga lebih murah. Jadi lebih effisien dari pada menggunakan kendaraan pribadi. Di dalam metro inilah aku paling sering berjumpa wisatawan mancanegara. Mereka berbicara dalam berbagai bahasa dan logat. Dalam waktu beberapa bulan saja aku sudah dapat mengenali asal negara seseorang berdasarkan logat bahasa Inggris ataupun  Perancis yang diucapkannya.

Aku sendiri di sekolah lebih sering menggunakan bahasa Inggris. Namun untuk mempercepat kelancaran bahasa Perancisku aku memilih lebih sering berpergian ke berbagai tempat dan  bertemu dengan orang banyak daripada harus khusus mengambil kursus bahasa yang menurut banyak orang terdengar manja di telinga ini. Disamping itu dengan  banyak berkunjung ke berbagai tempat umum banyak pengalaman yang kudapat.

Museum adalah tempat yang paling menarik perhatianku. Sekolahlah yang pertama kali memperkenalkan tempat yang menyimpan bergudang-gudang  cerita dan sejarah ini. Aku mengunjungi museum untuk pertama kalinya bersama rombongan sekolah. Dengan didampingi seorang guru sejarah kami melakukan kunjungan ke museum terbesar dan  terlengkap di Paris, yaitu Musee’ Du Louvre. Sejak itu hampir sebulan sekali aku selalu pergi mengunjungi museum yang jumlahnya banyak sekali  di kota ini. Beruntung aku mempunyai  2 teman baru yang punya minat yang sama denganku.  Yaitu Kaori, seorang  gadis  Jepang  dan satu lagi  Hans, seorang pemuda Yahudi asal Jerman- Austria. Bertiga kami pergi menjelajahi museum satu ke museum yang lain. Namun tetap museum Du Louvre adalah pilihan terbaik.

Mueum ini terletak di jantung kota Paris, di sisi utara sungai Seine yang membelah kota, dengan akses yang sangat mudah. Bangunan ini  pada tahun 1190 aslinya adalah sebuah benteng kota. Beberapa ratus tahun kemudian bangunan ini kemudian berubah fungsi menjadi galeri pribadi kerajaan. Baru pada tahun 1855 museum ini akhirnya resmi dijadikan  museum Negara. Itupun pada awalnya hanya dibuka untuk umum seminggu sekali yaitu pada hari Minggu. Bangunan bergaya arsitektur Renaissance yang menempati areal seluas 210 ribu meter persegi ini belakangan diperkaya dengan sentuhan arsitektur modern di tengah arealnya. Sebuah bangunan kaca raksasa dengan bentuk piramida, karya seorang arsitek Cina-Amerika,   sejak tahun 1988   menjadi pintu masuk utama menuju museum.

Banyak koleksi terkenal yang dipajang di museum ini. Salah satunya adalah lukisan Monalisa dengan senyumnya yang misterius itu. Di museum ini pula film Da Vinci Code yang diambil dari buku karangan Dan Brown yang kontroversial itu mengambil lokasi shooting. Beberapa tema menarik yang digelar museum ini menarik perhatianku. Diantaranya adalah pameran  kapal pesiar super mewah Titanic dan pameran tentang Yerusalem yang diberi judul “ Yerusalem dan  Sultan Salahuddin Al-Ayubi, Sang Penakluk “.

Awalnya adalah Hans yang sering menceritakan kekagumannya pada kakeknya yang lama menetap di kota Yerusalem yang merupakan kota suci bagi umat Islam, Nasrani dan Yahudi tersebut. Ketika itu kami bertiga sedang bingung menentukan museum mana yang akan kami kunjungi pada hari Minggu itu. Ketika itulah Hans menemukan brosur tentang pameran Yerusalem. Maka dengan penuh antusias ia membujuk kami agar mau mengunjungi pameran tersebut.

Pameran ini diselenggarakan di ruang utama museum Du Louvre dan akan berlangsung selama 1 bulan. lamanya. Museum ini memang dikenal terbiasa menyelenggarakan pameran dengan tema-tema tertentu yang banyak menarik perhatian umum. Tokoh-tokoh terkenal manca Negara mulai pelukis kenamaan Pablo Picasso,  Salvador Dali,  janda mantan presiden AS Kennedy, Jacquelin Kenneddy Onasis dengan koleksi ribuan pakaiannya hingga tokoh-tokoh besar peradaban sejarah masa lalu seperti Ramses Sang Fir’aun dari Mesir, Harun Ar-Rasyid dengan kisah 1001 malamnya hingga  Hittler dengan nazinya pernah dijadikan  tema pameran di museum yang setiap hari dikunjungi ribuan wisatawan mancanegara ini.  Sejak pulang dari pameran tentang Yerusalem inilah aku mulai tertarik pada masalah keagamaan dan perbedaannya.

***

Read Full Post »

Suatu pagi hari di bulan September tahun berikutnya, yaitu pada tahun 2001, tiba-tiba kami dikejutkan berita heboh tentang ditabraknya menara kembar WTC di New York. Berita ini sontak selama beberapa hari menjadi berita utama bahkan hingga beberapa minggu ke depan. Hampir setiap hari semua kantor berita dan surat kabar di kota ini secara berulang-ulang menyiarkan berita nahas tersebut. Rata-rata mereka  memberitakan bahwa hal tersebut adalah peristiwa pembajakan yang dilakukan orang-orang Islam radikal. Dalam hati aku bertanya-tanya alangkah cepatnya  mereka menemukan biang kerok peristiwa biadab tersebut. Bayangkan tak sampai  24 jam bahkan mungkin hanya dalam waktu 18 jam setelah kejadian menggegerkan tersebut, dengan sangat mudah pelakunya telah dapat  teridentifikasi dan langsung tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Celakanya, kami sebagai warga negara Indonesia yang dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia terpaksa kena getah pahit peritiwa biadab tersebut. Untuk pertama kalinya aku menyesal mengapa tipe wajah dan kulitku yang sawo matang dan khas Indonesia ini tidak mampu menyembunyikan identitasku. Dimanapun  ada kesempatan, hampir setiap orang yang kujumpai selalu  menanyakan hal yang sama.

Terpaksa berkali-kali aku terangkan bahwa meskipun aku orang Indonesia aku bukan pemeluk agama Islam, jadi aku tidak tahu menahu soal itu. Orang-orang itu mengajukan berbagai pertanyaan, ya jihadlah, ya jilbablah, ya kebebasanlah…pokoknya segala macam yang berhubungan dengan Islam. Jengkel dan kesal aku dibuatnya. Namun di balik itu semua, terus terang rasanya aku tak  percaya ada agama di dunia ini yang mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan masal seperti itu.

Aku yakin ini pasti fitnah atau paling tidak ini perbuatan sekelompok orang yang tidak mewakili agamanya. Walau bagaimanapun sebagai orang yang tinggal di negri yang mayoritas Islam, aku punya banyak kenalan muslim, sebutan pemeluk agama Islam. Bahkan sepupuku yang tinggal di Balipun ada beberapa yang beragama Islam. Aku pikir di setiap agama pasti ada saja orang-orang atau oknum yang sesat. Sebut saja Klux Klux Clan yang sering dijadkan latar belakang film-film Holywood. Mustinya memang harus dipisahkan antara ajaran murni sebuah agama dengan orang yang memeluknya. Maka tanpa kusadari akupun mulai simpatik dan jatuh kasihan pada agama ini.

***

Dua tahun aku bersekolah di Perancis. Tak terasa ibu telah menyelesaikan program S2 nya. Bahkan ia berhasil menyandang predikat ‘Cum Laude’. “ Felicitation maman, ibu memang hebat! ”,  pujiku sambil memberinya ciuman selamat.

Sekembali dari Paris, ibu menyekolahkanku ke sebuah sekolah swasta Nasrani bergengsi di selatan Jakarta. Sementara itu aku mendapat laporan dari tante Rani bahwa sejak aku dan ibu menetap di Paris, kebiasaan minum dan bermabuk-mabukan ayah makin parah. Lebih dari itu menurut tante Rani ayah bahkan berani membawa perempuan nakal ke rumah dan tidur di kamar ayah ibu!  Aku kasihan pada ibu namun mungkin karena ketidak eratan hubunganku dengannya disamping tentu saja karena aku tidak tega, aku tidak berani mengatakan hal tersebut padanya. Jadi aku putuskan untuk menutup rapat-rapat rahasia tersebut  begitu pula tante Rani. Ada sedikit penyesalan di dalam hati mengapa 2 tahun hidup hanya berdua di negri orang tidak mampu membangun kedekatan hubungan antara aku dan ibu. Aku rasa penyebabnya adalah karena waktu itu ibu terlalu sibuk belajar.

***

Di sekolah baruku aku masuk di kelas II IPS 1. Ini sesuai dengan pilihanku. Aku memang menyenangi  masalah–masalah sosial. Di kelas inilah aku mengenal Kira, seorang gadis cantik yang menjadi rebutan cowok-cowok.

Biiip … Biiip …. Biiip…..”. Begitu suara yang keluar dari Hpku. Ada SMS masuk. Aku menggeliat dan melirik Hpku namun mataku kembali tertutup  rapat. Tak lama kemudian ” Kriiing ….. Kriiiing …” kali ini bel Hpku yang berbunyi kencang. ”Aduuh… jam berapa sih ini?” keluhku. Jam setengah 11 siang !! ”Waah kacau, tadi pasti sms dari Kira..”.  ” Mad, jangan lupa  jam  11 lho, aku tunggu di depan halte Indomaret ..” , begitu bunyi sms Kira.

Aku segera masuk kamar mandi. Dan 20 menit kemudian aku sudah berada di Honda Jazz biru kesayanganku. Tanpa sarapan aku langsung menuju tempat yang dijanjikan, yaitu halte dimana Kira katanya menunggu. Aku tak tahu mengapa Kira tak mau dijemput di rumahnya. Namun aku tak begitu peduli, biarlah ia menyimpan alasannya sendiri. Setelah celingak-celinguk ke kanan-kiri tidak melihatnya, akupun  keluar dari mobil untuk  membeli tahu sumedang di depan tempat itu. Sambil melahap sarapanku, ingatanku kembali ke hari-hari pertama aku mengenal Kira, cewek yang sekarang berstatus pacarku itu.

” Hei anak baru, kenalin gue, nama gue Kira.”, serunya lantang. Kaget juga aku melihat serombongan cewek mendekatiku. Ketika itu aku baru saja keluar dari toilet dan akan menuju kantin sekolah. ” Gue  Lani”, ” Gue Thea”, ” Mira”. Begitu berondong ke  4 cewek yang aku dengar katanya cewek –cewek top sekolah ini.

” Katanya elo pindahan dari Perancus  ya, ajarin kita bahasa Perancis dong …” seru mereka. Oh..itu, aku tersenyum. Pantas koq ujug-ujug cewek-cewek ini pada datang mengeroyokku. Udah GR aja, kataku dalam hati kecut.

Sejak itu akupun akrab dengan Kira. Ia bercerita bahwa ia bercita-cita ingin jadi super model dan berangan-angan suatu hari nanti bisa melihat Paris dengan mata kepalanya sendiri. Itu sebabnya ia sering minta diceritakan dan diajari bahasa negri itu. Ia memang gadis yang agak agresif kalau tidak mau dibilang  kelewat agresif. Ia yang ’menembak’ ku. Kami baru jadian  beberapa hari yang  lalu. Ini adalah hari pertama kencanku.

