Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Sirah Nabawiyah ( Sejarah Hidup Rasulullah saw)’ Category

PENDAHULUAN 

Bab I.         Asal Muasal Tahun Gajah 

Bab II.       Silsilah Rasulullah

Bab III.      Kelahiran dan Masa Kecil 

Bab IV.       Masa Remaja 

Bab V.        Pernikahan dengan Khadijah dan Datangnya Wahyu Pertama

Bab VI.      Dakwah Secara Rahasia ( Sirriyatud -dakwah/

Bab VII.     Dakwah Secara Terang-terangan (Jahriyatud Dakwah)

Bab VIII.   Penolakan Orang-orang Musyrik Mekah Terhadap Islam

Bab IX.      Pengucilan dan Boikot Ekonomi Terhadap Kaum Muslimin ( Hijrah Pertama).

Bab X.        Tahun Duka Cita ( Amul Huzni dan Peristiwa di Thaif )

Bab XI.       Peristiwa Isra-Mi’raj dan Persiapan Madinah sebagai Tempat Hijrah

Bab XII.      Baiat Aqabah dan Hijrahnya Para Sahabat

Bab XIII.    Hijrah ke Madinah

Bab XIV.    Pembentukan Masyarakat  Madinah

Bab XV.      Perang Badar, Perang Pertama dalam Sejarah Islam

Bab XVI.     Pengkhianatan Pertama Yahudi dan Munculnya Tanda-tanda Kemunafikan

Bab XVII.   Perang Uhud dan Hikmah Diperintahkannya Berperang (bag-1)

Bab XVII.   Perang Uhud dan Hikmah Diperintahkannya Berperang (bag-2)

Bab XVIII.  Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag-1)

Bab XVIII . Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag-2)

Bab XIX.    Pengkhianatan Yahudi Bani Nadhir dan Dampaknya

Bab XX.      Jihad fi Sabilillah (1).

Bab XX.      Jihad fi Sabilillah (2)

Bab XX.      Jihad fi Sabilillah (3)

Bab XXI.     Perdamaian Hudaibiyah dan Baitur Ridwan

Bab XXII.    Perang Khaibar

Bab XXIII.   Dakwah Kepada Raja-raja

Bab XXIV.   Perang Mu’tah

Bab XXV.    Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (1)

Bab XXV.    Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (2)

Bab XXV.    Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (3)

Bab XXVI.   Perang Hunain

Bab XXVII.  Perang  Tabuk dan Kisah 3 Orang Sahabat

Bab XXVIII. Haji Wada, Khutbah Rasulullah dan Tanda Sempurnanya Islam

Bab XXIX.    Rasulullah dan Pernikahan 

Bab XXX.     Hari-hari Akhir Rasulullah saw(1)

Bab XXX.     Hari-hari Akhir Rasulullah saw (2)

Bab XXX.     Hari-hari Akhir Rasulullah saw(3)

PENUTUP

Catatan. Mulai Oktober 2019 buku dapat dipesan sebagai POD ( Print On Demand) melalui link berikut :

Sirah Nabawiyahhttps://bitread.id/book_module/book/view/1382/sirah_nabawiyah/

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/sirah-nabawiyah

Read Full Post »

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.An-Nisaa(4):3).

Ayat inilah yang sering dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami. Padahal ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut :

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).

Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa sebagai berikut :

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”.

Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali. Karena itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”,( kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat….”

Begitulah penjelasan Aisyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah anjuran untuk berpoligami. Dan lagi pada kenyataannya poligami telah dikenal dan dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik dunia Barat maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak terbatas pula. Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti Ibrahim as, Musa as dan Daud as juga berpoligami.

Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan hal tersebut. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai jalan keluar bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak mudah dan membatasinya tidak lebih dari 4.  Seorang suami sekaligus ayah dalam Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua istri dan anak yang dimilikinya, secara adil.

Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ”jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,… . Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, menunjukkan bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu merasa ada kekhawatiran berbuat tidak adil terhadap istri maupun anaknya.

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129).

