Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Novel ‘Seberkas Cahaya Di Palestina’ ( base on true story)’ Category

Orang Yahudi memiliki keyakinan bahwa dengan berdirinya kuil ketiga di atas pelataran Kubah Batu dan Al-Aqsho, yang mereka yakini sebagai  bekas tempat kuil kuno mereka akan mempercepat datangnya Sang Messiah. Sedangkan  umat Nasrani berkeyakinan bahwa  Messiah yang sangat mereka harapkan kedatangannya itu  sebetulnya telah datang ribuan tahun yang lalu, itulah  Yesus Kristus. Ini  adalah kenyataan yang ditolak mentah-mentah pemeluk Yahudi sejak dahulu. Itu sebabnya mengapa  kemudian Yesus disalib “, jelas Benyamin.

Namun demikian tidak semua penganut Yahudi mempunyai keyakinan bahwa berkumpul serta kembalinya umat Yahudi ke tanah leluhur serta pembangunan kuil ketiga akan mempercepat kedatangan Sang Messiah. Kelompok ini malah  berpendapat kebalikannya yaitu Tuhan memang telah mentakdirkan mereka ber-diaspora dan tidak memiliki negara.”, timpal  Karim.

Kelompok Yahudi Ortodoks  yang menamakan dirinya kelompok Yahudi Neturei Karta ini walaupun sama-sama berdarah Yahudi, orientasi perjuangannya berbeda dengan Zionis Israel.  Jika Zionis Israel sangat mengagungkan dan menyucikan Talmud sebaliknya  dengan kelompok Yahudi Ortodoks ini. Mereka menuding bahwa Talmud adalah kitab iblis yang telah ‘mencemari kesucian’ Taurat yang diturunkan Tuhan kepada Musa. Apa yang dilakukan Zionis Yahudi sekarang ini menurut mereka adalah murni politik. Alasan mencari Talmud yang hilang adalah mengada-ada”, lanjutnya lagi.

“  Betul sekali. Sejumlah rabbi tua kenalan kedua orang-tuaku sering mengatakan bahwa mereka, umat Yahudi  sebenarnya  tidak harus berkumpul dan kembali ke kota tua demi mengharap datangnya Sang Messiah”, kata Benyamin membenarkan..

“ Sebenarnya minyak adalah alasan utama Zionis Yahudi datang ke tanah Palestina”, sambungnya lagi penuh semangat. “ Mungkin kau pernah mendengar Trans Pipa Minyak Arab atau yang lebih dikenal dengan nama Tapline. Ini adalah sebuah proyek raksasa yang merupakan impian sejak  tahun 1947. Yaitu proyek pembangunan pipa minyak yang menghubungkan  kota Dammam di Saudi Arabia hingga Sidon di Palestina sepanjang 1214 km. Pengaliran minyak Irak ini rencananya akan disambungkan dari Mosul melalui Suriah dan Jordania dan berakhir di Haifa, Palestina”, lanjutnya.

Wow…sebuah pemikiran cerdas yang sempurna “, seruku sambil bersiul pelan.

Namun rencana tersebut tidak terealisasi dengan mulus. Setelah beberapa kali ditutup karena berbagai sebab dan alasan, dengan pecahnya Perang Teluk pada 1990 proyek tersebutpun  akhirnya sepenuhnya ditutup”, kata Karim melanjutkan penjelasan Benyamin..

“ Yang diberitakan memang begitu. Tapi coba kita pikirkan…sektor penting apa di dunia ini yang bukan milik Yahudi dan konco-konconya? Media, perbankan,  tehnologi, industri, swalayan, perhotelan, perumahan, perfilman, budaya, fashion bahkan ideologi … apa yang mereka tidak punya? dapatkah mereka dipercaya?? Jadi besar kemungkinan berita mengenai Tapline memang sengaja disembunyikan agar  tidak menarik  perhatian dunia… Yang pasti itu memang pernah terjadi. Bayangkan…siapa yang paling diuntungkan bila proyek ini benar-benar berjalan lancar?”, timpal Benyamin sinis..

Setelah hening beberapa saat Benyamin kembali berucap :

Lucunya lagi… bila pada awalnya Yahudi dan Nasrani sering bertikai…lain lagi sekarang ceritanya. Tampaknya sifat licik dan licin sudah menjadi watak yang melekat kuat pada diri orang Yahudi. Demi ambisi besarnya mereka sekarang merangkul kaum Nasrani, maka jadilah apa yang dinamakan Kristen Zionis. Mereka ini bukan pengikut gereja manapun. Melalui kegiatan missionarisnya mereka berusaha menjaring bukan saja umat Nasrani  tapi juga umat Islam yang lemah imannya. Menurut pemikiran ini mereka harus mendukung Yahudi Zionis agar Kuil ketiga segera berdiri. Dengan demikian maka kedatangan Yesus ke 2 akan segera tiba”, ucap  Benyamin.

“  Demi memikat  hati kaum Nasrani mereka juga  berkata bahwa usai mengantar Yahudi Zionis mendirikan Kuil yang ditunggunya, umat Kristen Zionis akan segera dipanggil Yesus untuk memasuki surga. Selanjutnya dari tempat tersebut mereka tinggal menyaksikan pertarungan seru antara Yahudi dan Islam”, tambah Karim sambil tersenyum kecut.

Benar-benar licin otak mereka ya….Namun bagaimana pula menurut pandangan Islam,  Karim?”, tanyaku penuh antusias pada Karim.

“  Islam datang setelah ajaran Yahudi yang dibawa Musa dan ajaran Nasrani yang dibawa Yesus berlalu. Ia datang pada dasarnya dengan misi yang sama yaitu mengagungkan dan meng-Esakan Allah SWT, betul-betul hanya Dia tanpa adanya sekutu. Ia tidak beranak, tidak diperanakkan dan  tidak pula  beristri. Mustahil bagi-Nya disamakan dengan apapun. Juga mengingatkan kembali  akan datangnya hari akhir, yaitu hari Kiamat. Ini adalah prinsip dasar agama samawi:  Islam, Nasrani dan Yahudi. Jadi mustinya tidak ada pertentangan diantara umat ketiga agama tersebut ”, jelas Karim sambil menghela nafas pelan.

Seperti Taurat, kitab Yahudi yang memberitahukan  akan  kedatangan seorang Mesiah, seorang utusan Allah, seorang nabi,  yaitu Isa as atau orang Nasrani menyebutnya Yesus, begitu juga Injil. Kitab umat Nasrani ini memberitahukan akan kedatangan seorang Mesiah di akhir zaman nanti. Injil menyebutnya dengan nama Ahmad. Menurut Al-Quran Ahmad itu adalah Muhammad, nabinya umat Islam yang datang pada tahun 600 an Masehi. Anehnya menurut pengakuan umat Nasrani sendiri, mereka tidak menemukan ayat tersebut.. Artinya ada sesuatu yang hilang disini.. “, Karim meneruskan penjelasannya, kali ini sambil melirik Benyamin seolah menuntut  penjelasannya.

Benyamin menarik nafas panjang sebelum akhirnya berkata  pelan, “ Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku memang tidak pernah melihat keberadaan ayat tersebut. Akupun kadang merasa tidak begitu yakin pada apa yang ada padaku…..”.

“  Maaf Karim, mungkin ini menyakitkan hatimu. Namun aku ingin sebuah kejelasan.  Mengapa umat Islam bisa begitu yakin bahwa Muhammad yang jelas-jelas datang pada abad 7 itu adalah Ahmad, nabi terakhir yang namanya disebut dalam Injil dan yang  dinantikan kedatangannya oleh umat Nasrani di akhir zaman? Adakah bukti kuat  yang menunjukkan hal ini ?”, tanyaku makin penasaran.

Pertanyaan bagus, Mada”, jawab Karim senang. ”Begini…Muhammad memang telah datang 14 abad yang silam.  Namun Al-Quran mengatakan dengan jelas bahwa kami, umat Islam adalah umat akhir zaman. Apa maksudnya ? Maksudnya Al-Quran yang datang pada abad 7 ini adalah kitab yang berisi ajaran yang telah  dipersiapkan secara matang untuk menghadapi segala permasalahan  hingga akhir zaman nanti. Ia akan cocok untuk seluruh manusia apapun warna, ras, bahasa, bangsa dan tingkatan pendidikannya.  Kitab ini dapat dipastikan akan cocok dan sesuai dengan segala macam penemuan yang bakal terjadi hingga akhir zaman nanti. Dan sebagian besarnya memang  telah terbukti. Itu sebabnya mengapa Al-Quran disebut sebagai mukjizat terbesar nabi Muhammad saw ”, kata Karim penuh semangat.

“ Walaupun seperti juga nabi- nabi lain, sebenarnya Muhammadpun diberi kelebihan lain. Diantaranya yaitu keluarnya air dari jemari Rasulullah hingga cukup untuk berwudhu ratusan sahabat pada saat mereka kekurangan air, terbelahnya bulan ketika orang musyirikin menuntut tanda bahwa beliau adalah seorang Rasul. Kemudian juga terbongkarnya rahasia seorang yang bersumpah akan mengupah temannya bila ia berhasil membunuh Rasulullah padahal ketika itu tak seorangpun yang mendengar perjanjian rahasia itu. Dan masih banyak lagi. Namun Allah swt sebagai Sang Maha Pemilik yang mengetahui segala isi hati manusia, Ia telah mentakdirkan  bahwa pada akhir zaman akan banyak bermunculan ahli-ahli sihir. Maka bila mukjizat Muhammad saw sebagai nabi akhir zaman hanya mukjizat yang sifatnya spektakuler sebagaimana mukjizat nabi-nabi sebelumnya tentu akan kurang bermakna dan kurang menghujam di hati.  Sulit bagi orang awam apalagi yang tipis keimanannya untuk membedakan mana sihir mana mukjizat “, Karim berhenti sejenak menghela nafas.

Lain halnya dengan Al-Quran. Cobalah sekali-sekali buka Al-Quran terjemahan. Disitu akan kau dapati bagaimana Allah SWT menerangkan cara penciptaan alam semesta yang ternyata sesuai dengan temuan Sains yang belakangan dikenal dengan istilah “ Big Bang’. Demikian juga penghancuran alam semesta yang di dunia sains dikenal dengan nama “Big Crunch”. Disitu akan kau temui pula bagaimana proses terjadinya hujan, bagaimana langkah penciptaan manusia termasuk tanda-tanda yang sesuai dengan  adanya temuan mutakhir tentang DNA sebagai sifat dasar manusia dan banyak lagi hal-hal yang sebenarnya baru terungkap di akhir abad ini. Seperti sabuk medan magnit “ Van Allen”, gunung-gunung yang berjalan seperti jalannya awan, jalan-jalan di langit, sifat besi dan lain-lain lagi. Padahal Al-Quran telah turun ribuan tahun sebelumnya”, kata Karim lagi sambil menarik kursi dan kemudian mendudukinya.

“ Belum lama ini dengan makin majunya ilmu dan teknologi, seorang ilmuwan muslim bernama Rasyad Khalifah berhasil membuktikan  bahwa Al-Quran ternyata  mempunyai kunci pengaman yang sungguh unik dan canggih  yaitu  angka 19. Kunci ini dinamakan Al-Quran Interlocking System. Angka ini menunjukan jumlah huruf bahasa Arab dalam ucapanBismillahirrohmanirrohim”  yang berarti Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan juga ucapan Laa haula wa laa quwwata illaa billahyang berarti Tiada daya untuk memperoleh manfaat dan upaya untuk menolak kesukaran kecuali dengan bantuan Allah SWT “.

Bagi orang awam, mungkin angka 19 tidak menunjukkan keistimewaan apa-apa. Namun dalam dunia inteligen, angka 19 adalah sebuah angka bilangan prima yang sangat istimewa. Bahkan Pentagon sekalipun dikabarkan memilih salah satu bilangan prima sebagai kunci pengaman sistim komputernya! “, jelas Karim. 

“ Boleh aku tahu contohnya?”, tanyaku penasaran. “Maaf bila aku jadi  menyusahkanmu”, sambungku cepat.

“ Oh tentu saja tidak”, jawab Karim. “ Akan kucoba semampuku. Begini. Masih berdasarkan penelitian Rasyad Khalifah, ternyata jumlah masing-masing kata : Allah, ArRahman dan ArRahim yang merupakan dua sifat utama Allah SWT, yang tertulis di dalam Al-Quran, adalah merupakan angka yang habis dibagi angka 19.  Apa artinya? Artinya orang tidak mungkin sembarangan menambah atau mengurangi kata-kata dalam kitab suci tersebut. Itulah  salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak mungkin dipalsukan”.