Hoy…ngelamun ya…”, seru suara seseorang sambil menggedor pintu mobilku.  Kaget aku dibuatnya, tiba-tiba gadis itu muncul di samping mobilku. Mataku agak melotot ketika memandangnya. Kira tampil mengenakan celana  jeans super pendek dipadu T-Shirt ketat buntung alias tanpa lengan berwarna kuning menyala. Wajah cantiknya tertutup polesan tebal kosmetik hingga terlihat tidak alami. Ini adalah kali pertama aku melihatnya berpenampilan  bebas tanpa seragam sekolah. Nyaris aku tidak mengenalinya.

” Koq  bengong sih, ouvre la porte, s’il te plait…!, serunya.  ” oh iya, iya…”, jawabku tergagap ” Sori..”. Tanpa mengucap kata maaf sedikitpun Kira langsung duduk dan terus nyerocos dalam bahasa gado-gado Perancis-Indonesia yang lumayan kacau. Mungkin saking menggebunya ingin mempraktekkan bahasa asing yang baru dikuasainya ia sampai lupa bahwa ia telah membuatku lama menunggu, begitu pikirku menghibur.

” Kemana kita nih, Kir?” tanyaku begitu mendapat kesempatan berbicara.  ” Oh iya,  ke studio foto di Arteri Pondok Indah. Kemarin gue ditelpon katanya gue terpilih untuk cover sebuah majalah. Katanya gue ngalahin 500 gadis yang ngelamar jadi foto model… wuuh asyik, akhirnya kesampaian juga nih… kayaknya mimpi gue bisa jalan-jalan ke Paris udah di depan mata nih…asyik, keren kan?”. Aku hanya manggut-manggut saja.

***

Hari ini adalah hari Senin. Pada upacara  sekolah yang diadakan 2 minggu sekali ini kepala sekolah mengumumkan bahwa mulai tahun ini ada tambahan mata pelajaran baru. Namanya pelajaran Kebersamaan. Ini sebuah proyek uji coba yang diterapkan di beberapa sekolah swasta pilihan. Pelajaran ini menggantikan pelajaran agama Nasrani yang telah bertahun-tahun menjadi pelajaran tetap di hampir semua sekolah Nasrani.

Tujuan pelajaran ini katanya untuk menyamakan visi keberagamaan di Indonesia agar dikemudian hari tidak ada lagi perbedaan-perbedaan yang berpotensi menimbulkan kekacauan, perpecahan dan keributan. Aku tiba-tiba teringat kejadian September 2001 ketika aku masih berada di Paris. Aku pikir ini sebuah terobosan yang sangat bagus dan masuk di akal. Mengapa orang harus ribut hanya gara-gara membela sebuah agama dan kepercayaan.  Aku sangat menyukai pelajaran baru ini. Paling tidak aku jadi tahu apa itu Nasrani, Islam, Yahudi, Hindu, Budha dan lain-lain walau hanya sedikit-sedikit, tidak detail.

Sebaliknya, diluar perkiraanku, aku malah mulai tidak pede pada keyakinanku sendiri. Aku merasa agamaku sama sekali tidak memilki keterikatan dengan agama lain. Agama-agama besar seperti Islam, Nasrani dan Yahudi yang menurut guruku disebut agama Samawi  ternyata mempunyai banyak sekali persamaan.  Pada dasarnya mereka mempunyai nabi-nabi dan rasul-rasul, yaitu utusan Tuhan, yang sama dan saling mengakuinya. Bahkan sebagian besar riwayat para nabi dan rasul merekapun hampir sama dan itu semua tertulis di dalam kitab suci masing-masing. Uniknya lagi, ketiganya mengakui bahwa malaikat Jibril sebagai malaikat yang menyampaikan wahyu, yaitu perintah Tuhan, adalah malaikat yang sama !

Namun ketika suatu hari  aku ingin mendiskusikan hal ini dengan tanteku, ia tampak marah dan kecewa. Dia bilang ia tidak ingin dan tidak akan bersedia membicarakan ajaran agama diluar ajaran yang diketahuinya. ” Agama untuk dipraktekkan bukan untuk didiskusikan apalagi hanya dijadikan wacana dan perdebatan ”, begitu katanya. Menurutnya agama adalah akhlak, budi pekerti serta  kebaikan. Tanpa itu semua, agama adalah percuma dan sia-sia belaka. Dalam hati aku setuju padanya. Akan tetapi sejak itu tante Ranipun mulai menjaga jarak dan menjauh dariku. Aku sungguh merasa kehilangan orang sekaligus teman tempat aku bisa mengadu dan curhat.

***

” Mad, besok anter gue ke tempat pemotretan kayak waktu itu dong …” terdengar suara manja Kira. Ketika itu aku sedang menyelesaikan catatan Ekonomiku yang berantakan. Heran, aku tidak pernah bisa menyukai pelajaran yang satu ini. Aku segera meletakkan bolpen dan memandangnya tajam. Kirapun cepat menyadari kesalahannya. ” Sori Mad, sori ..”, katanya sambil mengangkat jari tengah dan telunjuknya. ” Promi…. g lama deh. Atau gue di drop aja gimana…tapi jemput gue lagi dong.”, rengeknya. Aku diam saja dan tidak menjawabnya.

Aku teringat waktu itu, aku harus menunggu berjam-jam lamanya selama Kira menjalani pemotretan. Dengan berbagai pose yang menurutku tak pantas, dengan senang hati Kira menuruti saja  apa yang diinginkan sang pemotret. Bahkan orang itu dengan santai enak saja menyentuh dan memegang tubuh Kira.  Risih aku melihatnya. Aku merasa bahwa tak pantas seorang perempuan diperlakukan seperti itu. Bahkan seandainya perempuan itu bukan pacarku sekalipun, aku tak suka melihatnya. Namun Kira menganggap aku  cemburu. Ia marah dan merasa aku tak berhak mengaturnya.

Beruntung tak lama kemudian terdengar bel berbunyi.  Pak Tigor masuk. Ia guru pelajaran Kebersamaan. Kira segera kembali ke tempat duduknya semula. Untuk sementara aku merasa  lega.

” Siapa yang hari ini mendapat giliran presentasi ?” tanyanya. Rino, Tika dan Thea segera maju ke depan dan membagi-bagikan makalah. Hari ini kelompoknya kebagian tugas menerangkan bab  tentang kedudukan rukun Islam dalam Islam. Pak Tigor sekali-sekali menyela dan menerangkan bagian-bagian yang dianggap kurang jelas dan kurang tepat. Dengan serius aku mendengarkan dan mencatatnya baik-baik.

Diam-diam aku kagum pada disiplin ajaran ini. Jadi orang Islam harus melaksanakan shalat 5 kali dalam sehari. Itupun pada waktu-waktu yang ditentukan dan dengan cara yang khusus pula. Namun sebaliknya aku heran. Teman-temanku sebagian besar katanya adalah pemeluk Islam. Tetapi rasanya aku tidak pernah sekalipun melihat ada temanku yang mengerjakan shalat. Sekali lagi aku melihat sebagus apapun  teori bila tidak dikerjakan percuma saja. Aku juga mendengar bahwa orang Islam dilarang minum minuman beralkohol dan mabuk-mabukan. Nyatanya aku mempunyai beberapa teman yang setiap malam minggu doyan mabuk-mabukan dan berdugem ria. Malah ada yang bercerita bahwa perempuan Islam wajib menutup seluruh tubuh dan  lekuk-lekuknya kecuali wajah.  Lalu bagaimana dengan Kira dan banyak temanku yang lain? Kalau begitu memang benar sekali apa yang dikatakan tante Rani tempo hari.

***

Sebulan kemudian aku dan kelompokku mendapat giliran presentasi. Kami mendapat tugas menerangkan persamaan antara ajaran Nasrani dan Islam. Kami sepakat untuk mengangkat  masalah tentang seorang perempuan yang dikabarkan hamil tanpa sedikitpun sentuhan laki-laki. Perempuan ini adalah Bunda Maria yang kelak melahirkan Yesus Kristus, Tuhannya orang Nasrani. Sebelumnya Maria dikenal sebagai perempuan suci. Maka begitu tersebar berita bahwa gadis ini hamil padahal ia belum menikah, maka ia segera dikucilkan. Ia dibuang dan dicap sebagai seorang pezinah yang hina.

Namun ternyata bayi yanng dilahirkan gadis ini dikemudian hari terbukti mempunyai banyak mukjizat. Bahkan sejak di buaian bayi ini telah dapat berbicara! Menurut kepercayaan umat Nasrani, bayi ini adalah Tuhan Yesus. Selama di dunia Yesus berwujud manusia. Ia digambarkan sebagai manusia yang penuh kewibawaan. Sayangnya, Yesus yang datang diantara umat Yahudi ini tidak diakui. Ia bahkan secara kejam disalib oleh pemuka Rumawi akibat fitnah yang dsebarkan umat Yahudi.

Sedang menurut versi Islam, Al- Quran menuturkan bahwa perempuan tersebut adalah Mariam anak Imran, seorang shalih yang lama menantikan kehadiran anak. Ketika istri Imran yang sudah tua itu akhirnya hamil, saking gembiranya ia bernazar akan menyerahkan  anak yang bakal dilahirkannya kepada gereja. Dibawah  asuhan pamannya, seorang utusan Allah yang bernama Zakaria, Maria tumbuh menjadi gadis yang shalih.

Allahlah yang meniupkan ruh langsung ke rahim Mariam hingga walaupun tanpa sedikitpun sentuhan lelaki ia dapat menjadi hamil. Sampai disini kepercayaan kedua agama besar ini masih bisa disamakan. Namun selanjutnya orang Islam berkeyakinan bahwa anak yang dilahirkan Mariam tersebut, yang kelak disebut Isa Al-Masih,  bukanlah Tuhan. Ia adalah manusia biasa yang kemudian terpilih  menjadi utusan Tuhan. Ini bukan hal istimewa karena sebelum Isa, Tuhan telah mengirim sejumlah utusan yang mereka sebut Rasul atau Nabi. Dan sebagaimana rasul-rasul lain, Allah membekalinya dengan sejumlah mukjizat.

Bila pemeluk Nasrani berkeyakinan bahwa Yesus telah disalib maka pemeluk  Islam berkeyakinan bahwa Isa baru akan disalib. Namun beberapa saat sebelum penyaliban terlaksana, Tuhan menyerupakan Yudas, salah satu murid Isa yang membelot, dengan rupa Isa hingga Isapun terselamatkan dari penyaliban. Jadi orang yang disalib di tiang gantungan sebenarnya bukan Isa, sang Rasul namun orang lain yaitu muridnya sendiri. Isa sendiri kemudian diselamatkan dan diangkat oleh-Nya ke langit.

***

Read Full Post »

Februari 2002, beberapa bulan lagi ujian akan tiba. Seluruh murid disibukkan dengan bimbel disamping pelajaran sekolah, ulangan dan tugas-tugas harian yang makin menumpuk. Belum lagi berbagai try-out yang belakangan ini makin sering diadakan. Aku bersyukur sudah tidak lagi  disibukkan dengan urusan Kira maupun cewek lain. Aku pikir tugasku sudah cukup banyak tidak perlu lagi menambah urusan lain yang kurang terlalu penting.

Syukur Kira memutuskanku. Kuakui aku memang kurang tegas dalam menghadapinya. Aku tahu Kira ingin memanfaatkanku dalam pelajaran bahasa Perancis sekaligus mengantar-antarnya pergi ke tempat-tempat yang dianggapnya penting. Disamping itu aku juga merasa tidak ada kecocokan antara aku dengannya. Namun aku tidak tega memutuskannya. Aku hanya main kucing-kucingan dengan mengatakan bahwa aku sibuk dan aku  harus banyak mengurusi urusan bisnis ayahku. Akhirnya ia marah dengan harapan aku mau membujuknya. Namun aku diam saja, aku pikir justru ini yang kuharapkan. Maka dengan segala kebenciannya iapun akhirnya memutuskan hubungan kami. Syukurlah …..