Dengan demikian jelas Poligami hanya kebolehan, bukan sunah apalagi kewajiban. (Sebagai catatan tambahan, jangankan poligami, menikah dengan satu orangpun tidak selamanya hukumnya wajib. Ada beberapa penyebab haramnya menikah bagi seseorang). Dan lagi bila alasannya ingin meneladani rasulullah, perlu diingat bahwa beliau lebih lama ber-monogami daripada ber-poligami. Pada saat poligami adalah suatu hal yang lumrah di tanah Arab, dimana kebanyakan laki-laki beristri hingga lebih dari 10, rasulullah lebih memilih untuk bermonogami bersama istri tercinta, Siti Khadijjah ra, selama lebih kurang 25 tahun, hingga akhir hayat sang istri.

Padahal usia rasulullah saat menikah baru 25 tahun, usia dimana dorongan syahwat seorang laki-laki sedang tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah berusia 40 tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat dengan mudah menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat dan tradisi yang berlaku pada masa itu. Rasulullah baru menikah lagi kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah, yaitu pada periode Madinah, periode yang penuh peperangan.

Jadi sungguh mustahil bila ada yang berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi mengejar kesenangan duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang menjadi istri rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk tujuan menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat derajat perempuan-perempuan yang kehilangan suami.

Bahkan sebenarnya, Allah swt telah memberikan Rasulullah keleluasaan untuk menikahi perempuan manapun yang beliau sukai, bila beliau mau. Ini benar-benar kekhususan yang hanya diberikan Sang Khalik kepada beliau, tidak kepada yang lain. Namun kenyataannya Rasulullah tidak mau memanfaatkan kesempatan tersebut. Karena beliau tahu persis betapa sulit dan beratnya tanggung jawab sebagai seorang suami.

Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Ahzab(33):50).

Berikut istri-istri rasulullah dan sedikit latar belakang mengapa rasulullah menikahinya.

1.Khadijjah binti Khuwailid ra.

Ia adalah seorang saudagar perempuan kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia, oleh sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut. Nabi saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan Khadijjah ra.

Ialah orang pertama yang membenarkan, mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya istri hingga wafatnya pada usia 65 tahun. Khadijah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang mendapat kepercayaan dari Sang Khalik untuk melahirkan putra-putri Rasulullah kecuali Maryah Al-Qibthiyyah yang melahirkan seorang putra. Namun meninggal dunia ketika masih bayi.  Dari rahim Khadijahlah, Rasullullah dikarunia 4 putri dan 2 putra, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummi Kultsum, Fatimah Az-Zahra, Qasim dan Ibrahim. Namun kedua putra Rasulullah meninggal ketika masih bayi.

2.  Saudah binti Zam’ah ra.

Ia seorang janda berumur yang ditinggal wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia) guna menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.

3. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.

Ia satu-satunya istri rasulullah yang ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk rasulullah agar mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat rasulullah terus bersedih hati ditinggal wafat Khadijjah.

Riwayat lain mengatakan bahwa pernikahan Rasulullah adalah atas petunjuk  Jibril as. Malaikat Jibrillah yang memperlihatkan gambar Aisyah kepada Rasulullah untuk dinikahi beliau sepeninggal Khadijah.

4. Hafsah binti Umar Ibnul Khatab ra.

Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau menikahinya, namun tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali ‘menawarkan’ kepada Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini kepada rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.

5. Hind binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah ra.

Juga seorang janda berumur. Suaminya luka parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama kemudian. Rasulullah menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan demi menanggung anak-anaknya.

6. Ramlah binti Abu Sufyan ra atau Ummu Habibah.

Ia meninggalkan orang-tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan, sang suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan ayahnya yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.

7. Juwairiyah binti Al-Harits ra.

Ia seorang putri kepala suku yang tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk memohon kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota sukunya memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.

8. Shaffiyah binti Huyaiy ra.

Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang pasukan muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal bersama kaum muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk Islam.  Sebagai penghargaan rasulullah menikahinya.

9. Zainab binti Jahsyi ra.

Ia sepupu rasulullah dan beliau menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah menikahinya atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini sekaligus merupakan perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga tidak boleh mengawini bekas istri mereka.

10. Zainab binti Khuzaimah  ra.

Ia seorang janda, suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin setelah itu mau menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.