“ Betulkah demikian ? “, terdengar Benyamin bertanya dengan nada setengah tidak percaya.

Ya, padahal kitab itu diturunkan jauh sebelum orang mengenal komputer. Bila kau tertarik akan kehebatan Al-Quran secara matematis kau bisa mencari buku mengenai hal tersebut. Kau akan temui banyak hal mencengangkan yang hanya mungkin bisa tejadi karena bantuan komputer. Contoh sederhana. Di dalam Al-Quran terdapat sebuah surat bernama Maryam. Maryam adalah ibu nabi Isa alias Yesus Kristus”, lanjut Karim sabar.

“ Surat ini adalah surat ke 19. Di dalam surat tersebut disebutkan  kata “Adam “ dan “Yesus”. Percaya atau tidak, kedua nama tersebut adalah  untuk yang ke 19 kalinya disebut dalam Al-Quran! Adam pada ayat 34 sementara Yesus pada ayat 58. Perhatikan pula selisih antara 34 dan 58, yaitu 25. Menandakan apakah ini? Setelah diteliti angka 25 adalah jumlah penyebutan baik Adam maupun Yesus didalam Al-Quran secara keseluruhan! Tahukah kau, mengapa 25, Benyamin? “ tanya Karim sambil memandang Benyamin.

Benyamin cepat menggeleng. “ 25 adalah jumlah rasul- Allah. Adam rasul pertama dan Muhammad adalah rasul terakhir”, kali ini terdengar jelas bahwa Karim tidak mampu menyembunyikan kekagumannya.

“ Dan  mengapa harus Adam dan Yesus?”, kali ini tanpa menanti jawaban Karim langsung menjawab pertanyaannya sendiri “ Karena penciptaan Adam dan Yesus hampir sama. Keduanya ada tanpa kehadiran bapak!”.

Woow..!” aku dan Benyamin tanpa sengaja secara bersamaan berdecak kagum.

 “ Itu belum seberapa sobat, masih banyak lagi kejutan lain”, kata Karim lagi.

Setelah hening sejenak kembali Karim meneruskan penjelasannya, “Nabi Muhammad saw dalam hadisnya juga pernah bersabda bahwa jarak hari akhirat dengan masa kehidupan beliau ketika itu seperti jari tengah dan telunjuk. Artinya sudah dekat sekali. Namun bila kenyataannya hingga hari ini saat itu belum juga tiba…. ingatlah bahwa hitungan dunia ini tidak sama dengan hitungan-Nya. Menurut salah satu ayat, satu hari di akhirat  sama dengan seribu tahun di dunia….Bayangkan!,” lanjut Karim lagi.

Aku diam termang-mangu begitu juga Benyamin. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian terdengar Benyamin bertanya :“ Bagaimana pula pendapat Islam mengenai kebangkitan Yesus di akhir zaman nanti. Apakah mereka mempercayai hal tersebut? “.

“ Al-Quran memang tidak pernah  menuliskannya namun hadis ya. Rasulullah pernah  bersabda bahwa salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah datangnya para pendusta besar, mereka adalah para penyihir yang sangat lihai.  Diantara mereka yang terbesar adalah manusia setan Dajjal. Dengan tipuannya yang maha dasyat ia akan mempengaruhi sebagian besar manusia  agar menuhankannya, memalingkan manusia dari penyembahan hanya kepada Allah swt, Tuhan yang sebenarnya”,   jawab Karim sambil memperbaiki duduknya.

Maka pada saat genting seperti itulah, muncul Isa Al-Masih putra Maryam. Nabi Allah inilah yang  akan mengalahkan Dajjal sekaligus menjadi saksi perselisihan yang terjadi diantara ahli kitab. Ia akan menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi sebelum dan sesudah ia diangkat. Menjelaskan apakah benar ia telah disalib, menjelaskan benarkah ia  Tuhan ”, lanjut Karim.

Dengan kata lain berarti bahkan nabimupun sebenarnya mengakui Yesus Kristus  bukan ?“, sahut Benyamin sambil menyipitkan matanya.

Dengar Benyamin, kami, umat Islam seperti juga Rasul kami, Muhammad saw,  diajarkan untuk meyakini seluruh rasul dan nabi yang dikirim-Nya kemuka bumi ini. Adam, Nuh, Yakub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya dan lain-lain adalah para Rasul Allah yang agung dan suci. Begitu pula Yesus atau Isa putra Maryam, kami mengakuinya  sebagai  salah satu Rasul utusan Allah, tidak lebih. Inilah yang menjadi perbedaan yang mencolok antara agamamu dan agamaku”, jelas Karim tajam.

Setelah hening agak lama, akhirnya aku mencoba  mencairkan suasana dengan berkata : “ Tapi  pada dasarnya ketiga agama tersebut adalah benar datangnya dari Sang Pencipta Yang Menciptakan manusia, langit dan bumi. Bukankah demikian ? “.

Baik Benyamin maupun Karim tidak menjawab, mereka hanya  mengangguk-anggukan kepala pelan.  Sebaliknya aku makin merasa yakin bahwa aku telah berada di jalan yang tepat dalam mencari sebuah kebenaran. Diam-diam aku merasa bersyukur melihat kenyataan ini. Tiba-tiba ingatanku melayang kepada ayah ibuku juga tante Rani. Sadarkah mereka bahwa selama ini mereka termasuk aku telah tersesat?

***

Beberapa hari sebelum kepulanganku ke tanah air, aku diajak Benyamin mengunjungi kota Hebron yang terletak di Tepi Barat untuk melihat makam nabi Ibrahim. Sama halnya dengan kota-kota penting lain di Palestina, penjagaan dan pemeriksaan ketat juga diberlakukan untuk memasuki kota dimana makam nabi Ismail, nabi Ishak dan nabi Yakub  ini berada. Ternyata  hanya untuk melakukan ziarah ke makam yang terletak di dalam masjid inipun dilakukan pemeriksaan super ketat. Tidak hanya para perempuan bahkan bayipun harus digeledah!

Makam para nabi Allah ini terletak didalam naungan masjid yang diperkirakan dibangun 1000 tahun silam. Namun fondasi dasarnya kemungkinan telah ada jauh sebelum itu. Masjid ini berdiri di ketinggian 15 m dari permukaan tanah dan dikelilingi dinding raksasa dengan stuktur dasar menyerupai dinding kuno di Haram Al-Syarif.

Sejak lama makam ini menjadi rebutan antara pihak Palestina dan pihak otoritas Israel. Lihat   pagar besi yang melintang persis diatas makam tersebut. Itu adalah makam nabi Ibrahim. Pagar tersebut memisahkan makam menjadi 2 bagian,  1 bagian berada di wilayah Palestina dan  1 bagian lainnya milik Israel”, jelas  Karim.

Pihak Israel tidak akan pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya sekarang ini. Sedikit demi ia terus memperluas daerah jajahannya dan merebutnya dari tangan Palestina. Hebron adalah milik bangsa Palestina namun lihatlah, pemerintah Israel saat ini terus membangun perumahan Yahudi di sela-sela perkampungan Palestina. Rakyat  Palestina tidak mampu melawan kediktatoran mereka. Yang lebih mengesalkan lagi, pemukiman Yahudi itu dibangun  di atas perbukitan diatas perkampungan kumuh Palestina.  Kemudian dengan sengaja dan secara provokatif para penghuni di atas bukit sering melempar barang-barang tak berguna mereka ke arah perkampungan di bawahnya! Benar-benar keterlaluan…”, kata Benyamin menggeram.

***

Read Full Post »

Beberapa hari sebelum kepulanganku ke tanah air, aku diajak Benyamin mengunjungi kota Hebron yang terletak di Tepi Barat, untuk melihat makam nabi Ibrahim. Sama halnya dengan kota-kota penting lain di Palestina, penjagaan dan pemeriksaan ketat juga diberlakukan untuk memasuki kota dimana makam nabi Ismail, nabi Ishak dan nabi Yakub  ini berada. Ternyata  hanya untuk melakukan ziarah ke makam yang terletak di dalam masjid inipun dilakukan pemeriksaan super ketat. Tidak hanya para perempuan bahkan bayipun harus digeledah!

Makam para nabi Allah ini terletak didalam naungan masjid yang diperkirakan dibangun 1000 tahun silam. Namun fondasi dasarnya kemungkinan telah ada jauh sebelum itu. Masjid ini berdiri di ketinggian 15 m dari permukaan tanah dan dikelilingi dinding raksasa dengan stuktur dasar menyerupai dinding kuno di Haram Al-Syarif.

Sejak lama makam ini menjadi rebutan antara pihak Palestina dan pihak otoritas Israel. Lihat   pagar besi yang melintang persis diatas makam tersebut. Itu adalah makam nabi Ibrahim. Pagar tersebut memisahkan makam menjadi 2 bagian,  1 bagian berada di wilayah Palestina dan  1 bagian lainnya milik Israel”, jelas  Karim.

Pihak Israel tidak akan pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya sekarang ini. Sedikit demi ia terus memperluas daerah jajahannya dan merebutnya dari tangan Palestina. Hebron adalah milik bangsa Palestina namun lihatlah, pemerintah Israel saat ini terus membangun perumahan Yahudi di sela-sela perkampungan Palestina. Rakyat  Palestina tidak mampu melawan kediktatoran mereka. Yang lebih mengesalkan lagi, pemukiman Yahudi itu dibangun  di atas perbukitan diatas perkampungan kumuh Palestina.  Kemudian dengan sengaja dan secara provokatif para penghuni di atas bukit sering melempar barang-barang tak berguna mereka ke arah perkampungan di bawahnya! Benar-benar keterlaluan…”, kata Benyamin geram.

***

Suatu hari, usai mengikuti kunjungan  ke beberapa tempat penting dan terkenal seperti gedung Parlemen dan lain-lain bersama rombongan, Benyamin tidak terlihat di tempat biasa ia menantikanku selama ini. Ini adalah hari terakhirku di Yerusalem.” Benyamin ada kuliah  tambahan hari ini hingga sore hari. Tadi ia lupa mengatakan padamu”, jelas Karim.

Siang itu Karim mengajakku  berkunjung  ke masjid  Salman Al Farisy. ” Siang ini aku kedatangan rombongan tamu dari Perancis. Mereka baru pulang dari menunaikan umrah di Mekkah. Pemandu  yang mustinya bertugas mengantar mereka kebetulan sedang sakit. Ia memintaku agar menggantikannya mengantar tamu-tamu tersebut mengunjungi makam Salman Al-Farisy, seorang tokoh legendaris sekaligus  pejuang Islam kenamaan”, terang Karim. ” Bila kau mau, kau bisa ikut bergabung”, ajaknya.

Maka tak sampai satu jam kemudian akupun sudah berada diantara sekitar 20-an tamu Perancis dengan Karim sebagai pemandunya. Makam Salman Al-Farisy berada di dalam masjid yang  sama dengan namanya. Masjid yang tidak tampak istimewa ini berada diatas sebuah bukit di pinggir sebuah jalan yang menanjak diantara pemukiman penduduk.

Salman adalah seorang pemuda Persia berusia belasan tahun. Dulunya ia tinggal di sebuah desa bernama Jayy, Isfahan di  Persia. Keluarganya adalah penganut agama Majusi, penyembah api. Salman muda sejak remaja telah ditugasi ayahnya untuk menjaga nyala api sesembahan agar tidak sampai padam. Suatu hari karena bosan, tanpa sepengetahuan ayahnya, ia meninggalkan tugasnya dan berjalan-jalan. Di jalan ia melewati sebuah gereja dimana orang-orang didalamnya sedang beribadah. Salman merasa bahwa agama ini lebih baik dari agama nenek moyangnya. Ia kemudian memutuskan untuk berganti agama.”, jelas Karim dalam  Inggris  kepada tamu-tamu Perancisnya.