Akan tetapi belum sebulan berlalu,  tiba-tiba kami dikejutkan dengan sebuah berita tidak sedap. Pada upacara Senin pagi itu, diberitakan bahwa ada seorang murid yang terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Pihak sekolah mengingatkan bahwa walaupun ujian telah dekat tidak berarti sekolah tidak akan berani mengambil keputusan tegas. Murid yang telah mengumpulkan peringatan  lebih dari 2000 poin sesuai ketentuan terpaksa harus keluar dari sekolah. Maka sekolahpun heboh. Masing-masing mencari tahu siapa kiranya yang dikeluarkan pada saat-saat menjelang ujian seperti ini  dan atas dasar melanggar poin apa.

Ternyata Kira! Kaget aku dibuatnya apalagi setelah mengetahui penyebabnya. Kira dikabarkan hamil. Usut punya usut ternyata selama ini ia telah menduakan aku. Kata teman yang bisa aku percaya, dia telah lama berpacaran dengan seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi. Temanku itu sebenarnya ingin mengingatkanku namun tidak enak. Puji Tuhan, untung aku tidak benar-benar jatuh cinta padanya.

***

Agustus 2002 adalah hari istimewa baik bagiku. Betapa tidak setelah sebelumnya aku dinyatakan lulus SMA, bulan ini aku kembali mendapat berita gembira bahwa aku diterima di fakultas Sosial sebuah universitas negri terkenal di Jakarta!  Horeee… alangkah gembiranya hati ini  Ayah sebetulnya kurang menyetujui pilihanku ini. Ia lebih menginginkan aku kuliah di jurusan bisnis., ” Sebagai anak satu-satunya, wajar bila ayah berharap kamu dapat meneruskan usaha yang telah lama dirintis ayah dan kakek buyutmu dengan susah payah ini, Mad”, begitu alasan ayah. Namun aku betul-betul tidak tertarik dengan dunia bisnis. Disamping itu ibupun membebaskanku untuk memilih kuliah dimanapun yang aku suka. Akhirnya ayah menyerah. Tapi ia juga tidak gembira akan keberhasilanku diterima di jurusan pilihanku ini. Apa boleh buat…..

Bersama sejumlah teman yang diterima di perguruan tinggi negri, hari itu kami merayakan kegembiraan kami di Dufan. Semua permainan aku jalani dengan senang hati. Padahal sebelumnya aku tidak pernah  berminat mencoba ’Tornado’ yang baru membayangkannya sajapun bisa bikin perutku mual.

***

Tanggal 27 Agustus mahasiswa baru fakultas Sosial menjalani hari pertama kuliah. Ini adalah hari perkenalan dan silaturahmi antara mahasiswa dan dosen. Di hari tersebut pihak universitas mengundang  seorang tamu istimewa. Ia seorang pemerhati masalah sosial yang memiliki nama cukup populer di kalangan orang muda. Dalam acara sambutannya ada hal yang menarik perhatianku. Dengan berseloroh dan nada bercanda ia menanyakan apakah ada diantara  kami yang mempunyai tetangga yang telah menikah. Belum selesai kami berpikir, ia kembali melontarkan pertanyaan aneh, apakah istri tetangga tersebut mempunyai jari kaki dan tangan lengkap, apakah tubuhnya sexi, bagaimana dengan hidungnya? Pesek atau mancungkah?

Tentu saja kami semua tertawa mendengar gurauan tersebut. Setelah seluruh hadirin berhenti tertawa , sang tokoh populer tersebut kembali melanjutkan perkataannya. Kali ini dengan nada lebih serius. Katanya ” Sebagai tetangga yang baik dan berakhlak tentunya kita tidak perlu mengomentari istrinya tersebut, bukan?  Mana ada suami yang rela istrinya dibilang jelek biarpun  hidungnya pesek, bibirnya dower, jarinya jebret semua ”. Hahaha…. lucu juga orang ini kataku dalam hati sambil terus penasaran menebak-nebak kemana arah pembicaraannya.

” Makanya jangan suka usil ngurusin agama orang lain. Agama itu sama dengan istri. Mana ada orang mau agamanya dibilang jelek. Biar sajalah….”, begitu katanya. Oooo, gitu.., pikirku ragu karena kurang setuju.

***

Hari-hari berikutnya aku  mulai disibukkan dengan jadwal  kuliahku yang benar-benar padat. Untuk menghemat waktu dan tenaga sekaligus tentu saja uang transport, dengan persetujuan ayah dan ibu, aku memutuskan untuk  kos di dekat kampus. Hanya butuh waktu 10 menit dan cukup dengan berjalan kaki pula untuk sampai ke gedung kampus. Malah ternyata pihak universitas menyediakan sepeda khusus gratis selama kita menggunakannya di dalam lingkungan kampus.

Aku bersyukur ternyata aku tidak salah memilih jurusan ini. Aku benar-benar menikmati hampir semua pelajaran yang diberikan. Yang menjadi mata pelajaran favoritku adalah sejarah peradaban dunia. Peradaban kuno seperti peradaban Maya di Amerika Latin, peradaban Sumeria, Assyria dan Mesopotamia di Syria, peradaban Fir’aun di Mesir  adalah makananku sehari-hari. Bahkan aku merasa apa yang diberikan dosen di kampus kurang dapat memuaskan rasa keingin-tahuanku yang begitu tinggi.  Untung ada internet di kamarku. Aku bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk sekedar surfing didepan kotak kaca ajaib tersebut.

Begitu juga masalah-masalah sosial seperti isu pemanasan global, kemiskinan, korupsi, politik  hingga berbagai konflik yang belakangan makin sering terjadi terutama di kawasan Timur Tengah. Perang Chechnya, Afganistan dan pendudukan Palestina oleh Yahudi adalah contohnya. Dari internet ini jugalah aku baru tahu ternyata kawasan ini sudah sejak lama telah menjadi saksi bisu berbagai peperangan dan permusuhan yang didasarkan agama. Menurutku Perang Salib adalah perang yang paling heboh dan menggelikan. Bagaimana mungkin hanya disebabkan perbedaan agama dan kepercayaan saja orang rela mengorbankan keluarga bahkan nyawa!

Ketertarikan pada berbagai masalah sosial dan agama inilah  yang menyebabkanku mengikuti lomba karya tulis yang diadakan sebuah surat kabar ternama dan didukung sejumlah kedutaan di Jakarta. Hadiahnya pun tak tanggung-tanggung, selain sejumlah uang juga hadiah home-stay selama 3 minggu di  kota tua historis Yerusalem!

***

” Mad, gile lo … udah lihat pengumuman di koran hari ini ? ”, pekik Lukman, sahabat baruku di universitas. ” Elo keluar juara I ….. wah..wah !”

” Yang bener ? ”, sahutku setengah tak percaya sambil menyambar selembar koran yang dipegangnya. Benar,  namaku tercantum pada baris pertama, artinya aku mendapat hadiah utama.

” Ga salah deh elo ya bolos beberapa hari buat nyelesein tulisan elo..”,  kata Lukman sambil menyelamatiku. Aku cuma senyum-senyum gembira membayangkan hadiah yang bakal kutrima.

” Traktir dong, Mad..”, lanjut sahabatku yang memang doyan makan itu. ” Iya, iya..tapi tunggu dulu dong sampe gue bener-bener di telpon…jangan-jangan salah cetak lagi ”, kilahku.

”Ya udah, yang penting lo musti bersyukur dulu Mad …kalo bukan karena rahmat Allah ga mungkin lo menang tuh!!”. ” Dasar uztad ”, gerutuku senang. Anehnya, aku tidak menolak ketika ia mengajakku untuk mensyukuri kemenanganku itu dengan shalat di masjid kampus dimana ia biasa shalat. Aku hanya sekedar mengikuti gerakan-gerakannya membungkuk-bungkukkan badan layaknya orang senam. Namun demikian terus terang ada semacam kesejukkan dan rasa haru menyelinap ke dalam dada ini, terutama ketika bersujud mencium tanah. Dari dulu aku selalu merasa takjub ketika menyaksikan orang dalam posisi demikian. Aku pikir ini sungguh sebuah penyembahan total kepada Sang Pencipta.

Seusai shalat., Lukman kembali menyalamiku sambil berkata pelan ” Semoga elo dapat hidayah”, begitu katanya. Aku hanya manggut-manggut tak tahu apa maksudnya.

***

Keesokan harinya  aku sudah berada di kantin kampus dengan beberapa teman dekatku untuk merayakan kemenanganku. Aku telah menerima telepon dari panitia bahwa aku berhak mengantongi hadiah utama ke Yerusalem. ” Jadi ga salah kan pengumuman kemarin ”, seru Lukman ikut gembira sambil menepuk-nepuk  pundakku. Tak lama kemudian Lukman memanggil  Nisa dan  Icha  yang kebetulan lewat di depan kantin Dua gadis manis bersahabat ini adalah teman Lukman sewaktu SMA. Nisa kuliah  di fakultas Kedokteran dan Icha di fakultas Hukum. Lukman tahu benar bahwa aku diam-diam menaruh perhatian pada Nisa.

”Nis, Cha… hari ini lo boleh makan apa aja… ada  yang mau traktir lo berdua…”, teriaknya berisik sambil menunjukku dengan jempol gendutnya.

” Ulang tahun nih?”, seru mereka hampir bersamaan. ”Mada menang lomba karya tulis tuh..  kasih selamat dong”, sambung Hari, salah satu temanku. ” Oh gitu….hebat… selamat ya”, kata Icha dengan kenes sambil menjulurkan tangannya. ” Selamat juga Mad, ya..”, sambung Nisa. Kali ini aku tidak perlu menjulurkan tangan karena hampir semua orang juga tahu bahwa Nisa tidak pernah mau bersalaman dengan teman lelakinya. Kata Lukman itu adalah ajaran Islam yang benar. ”Hanya muhrim, yaitu bapak, saudara-saudara, paman dan suaminya yang diperbolehkan menyentuh seorang perempuan disamping mahluk perempuan lainnya tentu saja”, jelas Lukman..

Gadis tinggi semampai ini telah mencuri perhatianku pada hari pertama aku melihatnya di depan fakultas yang kebetulan bersebrangan dengan fakultasku. Lukman yang mengenalkanku dengannya. Dengan jilbab hijau pupus yang menutupi rambutnya, ia tetap terlihat cantik dan menarik. Wajahnya mengingatkanku kepada salah seorang pemain sinetron indo arab yang sering muncul di layar kaca. Mungkin juga jilbabnyalah yang mengesankan wajah ke-arab-araban.

Namun begitu jilbabnya itu tidak menghalanginya untuk beraktifitas. Ia bahkan bintang di lapangan  basket. Disamping itu dengan kacamatanya ia terlihat  pintar dan cerdas. Kata Lukman di SMA dulu ia adalah ketua OSIS. Pada acara-acara khusus gadis ini sering di daulat untuk memamerkan kepiawaiannya dalam bermain gitar. Banyak cowok yang naksir padanya tapi ia terlihat santai dan cuwek saja. Lukman  sering mengomporiku agar mau ’menembak’nya. Tapi aku tak punya nyali.  Mana mungkin aku berani menembaknya bila bahkan membalas tatapanku saja ia tidak mau. Namun demikian aku masih punya harapan karena aku perhatikan Nisa memang tidak pernah memandang  lawan jenisnya lebih dari sekedar yang diperlukan. Walau kadang-kadang aku merasa bahwa sebenarnya Nisa suka mencuri pandang padaku bila aku sedang tidak memandangnya.   “ Semoga aku tidak GR….. ehk..”, pikirku penuh harapan.