11. Maryah Al-Qibthiyyah ra.

Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk Islam, rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih berusia 18 bulan.

Rasulullah tidak pernah lagi menikahi perempuan lain begitu turun perintah dari Sang Khalik untuk tidak lagi menambah istri. Dari sini jelas terlihat bahwa pernikahan yang dilakukan Rasulullah adalah berdasarkan perintah Allah swt, bukan atas kehendak dan kemauan sendiri.

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab(33):52).

Selanjutnya para istri Rasulullah itu diberi sebutan sebagai Ummul Mukminun atau ibu kaum Muslimin. Dan setelah wafatnya Rasulullah Allah swt memuliakan mereka dengan melarang mereka untuk menikah lagi. Dengan demikian di alam akhirat nanti mereka akan berkumpul kembali dengan suami tercinta, Rasulullah saw.

” … … Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”. (QS.Al-Ahzab(33):53).

Jadi jelas kedudukan Ummul Mukminin sangatlah tinggi. Mereka adalah ahlul bait (keluarga nabi) yang sudah sepatutnya harus kira junjung tinggi. Bahkan Allah swt sendiri yang telah memuliakan mereka, dan memberi mereka perlakuan khusus.

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik,

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai AHLUL BAIT dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. ( Terjemah QS.Al-Ahzab (33):32-33).

Jadi sungguh tidak masuk akal jika orang-orang Syiah meragukan kebersihan dan keimanan beberapa diantara Ummul Mukminin tersebut. Bahkan menganggap mereka bukan ahlul bait. Itulah sekeji-kejinya fitnah. Sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana perasaan Rasulullah saw jika beliau masih hidup dan mengetahui fitnah keji tersebut.

( Bersambung)

Read Full Post »

Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as. Sebelum kitab ini Allah swt pernah menurunkan beberapa kitab kepada para rasul, diantaranya kitab Zabur kepada nabi Daud as, kitab Taurat kepada nabi Musa as dan kitab Injil kepada nabi Isa as Kitab-kita tersebut diturunkan melalui malaikat yang sama, yaitu Jibril as.

Diantara kitab-kitab tersebut terdapat sejumlah perbedaan dan persamaan. Persamaan yang mendasar adalah perintah untuk menyembah hanya kepada Allah swt. Sedangkan perbedaan mencolok terletak dari cara turunnya. Al-Quran turun secara berangsur-angsur, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ayat –ayat tersebut turun tidak dengan urutan seperti yang kita lihat saat ini. Malaikat  Jibrillah  yang memberitahukan langsung kepada Rasulullah bagaimana letak dan susunan ayat dalam surat harus diletakkan.

Perumpamaannya adalah seperti rak lemari kosong yang telah diberi sekat, no dan tanda. Kemudian Rasulullah tinggal memasukkan dan menyelipkannya sesuai no dan tanda yang tertera. Susunan Al-Quran yang seperti  ini sesuai dengan kitab yang ada disisi-Nya dan dijaga ketat oleh para malaikat, yaitu yang ada  di Lauh-Mahfuzh.

 “Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur’an ini?” (QS.Al-Waqiyah(56):75-81).

Berkenaan dengan ayat diatas, Ad-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra : ”Al-Quran diturunkan secara keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh  Mahfuz, melalui duta-duta malaikat  penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut menyampaikannya kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam dan selanjutnya diturunkan pula oleh Jibril as kepada Rasulullah saw  secara berangsur-angsur  selama 23 tahun”. (22 tahun, 2 bulan 22 hari). Itu pula yang ditafsirkan Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu Hazrah.

Ayat-ayat turun begitu saja tanpa penyebab tetapi tidak jarang pula  diturunkan sebagai jawaban suatu permasalahan atau keadaan tertentu dan  bahkan ada yang turun atas pertanyaan pribadi. Ini yang menjadi penyebab utama  mengapa kitab suci ini tidak dapat dibaca layaknya kitab-kitab lain, yaitu dibaca berurut dari depan ke belakang lalu memahaminya secara tekstual.