Namun begitu ayahnya mengetahui hal tersebut, ia marah besar dan mengurung Salman dalam kamarnya. Salman tidak putus asa. Beberapa hari kemudian dengan bantuan teman-teman baru Nasraninya, Salman berhasil melarikan diri. Selanjutnya selama beberapa tahun Salman taat mengikuti ajaran baru tersebut hingga ajal mendekati uskup gerejanya. Berkat kasih sayangnya, sang uskup berkata bahwa ia telah menitipkan Salman ke uskup lain yang dipercayanya. Ia  berpesan : ” Salman, berhati-hatilah dalam menuntut ilmu. Sekarang ini banyak pemimpin agama yang tidak menyampaikan  ajarannya dengan benar. Maka teruslah memohon kepada Allah agar jangan disesatkan.”, Salmanpun mentaatinya dan ia mengikuti uskup yang telah ditunjuk uskup yang shaleh tersebut”, Karim berhenti sejenak.

Dalam keadaan hening itulah  tiba-tiba aku mendengar bisik-bisik di sebelahku. Aku baru menyadari rupanya ada beberapa tamu yang kurang memahami apa yang dikatakan Karim. Perlahan aku segera mendekati beberapa  tamu yang berbisik-bisik tersebut dan  berkata pelan :  “ Voulez-vous  que je traduise l’explication , mesdames  messieurs ? «  tanyaku sopan menawarkan apakah mereka mau aku menterjemahkan apa yang dikatakan Karim. Ternyata dengan senang hati mereka menerima tawaranku itu. Karimpun  rupanya menyadari hal tersebut. Ia memberi isyarat bahwa ia menyetujuinya. Kemudian ia meneruskan penjelasannya dengan lebih lambat memberiku kesempatan untuk  menterjemahkannya.

Namun hal itu tidak berlangsung lama karena tak lama kemudian uskup kepercayaan itupun juga meninggal dunia. Maka Salmanpun mulai mengembara mencari uskup yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan uskup lamanya. Beberapa kali Salman bertemu dengan uskup namun didapatinya uskup tersebut mengajarkan hal yang tidak sesuai dengan ajaran yang telah diterimanya. Hingga suatu hari ia tiba di sebuah kota di Arabia. Belakangan ia baru tahu bahwa kota tersebut bernama Yathrib yang dikemudian hari diganti menjadi Madinah. Di tempat ini ia dizalimi seseorang yang pada akhirnya mengakibatkan ia dijual dan dijadikan budak seorang Yahudi”, Karim berhenti sejenak memberi kesempatan tamu-tamunya mengambil gambar keranda anak muda tersebut.

Baru  beberapa hari tinggal di rumah orang Yahudi tersebut, Salman mendengar berita bahwa ada seorang nabi baru muncul. Ia dikejar-kejar dan dimusuhi kaum dan kerabatnya sendiri. Namun justru di kota Yathrib ini ia diterima. Salman merasa penasaran dengan berita tersebut. Ia teringat kata-kata uskupnya bahwa kitabnya telah memberitahukan kedatangan nabi baru tersebut. Ia juga teringat akan pesan dan ciri-ciri utusan Allah yang tertulis dalam kitabnya”, lanjut Karim.

Selanjutnya  Salmanpun berusaha menemui nabi baru tersebut. Ia ingin mencocokkannya dengan ciri-ciri yang diketahuinya. Dan setelah akhirnya ia benar-benar yakin bahwa memang dialah nabi yang dimaksud dalam kitab yang diajarkan uskup gerejanya waktu itu, tanpa sedikitpun keraguan Salmanpun segera mengikrarkan diri menjadi pengikut dan pemeluk nabi baru tersebut. Itulah Islam”, kata Karim menutup penjelasannya.

Mr. Karim, apakah Salman yang anda ceritakan ini sama dengan Salman, sahabat Rasulullah Muhammad saw  yang memberikan usulan dibangunnya parit dalam perang Ahzab?”, tanya  seorang jamaah di depanku  dengan bahasa Inggris beraksen Perancis yang terbata-bata.

Anda benar sekali. Salman inilah yang memberikan usulan tersebut. Ketika itu banyak sahabat yang tidak begitu mempercayainya bahkan beberapa mempertanyakan mengapa Rasulullah mau mempercayai dan mau menerima usulan  yang datang dari seorang non Arab”, jawab Karim

Padahal itulah salah satu kehebatan Islam. Islam tidak pernah membeda-bedakan bangsa, warna kulit maupun ras seseorang. Islam adalah rahmatan lilalamin”, sahut seorang peranakan Arab-bule disampingku.

Betul. Rasulullah dalam hadisnya pernah bersabda ambillah segala yang baik walaupun datangnya dari orang Yahudi sekalipun, sebaliknya buanglah sesuatu yang buruk sekalipun datangnya dari sesama Muslim,” sambung Karim lagi.

Aku hanya termangu-mangu mendengar semua percakapan tersebut. Aku merasa semakin takjub terhadap ajaran agama ini. Sebaliknya jauh di dalam hatiku, aku merasa  dikucilkan dan ditinggalkan. Bagaimana mungkin aku yang sejak kecil bahkan lahir di negri yang mayoritas Muslim bisa tidak mengenal agama ini. Sebaliknya bule-bule Perancis yang hidup di lingkungan  non Muslim bisa lebih dahulu mengetahui ajaran Islam. Aku pikir orang-orang yang terlebih dahulu beruntung mengetahui sebuah kebenaran seharusnya bertanggung-jawab memberitahukan apa yang telah didapatnya itu kepada yang belum menemukannya. Namun demikian kisah Salman Al-Farisy yang baru saja diceritakan Karim membuatku malu. ” Salahku sendiri.. mengapa aku tidak mencari tahu ”, kataku dalam hati.

Tak berapa lama kemudian, rombongan melanjutkan perjalanan menelusuri situs peninggalan lain. Pukul 18.25 ketika terdengar azan Magrib, rombongan segera meninggalkan masjid Umar yang terletak di lorong diantara pemukiman yang padat penduduk itu. Aku perhatikan ada sebagian yang mengambil wudhu di masjid tersebut. Kemudian setengah berlari mereka pergi menuju Masjidil Aqsho yang terletak agak jauh dari masjid Umar ini.

Shalat di dalam Masjid Al-Aqsho lebih besar keutamaannya. Ganjarannya adalah 500 kali lipat shalat di masjid biasa ”, begitu Karim memberi alasan ketika aku bertanya mengapa mereka tidak shalat di masjid terdekat saja.

Pahala bagi orang yang melaksanakan shalat didalam masjid dalam rangka mencari ridho-Nya padahal ia sedang sibuk melaksanakan jual beli atau sedang sibuk dengan urusan dunianya adalah rezeki yang tak terbatas ”, tambah Karim lagi menjawab pertanyaanku mengapa seorang Muslim harus shalat di masjid tidak di rumah saja..

Selesai mengerjakan shalat, rombongan berpisah. Karim mengajakku untuk mampir ke rumah orang-tuanya yang  katanya tidak terlalu jauh dari situ. Kamipun kembali menelusuri lorong gelap kota tua Yerusalem. Dibawah cahaya lampu yang sangat minim, aku dapat menyaksikan betapa keadaan di kompleks pemukiman Muslim ini sungguh jauh berbeda dengan  keadaan rumah Benyamin di Yerusalem Barat.

Semenjak pendudukan Zionis Israel 60 tahun lalu, keadaan kaum Muslimin makin terpuruk. Jangankan untuk keluar mencari kerja bahkan untuk sekedar keluar masuk kota saja sulit.  Pemerintahan Israel sengaja  membangun tembok pembatas sekeliling  kota untuk memisahkan dan menjauhkan warga Palestina  dari kehidupan. Profesi sebagai guide adalah profesi  yang paling mudah untuk melewati tembok pembatas. Itupun harus diperpanjang tiap3 bulan untuk mendapat izin ”, terang Karim.

” Mereka ingin membunuh kami secara perlahan. Ini terbukti dengan tidak adanya  perhatian pemerintah atas pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan pemukiman kami yang makin lama makin sesak dan  kumuh. Bayangkan, dalam sebuah keluarga dengan 6 orang anak, kami harus berdesakan tinggal dalam 1 rumah sempit  dengan 1 kamar tidur”, tambahnya.

” Kami benar-benar terkurung di dalam kota lama tanpa pendapatan sepeserpun. Tidak ada transaksi jual beli kecuali antar warga sendiri. Bahkan pasokan listrik dan airpun mereka batasi dan awasi dengan amat ketat. Bayangkan bila musin dingin tiba….  Ini terjadi di semua pelosok Palestina”, katanya berang .

Aku hanya diam membisu. Aku saksikan sendiri di sepanjang lorong temaram ini memang banyak berjejer toko kelontong yang menjajakan barang-barang sederhana kebutuhan sehari-hari. Barang-barang tersebut tidak istimewa dan tidak menarik. Padahal banyak tamu dari mancanegara yang mengunjungi tempat tersebut. Mustinya ini bisa menjadi pendapatan mereka. Namun mereka  tidak memiliki modal dan memang sengaja tidak dimodali untuk mengembangkan usaha mereka. Disamping itu kelihatannya turis memang tidak dianjurkan membelanjakan uangnya di tempat mereka. Ini adalah sebuah pembunuhan terselubung kalau tidak mau dikatakan sebuah genocide terhadap ras Arab Palestina, kataku dalam hati, miris.

Kami terus menaiki dan menuruni jalan setapak  lorong-lorong panjang temaram yang  berkelak-kelok  tersebut hingga akhirnya kami tiba di tempat yang dituju. Berdiri di sebuah pintu yang sedikit terbuka, sejenak aku  tertegun. Yang dimaksud oleh Karim sebagai rumah kedua-orang tuanya ternyata hanyalah sebuah ruang gelap yang diberi penyekat untuk membedakan antara ruang tidur, ruang tamu serta dapur.

Assalamu’alaikum, yaa ummi yaa abi”, sapa Karim sambil mengetuk pintu dan perlahan mendorong daun pintu yang nyaris lepas dari engselnya tersebut.

Waalaikum salam”, terdengar jawaban dari dalam. Bersamaan dengan itu muncul seorang perempuan bertubuh gemuk dengan kepala dibalut penutup kepala berwarna kusam. Walau wajah itu terlihat lelah dan renta namun dapat kurasakan matanya yang  memantulkan sinar keteduhan .

Perkenalkan ini ibuku dan ini tamu Indonesiaku yang tempo hari kuceritakan padamu, umi. Namanya Mada”, kata Karim memperkenalkan diriku.

Tak lama kemudian Karimpun terlibat percakapan akrab dengan ibunya. Aku tak memahami apa yang mereka bicarakan karena mereka berbahasa Arab. Sebelumnya Karim telah meminta maaf karena ibunya tidak bisa berbahasa selain bahasanya sendiri. Sementara itu aku hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan betapa memprihatinkannya kehidupan mereka. Sungguh mati aku tidak pernah mengira ada kehidupan seperti ini di abad 20. Tidak ada listrik, tidak ada perabotan. Yang terlihat hanya lampu minyak yang menempel di dinding. Di ujung sebelah kananku  aku lihat sebuah sudut yang lebih bersih. Ditempat itu aku lihat sebuah sajadah sederhana terbentang.

Beberapa menit kemudian, setelah Karim mencium  tangan kanan ibunya, kamipun berpamitan. Kami berdua kembali menelusuri lorong-lorong gelap di balik tembok tua untuk keluar menuju rumah Benyamin yang sekarang dalam bayanganku terasa seperti surga saking besar dan mewahnya. Sayup-sayup dari  kejauhan kudengar suara ayat-ayat Al-Quran berkumandang. Alunan suaranya terdengar begitu menyentuh di hati. Aku  merasa seakan ada sesuatu yang menyapa dan memanggilku. Sementara itu dari arah gereja Makam Kudus yang berada sekitar 300 an meter dariku terdengar suara lonceng berbunyi 8 kali.

Tak lama kemudian terdengar pula suara azan bersahut-sahutan. ” Waktu shalat Isya”, gumam Karim. ” Kalau kau tak keberatan kau bisa menunggu di kedai kopi Yahudi di seberang kiri sana. Aku segera akan menjemputmu begitu aku menyelesaikan shalat”, kata Karim.” Sebenarnya di samping masjid di sebelah sanapun ada juga sebuah kedai kopi. Tapi kedai itu milik orang Muslim. Jadi selama pemiliknya shalat pasti akan tutup”, lanjut Karim melihat aku agak ragu menerima usulannya. Karena tidak ada pilihan akhirnya aku memutuskan menunggu  di kedai Yahudi yang diusulkannya tersebut. Ada perasaan menyesal mengapa aku tidak ikut Karim saja  shalat di dalam masjid….