***

Head line mengenai perang yang meletus  antara Israel dan Libanon merenggut perhatianku. ” Gila”, kataku dalam hati. ” Hanya gara-gara 1 orang prajurit yang diculik Hizbullah, sebuah kelompok perlawanan Libanon, sebagai permintaan ganti tebusan ribuan laki-laki dan perempuan Libanon dan Palestina yang dijadikan tawanan oleh Israel, bisa mengakibatkan perang meletus ? ”.

Aku memang berusaha sebanyak mungkin mendapatkan berita yang berhubungan dengan Yerusalem. Rencananya aku akan diberangkatkan Juli tahun ini. Artinya aku masih memilki waktu sekitar 4 bulan. Selain melalui internet aku berburu berita melalui berbagai buku mengenai Israel, Palestina,  Timur tengah dan sekitarnya di toko buku. Atas rekomendasi Lukman dan beberapa teman aku juga membeli  ”Yerusalem, satu kota tiga iman” sebuah buku yang ditulis oleh penulis kenamaan Inggris, Karen Amstrong. Ia adalah seorang pemerhati agama.

Dari buku tersebut aku jadi tahu banyak tentang Yerusalem dan Perang Salibnya atau yang dikenal dengan nama The Crusader. Kenanganku kembali melayang ke Museum Du Louvre di Paris beberapa tahun yang lalu dimana  aku, Hans dan Kaori menyaksikan pameran tentang Yerusalem dan perang Salib dimasa Sultan Salahuddin. Kota tua yang hingga saat ini masih menjadi rebutan ketiga agama terbesar  dunia ini ternyata menyimpan sejarah yang begitu fenomenal.

Betapa tidak, Islam meng-klaim bahwa kota ini suci bagi mereka karena Yerusalem khususnya Masjidil Aqsho adalah kiblat pertama mereka sebelum Kabah di Mekah. Di tempat ini pula nabi mereka, Muhammad melakukan perjalanan semalam dari Mekah ke Yerusalem kemudian diangkat menuju ke Arsy-Nya di langit, singgasana Allah, Tuhannya orang Islam. Pada saat itulah Muhammad menerima perintah shalat.

Sementara  bagi umat Nasrani, Yesus, Tuhan mereka, dilahirkan sekaligus berdakwah di negri tersebut. Di tempat ini pula ia disalib dan kemudian dikuburkan. Di lain pihak, orang Yahudi berkeyakinan nabi mereka, Daud dan Sulaiman adalah pemilik dan pendiri tanah Yerusalem dimana Haekel berdiri ribuan tahun yang lalu. Haekel adalah  tempat orang Yahudi melakukan ritual keagamaan untuk  menyembah Tuhannya.

Sementara itu dari berbagai referensi yang aku baca, ternyata Yerusalem memang sejak dahulu sering berada dibawah kekuasaan asing. Tanah Palestina dan Yerusalem khususnya, diperkirakan telah didiami manusia sejak sekitar 3000 SM. Tanah ini juga sering dinamakan dengan sebutan tanah Kana’an. Mereka adalah bangsa Filistin. Pada sekitar 1000-500 an SM negri ini berada dibawah kekuasaan kerajaan Yahudi dengan nabi Daud dan Sulaiman sebagai rajanya. Kemudian masuk berturut-turut Nebukadnezar, raja Babilonia kemudian bangsa Persia dan Romawi Nasrani.  Hingga akhirnya pada sekitar tahun 600 an masuklah  Islam. Ini terjadi pada zaman kekhalifahan Umar Bin Khatab, seorang pemimpin Islam yang dikenal adil, bijaksana,  shalih dan sangat bersahaja. Hanya pada periode dibawah pemerintahan Islam selama 450 tahun inilah ketiga penganut agama bebas menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Kemudian pada tahun 1099 pecah Perang Salib yang diprakasai oleh seorang uskup Nasrani di Clermont,  Perancis. Penyebabnya adalah adanya isu bahwa penguasa Yerusalem bermaksud menghancurkan salah satu gereja yang dianggap keramat umat Nasrani. Oleh sebab itu Sang uskup mengumumkan perlunya perang suci mempertahankan gereja. Maka dengan berbondong-bondong menyerbulah  pasukan yang dinamakan Pasukan Salib ini dari seluruh penjuru Eropa menuju kota Yerusalem.

Sebagai warga  yang telah ratusan tahun menempati kota maka seluruh  penduduk baik pemeluk Islam, Nasrani maupun  Yahudi, mereka bersatu untuk mempertahankan kota melawan pasukan musuh sebagai pendatang yang menyerbu. Namun pasukan Salib yang sebagian kelak dikenal dengan sebutan Ksatria Templar itu akhirnya berhasil merebut Yerusalem dengan penuh kekerasan.  Masjid-masjid dibakar dan hampir seluruh  penduduk kota tua tersebut, dewasa maupun anak-anak, laki-laki maupun perempuan, Islam, Nasrani maupun Yahudi, semua dibantai. Bahkan dikabarkan 10.000 orang Muslim yang berusaha berlindung di atap masjid Al-Aqshopun tidak luput dari pembantaian.

Dalam bukunya, Karen Amstrong mengutip kata-kata Raymond dari Aguilles, seorang saksi dari Perancis yang mengatakan : ” Tumpukan kepala, tangan dan kaki dapat terlihat”, ”…para pria berjalan dengan darah yang naik hingga ke lutut dan tali kekang kuda mereka …”. Dengan cara seperti itulah Yerusalem jatuh ke tangan pihak Nasrani Eropa.

Delapan puluh delapan tahun kemudian dalam pertempuran yang terkenal dengan nama pertempuran Hittin,  pasukan Muslim dibawah Salahuddin Al-Ayyubi,  seorang sultan Mesir berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan pihak Nasrani. Hebatnya tidak ada dendam dalam perang ini. Tak satupun orang non Muslim  yang dibunuh. Sultan hanya membunuh orang yang benar-benar  dianggap keterlaluan jahatnya dan kemudian hanya mengusir orang Nasrani yang tergabung dalam pasukan Salib saja. Selebihnya diperbolehkan tetap tinggal di kota dan menjalankan kepercayaan masing-masing seperti ketika belum terjadi Perang Salib. Artinya tanpa memperhatikan agama dan kepercayaannya, seluruh penduduk asli apapun agamanya tetap diizinkan tinggal di Yerusalem.

Tiba-tiba ingatanku melayang pada film ” The Kingdom of Heaven” yang disutradarai oleh Sir Ridley Scott dan dibintangi aktor kenamaan Orlando Bloom. Film ini mengisahkan terjadinya perang Salib yang terjadi pada tahun 1187  tersebut. Sedangkan pasukan Templar mengingatkanku pada film ” Da Vinci Code ”yang sempat heboh beberapa tahun yang lalu. Aku baru menyadari rupanya film-film tersebut sebenarnya adalah kisah nyata yang mungkin mengalami sedikit modifikasi dan bumbu. Perang Salib terjadi hingga 9 kali, namun pasukan Salib hanya mengalami kemenangan sekali itu saja, yaitu pada Perang Salib I.

Kemudian pada tahun 1250an, Hulagu Khan seorang pemimpin dari dinasti China yang juga cucu Kubilai Khan,  kembali memporak-porandakan tanah Syam, termasuk Palestina dan Yerusalemnya. Dengan penuh kekejaman ia menghancurkan dan membumi hanguskan wilayah tersebut. Tetapi tak lama kemudian pada perang Ain Jalut yang terjadi di Palestina, pasukan Muslim Mameluk dari Mesir berhasil secara gemilang menaklukkan dan mengusir pasukan Mongol yang dikenal sangat bengis dan belum pernah kalah dalam pertempuran  itu.

Selanjutnya selama hampir 500 tahun di bawah kekuasaan Ustmani Ottoman yang Islam, Yerusalem mengalami masa kejayaannya. Hingga akhirnya kekhilafahan ini kalah dalam Perang Dunia I pada tahun 1917 dan pada tahun  1923 kekhalifahan ini benar-benar terhapus. Maka Yerusalempun berpindah ke tangan kerajaan Inggris. Dan berdasarkan perjanjian Balfour tahun 1917 yang disetujui PBB, tanah ini pada tahun 1947 resmi akan diberikan kepada pihak Yahudi Zionis yang bercita-cita akan mendirikan negara Israel Raya yang penuh masalah. Yang tidak menginginkan sebuah negri yang berbagi dengan etnis apalagi agama lain karena ia merasa sebagai bangsa terbaik dan bangsa pilihan!

Sejarah membuktikan bahwa perasaan superior ini membuat orang Yahudi dimanapun berada dibenci dan dimusuhi. Kelompok yang membenci orang-orang ini belakangan diberi nama Anti Semit. Seringkali orang-orang Yahudi ini diusir dan dijadikan bulan-bulanan kelompok yang membencinya. Pembantaian pada Perang Salib-Jerman pada tahun 1096, pengusiran orang-orang Yahudi dari tanah Inggris pada 1290, dari tanah Spanyol pada tahun 1492, dari Portugal pada tahun 1497 adalah contoh ekstrimnya. Dan yang paling spektakuler adalah peristiwa Holocaust selama Perang Dunia II oleh Nazi Jerman pimpinan Hitller. Peristiwa inlah yang kemudian dijadikan alasan untuk menarik simpati dunia sekaligus rasa bersalah Eropa untuk membenarkan berdatangannya orang Yahudi ke tanah Palestina dan membangun rumah serta menyerobot hak penduduk asli.

.Lebih dari itu, orang Yahudi merasa bahwa mereka adalah pemilik asli tanah Palestina. Karenanya ketika pihak Inggris sebelumnya menawarkan tanah Kenya, mereka menolak. Meski demikian sebenarnya perjanjian Balfour yang ditanda-tangani pihak Inggris dan Zionis itu telah mensyaratkan adanya keadilan bagi penduduk yang sebelumnya telah tinggal di negri tersebut.  Satu hal yang hingga detik ini jelas-jelas telah dilanggarnya terang-terangan di depan mata dunia tanpa ada satupun negara yang berani menegurnya!

Apa rahasianya? Dari banyak sumber kuketahui ternyata hal ini berkat kehebatan para pelobby yang mereka miliki.  Adalah AIPAC, kependekkan American Israel Public Affairs Committee, sebuah dewan resmi Amerika yang menangani masalah Yahudi. Dewan ini telah berdiri sejak lama dan berkedudukan di Washington DC. Orang Yahudi telah lama dikenal sebagai bangsa yang pandai, ulet sekaligus licik dan suka melanggar janji. Gabungan bakat tersebut menyebabkan bangsa ini sukses dalam berbagai bentuk bisnisnya. Bermula dari  kekayaannya yang melimpah, dewan pelobby Yahudi  berhasil masuk serta mempengaruhi dan bahkan menyelinap ke dalam jajaran penting  kekuasaan pemerintahan negara adi daya Amerika Serikat ‘ si penguasa dunia’.

Bahkan rumor yang telah sejak lama beredarpun mengatakan bahwa adalah Dr.Chaim Wiezmann, seorang ahli kimia warga-negara Inggris-Yahudi yang menjadi wakil pembicara Zionis di Inggris. Berkat jasanya dalam membuat senjata kimia yang menjadi penentu kemenangan Inggris pada PD I maka sebagai kompensasinya bangsa Yahudi yang tadinya hidup bertebaranpun mendapat hadiah tanah milik bangsa Palestina.