Untuk dapat  memahami dengan baik apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Quran diperlukan pemahaman latar belakang, keadaan dan  suasana ketika ayat turun disamping memahami bahasa Arab, arti secara bahasa maupun secara istilah, khususnya yang berlaku umum pada masa itu. Itulah urgensi mengenal, mengetahui dan memahami  sejarah kehidupan  Muhammad saw, nabi yang mendapat kehormatan untuk menerima kitab suci ini. Itulah yang disebut Sirah Nabawiyah.

Muhammad saw adalah seorang hamba Allah yang sejak kecil bahkan calon ayah ibunyapun telah dipersiapkan secara matang oleh Sang Khalik. Beliau adalah seorang hamba pilihan yang telah ditunjuk secara terhormat untuk mengemban tugas maha berat, yaitu menerima wahyu Allah dan kemudian menyampaikannya kepada umat manusia.  Yang tak lama setelah menunaikan misi suci tersebut dengan sangat memuaskan maka Allahpun memanggilnya. Masya Allah  …

Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah inilah kita dapat mengetahui makna sebenarnya perintah dan maksud ayat-ayat suci al-Quran. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah kita dapat mengetahui bagaimana Rasulullah memahami dan merespons perintah-perintah Tuhannya. Uniknya, kadang perintah tersebut direspons Rasulullah tidak secara kontekstual. Contohnya  adalah cara berwudhu.

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,… ”. (QS Al-Maidah (5): 6).

Dalam prakteknya Rasulullah menyempurnakan wudhu dengan membasuh tapak tangan, berkumur, memasukkan dan megeluarkan air dari hidung serta membasuk kedua telinga. Dan Allah swt  tidak melarang hal tersebut. Artinya Sang Khalik meridhoi apa yang dilakukan nabi. Jadi selama Allah swt  mendiamkan dan tidak menegur apa yang dilakukan Rasulullah, wajib kita mencontohnya.

Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS.An-Nisa(4):80).

Dari sini tampak jelas bahwa  untuk memahami  Al-Quran tidak cukup hanya dengan sekedar membacanya kemudian mengartikan dan  menafsirkannya sesuai pengetahuan dan pengertian akal kita.

Para sahabat yang ketika itu sedang berada di sisi Rasulullah adalah saksi turunnya ayat-ayat. Mereka tahu persis bunyi ayat yang turun karena Rasulullah memang selalu langsung menyampaikan apa yang diterimanya itu. Beliau bahkan memerintahkan mereka untuk segera menghafalnya. Meski demikian dalam penerapannya  mereka tetap mengerjakan apa yang dicontohkan junjungan mereka itu.

Sebaliknya, bila dalam perjalanannya ternyata ada sejumlah perbedaan penafsiran, ini harus dimaklumi. Karena Rasulullah pada awalnya memang  melarang  menuliskan apa yang dikatakan, dikerjakan dan diamnya Rasulullah  karena khawatir bercampur dengan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Namun Rasulullah  tetap memerintahkan  para sahabat agar mengingat,  mencatat dalam  hati dan kemudian meneruskan serta menyampaikannya kepada yang lain. Yang juga harus diingat, ada saat-saat dalam  keadaan dan situasi tertentu dimana  Rasulullah menyikapinya dengan sikap dan cara berbeda.

Ini yang menjadi penyebab menambahnya perbedaan hadits. Beruntung beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah, sejumlah sahabat dan  para  tabi’in segera memutuskan untuk menuliskannya. Ini dilakukan  demi menjaga agar hadist tetap terjaga ( dengan bermacam perbedaannya) dan tidak makin sering dipalsukan baik sengaja maupun tidak.

Tampaknya ini sudah menjadi sunatullah. Perbedaan selama bukan mengenai hal-hal yang pokok dan masih mengikuti apa yang pernah dicontohkan Rasulullah tetap dibenarkan. Kita tidak boleh saling merasa bahwa kitalah yang benar dan pihak lain salah.

Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat”.(HR. Al-Baihaqi).

Sebaliknya orang  yang suka mencari-cari perbedaan secara sengaja, diantaranya dengan mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat, Allah melaknatmya. Tempat mereka adalah neraka jahanam. ( Ayat  Mutasyabihat adalah  ayat-ayat yang samar, yang seringkali  membutuhkan pemikiran yang bahkan seringkali memang tidak dapat ditakwilkan. Contohnya adalah “Mim”, “ Nuun”, “ Alif Laam Miim” ) dan yang semacamnya.