***

Read Full Post »

Malam itu aku tidak dapat memejamkan mata barang sedikitpun. Besok  pukul 4 sore, aku sudah harus meninggalkan kota yang banyak meninggalkan kenangan tersebut. Pesawat yang akan menbawaku pulang ke tanah air menurut jadwal akan terbang pukul 9 malam langsung menuju Jakarta. Namun semalaman aku hanya dapat membalik-balikkan tubuhku ke kiri dan ke kanan. Aku berusaha memejamkan mata namun pikiranku terus mengembara. Aku merasakan  adanya  beban berat yang menekan dadaku dengan kuat . ” Aku harus mengambil keputusan…sekarang atau tidak sama sekali ”, pikirku menahan kantuk.

( Taman itu begitu luas dan indah. Kesejukkan dan keasriannya masih ditambah lagi dengan kehadiran air mancur dengan kolam-kolamnya dimana berbagai jenis ikannya yang berwarna-warni  berenang kian kemari. Didepan sana aku melihat beberapa gerbang megah berwarna kehijauan. Aku berjalan mendekati gerbang termegah dan terbesar yang kuyakin pasti terdapat kedamaian di dalam sana. Diatas gerbang  kuperhatikan terdapat tulisan indah berukir  ” Laa illaha Illa Allah wa ashadu anna Muhammad Rasulullah”.

Namun ketika aku hampir mencapai gerbang  dan tengah berusaha mendorongnya  tiba-tiba secara perlahan gerbang  terbuka dengan sendirinya. Bersamaan dengan itu muncul pula seberkas cahaya yang sangat menyilaukan mata. Aku tak sanggup menjangkau bahkan memandang gerbang yang kelihatannya   begitu dekat itu. Padahal aku yakin gerbang tersebut telah terbuka begitu  lebar. Aku terpaksa mundur  beberapa langkah sambil memalingkan wajah. Selanjutnya aku berusaha menuju ke gerbang lain yang tak jauh dari gerbang pertama. Namun ketika aku hampir mencapainya kembali terjadi kejadian  seperti  sebelumnya.

Terpaksa akupun membatalkan keinginanku. Kini aku melayangkan pandanganku pada gerbang di sebelahnya  lagi. Dengan setengah berlari aku menuju gerbang tersebut  berharap  kali ini aku akan berhasil memasukinya. Namun hasilnya sama, aku selalu terhalang oleh  cahaya misterius itu. Keringatku mulai bermunculan. Aku tidak ingin menyerah. Aku terus berlari dan berlari  menuju  gerbang satu  ke gerbang yang lain. Ternyata gerbang tersebut ada 8 jumlahnya. Namun dari kedelapan gerbang tersebut tak satupun yang berhasil aku lalui.

Aku menjadi frustasi. Muncul bayangan kegelapan. Perlahan ia menghampiri. Semakin lama semakin cepat. Ia  menerpaku seolah ingin menyedot dan melumatku dalam-dalam. Aku benar-benar diselimuti ketakutan yang amat sangat. Akupun segera berlari sambil berteriak histeris meminta tolong… )

Tiba-tiba aku terbangun dan terduduk kaku.. ” Oh mimpi..., syukurlah ” bisikku  bergidik ngeri. Kerongkonganku benar-benar tersekat. Aku melirik jam yang tergantung di dinding kamarku.  ” Baru pukul 12.30”, pikirku.. Aku termenung sejenak sambil sekali-sekali menyeka keringat dingin sebesar biji-biji jagung yang terus menetes dari tubuhku.  Aku mencoba untuk menetralkan nafasku yang tersengal-sengal.  Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba menghubungi telpon selular Karim melalui telpon selularku. Setelah beberapa kali gagal akhirnya aku mendengar suara Karim yang terdengar setengah mengantuk di ujung sana.

Maaf mengganggumu Karim ”, kataku setengah menyesal.  ”Ada apa ”, jawab Karim terdengar agak kesal.” Aku ingin memeluk  Islam ”, kataku mantap. Sesaat hening. Aku tak tahu bagaimana reaksi Karim namun aku tak peduli. ”Karim… kau dengar aku? ”,   ucapku setengah berteriak.

Allahu Akbar … ya yaa … aku dengar Mada. Sudah kuterka beberapa hari ini ….”, sahut Karim setelah beberapa detik berlalu. ”  Namun apa yang kau harap dapat aku lakukan di tengah malam ini ?”, tanya Karim. ” Tak dapatkah kau menunggu hingga esok hari ?”, lanjutnya. ” Aku… aku takut terlambat … tak mungkinkah kau mengantarku malam ini juga memasuki Masjidil Aqsho’ untuk berikrar ?”, tanyaku penuh harap.

Gila kau… Ini Yerusalem..lupakah kau bahwa ini kota pendudukan dimana jam malam berlaku ketat? ”, jawab Karim. ” Aku janji esok pagi akan mengantarmu .. jam 10 ”, katanya  memastikan. ” Tak dapatkah lebih pagi lagi ”tanyaku mencoba menawar.

Itu adalah jam terpagi yang bisa aku tawarkan… Bahkan bisa jadi mereka membuka gerbang Aqsho’ lebih siang lagi…sabar dan shalatlah semampumu..Lakukan seperti yang pernah kau lakukan tempo hari bersamaku … InsyaAllah Allah  akan menenangkan hatimu..Aku turut bersyukur atas hidayah yang diberikan kepadamu Mada ”, kata Karim mengakhiri percakapan.

***

Pukul 7 esok paginya, aku sudah terbangun dalam keadaan segar. Aku bersyukur mau mengikuti saran Karim malam tadi. Setelah melakukan shalat semampuku aku segera tertidur pulas. Pukul 10 kurang sedikit  aku sudah berada di dalam masjid Al-Aqsho. Aku telah memberitahukan niatku itu kepada keluarga Benyamin ketika kami sedang sarapan. Di luar dugaanku mereka tampak ikut senang melihat kebahagiaanku.

”Setidaknya kau telah berada dilingkup agama samawi, Mada”, sambut ibu Benyamin. ” Ya, apa yang dikatakan ibuku benar ”, sambung Benyamin. ” Aku yakin, sesungguhnya Islam, Nasrani dan Yahudi adalah tiga agama yang berasal dari sumber yang sama. Yang hingga kini aku tidak mengerti mengapa sebagian orang harus saling membenci gara-gara berbeda keyakinan. Pasti ada yang sesuatu yang tidak beres. Aku harap suatu saat kelak engkau dapat memberikan jawaban yang memuaskanku”,  kata Benyamin serius.

Kau adalah orang luar dan kau pasti masih bersih dari pengaruh lingkungan. Pasti kau tidak akan berpihak dengan  sembarangan. Berjanjilah pada kami bahwa kau akan segera memberitahu kami begitu kau menemukan jawaban yang meyakinkan ”, pinta ibu Benyamin tak kalah seriusnya dengan Benyamin. ” Ya, aku janji. Doakan semoga aku mampu memecahkan tabir misteri itu”, jawabku tidak begitu yakin.  Sementara aku perhatikan ayah Benyamin hanya diam memperhatikan percakapan kami. Benyamin memang pernah bercerita bahwa sejak pecah perang tahun 1967 ayahnya jadi berubah  tidak begitu peduli terhadap urusan agama walaupun tidak sampai menjadi atheis.

Prosesi ikrar yang kujalani ternyata cukup singkat dan sederhana. Mula-mula aku disuruh berwudhu sebelum memasuki masjid. Karim yang membimbingiku. Sambil menunggu kedatangan imam besar masjid, Syeikh Muhammad Husein, Karim mengajariku beberapa hal penting mengenai shalat, seperti persyaratan sebelum shalat, apa yang membatalkannya, berapa kali sehari harus shalat dan lain-lain. Aku mencatat apa yang diterangkannya kedalam sebuah buku kecil.

Shalat adalah tiang agama. Ini yang pertama kali harus kau pelajari. Shalat adalah hubungan langsung dengan Tuhan,  Allah swt. Keluarkan segala masalah  yang ada dalam hatimu dan mohonlah bantuannya. Ialah yang menciptakanmu maka Ia tahu pula apa yang baik bagimu. Berbaik sangkalah pada-Nya karena Ia akan mengikuti persangkaanmu itu”, jelas Karim.

Beberapa saat kemudian imam yang ditunggupun datang. Dengan disaksikan sejumlah jamaah yang kebetulan  hadir di dalam masjid ketiga tersuci tersebut, akupun berikrar dengan mengikuti kata-kata sang Imam bahwa ” Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya”. Hanya itu. Setelah itu Syeikh Husein dan Karimpun diikuti para  saksi menyalamiku dengan penuh rasa persaudaraan. Seperti kebiasaan orang Arab lainnya, mereka mencium pipiku tiga kali.  Masing-masing memberi nasehat atau mungkin doa karena mereka berbahasa Arab yang tentu saja tidak kumengerti. Namun tetap saja terharu aku dibuatnya.

Kau kini bagian dari Islam dan seluruh umat Islam dimanapun berada adalah bersaudara. Dengan saling mengingatkan dan saling menasehati dalam hal kebaikan berarti kita telah menegakkan kebesaran Allah ”, nasehat Syeikh.

Saudara-saudaraku seiman, saksikanlah bahwa hari ini saudara kita Mada telah menerima hidayah-Nya. Mada adalah orang yang beruntung. Ia adalah satu dari setengah bagian hamba yang mulanya  tidak mengakui-Nya namun kemudian ditakdirkan menjadi satu dari 2/3 hamba tersebut yang terpilih untuk bersujud hanya kepada-Nya ”, demikian khutbah sambutan yang diberikan Syeikh di depan jamaah. ” Namun ingat, hadis yang ditujukan kepada kita sebagai setengah bagian seluruh hamba  yang mulanya bersujud hanya kepada-Nya ini berkata bahwa pada akhirnya, ada 1/3 bagian darinya yang ditakdirkan akan murtad. Naudzubillah min dzalik…Semoga kita bukan satu diantaranya”, sambungnya lagi.

Untuk itu, janganlah kita terbuai. Teruslah memperbarui dan memperdalam keimanan dan pengetahuan kita . Khusus untuk Mada, bila ingin menjadi Muslim yang baik, banyak yang harus kau pelajari. Begitu sampai di negrimu, carilah seorang imam atau uztad yang benar-benar mengerti ilmu agama Islam, yang menguasai dalil-dalil yang tercantum dalam Al-Quran dan hadis. Ingatlah, sekarang ini banyak orang merasa dirinya pintar dan merasa telah menguasai agama dengan baik padahal ia adalah sesat. Jangan berjalan sendiri, bergabunglah dalam  jamaah, semoga engkau selalu dalam lindungan-Nya, amin. Yang terakhir tolong sampaikan pesanku mewakili seluruh umat Islam Palestina kepada saudara-saudara kami seiman di negrimu, bantulah kami mempertahankan masjid ke tiga tersuci ini dari serangan Zionis Yahudi ”, ujar sang imam menutup khutbah singkatnya.

***

Tepat pukul 4 sore, aku telah berada di kendaraan menuju Amman, Yordania. Karim berada di belakang kemudi, Benyamin duduk disebelahnya sementara aku duduk diam di kursi di belakang mereka. Kedua tanganku  mendekap erat Al-Quran dengan terjemahan bahasa Inggris yang tadi pagi diberikan kepadaku oleh seorang mualaf Jerman yang kebetulan ikut menyaksikan ikrarku di dalam masjid. ” Sekarang kitab ini telah menjadi  kitab suciku”, bisikku dalam hati. Pikiranku melayang kemana-mana sementara mataku memandang ke luar jendela menatap kota tua, The Old Yerusalem yang telah memberiku cahaya kebenaran. Aku terus menatap ujung kubah emas, kubah Al-Aqsho dan pelatarannya  hingga akhirnya benar-benar lenyap dari pandanganku.

Selamat jalan, Mada. Jangan lupa beri kabar setibamu di Jakarta”, kata Benyamin dengan suara agak tersekat. ” Walaupun hanya tiga minggu namun aku merasa akan sangat kehilangan dirimu ”, lanjutnya.

Aku segera merangkulnya. ” Akupun merasa demikian, Benyamin. Aku sangat berterima-kasih atas kesediaanmu dan keluargamu menampung diriku selama berada di Yerusalem”, sahutku. ” Aku janji akan terus menjaga persahabatan kita.. sampaikan juga salamku untuk kedua orang-tuamu. Katakan juga maafkan aku bila selama berada di rumahmu aku telah membuat kalian repot dan bahkan mungkin menyakiti hati kalian ”, kataku tulus.