Yang menjadi pertanyaanku dan juga  banyak orang, atas dasar pertimbangan apa sebuah tanah / negri dapat diberikan begitu saja kepada pihak asing. Pihak Yahudi mengklaim bahwa Palestina adalah tanah leluhur mereka. Sementara pada kenyataannya penduduk Palestina yang mayoritas etnis Arab dengan agama yang berbeda-beda tersebut telah menempatinya beratus-ratus bahkan ribuan tahun lamanya.  Lalu berapa lama sepantasnya seseorang dapat dianggap bahwa ia penduduk sebuah negri tanpa perlu merasa khawatir bakal diusir ? Disamping itu bukankah mustinya berdirinya sebuah negri adalah dalam rangka memberikan rasa aman kepada penduduknya, bukan malah menteror apalagi mengusirnya ??

Sebagai bekal nanti, aku terus  berusaha untuk mengingat lokasi dan kejadian  yang dianggap penting  bagi masing-masing pemeluk ke tiga agama  ini, yaitu tempat-tempat ritual yang biasa dikunjungi para wisatawan asing yang datang baik berdasarkan agamanya ataupun sekedar rasa keingin-tahuan semata. Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk segera terbang dan mewujudkan apa yang berada dalam bayanganku.

***

Read Full Post »

” Bagaimana persiapanmu  Mad? Tiket ngga lupa? Visa? Yakin ngga perlu uang rupiah disamping  dollar ?”, berondong ibu.

“ Kayaknya udah beres semua deh… “, jawabku sambil mencoba mengingat-ingat segala keperluanku.

Ibu nyusul langsung ke airport aja  ya… sori, ibu bener-bener ngga bisa ninggalin urusan ibu”, mohon ibu dengan suara menyesal.

Ngga apa bu, Mada ngerti koq. Yang penting doain aja semoga semua urusan beres “,   kataku memaklumi ibu seperti biasa..

“ Tante denger dari beberapa  teman, katanya masuk Yerusalem ngga gampang lho..”, sambung tante Rani  yang dari tadi menemaniku sarapan.. “ malah ada yang ditolak tanpa sebab yang jelas”, katanya meneruskan..

” Ngga’ lah tan, tenang aja… katanya biasanya cuma   Muslim aja koq  yang dipersulit”, kataku menenangkan.

Beberapa jam kemudian dengan diantar tante Rani dan Lukman, aku tiba di airport Cengkareng. Ayah tidak mengantar karena sedang ke luar kota. Tapi tadi sepuluh menit sebelum kami meninggalkan rumah ayah sempat menelpon. Ia berpesan agar aku berhati-hati selama berada di negri orang. Akan halnya ibu, aku tidak berharap terlalu banyak ia dapat menyusul karena seperti biasa ibu  pasti terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak mungkin sempat menyusul ke airport.

Namun ternyata dugaanku kali ini salah. Ibu muncul beberapa detik sebelum aku boarding. Dengan berlari kecil ibu berteriak memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya. Kamipun berpelukan. Bahagia aku rasanya ternyata ibu masih menyempatkan memikirkan diriku. “ Ati-ati nak ya, jangan ikut-ikut kegiatan yang membahayakan dirimu. Kamu disana  sendiri lho, kalau ada apa-apa ngga ada yang bisa dimintai tolong….janji ya?”, ujar ibu menasehatiku. Aku terharu. Seingatku ibu tidak pernah begitu mengkhawatirkan diriku seperti hari ini.

Pesawat Royal Jordan, sebuah maskapai penerbangan milik pemerintah Yordania jurusan Amman, Yordania   yang kutumpangi, lepas landas sesuai dengan jadwal. Untuk tiba di Yerusalem masih harus mengendarai kendaraan selama kurang lebih 1 jam menuju perbatasan Israel. Memang tidak banyak pilihan untuk pergi menuju negri yang penuh masalah tersebut. Rencananya dari Amman  aku akan dijemput oleh seseorang. Dari sana aku akan diantar langsung menuju Yerusalem untuk tinggal di rumah seorang keluarga dokter. Keluarga inilah akan menjadi keluargaku selama 3 minggu aku berada disana.

Aku masih diseliputi keheranan akan sikap ibu. Tiba-tiba aku merasa jangan-jangan ibu mendapat firasat  buruk terhadap perjalananku ini. Lukman sering menasehati agar aku mencoba memperbaiki hubungan dengan ibu. Karena menurut ajarannya kesuksesan seseorang itu amat tergantung dengan  hubungan anak dengan kedua orang-tuanya terutama ibu. Ia  tahu bahwa hubungan kami tidak terlalu baik. Aku memang pernah  mengeluhkan sikap ibu yang cuek sehingga aku merasa ibu tidak menyayangiku atau bahkan mungkin aku ini cuma anak pungut, begitu keluhku.

Seorang ibu dimanapun berada tidak mungkin tidak menyayangi anaknya”, begitu kata  Lukman. “Mungkin ibumu hanya terlalu sibuk aja Mad, jangan pernah suu’dzon gitu ah… ngga’ baik”, tambahnya.  Tanpa kusadari maka akupun segera  berdoa sebisaku. Aku berharap semoga aku masih bisa berjumpa dengan ibuku dan memperbaiki hubungan kami.

***

Sekitar pukul 10 pagi keesokan harinya aku telah berada di bandara Queen Alia, Amman. Di ruang kedatangan aku dikejutkan oleh banyaknya pengunjung berwajah khas Melayu. Dari pembicaraan ternyata mereka memang dari Indonesia dan Malaysia. Mereka datang dari bandara Jedah setelah selesai menunaikan ibadah umrah di Mekah. Tujuan mereka adalah mengunjungi  Masjidil Aqsho di Yerusalem. Kebanyakan mereka baru sekali ini datang ke tempat tersebut. Dari mereka aku tahu bahwa masjid tersebut adalah masjid ketiga terpenting bagi umat Islam  setelah  Masjidil Haram di Mekah dan  Masjid Nabawi di Madinah. Karena dari masjid tersebutlah nabi mereka, nabi Muhammad melakukan perjalanan ke langit menuju Tuhannya. Aku kembali teringat pada presentasiku ketika aku masih di bangku SMA beberapa tahun yang lalu.

Beberapa lama kemudian, setelah urusan keimigrasian selesai , aku celingukan mencari penjemputku. Tak lama  aku melihat spanduk bertuliskan namaku. Akupun  segera menghampirinya  dan memperkenalkan diriku. Diluar perkiraanku, ternyata yang menjemputku adalah anak keluarga yang akan kutumpangi selama aku berada di Yerusalem nanti.

”Hey, nice to meet you. I’am Benyamin.”, dengan  ramah  ia memperkenalkan dirinya  “ From now on,  you will be my brother… Wellcome, brother..”, tambahnya. Kemudian ia memperkenalkan supir sekaligus guide-nya, yang bernama Karim.” Nice to meet you too”, jawabku.

Benyamin seorang pemuda berperawakan  jangkung yang ramah dan menyenangkan. Aku perkirakan ia seumur denganku. Dengan penuh semangat ia menceritakan bahwa ia lahir dan dibesarkan di Yerusalem. Itu sebabnya  selama dalam perjalanan ia lancar menceritakan kota kelahirannya ini.

Tak sampai 1 jam kemudian kamipun memasuki perbatasan antara Yordania dan Israel. Benyamin mengingatkanku  untuk tidak mengambil gambar baik foto maupun video. Ia mengisyaratkan dengan dagunya bahwa menara-menara  tinggi yang banyak berada di sepanjang jalan yang kami lalui adalah pos-pos militer Zionis yang mengawasi gerak gerik setiap orang yang melalui wilayah tersebut. ”Mereka siap menghentikan dan merampas kamera orang yang berani-beraninya mengambil gambar di wilayah tersebut. Bahkan bila harus menembak mereka akan selalu siap melakukannya! ”, begitu katanya dengan nada sinis. Terdengar jelas rasa antipatinya terhadap pemerintah yang disebutnya sebagai pemerintah pendudukan Zionis itu.

Ia bercerita, dulu ketika orangtuanya  masih muda kota Yerusalem adalah kota yang damai. Penduduknya rukun dan damai. walaupun agama mereka berbeda. Mereka saling menghargai dan mengasihi. Keluarga Benyamin sendiri adalah penganut Nasrani yang taat. Ia menyebut dirinya sebagai warga Arab. Penduduk kota tersebut memang  dibedakan antara warga Arab dan warga Yahudi. Warga Arab ada yang beragama Nasrani ada yang beragama Islam sementara warga Yahudi hampir dapat dipastikan beragama Yahudi. Namun mereka semua bersatu dibawah bendera Palestina.

Ketika akhirnya pecah perang Arab-Israel pasca penyerahan tanah tersebut dari Inggris kepada Zionis Yahudi pada 1947, banyak rakyat Palestina yang terpaksa mengungsi dan pergi meninggalkan tanah airnya menuju Yordania dan negri-negri di sekitarnya. Sementara itu orang-orang Yahudi Palestina banyak yang dipaksa berpihak kepada Zionis Yahudi demi mendapatkan  tanah untuk ditinggali etnis dan kepentingan agama mereka sendiri.

Banyak keluargaku yang dipaksa pergi meninggalkan rumah dan kampung kelahiran mereka. Bahkan hingga saat inipun mereka tetap tinggal dalam kamp pengungsi yang keadaannya sangat menyedihkan. Mereka itu beranak pinak dalam keadaan amat miskin dan hidup amat mengenaskan. Padahal banyak diantara mereka yang ketika masih  di Palestina hidup berkecukupan. Malah ada adik ibuku yang tadinya adalah seorang dokter ternama yang kaya raya dan terhormat ikut menjadi korban. Bahkan hingga saat ini ayah dan ibuku tidak pernah tahu akan keberadaan mereka”, jelas Benyamin sedih.

Benyamin juga menceritakan betapa sadisnya cara Zionis mengusir warga Arab dari tanah Palestina. Beberapa perkampungan di pinggir pantai dijadikan proyek percontohan. Dengan cara provokatif para perempuan diperkosa didepan anggota keluarganya, rumah-rumah dibakar. Kemudian penduduknya diusir dan dipaksa pergi berjalan menuju  pantai untuk kemudian ditembaki dari belakang!

Berbekal pengalaman buruk yang sengaja terus diceritakan orang-orang Yahudi dan juga dari mulut ke  mulut penduduk itu sendiri,  akhirnya membuat hampir seluruh  penduduk tanah tersebut tanpa perlawanan pergi meninggalkan rumah mereka sendiri. Di bawah todongan senjata tanpa membawa sepeserpen uang dan bekal mereka berbondong-bondong berjalan ratusan bahkan ribuan mil menuju negara tetangga. Kalaupun ada sebagian rakyat yang memberontak mereka harus menghadapi pertempuran yang sama sekali tidak seimbang.

Bayangkan”, kata Benyamin emosi. ” Senjata mutakhir super canggih yang didatangkan dari Amerika Serikat harus dilawan senjata rongsokan bekas perang yang dibeli secara gelap oleh rakyat !”, tambahnya. Karim dibelakang kemudipun sekali-sekali ikut mengomentari dan membenarkan cerita Benyamin.

Sungguh ironis, bagaimana mungkin kaum Yahudi yang mulanya hanya menguasai 5 % tanah Palestina tiba-tiba bisa mendapatkan hampir 33% tanah kami padahal jumlah mereka hanya kurang dari 10 % total penduduk Palestina. Bahkan seterusnya secara resmi PBB meningkatkan pemberiannya menjadi 60 % ! Sungguh menyakitkan…”, tambah Karim.

Masih belum puas juga, melalui Perang 6 hari , The Sixth Day War, iblis tersebut kini bahkan berhasil merampas Yerusalem dari tangan kami, mencaplok Tepi Barat dari Yordan, Jalur Gaza dari Mesir serta dataran tinggi Golan dari Suriah hingga akhirnya total mereka  menguasai 78 % tanah Palestina ”, sela Benyamin.