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah”.(QS.Ali Imran(3):7).

Rasulullah saw telah lama meninggalkan kita. Demikian pula para sahabat dan para tabi’in beserta generasinya. Allah swt memerintahkan umat Islam tidak hanya mematuhi Allah dan rasul-Nya namun juga para ulil amri atau pemimpin yang menjunjung tinggi ayat-ayat-Nya. Demi mencegah perpecahan dan  memberi  manfaat yang banyak bagi umat, sejumlah ulama mumpuni dengan kriteria yang sudah ditentukan bahkan diberi keleluasaan memaknai ayat-ayat suci Al-Quran  dan hadits. Inilah ijma dan istihad yang bisa menjadi rujukan umat.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS.An-Nisa’(4)59). 

Aziz_efendi-muhammad_alayhi_s-salamAdalah tugas kita, umat Islam, saat ini,  untuk menjaga kesucian dan keutuhan Al-Quran, isi dan maknanya. Para hafidz adalah garda terdepannya. Sementara kaum Muslimin dan Muslimat, secara keseluruhan, wajib menjaganya minimal dengan mengetahui bagaimana Rasulullah menyikapi dan memaknai isi Al-Quran tersebut. Inilah urgensi mengenal Sirah Nabawiyah.

Wallahu’alam bish shawwab.

 Jakarta, 1 Agustus 2011.

Vien AM.

Read Full Post »

Adalah Abrahah, yang hidup jauh sebelum Islam lahir. Ia adalah seorang penguasa Habasyah (Ethiopia) yang berhasil menguasai Yaman, sebuah negri yang sekarang ini  berada di semenanjung selatan Arabia. Di negri jajahan barunya ini ia membangun sebuah gereja besar yang dinamainya Qullais. Abrahah membangun gereja tersebut  bukan semata-mata sebagai tempat ibadah umat Nasrani.  Ia mempunyai maksud lain.

Hal ini terlihat jelas dalam surat yang dikirimkannya kepada raja Habasyah ketika itu yaitu Najasyi ( Negus).

“ Baginda, kami telah membangun sebuah gereja yang tiada taranya sebelum itu. Kami tidak akan berhenti sebelum dapat mengalihkan perhatian  orang-orang Arab kepadanya dalam  melakukan peribadatan yang selama ini mereka adakan di Ka’bah “.

ka'bahKetika itu Ka’bah di Mekkah memang sudah merupakan pusat peribadatan terbesar  di semenanjung Arabia. Mendengar berita ini, seorang Arab yang menjadi penjaga Ka’bah sengaja mendatangi Qullais dengan maksud mempermalukan Abrahah. Ia dikabarkan mengotori bagian-bagian penting gereja megah tersebut dengan tinja.

Tentu saja tindakan tersebut  membuat Abrahah marah besar. Ia bersumpah akan membalas perbuatan kotor tersebut dengan menghancurkan Ka’bah yang dari semula memang sudah dibencinya. Maka berangkatlah Abrahah dengan membawa pasukan gajahnya yang besar menuju Mekkah.

Pasukan Abrahah adalah pasukan yang amat kuat dan sangat  ditakuti musuh. Selama perjalanan pasukan ini berhasil menaklukan orang-orang yang berusaha melawannya. Hingga akhirnya sampailah ia di gerbang  kota  Mekkah tanpa perlawanan yang berarti.

Di tempat ini ia berhadapan dengan penguasa Mekkah yaitu Abdul Mutthalib bin Hasyim, seorang pemuka Quraisy yang disegani. Ialah yang selama ini bertanggung jawab terhadap Ka’bah termasuk pelaksanaan ibadat haji yang telah dikenal sejak dahulu kala, jauh sebelum Islam lahir. Abrahah mengatakan bahwa kedatangannya ke Mekkah bukan untuk memerangi penduduk Mekkah melainkan untuk menghancurkan Ka’bah. Ia juga menambahkan apabila mereka tidak melawan maka ia tidak akan menumpahkan darah.