Selanjutnya aku merangkul Karim erat. Ia menepuk-nepuk bahuku pelan. ” Terima-kasih, Karim. Melalui perantaraanmulah aku terbebas dari kesesatan. Doakan aku semoga aku dapat menjadi Muslim yang baik”, kataku penuh haru.

Alhamdulillah, Allah bless you. You are my brother now, Mada”, jawab Karim. ” Jangan lupa pesanku dan juga   khutbah Syeikh Husein tadi pagi, segera cari seseorang yang dapat membimbingmu ”, lanjutnya.

***

Read Full Post »

Lega rasanya tiba di rumah kembali, kembali ke kehidupan normal. Keadaan rumah masih tidak berubah. Ibu dengan kesibukan kantornya, ayah dengan bisnisnya dan tante Rani dengan piano dan ritualnya. Kangen rasanya aku  dengan teman-teman kuliahku terutama Lukman. Aku ingin segera berbagi cerita dengannya. Pasti ia terkejut kegirangan mengetahui ke-Islamanku. Aku tahu sebenarnya sudah sejak lama  ia ingin agar aku memikirkan baik-baik ajaranku yang dianggapnya tidak cocok untuk orang-orang yang dapat berpikir normal sepertiku. Namun ternyata ia baru saja berangkat ke kampungnya di Lahat, Sumatra Selatan dalam rangka menyambut Ramadhan yang tinggal sepuluh hari itu. Dua tahun belakangan ini ia memang terbiasa melakukan hal tersebut. Kebetulan kampus memang  libur selama 10 hari.

Untuk menghindari kemacetan luar biasa menjelang Lebaran ”, begitu kilahnya ketika kutanyakan mengapa ia tidak pulang di hari Lebaran saja sebagaimana umumnya dilakukan orang-orang. ” Sebenarnya hanya orang Indonesia saja lho yang mewajibkan diri pulang kampung di hari Lebaran. Bagus-bagus aja sih untuk menjaga silaturahmi. Tapi aku tak tahan macetnya itu lho…” , jelasnya lagi.

Jadi selama 10 hari itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah, tidak kembali kekosan dulu. Kesempatan itu aku pergunakan untuk bolak balik ke toko buku mencari buku-buku untuk memperdalam ilmuku tentang Islam. Hingga suatu hari, sepulangku dari sebuah toko buku, aku mampir ke masjid karena aku dengar azan telah dikumandangkan. Selama aku menunggu shalat, ada seseorang yang menghampiriku dan memperkenalkan namanya sebagai Nasir. Ia mengajakku mengobrol kesana kemari. Setelah mengetahui bahwa aku adalah seorang mualaf segera selesai shalat ia mengajakku ke suatu tempat dimana aku bisa berkonsultasi mengenai Islam. Tentu saja aku senang dibuatnya.

Namun setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Lelaki setengah baya yang selalu berpeci ini sering mengajakku mangkir shalat. ” Perintah shalat baru datang setelah kita hijrah ”, begitu alasannya. ” Tugas kita yang utama saat ini adalah  membentuk negara Islam dengan sistim hukum Islam pula. Contohnya adalah negara Madinah yang dibentuk Rasulullah. Kita harus hijrah karena tempat ini sudah tidak memenuhi persyaratan Islam. Kemungkaran seperti korupsi dan perzinahan meraja- lela. Ini adalah bagian dari jihad. Itu sebabnya kita harus mencari dana yang tidak sedikit, ” jelasnya lagi.

Untuk yang kesekian kalinya dalam seminggu, aku kembali menyerahkan sejumlah uang kepadanya. ” Kau tak usah khawatir.. uang yang kau berikan kepada kami akan dicatat di akhirat  sebagai amal ibadah yang tak terhitung pahalanya ”, kata salah seorang seorang teman Nasir  yang mengaku sebagai bendahara Negara Islam Indonesia yang mereka bentuk  beberapa tahun yang lalu itu.

Mulanya walau dengan berat hati aku masih bisa menerima alasan-alasan mereka. Tetapi ketika mereka mulai memaksaku untuk mengambil paksa harta kekayaan orang-tuaku, aku mulai ragu.” Harta kekayaan yang kita miliki hanyalah titipan Allah. Jadi kalau suatu saat Ia menghendaki, harus kita ambil walaupun secara paksa. Ini semua demi terbentuknya  negara Islam yang dikehendaki-Nya”. Yang lebih lagi membuatku pusing adalah kenyataan bahwa aku tidak hanya dilarang mengerjakan shalat namuh juga puasa serta  berhubungan dengan orang-orang yang kukenal. Padahal bulan Ramadhan telah tiba. Aku sangat mengharapkan bulan ini akan menjadi bulan pertamaku menjalankan salah satu kewajibanku sebagai seorang Muslim.

Maka dengan nekat, aku menghubungi Lukman secara diam-diam. Beruntung ia telah kembali dari kampungnya. Aku ceritakan semua kepadanya. Ia tampak sangat terkejut. ” Itu adalah aliran sesat. Bagus kau segera menghubungiku. Kau harus segera menghindar dari mereka. Namun berhati-hatilah…mereka sangat berbahaya. Tak mungkin kau dibiarkan begitu saja membocorkan rencana keji mereka ”, katanya khawatir.

Malam itu aku tak dapat memejamkan mata sedikitpun. Hatiku gelisah. Aku merasa menyesal  mengapa aku begitu mudah percaya kepada orang yang sama sekali tak kukenal. Aku merasa telah mengecewakan Karim dan Syeikh Husein yang berkali-kali mengingatkanku untuk segera mencari orang yang menguasai Islam dengan baik. Aku juga telah mengecewakan   orang-orang yang telah menjadi saksi ketika aku berikrar di Al-Aqsho tempo hari. Lebih dari itu aku bahkan telah menyia-nyiakan hidayah-Nya kepadaku.

Aku tersungkur, menangis tersedu-sedan diatas sajadah yang terbentang di hadapanku. Aku bertobat, memohon ampunan dan petunjuk untuk keluar dari masalah ini. Aku tak tahu pukul berapa tepatnya aku jatuh tertidur di atas sajadah tersebut  ketika tahu-tahu aku terbangun mendengar azan subuh dikumandangkan. Aku segera masuk kamar mandi, mencuci muka, berwudhu dan segera shalat.

Ketika itulah tiba-tiba aku mendengar ada yang menggedor pintu kamarku. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi,  tahu-tahu ayahku telah berdiri dihadapanku. ” Apa-apaan ini ”, teriaknya menggelegar, memecahkan  pagi yang senyap itu. Walaupun  terkejut, aku memaksakan diri untuk menyelesaikan shalatku yang tinggal satu rakaat itu.

Hei…tulikah kau?”. serunya kali ini sambil mendorong tubuhku dengan kasar. Aku berusaha untuk bertahan. Namun ketika ia mulai menendang kakiku maka  akupun terjatuh dan menyerah.

Sejak kapan kamu berani meninggalkan ajaran leluhurmu hah ? ”, katanya geram. ” Ini pasti gara-gara kepergianmu ke negri terkutuk itu”, serunya lagi. Ibu dan tante Rani segera datang berlarian ke kamarku. Tante Rani langsung memelukku sambil berkata  ” Apa yang terjadi ?”tanyanya dengan nada khawatir.   ” Lihat apa  yang dilakukannya! ” jawab ayah sambil menunjuk sajadahku. ” Anak tak tahu diri… susah-payah dikasih makan, dididik, di biayai, di sekolahkan…tahu-tahu berkhianat… Ini gara-gara kamu tidak becus mendidik anak ini ”, semprot ayah penuh emosi sambil menunjuk muka ibu..

Jangan salahkan ibu ”, belaku. ” Aku memilih memeluk Islam bukan untuk mengkhianati leluhur kita apalagi mengkhianati ayah-ibu. Aku memilih agama ini karena kebenaran. Cobalah mengerti ayah. Islam adalah agama  yang datang dari Sang Pencipta untuk kita semua.. ”, aku berkata memelas. ”Keterlaluan kamu … anak bau kencur berani-beraninya mengkuliahi  orang-tua …”, serunya sambil mengangkat tangan hendak menamparku. Ibu segera menahan tangan ayah yang tinggal beberapa senti lagi  mengenai wajahku. ” Jangan pernah berani menyentuh anak ini. Tampar saja aku yang sudah kebal terhadap tanganmu yang menjijikkan itu”, tantang ibu.

Aku benar-benar terkejut melihat keberanian ibu melawan ayah. ” Tidak…tidak…ibu tidak bersalah”, kataku mencoba berdiri.” Awas kau Mada … Kuperingatkan, kalau kau tetap mencoba mengabaikan ajaran lelulur kita …. jangan pernah kau berharap bisa menginjakkan kembali kakimu ke rumah ini. Lupakah kau siapa ayahmu ini?Apa yang harus kukatakan pada keluarga besar kita…Harus kuletakkan dimana muka ini, hah?”, teriaknya memekakkan telingaku.

” Dan ingat, kalau kau sampai minggat…Jangan membawa apapun yang pernah kuberikan padaku”, ancamnya sambil meninggalkan kamar dan membanting pintu kamar.

Aku terhenyak. Belum sempat aku bernafas normal tiba-tiba dengan muka merah padam aku lihat  ibupun segera pergi meninggalkanku. Tinggal tante Rani yang menatapku tajam seolah menanti penjelasan. Namun aku diam saja. Aku terlalu shock melihat suasana yang tiba-tiba terjadi tersebut. Tanpa berkata sepatah katapun, tak lama kemudian iapun meninggalkanku sendirian dikamar.

***

Pukul  8 pagi itu aku telah berada di kamar Lukman. Dengan hanya membawa sepasang pakaian oleh-oleh dari tante Rani ketika ia pulang dari luar negri, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah Aku melakukan semua ini dengan pertimbangan yang benar-benar matang. Aku sadar bahwa cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi. Aku tahu persis bahwa orang tua manapun pasti akan kecewa mengetahui anaknya tidak lagi mau mengikuti  kemauan dan kehendak mereka. Yang aku tidak siap adalah waktunya. Aku tidak mengira waktunya akan secepat ini.

Mulai detik ini hidupku berubah. Aku tidak lagi memiliki siapa-siapa, tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang sepeserpun dan yang paling menyedihkan aku terpaksa harus meninggalkan bangku kuliahku. Mana mungkin aku mampu membayar biayanya, bisikku sedih.

Aku turut bersedih atas apa yang menimpamu, Mada, Namun yakinlah, ini semua sudah diatur-Nya. Ini demi kebaikanmu. Bukankah engkau sudah melakukan shalat istikharah malam sebelum kejadian? Jadi inilah jawabannya. Dengan begini kau terhindar dari aliran sesat yang baru saja mengintaimu ”, hibur Lukman.

Dan lagi aku pikir ini belum seberapa Mada. Aliran sesat yang kau hadapai tergolong kurang canggih kalau tidak mau dikatakan agak kasar. Orang yang memiliki akal pasti akan segera berpikir bahwa sebuah agama tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang tidak terpuji, seperti mengambil harta tanpa izin siempunya dll.  Betul kan ? “, tanya Lukman.

Aku hanya mengangguk pelan.

 Itu masih lumayan. Ada lagi aliran yang sangat mengedepankan akal dan pikiran. Aliran ini berpangkal dari pemikiran barat yang cenderung selalu ingin kritis. Orang-orang JIL, contohnya. Sepintas mungkin kedengarannya memang bagus. Tetapi tampaknya mereka lupa,  agama bukan sains yang harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti indrawi. Agama adalah sesuatu yang memiliki keterikatan dengan sesuatu yang ghaib. Ini adalah keyakinan”, jelas Lukman.

” Betul pada tahap tertentu kita harus menggunakan akal. Tidak hanya mengekor pada tradisi dan kebiasaan. Namun setelah itu ada banyak hal yang tidak mungkin kita mampu memikirkannya. Allah swt hanya memberi kemampuan berpikir seorang manusia sebatas indra kita. Itu sebabnya Ia mengutus para nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia pilihan yang wajib kita jadikan contoh dan keteladanan“, lanjut Lukman lagi setelah berhenti beberapa saat, dan mengambil nafas dalam-dalam.