Setelah hening beberapa saat, Benyamin kembali berkata, ” Kau tentu pernah mendengar pasukan Intifada kan Mada?”,Pasukan pelempar batu itu, bukan ?”, jawab Mada merasa bersyukur pernah membaca berita tersebut hingga tidak terlihat bodoh. ”Ya…sesungguhnya mereka itu baru ada sejak hak-hak mereka tidak diperhitungkan dunia internasional. Namun seperti yang kau ketahui mereka ini diberitakan  seakan-akan  sebuah kelompok penjahat dan perusuh ”, sambung Karim geram.

Tanpa terasa kami tiba di pos pemeriksaan. Di tempat itu kuamati disamping adanya sejumlah tentara bersenjata, banyak sekali petugas berpakaian sipil dengan senjata di pinggang lengkap dengan kacamata gelapnya. Di depan pintu masuk tergantung spanduk raksasa bertuliskan sebuah nama berbau Islam. Rupanya itu adalah nama seseorang yang sedang dicari pemerintah. Di dalam spanduk tersebut dicantumkan sejumlah besar uang sebagai imbalan bagi orang yang dapat memberikan informasi keberadaan orang yang dicari itu.

Kami bertiga segera turun dari kendaraan. Awalnya koper dan barang bawaankupun diminta untuk diturunkan dan digeledah. Namun berkat perdebatan alot antara Karim yang kudengar berbicara dalam bahasa yang tidak kukenal, kupastikan sebagai bahasa Ibrani, bahasa resminya  orang  Yahudi, dengan pegawai pemeriksaan, akhirnya aku batal menurunkan barang-barangku.

Sebaliknya, ketika aku berdiri dalam antrian pemeriksaan, aku melihat sejumlah koper bahkan beberapa galon berisi  air ikut mengantri. Ternyata barang-barang ini adalah bawaan orang-orang Indonesia dan Malaysia yang kutemui di bandara Queen Alia Amman tempo hari. Dari pembicaraan aku baru tahu ternyata galon-galon itu adalah galon-galon  air zam-zam, oleh-oleh khas haji dari Mekah.

Biasanya, air zam-zam itu urusan bimbingan haji yang memandu para jamaah. Mustinya mereka langsung mengirimnya ke tanah air. Jadi jemaah tidak perlu repot membawanya kesana kemari. Belum nanti kalau bocor…”, keluh pah Thamrin, salah satu jemaah yang mengobrol denganku.

Lagian ngapain air aja pake diperiksa … nyusahin aja..”, timpal jemaah lain yang lebih muda. ”Dasar paranoid..”, sungutnya.” Ya begitulah orang kalau jahat  hobbymya bikin orang lain susah,  bawaannya jadi curiga melulu… Lihat aja, mereka buang-buang waktu meriksa semua orang berkali-kali..kayak kita ini penjahat aja…”, kata jemaah yang berdiri di belakangku geram.

Aku segera mengedarkan pandangan kesekelilingku. Bangunan tak berjendela ini mengingatkanku pada suatu tempat, ntah itu  gudang yang sudah tak terpakai atau stasiun kereta api atau mungkin malah bekas bungker tentara. Dikelilingi tembok tinggi berwarna putih tanpa satupun jendela apalagi  hiasan dinding, bangunan yang disangga beton-beton besar ini mengesankan suasana yang jauh dari nyaman kalau tidak mau dikatakan menegangkan. Untung mereka tidak lupa menyalakan pendingin udara model kuno yang banyak tergantung  di dindingnya itu.

Mataku beralih pada para pegawainya. Setengah terkejut, baru kusadari bahwa semua pegawai di ruangan tersebut adalah kaum hawa. Namun demikian, dengan seragam mirip tentara berwarna khaki lengkap dengan sepatu boot dan pistol di pinggang, penampilan mereka mirip laki-laki. ” Bukan cuma di sini mas… Sejak masuk perbatasan tadipun hampir semua penjaga posnya kan juga perempuan ”, tanggap  pak Thamrin yang berdiri di depanku ketika aku mengomentari hal tersebut.

Hampir dua jam lamanya aku berada dalam keadaan seperti itu padahal antrian tidak terlalu panjang. Selama itu aku terlibat percakapan dengan pak Thamrin. Darinya aku banyak memperoleh pengetahuan baru diantaranya cerita tentang asal muasal air zam-zam. Aku kembali tercengang dibuatnya. Ternyata sejak awal, Islam telah memiliki keterikatan yang erat dengan Ibrahim, nabi yang sering diaku umat Nasrani maupun  Yahudi sebagai penganut agama mereka. Ritual haji yang merupakan kewajiban umat Islam yang mampu adalah sebuah ritual lama yang telah ada sejak nabi tersebut ada.

” Ibrahim adalah kakek moyang ketiga agama besar itu. Ia adalah ayah dari nabi Ismail yang merupakan kakek moyang nabi Muhammad dan  juga ayah dari nabi Ishak yang merupakan kakek moyang nabi-nabi Nasrani dan Yahudi. Dengan kata lain , Ibrahim adalah bapak para nabi. Ia bukan penganut Nasrani maupun Yahudi. Sebaliknya menurut  ajaran Islam, seluruh nabi adalah Islam karena Islam adalah berarti tunduk menyerahkan diri kepada kekuasaan Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, yaitu Allah. Dialah Tuhannya semua manusia, Tuhan yang menciptakan langit, bumi dan seluruh isinya”, begitu pak Thamrin memberi penjelasan kepadaku.

Tanpa kusadari aku melirik Benyamin. Ia berada dalam antrian khusus untuk warga Arab Palestina sambil santai membaca buku. Pasti ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, pikirku. Beberapa lama kemudian setelah akhirnya lolos pemeriksaan, aku mendengar keluhan beberapa jemaah haji. Mereka mengeluh  bahwa teman-teman mereka yang mempunyai nama berbau Islam dan umurnya masih dibawah 30 tahunan ternyata dipersulit. Mereka bolak balik harus keluar masuk ruangan pemeriksaan. Aku dengar tamu-tamu dari Malaysia nasibnya lebih sial lagi. Mereka ditolak masuk negri tersebut bahkan tanpa pemeriksaan sama sekali!

Itu karena Malaysia dianggap sebagai negara yang sama sekali tidak  menunjukkan dukungan terhadap berdirinya negara Israel ini”, kata pak Thamrin menjelaskan ketidak mengertianku.

Lebih dari itu, para pemimpinnya bahkan jelas-jelas mengutuk dan memusuhi  segala sesuatu yang berasal dari negri terkutuk ini. Ngga kayak negri kita  yang plintat plintut. Katanya  tidak mendukung…  tapi bersikap keras juga tidak”, katanya lagi dengan nada skeptis.

Ya, betul. Tapi kali ini kita diuntungkan..makanya kita diperbolehkan masuk kesini walaupun juga dipersulit”, seseorang di belakangku menimpalinya.

Memasuki jam ketiga, aku, Benyamin dan  Karim  sudah  berada kembali di dalam kendaraan menuju Yerusalem. Cuaca ketika itu cukup cerah. Suhu udara sekitar 30 derajat Celcius hampir sama dengan Jakarta. Kami memasuki pegunungan pasir berbatu. Sebuah pemandangan yang menakjubkan sekaligus membuat hati miris. Makin lama makin jelas terlihat gubuk-gubuk yang begitu sederhana di daerah kering kerontang tersebut. Terlihat sejumlah kambing kurus berkeliaran diantara gubuk-gubuk itu.

” Gubuk-gubuk itu milik pengungsi orang-orang Afrika. Aku tak tahu mengapa mereka memilih daerah seperti ini. Mungkin karena keadaannya mirip dengan keadaan daerah asal mereka”, jelas Karim menjawab keherananku atas keberadaan gubuk-gubuk tersebut..

Lihat!”, seru Benyamin sambil menunjuk ke suatu tempat jauh di atas bukit. ” Tenda-tenda besar  itu adalah tenda-tenda pengungsi rakyat Arab Palestina yang tadi aku ceritakan ”, kata Benyamin. Sayangnya aku tidak berhasil mencermati keberadaan tenda yang dimaksudnya tersebut karena terlalu jauh dari pandangan.

Ketika Karim melalui suatu kelokan tajam menanjak tiba-tiba mataku menangkap suatu kilatan di balik bukit. Aku segera memperhatikan kilatan tersebut. ” Wow..”, seruku takjub mengagetkan dua orang disampingku. ”Itu kubah emas  The Dome Of The Rock bukan? ”, tanyaku untuk meyakinkan sambil mengarahkan kameraku ke sasaran.

Atas permintaanku, mobilpun berhenti sejenak. Angin segar segera menerpa wajahku. Udara ternyata cukup dingin mungkin sekitar 24 derajat Celcius.  Dari kejauhan terlihat            kubah itu berada di pelataran yang dikelilingi tembok bata merah besar layaknya sebuah benteng raksasa. Didalam benteng kuno tersebut terlihat dua buah kubah. Yang pertama adalah kubah kuning keemasan The Dome Of The Rock atau  Kubah Batu.  Bangunan ini berada di sayap timur agak sedikit ke bagian tengah .  Sedang yang satu lagi adalah kubah abu-abu  Masjid Al-Aqsho’ yang berdiri di ujung sebelah  barat  kawasan tersebut.

Diantara kedua kubah tersebut tampak adanya pelataran luas dengan taman dan pepohonannya yang rindang. Disana sini tampak beberapa kubah kecil yang indah. Sementara diantara aku berdiri dengan kawasan tersebut terbentang lembah yang ditanami pepohonan. Dari Karim aku tahu bahwa pelataran tersebut terletak di  sebuah bukit yang diberi nama bukit Zion sementara tempatku berdiri bernama bukit Zaitun.

Ini yang dinamakan ” The Old City of Yerusalem ” alias kota tua,” jelas Benyamin. ” Tempat ini adalah tempat paling bersejarah bagi kehidupan keberagamaan  di muka bumi. Tiga agama terbesar di muka bumi yaitu Nasrani, Islam dan Yahudi saling mengklaim bahwa mereka adalah yang paling berhak atas  kota tua ini. Sekarang ini Yerusalem dibagi menjadi 4 distrik sesuai agama masing-masing. Distrik Islam terletak di bagian Timur Kubah Batu, distrik Nasrani menempati bagian dimana gereja Makam Kudus berada, orang-orang Yahudi menempati daerah sekitar tembok ratapan di sebelah barat Kubah Batu. Sementara diantara pemukiman  Yahudi dan Nasrani terletak pemukiman Armenia”, lanjut Karim.

 

“ Kota tua yang berada di sebelah timur Yerusalem sekarang ini  dikelilingi sebuah tembok sepanjang kurang lebih 4 kilometer dengan 14  pintu gerbang dan 34 menara namun hanya beberapa pintu yang masih berfungsi”, sambung Benyamin.

Rasanya aku sudah  tak sabar untuk mendekati dan memasuki pelataran tersebut. Setelah puas mengambil gambar dan menikmati segarnya udara perbukitan kamipun meneruskan perjalanan. Sayang baik Benyamin maupun Karim tidak mengabulkan keinginanku untuk segera mengunjungi kubah-kubah tersebut. Mereka ingin agar aku istirahat  di  rumah dulu. Disamping kedua orangtua Benyamin memang telah menanti kedatanganku. Aku pikir alasan tersebut sangat masuk akal. Aku jadi malu sendiri dibuatnya. Aku merasa seolah tidak memiliki sopan-santun. Maka segera aku meminta maaf atas kelakuanku itu.

”No. It’s okay. I can understand. If I were you I think I’ll do the same thing. But don’t worry. You  have a lot of time”, kata Benyamin menghibur.