 Kami tidak berniat hendak memerangi Abrahah karena kami tidak memiliki kekuatan untuk itu. Rumah suci itu ( Ka’bah) adalah milik Allah yang dibangun oleh nabi Ibrahim as.  Jika Allah  hendak mencegah penghancurannya itu adalah urusan Pemilik Rumah suci itu tetapi jika Allah hendak membiarkannya dihancurkan orang maka kami tidak sangggup mempertahankannya”, begitu jawaban diplomatis  Abdul Mutthalib.

Dengan demikian pasukan Abrahahpun mustinya tanpa hambatan dapat melaksanakan keinginan menggebu-gebu pemimpin mereka untuk menghancurkan bait Allah. Sementara itu Abdul Mutthalib sebagai pemimpin Mekkah hanya dapat memerintahkan penduduk untuk segera pergi dan berlindung.

Namun apa yang kemudian terjadi? Dari balik persembunyian di tebing-tebing tinggi batu cadas yang mengelilingi kota Mekkah, penduduk dengan mata kepala sendiri dapat menyaksikan betapa ribuan burung kecil bernama Ababil berterbangan cepat menuju Ka’bah. Sementara itu ada laporan bahwa gajah-gajah yang dibawa pasukan Abrahah itu mogok.  Ketika gajah dihadapkan ke arah Ka’bah, ia segera bersimpuh dan tidak mau berdiri. Dan ketika ia dihadapkan ke arah Yaman, ia segera lari tergopoh-gopoh.

Yang lebih mencengangkan lagi, burung-burung kecil tersebut masing-masing membawa 3 buah batu kecil. Satu di paruh  dua lainnnya di kaki kanan dan kiri mereka. Anehnya walaupun batu-batu tersebut sebenarnya hanya sebesar biji gandum namun ketika mengenai tubuh orang yang dijatuhinya iapun binasa!

Dalam keadaan panik pasukan Abrahah berlarian kian kemari. Banyak diantara mereka yang meninggal dunia.  Sementara Abrahah sendiri  dalam keadaan luka parah di gotong pasukannya kembali ke negrinya. Darah dan nanah terus mengucur dari sekujur tubuh dan kepalanya. Ia wafat begitu tiba d Shan’a karena jantungnya pecah hingga mengeluarkan banyak darah dari hidung dan mulutnya.

Beberapa tahun kemudian  peristiwa yang makin membuat harum nama bani Quraisy sebagai penjaga Ka’bah yang dilindungi Tuhannya ini diabadikan-Nya dalam salah satu surat Al- Quranul Karim, yaitu surat Al-Fiil yang berarti gajah. Surat ke 105 ini diturunkan di Mekkah.

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka`bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”.

Tahun di waktu terjadi peristiwa tersebut kemudian dinamakan tahun Gajah. Tahun ini bersamaan dengan tahun 571 M. Di tahun inilah Rasulullah Muhammad saw  dilahirkan.

( Bersambung )

Read Full Post »

Allah senantiasa memindahkan diriku dari tulang-tulang sulbi yang baik ke dalam rahim-rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku berada di dalam yang terbaik dari dua tulang sulbi itu “. ( Hadits Syarif).

Logo Muhammad sawMuhammad saw lahir dari seorang ibu bernama Aminah binti Wahb. Hadist diatas adalah cerminan bahwa Aminah adalah seorang perempuan yang suci dan terpelihara.  Ayah Aminah adalah seorang terkemuka dari bani Zuhrah.  Moyangnya adalah berasal dari bani ‘Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Sementara moyang ibu Aminah adalah  ‘Abdu ‘Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Jadi nasab mereka bertemu di Kilab.

Sementara itu ayah Muhammad saw adalah Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdu ‘Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Dari sini dapat kita ketahui bahwa nasab Rasulullah dari pihak ayah dan ibu juga bertemu di Kilab. Mereka adalah  termasuk ke dalam kabilah Quraisy yang dikenal selain sebagai keluarga pedagang yang handal dan sukses juga dihormati sebagai penjaga Ka’bah yang baik dan bijaksana. Kilab sendiri adalah 15 generasi dibawah Adnan, keturunan Ismail as.