Namun apa yang terjadi .. dengan berbagai dalih banyak orang Islam sekarang ini yang tidak mau mencontoh Rasulullah Muhammad saw.  Kau pernah dengar nama Rasyad Khailfah?”, tanya Lukman.

Aku menggeleng pelan namun kemudian aku teringat penjelasan Karim tempo hari tentang mukjizat angka 19.  Tanpa menunggu jawabanku Lukman meneruskan penjelasannya. ” Ia adalah seorang cendekiawan Mesir yang banyak terpengaruh pemikiran barat. Dengan izin-Nya, ia berhasil menemukan apa yang kemudian disebutnya Al-Quran Interlocking System.  Anehnya .. temuan tersebut bukannya makin mempertebal imannya. Yang ada dia malah mengaku bahwa dirinya adalah Rasul “.

Sampai disini aku benar-benar terkejut. ” Benarkah demikian ? “, tanyaku. “ Aku pernah diberi tahu sedikit tentang apa yang ditemukannya. Dan terus terang itu adalah salah satu penyebab mengapa aku kagum pada Al-Quran”.

Begitulah .. ia gegabah mentakwilkan ayat-ayat Al-Quran. Mungkin ketika itu keimanannya belum terlalu  kuat tertanam dalam dadanya. Itulah hasil pengaruh teman-teman dan didikan baratnya yang terlalu mengagungkan pemikiran manusia. Syaitan yang membisiki hatinya hingga ia menjadi congkak dan merasa dirinya adalah utusan Tuhan. Anehnya, pengikut ajaran ini banyak. Yaitu  orang-orang yang merasa diri pintar dan cenderung tidak ingin menjadikan nabi Muhammad saw sebagai panutan.  Mereka itulah yang disebut sebagai Ingkar Sunnah, orang yang tidak mempercayai sunnah atau hadist“, lanjutnya getir..

Akupun  termenung dibuatnya. Aku merasa bersyukur Allah swt telah berkenan menghindarkanku dari aliran pemikiran tersebut. Setelah hening sesaat Lukman berkata lagi, seperti berkata kepada sediri : ” Belum lagi ajaran Syiah dan Ahmadiyah, yang sudah jelas-jelas ditetapkan sesat oleh MUI tapi tetap saja diminati. Syiah dengan bermacam tingkat kesesatannya seperti menuhankan Ali bin Abi Thalib, para imam yang maksum, penistaan istri-isti nabi dan sahabat, nikah mutah dll. Sementara Ahmadiyah menganggap pemimpin mereka, Ahmah Gulam sebagai nabi”.

Aku hanya bisa terheran-heran mendengar penjelasan Lukman tak tahu harus berkata apa.

Aah, sudahlah Mada… yang penting kau sudah selamat, tak usah terlalu dipikirkan”, sambung Lukman menyadari temannya yang kelihatan bingung, tidak mengerti apa yang dibicarakannya.

” Kebetulan aku punya kenalan  uztad yang  menjadi pembimbing sebuah pesantren di Cisarua, Bogor. Aku yakin ia akan mampu mencarikanmu jalan keluar”,sambungnya memulai percakapan baru.

Dengan mengendarai angkot, pagi itu juga kami berdua pergi meninggalkan kosan Lukman menuju Cisarua, Bogor. Di sepanjang perjalanan kami hanya diam,  tak berkata sepatah katapun. Ingatanku masih berada pada kejadian pagi tadi. Aku teringat ekpresi wajah ayah. Ia kelihatan begitu terluka. Heran juga aku, seingatku ayah hampir tidak pernah melakukan ritual leluhurnya, tetapi ia marah besar ketika aku meninggalkan ajarannya. Aku hanya bisa berharap semoga penyakit jantungnya tidak kumat.

Akan halnya ibu. Terus-terang aku cukup kaget melihat reaksi ibu dalam melindungiku. Yaah…pikirku, bagaimanapun aku adalah anaknya. Namun sebegitu bencinyakah ibu pada ayah? Tidakkah ia dapat memaafkannya? Kasihan ibu…pikirku sedih. Bagaimana pula dengan tante Rani ? Pasti ia kecewa sekali. Pasti ia merasa telah gagal total dalam mendidik keponakan satu-satunya ini. ” Maafkan aku, tante ”, bisikku.

Setelah berganti angkot dan bus beberapa kali, tanpa terasa kami memasuki daerah Puncak. Udara sejuk pegunungan  yang menerpa wajahku memberi semangat baru padaku.

Kita makan dulu disini ”, ajak Lukman begitu turun dari angkot sambil menuju ke sebuah warteg tak jauh dari sana.” Jangan menolak, aku yang akan mentraktirmu….. aku tahu kau tak membawa cukup uang. Oleh karenanya kau harus menghemat uang yang tersisa di dompetmu itu ”, kata Lukman ketika aku hendak  merogoh dompet di saku celanaku..

Kau benar, Lukman. Maaf jadi merepotkanmu..”, kataku pasrah. ” Sudahlah… jangan  begitu.. kita sudah lama bersahabat. Dulu ketika kita masih berlainan kepercayaanpun kita sudah saling membantu. Apalagi sekarang, kita adalah bersaudara ”, tepuknya pelan dipundakku.

Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar bersyukur mempunyai sahabat seperti Lukman. Ia memang agak pemarah  namun hatinya baik. Tanpa diminta ia sering membantu teman-teman yang dalam kesulitan. Padahal aku tahu uang yang dikirim orang tuanya di kampung hanya pas-pasan. Namun tak pernah kulihat ia sedikitpun mengeluh.

Kami berjalan menyusuri sebuah jalan kecil di sebelah stasiun angkot. Lukman menawarkan untuk menumpang ojek karena perjalanan masih agak jauh. Namun aku menolaknya, aku tidak mau terlalu membebaninya.  Setengah jam kemudian kami tiba di sebuah persawahan yang luas. Di hadapanku terlihat gunung  Salak berdiri dengan gagahnya. Sebuah pemandangan yang menakjubkan. Tiba-tiba aku merasa gembira. Aku seolah-olah sedang pulang kampung, pulang kedalam pelukan alam  milik  Allah yang luas nan tentram.

Pesantren itu berada di balik sana. Aku yakin kau akan senang ditempat itu. Walaupun tentu saja kamarmu tak akan sebagus kamar di rumahmu…”, kata Lukman menggodaku. Aku hanya tersenyum saja, tidak ingin menanggapinya. ”Para pembimbingnyapun baik dan sabar. Ilmunya amat luas. Banyak orang-tua di kota-kota besar yang mengirim anak-anaknya ke pesantren ini”, jelasnya.

Dan yang terpenting….ini kau harus tahu Mada walaupun kau orang baru…jangan sembarangan memilih pesantren. Sekarang ini demi mencari perhatian dan mengharap bantuan keuangan pihak Barat, banyak intelektual Muslim  yang menggadaikan pemikiran Islam. Dengan bantuan keuangan yang tentu saja jumlahnya sangat besar mereka mendirikan atau bekerja sama dengan pesantren untuk mencetak anak didik yang ke-barat-baratan. Mereka tidak mengajarkan agama Islam yang murni melainkan disesuaikan dengan pemikiran sang penyuntik dana. Contohnya adalah pemahaman  Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme seperti orang-orang JIL dan si Rasul palsu Rasyad Khalifa tadi ”, jelas Lukman.

Orang-orang yang notabene adalah para intelektual Muslim ini sebenarnya tidak PD pada ajarannya sendiri. Ajaran Islam diartikan hanya sebatas ritual saja. Baju Islam hanya dikenakan ketika masuk masjid untuk melaksanakan shalat. Begitu keluar masing-masing segera mengenakan bajunya sendir-sendiri. Baju politik, baju budaya, baju demokrasi dan lain-lain adalah contohnya. Jamaah yang kompak dibawah pimpinan satu imam hanya berlaku didalam masjid. Diluar itu masing-masing berjalan semaunya sendiri. Hukum Islam diabaikan dan sebagai gantinya hukum Barat dengan teori Kapitalis dan Materialistislah yang didirikan dan dipuja”, tambahnya. Aku hanya manggut-manggut mencoba memahami penjelasannya. Aku menegaskan pada diriku sendiri bahwa aku tak mau lagi salah dan tersesat untuk kedua kalinya.

***

Sudah seminggu aku mondok di pesantren Al-Huda. Aku bersyukur akhirnya diberi kesempatan oleh-Nya untuk merasakan Ramadhan dengan suasana yang benar-benar Islami. Bersama puluhan santri disitu aku tahajud, sahur, mengaji, berbuka dn shalat tarawih. Di tengah pemandangan alamnya yang begitu memukau membuatku benar-benar jatuh hati pada tempat ini. Lukman benar. Aku betah dan yang terpenting di tempat ini aku dapat menimba ilmu yang luas. Uztad dan para pembimbing di pesantren ini membiasakan santrinya untuk aktif bertanya. Semua penjelasan selalu diberikan lengkap dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadisnya bila ada. Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal  huruf Arab. Mulanya aku agak malu karena hampir semua santri sudah lancar membaca Al-Quran. Namun berkat dorongan mereka pula akhirnya hilang rasa malu itu.

Satu hal yang mengganjal di hati. Rasanya aku tak nyaman  makan, minum dan tidur tanpa sedikitpun mengeluarkan uang untuk semua keperluan itu. Bisa dibilang aku adalah santri tertua karena sebagian besar santri adalah lulusan  tsanawiyah atau SMP yang berarti sekitar umur 15 tahunan sedangkan aku tahun ini sudah memasuki usia  20 tahun.. Aku ingin bekerja mencari uang. Kuutarakan keinginanku itu kepada uztad Abdullah, pembimbingku.

”  Kalau kau benar-benar ingin bekerja sambil terus meneruskan belajar di pesantren ini, aku rasa hanya lowongan  sopir angkot yang memungkinkan”, katanya menanggapi keinginanku. ” Kau bisa tetap mondok di pesantren ini, pagi setelah subuh kau berangkat mengambil angkot di terminal dan bekerja hingga pukul 3 untuk kemudian meneruskan pelajaranmu bersama santri kelas sore”, lanjutnya.

Aku segera menerima baik usulannya tersebut. Maka beberapa hari kemudian setelah mengurus SIM dan keperluan-keperluan lainnya akupun sudah dapat memulai babak baru kehidupanku sebagai santri merangkap sopir angkot jurusan Cisarua – Bogor. Walaupun upahku tak seberapa apalagi dibanding  pemberian uang ayahku dulu, aku dapat menikmatinya dengan senang.  Bahkan demi menunaikan zakat, setiap harinya aku selalu berusaha menyisihkan sebagian rezekiku itu. Aku benar-benar bersyukur diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan tersendiri ketika melihat ekspresi orang yang menerima zakat yang tidak seberapa itu.

Sementara itu, selama 6 bulan aku nyantri, aku telah beberapa kali menulis surat kepada kedua orangtuaku dan tante Rani. Aku sengaja tidak menuliskan alamatku, khawatir mereka menyusulku dan memaksaku pulang ke rumah. Dalam suratku yang pertama, aku hanya memohon maaf kepada mereka karena telah meninggalkan rumah dan membuat mereka kecewa atas prilaku. Aku juga mengabarkan bahwa aku dalam keadaan baik dan sehat.

Sedangkan surat keduaku berbunyi sebagai berikut :

Yang kucintai ayah, ibu dan tante Rani,

Aku selalu berdoa semoga ayah, ibu dan tante dalam keadaan sehat dan baik. Saat ini aku mondok  di sebuah pesantren di bilangan Jawa Barat. Sementara aku tidak bisa mengatakan alamatnya, semoga kalian mau memakluminya.

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan terima-kasihku terhadap jasa ayah dan ibu, untuk sementara aku sudah bisa mencari sedikit uang untuk sekedar hidup. Jadi aku harap ayah, ibu dan tante tidak perlu terlalu mengkhawatirkan keadaan keuanganku.

Ayah, ibu dan tante Rani yang amat kusayangi,

Banyak yang kudapat dari pesantren…

Islam mengajarkan bahwa yang menciptakan kita adalah zat yang sama dengan yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya…Dialah yang memberi kita hidup. Dialah yang memberi kita rezeki, yang memberi kita kesehatan, yang menjaga kita, yang menimbulnya rasa kasih sayang diantara kita dan Dia juga yang mematikan kita nanti.

Ayah dan ibu yang kuhormati,

Islam juga mengajarkan bahwa ridho-Nya tergantung ridho kedua orang-tua. Oleh karenanya, aku memohon ya ayah dan ibu…. ridhoilah aku memeluk agama Islam … Aku mohon dengan sangat….