Keluarga Benyamin bukan saja  keluarga kaya raya namun juga terhormat dan terpelajar. Ayahnya adalah seorang dokter spesialis tulang.  Walaupun cukup ramah namun ia bukan tipe orang yang banyak  bicara. Ketika aku tiba di rumah ia sedang bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Ia sempat meminta maaf padaku karena tidak dapat mengajakku mengobrol. Perawatnya baru saja menelpon mengabarkan bahwa ia telah ditunggu beberapa pasiennya di rumah sakit. Sedangkan ibu Benyamin adalah  seorang perempuan yang ramah dan terlihat senantiasa menjaga penampilan. Ia mengajakku mengobrol tentang keluargaku dan keadaan di Indonesia.

***

 

Read Full Post »

Esoknya bersama Benyamin aku pergi ke kampus dimana ia menuntut ilmu. Sekarang aku baru tahu rupanya salah satu alasan mengapa aku tinggal di keluarga ini adalah karena aku akan mempelajari ilmu di tempat Benyamin belajar. Sama seperti rumah tinggal mewah keluarga Benyamin, Hebrew University juga terletak di Yerusalem Barat sebuah wilayah di sebelah barat  Yerusalem  yang diduduki Israel. Keadaan kota di bagian ini jauh berbeda dengan keadaan di YerusalemTimur. Gedung-gedung tinggi dan rumah mewah bertebaran disini. Rumah-rumah tersebut rata-rata terbuat dari batu putih. Hal ini mengingatkanku akan kota Amman di Yordania yang menamakan dirinya dengan nama The White City karena memang hampir seluruh bangunan di kota tersebut terbuat dari batu pualam putih seperti rata-rata bangunan Mediteranian, di pesisir pantai  laut Tengah. Ini adalah ciri khas mereka. Aku teringat pada video film yang sering diputar di toko-toko penjual pesawat televisi di mal-mal di Jakarta.  Rupanya disinilah lokasi pembuatan film tersebut. Atau paling tidak di negara-negara sekitarnya, mungkin Yunani, tebakku.

Hebrew University sendiri adalah sebuah gedung tinggi dengan arsitektur kental barat modern. Universitas ini adalah universitas milik pemerintah Israel. Setelah memberitahu kemana aku harus menuju, aku dan Benyaminpun berpisah. Benyamin menuju ke gerbang utara sementara aku ke gerbang utama. Bersama beberapa orang dari sejumlah  negara  yang juga mendapatkan hadiah lomba sebagaimana yang aku menangkan, kami  mengikuti kelas di salah satu  ruang universitas tersebut. Di kelas ini, mula-mula seorang pengajar menerangkan sejarah berdirinya  perguruan tinggi tertua milik Yahudi tersebut. Selanjutnya kami diajak berkeliling melihat-lihat gedung dan fasilitas yang dimilikinya. Aku perhatikan hampir disetiap lantai terpasang gambar raksasa maket “ Great Israel” di dinding.  Disamping itu  tergantung pula gambar rancangan “ Haekel” baru. Dalam hati  aku bertanya-tanya bagaimana komentar  Benyamin dan keluarganya  nanti ketika aku menanyakan hal tersebut.

Siangnya kulihat Benyamin sudah menanti di pelataran besar universitas. Setelah makan siang ia berjanji akan menemaniku masuk ke dalam tembok Yerusalem kuno. Kami masuk melalui pintu Singa atau  Lion Gate yang terletak di sebelah timur laut pelataran, tentu saja setelah melalui pos pemeriksaan polisi Israel. Padahal wilayah tersebut katanya di bawah kekuasaan pihak Palestina.  Heran aku dibuatnya. Sayang aku lupa menanyakan hal tersebut pada Karim ataupun Benyamin. Di tempat ini semua orang yang ingin  masuk tempat tersebut diharuskan mengeluarkan dan memperlihatkan seluruh isi tas, bawaan bahkan kantong baju dan celananya!

“ Gila… emang dikira  orang  mau shalat  bawa pistol apa? “, aku mendengar seseorang  berbicara dalam bahasa Indonesia di arah belakangku. Secara otomatis aku segera menengok ke arah suara tersebut datang. Ternyata memang  rombongan dari Indonesia. Tetapi bukan rombongan yang kemarin bersamaku di bandara Amman. Karim menerangkan bahwa hampir setiap hari ada rombongan Indonesia yang datang mengunjungi tempat ini. Uniknya rombongan tersebut biasanya datang berkelompok atas dasar agamanya. Ada rombongan pengunjung beragama Nasrani ada rombongan pengunjung beragama Islam.  Biasanya mereka memang bukan pelancong biasa melainkan para peziarah.

Obyek yang biasa diziarahi para pezirah kota kuno ini banyak sekali jumlahya. Uniknya, rata-rata peziarah Nasrani dan Yahudi hanya mengunjungi situs-situs agamanya sesuai kitab  perjanjian lama dan perjanjian baru sementara peziarah Muslim mengunjungi hampir seluruh situs yang merupakan situs ketiga agama. Bahkan gereja Church Of The Holy Sepulchre, gereja yang dipercaya sebagai tempat dimana Yesus  disalib sekaligus dimakamkanpun  dikunjungi umat Islam.

Karena meyakini seluruh nabi dan rasul yang diturunkan Allah adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Umat Islam wajib meyakininya dan tidak boleh membeda-bedakan mereka. Kami wajib menghormati mereka semua “, begitu penjelasan Karim atas pertanyaanku.

Beruntung aku didampingi Karim. Ia mengajakku mengunjungi hampir seluruh situs yang biasa dikunjungi baik umat Islam, Nasrani maupun Yahudi. Setelah berhasil melewati gerbang Singa, bertiga kami menelusuri sebuah jalan yang dinamakan via dolorosa atau jalan penderitaan. Disebut demikian karena jalan ini sejak abad 14 atau juga berarti sekitar 1400 tahun setelah kejadian sebenarnya,  ditetapkan sebagai rute prosesi perjalanan Yesus menuju ke penyalibannya di bukit Golgotha. Di lokasi penyaliban tersebut sekarang telah berdiri sebuah gereja yang diberi nama Church Of The Holy Sepulchre atau gereja Makam Kudus.

Karim menerangkan bahwa hampir setiap saat selalu ada saja peziarah yang menyusuri rute tersebut. ” Tak jarang  peziarah Nasrani  histeris bahkan  hingga pingsan. Hari-hari besar umat Nasrani adalah puncak membludaknya peziarah. Hal ini sering mengakibatkan keributan dan bentrok dengan penduduk setempat.”, jelas Karim.  Aku dapat membayangkan situasi tersebut. Jalanan ini adalah jalanan sempit nan terjal berliku-liku dimana di kiri kanannya adalah pemukiman miskin  penduduk yang mayoritas Muslim. Mereka telah berada di tempat tersebut sejak ribuan tahun lamanya. Namun dengan besar hati mereka tetap mengizinkan umat lain yang datang dari seluruh penjuru dunia dengan penampilan yang tidak sederhana untuk melaksanakan prosesi akbar ini didepan mata mereka. Muncul simpatiku terhadap mereka.

Yang cukup mengejutkanku, bahkan penjaga gereja Makam Kudus yang merupakan gereja tersuci sebagian besar umat Nasrani adalah seorang Muslim. Adalah Wajeeh Nuseibeh, seorang lelaki setengah umur. Sejak Yerusalem jatuh ke tangan umat Islam, Umar Bin Khattab, sang khalifah yang terkenal itu, telah mempercayakan kakek moyang Wajeeh  untuk menjaga dan memelihara tempat tersebut. Keluarga inilah yang secara turun temurun menyimpan kunci dan menjadi wasit gereja yang menjadi rebutan ketujuh sekte Nasrani yang ada di Yerusalem. Tiga kelompok terkuat itu adalah Katolik Roma, Yunani, dan Armenia. “ Mereka berkata bahwa aku adalah wasit yang adil karena aku tidak memihak pada satupun sekte diantara  mereka”, begitu aku Wajeeh bangga.

Wajeeh bercerita , dulu keluarga Nuseibeh mempunyai ladang-ladang zaitun yang luas. Namun sejak pecah perang 1967, dengan berhasilnya  Israel menjajah sebagian wilayah Yordania, keluarga tersebut terpaksa kehilangan seluruh harta kekayaan mereka termasuk ladang-ladang zaitunnya. Saat ini keluarga Wajeeh hanya mengandalkan hidup dari upah sebagai penjaga gereja yang tidak seberapa disamping uang tambahan sebagai pemandu wisata. Sebagian keluarga Nuseibeh kini menjadi profesor dan pengusaha, tapi takdir Wajeeh, yang diwariskan oleh ayahnya, adalah menjaga makam suci, makam dimana dikabarkan Yesus dikuburkan setelah penyalibannya.

Benyamin melirik jam tangannya mewahnya, Rolex dengan tali kulit cokelatnya. “ Maaf, Mada. Aku ada janji dengan seseorang. Aku terpaksa tidak dapat menemanimu lebih lama lagi “, katanya dengan nada menyesal. “ Tapi tak  usah khawatir, Karim akan mengantarmu kemanapun kau ingin “, lanjutnya .

Tak apa, Benyamin. Aku yang minta maaf terpaksa membuatmu  mengantarku kesana kemari”, jawabku. “ It’s okay  Mada. Aku senang bisa memuaskanmu berjalan-jalan dan mempelajari sejarah kota kelahirkanku ini. Kita berjumpa lagi di rumah nanti malam, okay ?”, katanya menutup pembicaraan.

Akupun meneruskan perjalanan berdua dengan Karim. Sekarang kami menuju The Dome of The Rock. “ Sungguh menyedihkan”, keluh Karim. “Sejak beberapa tahun belakangan ini, pihak otoritas Israel secara provokatif telah mengumumkan terang-terangan bahwa lokasi Syarif Al-Haram adalah milik mereka. Bahkan detik inipun secara bertahap mereka sedang menghancurkan dan melenyapkan keberadaan kedua masjid tersebut untuk diganti dengan rumah ibadah mereka. Untuk menghindari cemoohan dunia internasional mereka melakukannya secara diam-diam. Inilah salah satu  bukti sifat licik kaum Yahudi”, lanjutnya sambil melompat menghindari sebuah genangan air di depannya.

“ Semestinya mereka mempelajari sejarah secara utuh. Kawasan ini adalah masa lalu mereka. Kawasan Syarif Al-Haram dimana berdiri Kubah Batu atau Dome Of The Rock dan  Masjidil Aqsho yang ada saat ini,  telah menggantikan rumah ibadah mereka sejak ribuan tahun lamanya. Kami, umat Islam yang menjaga dan merawatnya. Keduanya adalah bangunan masjid yang sejak dahulu aktif dipergunakan untuk beribadah. Kami tidak merebutnya secara paksa. Bahkan uskup Nasrani, sang penguasa Yerusalem masa lalu yang memberikan kunci kota ini kepada kaum muslim yang telah mengepung kota, berpesan agar orang Yahudi tidak diizinkan tinggal di kawasan tersebut. Itupun dalam keadaan sama sekali tidak terawat. Tumpukan sampah menggunung dimana-mana. Namun setelah sekian lamanya, bagaimana mungkin tiba-tiba mereka menghancurkannya begitu saja seolah kita ini tidak pernah  ada… ”, katanya dengan suara parau menahan emosi.

Biarlah Allah yang membalas perbuatan biadab mereka. Allah adalah Tuhan bagi seluruh penduduk bumi, langit dan segala isinya. Ialah satu-satunya pemilik semua yang ada di alam semesta ini sejak nabi Adam hingga umat akhir zaman nanti”, katanya mantap.  “ Dialah yang mengutus para nabi dan rasul termasuk Nabi Ibrahim bapak agama samawi, Musa nabinya Yahudi, Isa nabinya Nasrani  dan Muhammad saw nabinya umat Islam”, lanjutnya. “ Kita ini, seluruh manusia  diperintah untuk menyembah hanya kepada-Nya. Jadi bila ternyata sekarang ini terjadi perselisihan tajam biarlah Ia yang memutuskan perkara ini. Cobalah… sekali waktu kau bandingkan isi ketiga kitab tersebut, Mada. Aku yakin hatimu masih bersih, bedakan dan rasakanlah”, katanya mengakhiri penjelasannya begitu terdengar suara azan Magrib di kejauhan.

Dengan setengah berlari aku terpaksa mengikuti langkah-langkah lebar Karim. Melewati serta beberapa kali meloncati beberapa anak tangga sekaligus, tahu-tahu kami sudah muncul di depan pelataran Syarif Al-Haram. Terlihat sejumlah orang berbondong-bondong menuju Masjidil Aqsho. Karim langsung menuju tempat mengambil air wudhu. Tanpa sadar akupun terus mengikuti gerakannya membasuh kedua tangan, berkumur, membasuh muka, kepala dan kedua kaki. Sementara suara azan terus berkumandang di kedua telingaku. Hatiku terasa teriris-iris. Aku merasa seolah ada yang memanggil dan mengikutiku.

Selanjutnya tanpa menengok padaku, Karim masuk kedalam masjid dan langsung mengerjakan shalat. Sejenak aku termangu, teringat ketika aku shalat bersama Lukman di masjid kampus beberapa waktu yang lalu. Rasanya sudah lama sekali  hal itu terjadi. Tiba-tiba entah mengapa aku merasa bersalah. Akupun segera masuk dan mengikuti gerakan shalat Karim.

Beberapa menit kemudian, aku sudah seperti menjadi bagian dari orang-orang yang secara serentak melaksanakan shalat bersama-sama. Aku rukuk, sujud dan duduk sebagaimana mereka. Aku memang sama sekali tidak memahami apa yang dikatakan imam di depan sana namun terus terang aku dapat merasakan ketentraman yang menyelinap jauh ke dalam hati sanubari ini.

***

Genap seminggu setelah kedatanganku, aku diajak keluarga Benyamin menghadiri sebuah acara istimewa di sebuah hotel mewah di Yerusalem Barat. “ Ayolah, ini acara istimewa. Kamu beruntung bisa hadir karena di acara ini hanya orang-orang  yang dianggap penting dan punya uang saja yang bisa hadir”, bujuk Benyamin padaku sambil menarikku ke kamarnya dan menunjukkan lemarinya yang terbuka lebar agar aku mau memilih salah satu dasinya yang jumlahnya puluhan itu. Akhirnya tanpa banyak berbicara  akupun mengambil salah satunya.

Aku, Benyamin dan kedua orang-tuanya tepat pukul 7 malam memasuki  lobi hotel  Plaza Continental, sebuah hotel bintang lima paling bergengsi di Yerusalem. Kami dipersilahkan masuk ruang  The Executif Club. Disana sudah terlihat beberapa pasang tamu dengan dandanan yang chic. Para lelakinya terlihat rapi berjas hitam lengkap dengan dasi kupu-kupunya sebaliknya para perempuan tampil dengan pakaian pesta yang terbuka disana-sini memperlihatkan dengan jelas lekak lekuk tubuh mereka.

Kedua orang-tua Benyamin segera bergabung dengan mereka. Setelah aku diperkenalkan, Benyamin segera menarikku ke sudut lain ruangan yang ditata serba wah tersebut. Rupanya yang ditujunya adalah sebuah meja kecil di sudut yang agak tersembunyi di belakang meja besar berisi  penuh makanan ringan pembuka. “ Nah, disini kita aman, Mad…..”, katanya sambil melonggarkan dasinya. Akupun  segera  mengikuti kelakuannya. Dari tempat ini kami bisa bebas dan leluasa melihat ke meja tamu lain tanpa khawatir terlihat oleh pihak lain. Tak lama kemudian setelah menerima segelas soft drink yang ditawarkan seorang pelayan kami berdua sudah duduk santai sambil memperhatikan tamu-tamu yang berdatangan.

Lihat yang duduk di deretan meja terdepan sebelah kiri itu…Ia adalah mentri kebudayaan dan pariwisata Israel. Dialah penyelenggara acara ini”, terang Benyamin. “ Nah, sekarang lihat siapa yang baru masuk itu “, serunya. “ Pasti kau mengenalnya”. Ternyata dia adalah seorang aktor laga kawakan kenamaan Holywood. Ia datang didampingi istrinya yang masih keluarga mantan presiden legendaris Amerika Serikat.

Selanjutnya setelah Benyamin sibuk menunjuk kesana kemari, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seraut  wajah khas Indonesia. Dia adalah mantan presiden negara kita yang kontroversial, yang diam-diam dikenal memiliki hubungan khusus dengan negri berlambang Segitiga Davis ini. Ia datang didampingi istri lengkap dengan sejumlah pengawal khususnya seperti biasa.   Selanjutnya aku melihat seorang personil band yang banyak digandrungi remaja tanah air saat itu. Mengenai artis ini aku pernah mendengar kabar selentingan bahwa ia memiliki hubungan istimewa dengan sesuatu  yang erat kaitannya dengan ke-Yahudi-an namun aku lupa apa detilnya.

Tepat pukul 20.00  acara resmi dibuka oleh sang mentri Pariwisata. Dari sambutan itulah aku baru tahu rupanya agenda utama pertemuan ini adalah pemberian penghormatan dan piagam bagi tokoh-tokoh yang dianggap berhasil memberikan citra  positif terhadap Israel, negara yang oleh negara-negara di Timur  Tengah dan sebagian negri Islam tidak diakui kedaulatannya itu.

***

Beberapa hari kemudian bersama rombongan teman-teman dari berbagai negara, kami pergi mengunjungi Museum Israel yang terletak di bukit yang sama dengan Hebrew University. Di areal ini terdapat sebuah gedung ultra modern, yang dikenal dengan nama The Shrine Of The Book. Di dalam bangunan berkubah putih inilah tersimpan  The Dead Sea Scroll, Gulungan Laut Mati yang spektakuler itu.

Gulungan Laut Mati adalah sekumpulan gulungan kertas yang ditemukan pada tahun 1947 mulanya oleh seorang Badui Palestina. Seterusnya hingga tahun 1956 dari sejumlah gua di sekitar daerah Qumran, dimana naskah pertama ditemukan, terkumpul ratusan potongan naskah kuno. Diantara naskah-naskah tersebut yang terpenting adalah adanya sejumlah naskah yang dipercaya sebagai potongan bagian dari Perjanjian Perjanjian Baru / Injil dan  Perjanjian Lama / Taurat. Naskah ini diperkirakan ditulis pada sekitar tahun 2 SM hingga tahun 100 an setelah Masehi.

Namun sayang baru sebagian kecil dari isi naskah yang dipublikasikan ke umum. Padahal banyak rahasia besar yang dapat diungkap kumpulan naskah tersebut. Diantaranyalah adalah apa yang diungkap seorang teolog pakar Perjanjian Baru dan Gulungan Laut Mati, Prof. DR. Barbara Tiering, dari University  of Sidney Australia. Berdasarkan penelitiannya ia mengungkapkan bahwa Yesus sebenarnya tidak hidup membujang seperti perkiraan umatnya. Ia bahkan pernah menikah sebanyak 2 atau 3 kali. Malah dikatakan 4 tahun setelah penyalibannya, salah satu istrinya itu melahirkan seorang anak pertama mereka. Artinya Yesus tidak meninggal di tiang penyaliban sebagaimana perkiraan umatnya selama ini!

Dari The Shrine Of The Book, kami pergi mengunjungi The Model of Second Temple Jerusalem atau kuil kedua Yerusalem yang memang masing berada di area yang sama yaitu Museum Israel. Ini adalah sebuah replika raksasa dari kuil Yerusalem kuno pada masa hidup Yesus. Sebuah kuil  yang mulai dibangun pada tahun 20 sebelum Masehi oleh Herod The Great yang dihancurkan hanya 6 tahun setelah selesai dibangunnya yaitu pada 70 M oleh Titus, seorang pemuka Romawi. Replika yang dibuat  pada tahun 1966 ini mulanya disembunyikan di bawah tanah sebuah hotel di Yerusalem. Namun pada tahun 2002 secara resmi dan terang-terangan, replika tersebut dipindahkan ke dalam Museum Israel. Saat ini Replika Kuil Yerusalem ke dua tersebut menjadi salah satu daya tarik wisatawan manca-negara.

Dalam waktu yang tak lama lagi bangsa Israel tak  akan lagi hidup terlunta-lunta. Replika raksasa  yang berada dihadapan anda ini memperlihatkan  semangat bangsa kami untuk membangun kembali kejayaan yang telah hilang ribuan tahun lalu”,  jelas seorang pemandu yang menemani rombongan tamu dari berbagai negara ini dengan penuh kebanggaan.

Oh… jadi  apa  yang dikatakan Karim padaku tempo hari ternyata benar “, kataku dalam hati.

Orang-orang Yahudi, didorong oleh orang-orang Free Mason sejak 200 tahun belakangan memang terobsesi untuk pulang ke tanah yang mereka anggap sebagai rumah leluhur  mereka. Mereka bahkan tengah merencanakan  pembangunan kuil Yerusalem ketiga di atas pelataran dimana saat ini tengah berdiri masjid Kubah Batu dan Masjidil Aqsho yang sejak abad 7 telah menjadi bagian penting  kehidupan pemeluk umat Islam di seluruh dunia khususnya penduduk Palestina.

Sesuatu yang tak masuk akal. Orang-orangYahudi rupanya hidup di bawah bayang-bayang masa lalunya. Lalu mau diapakan dan dikemanakan orang-orang yang sejak ribuan tahun hingga  saat ini ada dan hidup di sekitar situs suci tersebut?”, kataku dalam hati heran.

Sekarang aku tahu mengapa banyak pemeluk  Islam yang mempunyai rasa antipati terhadap bangsa Yahudi dan sekutunya. “ Bagaimana mungkin sebuah pemerintah pendudukan bisa seenaknya  menggusur bahkan menghancurkan situs penting keagaamaan pemeluk penduduk setempat ? Ironisnya lagi, rencana tersebut didukung pula oleh sejumlah negara yang mengaku diri sebagai negara demokratis“, pikirku. Jelas, orang-orang ini sengaja mencari perkara dan penyakit.

Seorang kenalan baruku, seorang warga negara Selandia Baru, membisikiku bahwa saat inipun dengan alasan mencari peninggalan nenek moyang mereka, pihak otoritas resmi Yahudi telah membangun beberapa galian dan terowongan sepanjang tembok Barat atau yang dikenal dengan Tembok Ratapan. Terowongan ini dikabarkan bahkan telah mencapai bagian pusat  masjid Al-Aqsho hingga menyebabkan keadaan masjid menjadi rawan. Katanya hal ini memang disengaja. Jadi bila terjadi gempa sedikit saja, masjid tersebut  akan segera ambruk. Ini yang menjadi harapan mereka. Mereka sepenuhnya sadar  bahwa Yerusalem adalah  daerah rawan gempa.  Dengan demikian mereka tidak perlu merasa  dipersalahkan!

Didorong rasa keingin-tahuan yang tinggi, aku berniat sepulangku nanti  aku akan segera mendiskusikan masalah diatas dengan Benyamin dan Karim. Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui tanggapan dan reaksi mereka berdua. Kupikir keduanya bisa mewakili pendapat dan pikiran umum rakyat Palestina sebagai pemilik resmi tanah yang menjadi rebutan itu,   dari sisi ajaran  Nasrani dan ajaran  Islam.

***

Read Full Post »

Older Posts »