Untuk diketahui, menjadi penjaga Ka’bah termasuk menjaga sumber air zam-zam adalah merupakan suatu kehormatan. Itu sebabnya sejak wafatnya nabi Ismail as sekitar 4000 tahun silam perselisihan  dalam rangka merebut hak untuk menjaga rumah yang disucikan tersebut sering kali terjadi. Diantara tugas penting penjaga Ka’bah adalah bertanggung-jawab terhadap kelangsungan upacara haji seperti tawaf, sai, pembagian air zam-zam, pembagian makanan, keamanannya dll. Tak seorangpun yang tak kenal Abdul Mutthalib. Ia adalah seorang kabilah Quraisy dari bani Hasyim sejati, penjaga Ka’bah yang amat dihormati. Abdul Mutthalib mempunyai 10 orang anak lelaki.  Abdullah adalah yang termuda.

Menurut kabar, tiga puluh tahun sebelum kelahiran Abdullah lelaki gagah ini pernah bernazar bahwa ia akan berkurban dengan menyembelih salah satu putranya bila ia memiliki 10 anak lelaki. Pada waktu itu masyarakat Arab memiliki keyakinan bahwa anak lelaki adalah lambang kehormatan. Sebaliknya anak perempuan adalah lambang kegagalan, kenistaan dan keterpurukan.

“ Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.(Terjemah QS. An-Nahl(16):58-59).

Hingga saat itu nazar tokoh Quraisy ini memang belum dipenuhi walaupun ia telah memilki 10 anak lelaki. Namun orang yang mengenalnya dengan baik yakin bahwa suatu saat nanti pasti Abdul Mutthalib akan melaksanakan nazar tersebut. Bagi masyarakat Arab apalagi bila yang bernazar itu adalah pemuka Mekah dan penjaga Ka’bah, nazar baik itu untuk kebaikan atau keburukan adalah suatu janji tertinggi terhadap Sang Khalik. Menurut keyakinan mereka tidak memenuhi nazar adalah dosa besar. Sementara bagi pemuka masyarakat tidak memenuhi nazar sama dengan mencoreng muka sendiri. Kehormatan adalah taruhannya.

Itu sebabnya suatu hari Abdul Muttahlib mengumpulkan ke 10 anaknya untuk diundi siapa yang harus disembelih. Abdul Mutthalib sebenarnya bukanlah lelaki kasar dan jahat. Ia hanya terikat dengan nazarnya sendiri yang di belakang hari ternyata amat membuatnya tertekan. Ia amat berharap kalau saja undian itu tidak jatuh ke putra bungsunya, Abdullah yang sangat disayanginya itu sudah merupakan keberuntungan yang besar baginya. Namun apa boleh buat undian justru jatuh kepada Abdullah. Walaupun kecewa, Abdul Mutthalib tetap terlihat tegar melaksanakan nazarnya. Tampak bahwa kecintaannya kepada  Sang Khalik dan harga dirinya lebih tinggi daripada hatinya yang hancur.

Di tengah suasana tegang itulah tiba-tiba terdengar bisik-bisik bahwa masyarakat tidak setuju terhadap perbuatannya itu. Seorang pemuka Quraisy lainnya akhirnya tampil dan mengingatkan bahwa perbuatan Abdul Mutthalib itu dapat menjadi contoh yang tidak baik. Bagaimanapun mereka tidak setuju, menyembelih  anak sendiri apalagi anak lelaki adalah suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Mereka menganjurkan agar Abdul Muthalib segera pergi mencari seorang ahli nujum untuk menanyakan apa yang sebaiknya ia perbuat.

Beruntunglah, ternyata sang ahli nujum yang dipercaya masyarakat itu menganjurkan agar Abdul Mutthalib menebus anak lelaki kesayangannya itu dengan menyembelih 100 ekor unta. Dengan demikian maka Abdul Mutthalibpun bebas dari nazarnya.

Pernikahan dan kehidupan Abdullah bin  Abdul Mutthalib dengan  Aminah binti Wahb.

Abdul Muthalib telah bebas dari nazarnya. Sekarang ia dapat hidup dan berpikir lebih tenang. Abdullah, putra bungsunya telah cukup dewasa. Sudah waktunya ia menikah dan berkeluarga. Sebagai ayah yang baik ia tahu betul siapa jodoh yang paling tepat bagi putranya itu.

Sejak kecil Abdullah telah mengenal Aminah binti Juhra dengan sangat baik. Keluarga Aminah adalah keluarga yang memiliki reputasi baik di mata masyarakat Mekkah. Kedua keluarga telah menjalin hubungan sejak lama. Sebagai ayah yang penuh perhatian, walaupun ia sibuk dengan berbagai urusan kota Mekkah yang dipimpinnya, ia menyadari bahwa putranya itu memiliki perasaan khusus terhadap Aminah. Karena kebiasaan dan adat Arab, keduanya memang sejak lama tidak pernah bertemu lagi. Sesuai adat yang berlaku turun temurun, begitu Aminah menginjak usia remaja, ia tidak lagi dapat keluar rumah secara bebas. Ia dipingit hingga seorang lelaki melamarnya.

Itu sebabnya masyarakat tidak terkejut ketika suatu ketika Abdul Mutthalib datang menemui keluarga Aminah untuk melamarnya. Gayungpun bersambut. Dengan suka cita, atas persetujuan sang gadis, keluarga Aminahpun menerima lamaran tersebut. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi menikahlah keduanya.  Tentu saja masyarakat kota Mekkah ikut berbahagia mendengar pernikahan dua anggota kabilah Quraisy dari bani Hasyim dan bani Zuhrah yang mereka hormati tersebut.

Sayangnya bulan madu yang dilalui pasangan muda tersebut amatlah singkat. Tak lebih dari sepuluh hari kemudian tugas telah menanti. Abdullah harus segera kembali bergabung dengan kafilah dagang keluarganya. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh  yang telah lama dijalani keluarga besar Quraisy, yaitu ke Syam. Orang-orang Quraisy memang terbiasa pergi berdagang ke utara ( Syam)pada musim panas dan ke selatan ( Yaman ) pada musim dingin.

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka`bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.(QS.Quraisy(106):1-4).

Namun waktu yang amat singkat tersebut bukannya berarti tidak memiliki makna penting. Karena beberapa hari setelah pernikahan Aminah sempat bercerita kepada suaminya tercinta bahwa ia bermimpi melihat sinar terang benderang memancar di sekeliling dirinya. Sinar itu begitu terang hingga seakan ia bisa melihat istana Buchara di Syam. Kemudian ia mendengar suara : “Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia di kalangan umat ini”.

Tampaknya mimpi inilah yang menjadi penyemangat hidup Aminah selama kepergian Abdullah. Ia benar-benar menyadari bahwa perjalanan dagang yang dijalani suaminya bakal memakan waktu berminggu-minggu bahkan mungkin bulanan. Ya Aminah harus sabar. Hingga suatu hari di bulan kedua ia mendengar kabar kedatangan rombongan dagang suaminya. Sungguh senang hati Aminah. Ia segera mempersiapkan diri menyambut kepulangan suami tercinta.

Namun kegembiraan itu segera sirna karena ternyata Abdullah tidak berada di antara rombongan tersebut. Abdul Mutthaliblah yang langsung datang mengabarkan bahwa Abdullah tiba-tiba menderita demam tinggi ketika dalam perjalanan pulang. Akhirnya ia terpaksa ditinggalkan di Yatsrib ( Madinah).

“ Tidak usah terlalu khawatir anakku. Suamimu akan segera kembali begitu ia pulih. Aku telah meminta Al-Harits, saudaranya, agar menjaganya selama ia sakit. Bersabarlah Aminah, berdoalah agar ia segera sehat ”, begitu hibur Abdul Mutthalib kepada menantunya.

Tetapi rupanya Allah berkehendak lain. Setelah menanti dua bulan lamanya akhirnya Al-Harits pulang ke Mekkah sendirian dengan membawa kabar duka bahwa adik bungsunya yang baru beberapa bulan lalu lolos dari nazar ayahnya yang mengerikan itu, telah meninggal dunia.

Betapa berdukanya Aminah. Dalam usianya yang masih demikian muda ia harus kehilangan suami yang telah memberinya kebahagiaan walau hanya sejenak. Dan dalam keadaan hamil pula.

( Bersambung )

Read Full Post »

Older Posts »