Salam hormatku,

Mada.

Surat keduaku itu kutulis di pagi buta usai mengerjakan shalat tahajud. Kutulis dengan setulus hatiku. Aku benar-benar sedih mendengar penjelasan uztad ketika ia menjelaskan bahwa Islam mengajarkan seseorang untuk mencari ridho kedua orang-tuanya. Yah…semoga Allah, Tuhanku berkenan membuka hati mereka berdua. ” Ya Allah, kabulkanlah permintaan hambamu yang hina  ini ”.

***

Read Full Post »

Suatu hari datang beberapa orang tamu dari Jakarta. Mereka adalah anggota salah satu LSM ( Lembaga Swadaya Mayarakat) yang bergerak di bidang kesehatan. Biasanya LSM ini memberikan bantuan darurat khusus kepada para korban perang. Rupanya kedatangan mereka berhubungan dengan rencana keberangkat mereka menuju Tepi Barat di Palestina. Demi keberhasilan misinya  mereka mencari relawan yang bersedia ikut membantu tugas mulia mereka. Maka tanpa ditanya dua kali aku segera menyatakan kesediaanku untuk bergabung. Sebetulnya ada 15 orang yang berminat  untuk ikut serta namun setelah melalui sejumlah wawancara akhirnya hanya 3 orang yang lolos, termasuk aku.

Sebelum berangkat aku menyempatkan diri untuk menulis surat kepada ayah dan ibu memohon  doa restu mereka berdua agar di negri orang nanti aku selalu  dalam lindungan-Nya. Sebaliknya aku juga memohon bila terjadi sesuatu kepadaku nanti ayah dan ibu mau memaafkan aku.

***

Sebulan kemudian setelah mendapatkan pelatihan   selama kurang lebih 2 minggu di kantor LSM tersebut, bersama 30 orang lainnya kamipun berangkat ke tempat tujuan. Tidak seperti kedatanganku kali pertama ke Palestina, kali ini dari Amman, Yordania kami langsung naik bus menuju kota Nablus  di Tepi Barat, sekitar 60 km utara Yerusalem. Di luar persangkaanku Nablus ternyata adalah sebuah kota industri yang cukup besar. Kota ini terkenal di manca negara akan produksi eksport sabunnya  yang terbuat dari minyak zaitun. Sayang, sejak pendudukan Israel pada tahun1948, lebih dari separuh pabriknyapun gulung tikar karena bangkrut. Ini terjadi hampir di seluruh sektor industri di seluruh negri termasuk Nablus.

Nablus juga mempunyai universitas yang cukup besar, namanya An-Najah National University. Universitas ini adalah universitas  terbesar di Tepi Barat. Dibangun pada tahun 1918 sebagai sekolah An-Najah akhirnya berkembang menjadi universitas  yang memiliki banyak fakultas diantaranya fakultas kedokteran, kedokteran hewan, kedokteran mata, farmasi, tehnik, hukum Islam  dan lain-lain. Pada tahun 1988 universitas ini sempat ditutup oleh otoritas Israel karena dianggap melawan kebijakan pemerintahan pendudukan.

Rasanya belum ada catatan dalam sejarah dimana sebuah kota dikelilingi lebih dari 100 cekpoint. Namun begitulah Nablus. Di kota ini tak seorangpun dapat pergi dan pulang ke rumahnya  sendiri tanpa harus melewati pos pemeriksaan dimana tentara Israel lengkap dengan senjatanya memeriksa tubuh dan bawaan mereka, setiap hari! Nablusi memiliki  6 rumah sakit besar disamping pula  4 kamp yang dihuni sekitar 35.000 pengungsi.

Di kota inilah kami disambut perwakilan organisasi induk yang khusus menangani bantuan kesehatan darurat pasca perang. Kelompok kami dipecah menjadi 10 tim untuk kemudian digabung dengan tim gabungan dari berbagai negara. Kemudian tiap tim yang terdiri dari 20 orang itu, dua diantaranya dokter, satu dokter umum dan satu lagi dokter bedah, plus peralatan medisnya langsung diterjunkan ke daerah-daerah rawan seperti kamp Balata , Ramalah.dan lain-lain.

Aku sendiri di tempatkan di sebuah desa kecil bernama Azmut sekitar 5 kilometer timur laut dari Nablus. Desa ini terletak di kaki bukit dimana pendatang sekaligus pemerintah ilegal Israel mendirikan permukiman Yahudi, sebuah perumahan mewah bernama Elon Moreh. Dengan mengendarai tiga jip terbuka tim kami tiba  di tempat tersebut menjelang ashar. Kami segera mendirikan empat buah tenda. Satu tenda besar untuk menampung korban, tiga tenda sedang  masing-masing untuk menyimpan obat-obatan dan segala perlengkapan lainnya sedang dua tenda sisanya untuk ditempati tim medis dan para relawan.

Selama kami bekerja, di kejauhan aku dapat mendengar suara desingan peluru di udara. Dari seorang kenalan baruku, seorang relawan Amerika bernama Mahmud, hampir setiap hari terjadi pertempuran di daerah itu. Mahmud yag bernama asli Michael Reed ini adalah seorang mualaf yang telah beberapa kali ikut menjadi relawan didaerah pergolakan. Ia pernah diperbantukan di Afganistan dan  Libanon. Jalur Gaza baginya adalah yang ketiga.

Di tengah keasyikanku mendengar cerita dan pengalaman beberapa kenalan baruku, tiba-tiba datang seorang pejuang Palestina yang menggandeng temannya yang luka parah pada tempurung lutut kanannya. Darah segar mengucur deras dari lukanya, membasahi  celananya. Kamipun segera bubar memberikan pertolongan. Ini adalah kali pertama aku melihat darah sebanyak itu keluar dari sebuah luka. Seketika perasaan mual menyerang perutku namun sedapat mungkin kutahan. Aku tak ingin terlihat tolol ditengah para relawan terutama para pejuang yang dengan begitu gagah berani mempertaruhkan nyawa demi membela bangsa dan keyakinannya itu.

Dengan cekatan dokter Yatim Razak, seorang dokter bedah tulang  berkebangsaan Indonesia dibantu dokter Pierre Orsolini, dokter umum belia  berkebangsaan Kanada beserta tim, segera  mempersiapkan operasi untuk mengeluarkan peluru yang rupanya masih bersarang di lutut kanan mujahidin tersebut. Dengan sigap tim bekerja sama dan dalam waktu tidak lebih dari 45 menit operasipun selesai.

Namun belum sempat kami bernafas lega, tiba-tiba datang lagi dua orang mujahid. Kali mereka datang sambil membopong seorang temannya yang terluka di dada kirinya. “ Jantungnya “, kata  Mahmud pelan di telingaku. Kembali tim disibukkan dengan operasi berikutnya. “ Alhamdulillah”, kata  dokter Yatim lega. “ Hanya menyerempet jantungnya”.

Selanjutnya  berturut-turut datang  sejumlah  pejuang membawa teman-temannya yang menjadi korban tembakan. Di kejauhan tampak bunga api terus berpijaran menerangi langit malam sementara suara tembakan yang mengiringinya memecah keheningan malam. Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga pukul 2 dinihari. Setelah itu tembakan hanya terdengar sekali-sekali, itupun dari tempat yang benar-benar sangat  jauh. Menurut beberapa pejuang pasukan lawan sementara dapat ditundukkan.

Mereka mundur untuk sementara. Namun kita tetap tidak boleh lengah. “, kata seseorang yang aku perkirakan sebagai pemimpin para pejuang itu. “ Mereka akan datang lagi begitu mendapatkan bantuan senjata dari pusat”, kata seorang yang lain lagi.

Bayangkan, dengan persenjataan terbatas… itupun hanya senjata rongsokan yang kami beli secara gelap dari pihak tertentu…kami harus melawan persenjataan modern dan canggih yang mereka datangkan khusus dari Amerika Serikat”, keluh sang pemimpin. “ Namun sampai kapanpun, Demi Allah, kami harus melawan….. ini adalah rumah kami, tanah yang telah ratusan bahkan ribuan tahun lamanya kami tempati secara turun temurun”, lanjutnya lagi dengan berapi-api. Tak sedikitpun tampak  rasa takut maupun lelah pada wajahnya. Kagum aku dibuatnya.

Beberapa lama kemudian,  rasanya belum setengah jam aku berusaha untuk memejamkan mata, terdengar di kejauhan azan subuh berkumandang. Segera  secara berkelompok dan bergantian, kami meninggalkan tenda menuju tempat berwudhu.  Begitu ke luar tenda, kurasakan angin dingin menerpa serasa menusuk tulang rusuk dadaku. Padahal aku mengenakan jaket yang cukup tebal. Belum lagi ketika  air dingin menyentuh jari-jari ke dua tangan, lengan, muka serta kedua kakiku.

Bbrr...”, aku berusaha menahan rasa beku itu sambil berdoa memohon pada-Nya agar bangsa Palestina segera keluar dari kemelut berkepanjangan ini. Aku sungguh tak dapat  membayangkan bagaimana perasaan rakyat Palestina selama 60 tahun di bawah cengkeraman penjajahan Israel. Belum lagi membayangkan cuaca negri ini yang antara siang dan malamnya seperti langit dan bumi.

Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam shaf shalat subuh berjamaah kelompok pertama sementara kelompok berikutnya tetap berjaga-jaga.

Begitu yang diajarkan Islam”, kata Naji Zuhair, sang pemimpin yang malam itu memang ikut tidur di tenda kami. “ Walaupun kita harus melaksanakan kewajiban dari-Nya, tidak berarti kita lalai menghadapi musuh”.

***

Tiga minggu kemudian karena persediaan obat mulai menipis, aku dan  Mahmud dengan dipandu  Handala Assus, seorang relawan  Palestina mendapat tugas untuk mengambil  obat-obatan di kantor pusat. Untuk itu kami bertiga harus menempuh perjalanan sekitar 25 km dengan berjalan kaki keluar masuk hutan selama lebih dari 15  jam !

Sebenarnya jarak desa tempat kami bertugas dengan kantor pusat tidak seberapa jauh. Namun sejak didirikannya tembok yang oleh pihak Israel disebut sebagai tembok pengaman, sementara pihak rakyat setempat bertanya-tanya pengaman dari apa, jarak antara keduanya menjadi jauh karena terpaksa harus berputar.

Namun demikian aku perhatikan di beberapa tempat, dimana pemisah hanya terbuat dari kawat berduri, rakyat memotong kawat pemisah tersebut. Hingga dengan demikian mereka tidak  perlu berputar terlalu jauh. Bahkan selama perjalanan itu aku sempat berpapasan dengan seorang ibu muda yang sedang hamil  tua, dengan di bimbing dua orang remaja belasan tahun, terpaksa bersusah payah  menerobos pagar kawat yang sudah diputus itu.

Katanya ia sedang menuju ke dusun sebelah untuk konsultasi dokter, sementara suaminya sedang ikut berjuang bersama warga lain. Aku dengar, sejak berdirinya tembok pemisah tersebut banyak korban  berjatuhan. Pasalnya orang yang dalam keadaan sakit keras  dan memerlukan pelayanan kesehatan segera terpaksa menempuh jarak lebih jauh dan lebih lama  hingga terlambat mendapatkan pertolongan

Suatu ketika, ketika kami tengah berjalan menyebrangi sebuah padang rumput, terdengar keributan. Kami segera mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Terkejut kami  dibuatnya. Hanya beberapa meter dihadapan kami terlihat  serombongan anak sekolah Palestina sedang didorong-dorong serombongan anak-anak Israel. Padahal anak-anak itu didampingi guru-guru mereka. Bahkan sang guru yang mengenakan jilbab panjang itupun tak luput dari serangan. Mereka terlihat sedang berusaha menuju  satu-satunya tangga curam yang terbuat dari tanah liat licin karena memang hanya itulah satu-satunya jalan untuk menempuh jalan pulang dan pergi dari dan ke sekolah.

Lebih parah lagi, bahkan anak-anak yang kuperkirakan  berumur antara 10-11 tahun itu, ketika sedang berusaha turun tanggapun terlihat dilempari batu-batu kecil dari arah  bawah tangga oleh anak-anak  Israel layaknya anjing yang diperlakukan dengan kasar. Sementara polisi yang berjaga di sekitar mereka lengkap dengan panser yang diparkir di dekat lokasi malah berusaha melindungi anak-anak Israel itu dari kemarahan guru-guru Palestina.

Kami bertiga segera berusaha melindungi anak-anak Palestina yang malang itu dari lemparan batu namun tak urung kamipun terkena  lemparan batu batu juga. Aku tak habis pikir apa doktrin yang diselipkan ke balik otak anak-anak Israel itu.

Sementara itu aku jadi teringat pada sebuah gerakan yang dikenal dengan nama intifada. Intifada adalah perbuatan melempar batu yang dilakukan oleh anak-anak muda Palestina ke arah tank-tank pasukan Israel. Ini karena rakyat Palestina merasa tidak mendapatkan perlindungan dan pembelaan dari negara-negara Arab sebagaimana sebelumnya karena negara-negara tersebut sedang disibukkan urusan negri masing-masing.

Merasa tidak memiliki sesuatu apapun untuk membela  dan  mempertahankan diri dan tanah mereka dari agresi Israel maka merekapun melakukan pelemparan batu.  Aku pikir di Indonesia mungkin sama dengan senjata bambu runcing dalam menghadapi penjajah Belanda.

Lepas dari tempat tersebut kami meneruskan perjalanan. Di sepanjang jalan yang kami lewati, aku menghitung ada lebih dari 15 pos pemeriksaan. Di setiap pos tersebut aku melihat  antrean panjang  orang-orang  yang hendak pergi bekerja maupun pergi ke sekolah.

Inilah yang terjadi setiap hari ”, omel sejumlah orang yang kutanyai mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Setiba di pos pemeriksaan yang diberi nama Huwwara, terjadi masalah. Pos ini untuk sementara ditutup dengan alasan keamanan. Kami tdak diizinkan masuk kota walaupun Handala menerangkan bahwa kedatangan kami hanya untuk mengambil obat-obatan untuk orang yang sakit di luar kota. Aku memandang sekelilingku. Terlihat puluhan penduduk Palestina, ada laki-laki, perempuan, anak-anak maupun orang-tua. Sejumlah truk besar ikut mengantri di depan pos tersebut.

Truk itu berisi peralatan bantuan medis”, terang Handala “. Aku perhatikan memang ada spanduk besar Unicef di samping truk.  “ Dan yang itu “, tunjuk Mahmud seolah tak mau kalah sambil menunjuk truk di belakangnya, “ berisi bantuan makanan….biasanya roti “. “ Hal sepert inilah yang menyebabkan Nablus dan desa-desa kecil sekitarnya sering kekurangan makanan “, lanjut Handala dengan nada kesal.

Setelah menanti hampir 3 jam tanpa tanda-tanda dibukanya pintu  pos, Handala pergi menghampiri sopir truk yang membawa perbekalan makanan. Terjadi percakapan diantaranya keduanya. Tak lama kemudian sopir truk tersebut pergi ke bagaian belakang truk dan mengeluarkan  beberapa kotak besar makanan. Setelah itu Handala menghampiri sopir truk yang membawa peralatan medis. Tak lama kemudian sopir melakukan hal yang sama dengan sopir sebelumnya. Aku dan Mahmud hanya memperhatikan apa yang dilakukan Handala dari kejauhan tanpa tahu apa maksudnya.

Tak lama kemudian sambil membopong sejumlah kotak-kotak tersebut,  Handala  segera berjalan cepat menuju pintu pos pemeriksaan sambil berteriak :

Do like what I do Mada and  Mahmud ! “.  Maka tanpa berpikir dua kali aku dan Mahmudpun  segera meniru perbuatan Handala  dan cepat menyusulnya menuju pintu pos.

Setelah sunyi sebentar, mungkin para penjaga agak kaget melihat apa yang kami lakukan, terdengar teriakkan : “ Hey hey…stop…what are  you doing?  where will you go ?” . “Go inside”, jawab Handala tanpa sedikitpun menoleh. “ Itu dilarang… kalian tidak diperbolehkan masuk “, seru si penjaga yang kuperkirakan usianya baru 16 tahunan.

So.. you will shoot us ? Shoot…”, tantang Handala lagi sambil membalikkan badannya hingga menghadap ke arahnya. Si penjaga dengan wajah lugunya itu hanya bisa terdiam dan membiarkan kami bolak-balik melakukan  hal yang sama selama 3 kali.

Setelah itu Handala berkata “ Aku kira cukup untuk kali ini”, katanya kepada kami. “ Syukron. “,  katanya sambil menepuk bahu sang penjaga bersenapan panjang itu santai.” Ingatlah…. di dalam sana banyak yang membutuhkan barang-barang tersebut  “.

Beberapa menit kemudian kami telah berbalik arah sambil membopong beberapa kotak obat dan satu kotak makanan untuk dibawa ke pos kami di Azmut. Namun gara-gara pos yang ditutup tersebut,  langkah kamipun ikut tertunda. Kami bertiga  terbentur dengan jam malam yang telah berlaku sejak tahunan lamanya itu.

Akhirnya Handala memutuskan untuk sementara menginap di kamp terdekat, yaitu kamp Balata yang hanya berjarak beberapa km dari tempat kami berdiri. Yang dinamakan kamp disini jangan dibayangkan seperti kemah atau tenda besar dengan kuali-kuali besar berisi masakan. Karena telah bertahun-tahun kamp ini berdiri, bangunan kamp adalah sudah setengah permanen. Buatku ini adalah pengalaman yang tak akan terlupakan.

Kami didalam kamp berdesakan dengan keluarga-keluarga yang telah lama tingggal di tempat tersebut. Bahkan banyak diantara mereka yang lahir dan besar di kamp ini. Dengan penerangan yang amat minim dapat aku dengar sayup-sayup di kejauhan suara orang melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Mungkin dari arah masjid yang tak begitu jauh dari kamp. Ingatanku melayang ke Yerusalem. Sungguh syahdu perasaanku.

Namun di tengah-tengah keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara-suara berisik mengganggu mendekati kamp dimana aku berada. “ Suara apakah itu ? “, tanyaku pada Handala. “ Lihat “, seru Mahmud sebelum Handala sempat menjawab  pertanyaanku.  Aku segera mendekati jendela dan melihat ke arah Mahmud menunjukkan jarinya. Aku lihat di ujung sana sejumlah  jip tentara , tank dan buldozer mendekati kamp.

Apa mau mereka ?” tanyaku khawatir. “ Inilah yang terjadi setiap hari “, jelas Handala. “ Mereka  ingin menakuti-nakuti warga supaya kami mau meninggalkan tempat ini. Sering kali secara tiba-tiba mereka itu bahkan membuldozer sejumlah rumah ditengah malam ketika penghuninya sedang tidur nyenyak”.

Belum selesai Handala melanjutkan penjelasannya tiba-tiba terdengar suara tembakan dan granat yang meledak di udara. “ Duarrr.…”, berdiri seluruh bulu kudukku. Beberapa detik kemudian muncul kesunyian.  Setelah menunggu beberapa saat , aku  kembali menghampiri jendela ingin melihat apa yang  terjadi. Dibalik kepulan asap yang membumbung tinggi aku melihat jip, tank dan buldozer tadi  pergi meninggalkan kamp.

Kami semua menghela nafas lega. Sambil mengangkat kedua tangannya  Handala berkata : “ Kami sudah terbiasa menghadapi semua ini  Hampir setiap hari ada saja teman dan saudara yang tertembak, terbunuh, terluka, diculik atau dipenjarakan. Tapi demi Allah kami tidak akan menyerahkan tanah ini kepada orang-orang kafir itu. Sabar, shalat dan berjuang adalah moto kami. Dengan demikian Insya Allah pertolongan-Nya pasti datang. Ini adalah jihad dalam rangka menegakkan kebenaran”, jelas Handala sambil menguap menahan kantuk.

***

Keesokan paginya, ketika hendak berwudhu, Handala mengingatkan aku dan Mahmud untuk menghemat air. “ Air disini sangat berharga. Gunakan secukupnya saja “. Pemerintah Israel memang sudah kelewatan. Pemakaian air sangat dibatasi namun wargapun dilarang membangun sumur. Alasannya tanah tempat mereka berdiam adalah tanah kamp milik tentara Israel. Artinya membangun sumur berarti perbuatan ilegal yang beresiko mendapatkan hukuman kurungan penjara. Begitu Handala memberikan penjelasan.

Usai mendirikan shalat subuh, kami bertiga segera pergi meninggalkan kamp Balata dan menuju Azmut. “ Mereka pasti sudah menunggu kita. Obat-obatan ini sangat dibutuhkan para korban yang pasti hari ini sudah makin bertambah banyak  ”, jelas Handala.

Sambil membopong kotak berisi obat-obatan kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati beberapa desa yang telah kosong ditinggalkan penduduknya sementara itu terlihat jelas rontokan bangunan yang telah hancur di gempur bom dari udara. Menurut Handala, sebagian besar penduduk Palestina hingga saat ini hidup di dalam pengungsian.

Kamp Balata yang baru saja kami tinggalkan pagi tadi hanyalah salah satu diantara banyak kamp pengungsi yang tersebar di seluruh Palestina. Bagi yang cukup memiliki uang dan sanak saudara di luar Palestina, mereka memilih pergi dan hidup di pengasingan. Yordania dan Mesir adalah yang paling menjanjikan kehidupan yang lebih baik dibanding hidup di dalam kamp dalam negri yang bahkan fasilitas listrik dan airnyapun sangat terbatas.

Di tengah perjalanan, ketika kami hampir mencapai perbukitan  dekat pemukiman Yahudi Elon Moreh, terdengar kegaduhan. Setelah kami dekati ternyata itu adalah suara seorang warga Palestina yang bermaksud memanen buah zaitun dari kebun yang telah lama dinantikannya dengan dua orang tentara Israel. Dari percakapan yang kami tangkap, tentara Israel tersebut berusaha melarang  warga Palestina itu untuk memanen buah zaitunnya meskipun itu adalah kebunnya sendiri.

Aneh…, bukankah itu kebunnya sendiri ?”, tanyaku heran pada Handala. “ Ya begitulah….alasannya adalah penghuni pemukiman Yahudi di bukit diatas”, kata Handala sambil menunjuk ke pemukiman yang terlihat mewah itu. “ Mereka pasti akan merasa terganggu dan menjadi marah”. Aku sama sekali tak mengerti arah pembicaraannya namun aku tidak bertanya lagi.

Untung   tak lama kemudian muncul polisi internasional yang memang bertugas menjaga keamanan wilayah itu. Merekalah yang kemudian mengizinkan  warga Palestina itu memanen buahnya dengan syarat tidak terlalu lama. Tak lama kemudian baik polisi maupun tentara Israel itupun pergi meninggalkan sang warga Palestina memanen zaitunnya. Kamipun segera meneruskan perjalanan kami.

Namun belum 15 menit kami berlalu tiba-tiba terdengar bunyi benda keras  yang ditabrakkan. Kami segera berbalik arah menuju ke tempat datangnya suara untuk melihat apa yang terjadi. Dari  kejauhan terlihat sebuah jip sedang  menabrakkan kendaraannya secara berkali-kali ke arah pick-up tua milik  warga Palestina yang tadi sedang memetik  buah zaitunnya!

Setengah berlari kami menuju tempat tersebut. Menyadari ada orang mendekat, jip segera menderu meninggalkan  tempat kejadian. Syukur alhamdulillah tidak ada yang terluka.

Ya Allah Ya Robbi, lihatlah apa yang diperbuat para pendatang itu. Mereka tidak hanya menzalimi diri kami tetapi juga menzalimi diri mereka sendiri. Ya Allah saksikanlah bahwa kami adalah termasuk hamba-hamba-Mu yang bersabar atas cobaan yang Engkau datangkan kepada kami “, begitu ratapan istri pemilik kebun itu. Terus terang aku terkagum-kagum mendengar isi ratapannya.

Aku lihat bapak pemilik kebun sedang memeriksa kerusakan mobil tuanya sementara ketiga anak perempuannya yang masih berumur belasan tahun itu saling berpelukan sambil menangis. Handala mendekati pick-up yang rusak berat sambil menghibur si empunya sementara aku dan Mahmud memunguti buah zaitun yang  berserakan di tanah. Aku tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun, rasanya kelu bibir ini. “Sungguh perbuatan biadab…Semoga Allah SWT membalasnya ”, kutukku dalam hati.

***

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »