Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Kumpulan Cerpen’ Category

Sambil mengibaskan butiran-butiran salju yang menempel di sarung tangan, Haskov menuruni escalator di suatu stasiun metro/kereta bawah tanah Moskow. Dinginnya udara rupanya tidak membuat orang malas ke luar rumah. Antrian panjang penumpang terlihat mengular.

Sebelum masuk ke antrian Haskov sempat melihat 3 orang berwajah Asia, 2 laki-laki 1 perempuan, memperhatikan peta yang ada di tangan mereka sambil celingukan. Haskov melirik jam tangannya, ia sedang tidak terburu-buru. Ia sering melihat pemandangan seperti itu, orang asing kebingungan di stasiun metro. Maklum alphabet Rusia, Sirilik, memang tidak mudah dipahami dalam waktu singkat.   

Excuse-me, do you need any help?”, sapanya.  

Indonesia, Malaysia?”, lanjutnya lagi ramah sambil memperhatikan wajah ke 3 orang tersebut..

“ Indonesia”, sahut ketiganya serempak dengan nada sedikit keheranan.

Aku Haskov, senang berkenalan dengan anda”, Haskov memperkenalkan diri dengan kalimat terbata-bata sambil mengulurkan tangannya.

Aku suka rawon, cwimie dan rujak cingur”, lanjutnya sambil tersenyum simpul membuat ketiga muda mudi tersebut tambah terheran-heran.

Waaah senang sekali bertemu orang bisa berbahasa Indonesia di tempat ini. Aku Rafi”, sahut salah seorang pemuda tersebut tanpa bisa menyembunyikan wajah sumringahnya.

“ Aku Farhan dan ini adikku Sitta”, sahut seorang lagi sambil memperkenalkan adik perempuannya.

Sittapun segera mengulurkan tangannya disambut Haskov setelah menyalami Rafi dan Farhan secara bergantian. Ketiganya segera menanyakan bagaimana pemuda Rusia itu bisa berbahasa Indonesia. Dalam bahasa campuran Indonesia dan Inggris Haskovpun segera menceritakannya. Rupanya ia pernah mengikuti program pertukaran pelajar di UIN Malang, selama 3 bulan.

“ Waktu itu aku masih mahasiswa di Universitas Islam Rusia”, Haskov mengawali ceritanya.

“ Oh ada ya universitas Islam di Rusia? Kamu Muslim”, celetuk Sitta seolah tak percaya pendengarannya.

 “ Iya Alhamdulillah. Universitas Islam Rusia adanya di Kazan. Salah satu negara bagian Rusia. Kalian pernah dengar?”, tanya Haskov.

Ketiganya menggeleng. Tapi tiba-tiba Rafi yang hobby nonton bola berseru “ Kazan kalau g salah menjadi salah satu kota penyelenggara olimpiade Rusia 2018 kan ya?”.

“ Betul sekalii … Kazan adalah ibu kota propinsi Tatarsan. Terletak 825 km arah timur  Moskow.  Kazan adalah kota besar di Rusia dimana Muslim banyak tinggal. Kota ini merupakan  pusat industri, perdagangan dan budaya Tatar yang telah berusia seribu tahun lebih. Kapan-kapan kalian harus mengunjunginya”, lanjut pemuda tersebut semangat. 

Rafi, Farhan dan Sitta mengangguk-angguk. Tak kalah semangat mereka menanggapi cerita kenalan baru mereka. Bergantian mereka menceritakan mengapa mereka ada di Moskow.

“ Aku datang kesini untuk mengunjungi adikku Sitta yang baru saja ditrima di uiversitas Moskow. Aku ajak Rafi yang kebetulan ingin mengunjungi Rusia. Kami berdua sama-sama kuliah di Belanda”, ucap Farhan.

“ Universitas Islam Roterdam?” tebak Hadnov dengan mata berbinar.

“ Oh bukan, Erasmus University. Aku di fakultas ekonomi Rafi di fakultas hukum.”, jelas Farhan.

“Memang ada ya universitas islam di Roterdam?”, lanjut Farhan dengan nada keheranan.

“Ada. Waktu itu ada mahasiswanya yang dikirim ke UIR untuk program pertukaran pelajar”, jawab Haskov.

Selanjutnya setelah cukup berbincang lama Haskov menerangkan cara membaca peta metro Moskow yang cukup rumit itu.

“ Tujuan kalian kemana? Sayang hari ini ada yang harus kukerjakan. Kalau tidak aku bisa menemani kalian, kalau kalian tidak keberatan tentunya”, ucap Haskov.

“ KBRI Indonesia. Sitta harus melapor kedatangan. G pa-pa Haskov ini juga sudah sangat membantu”, balas Farhan.

“ Btw kalau ke Red Square naik metro bisa g ya?”, tanya Rafi.

“ Bisa sekaliii … mau aku temani besok?”, Haskov balik bertanya.

“ Boleh banget”, serempak Rafi, Farhan dan Sitta menjawab penuh semangat.      

“ Oke … deal. Jam 10 pagi disini bisa?”, tanya Haskov lagi.

“ Oyaa … jangan lupa nikmati stasiun metro … stasiun metro Moskow menjadi salah satu tujuan turis … silahkan lihat sendiri lukisan-lukisan yang menghiasi dinding dan langit-langitnya, patung-patungnya juga detil profil dan lampu-lampunya. Orang bilang tak kalah dengan museum art “, ucap Haskov.      

Tak lama setelah bertukar no hp merekapun berpisah.

“ Selamat menikmati Moskow. Be careful … Jangan lupa hubungi aku”, ucap Haskov sambil bergegas meninggalkan ketiganya. 

**********

Haskov adalah seorang Muslim Rusia Afganistan. Ibunya seorang suku Pashtun yang merupakan mayoritas penduduk Afganistan. Zafira, begitu nama ibu Haskov, bersama seorang adik dan kedua orangtuanya tinggal di Moskow. Ayah Zafira mendapat tugas di negri tersebut untuk beberapa tahun. Ketika itu rezim penguasa Afganistan beraliran komunis. Begitu juga Rusia yang ketika masih bernama Uni Sovyet. Jadi wajar hubungan keduanya terjalin mesra. 

Hingga pecahlah perang Afganistan – Rusia pada tahun 1979. Sejak itu mereka tidak pernah bisa kembali ke negara mereka tercinta. Paska perang mereka pernah mencoba kembali ke Afganistan. Ayah Zafira masih ingin mencari pekerjaan di negaranya yang hancur lebur akibat perang yang berlangsung selama 10 tahun itu. Perang yang sejatinya adalah perang antara rezim penguasa komunis yang didukung Rusia melawan para mujahidin yang tidak menginginkan rezim komunis tersebut terus berkuasa. Perang ini menelan korban yang sangat banyak termasuk anggota keluarga besar orang-tua Zafira. 

Sayangnya Barat yang tampaknya membantu para mujahidin sebenarnya mempunyai kepentingan lain. Jangan lupa Afganistan mempunyai kekayaan alam yang berlimpah. Maka tak heran ketika akhirnya mujahidin berhasil mengusir Rusia dari bumi mereka dan menyelenggarakan pemilu dengan jujur dan adil, Barat malah ramai-ramai menyerang Afganistan.   

Karena suasana yang tidak nyaman inilah akhirnya ayah Zafira memutuskan kembali ke Rusia. Akan tetapi bukan d Moskow melainkan Kazan yang memiliki penduduk Muslim cukup banyak.  Akan halnya Zafira, ia memilih kuliah di Moskow yang sejak lama diminati muda-mudi Afganistan yang merasa terkekang oleh syariah Islam di negaranya. Mereka memilih budaya bebas ala Barat seperti memamerkan aurat, perzinaan dll sebagai gaya hidup mereka. Disanalah kemudian ia bertemu dengan seorang mahasiswa asli Rusia dan saling jatuh cinta. Kedua-orang tua Zafira sebenarnya tidak menyetujui hubungan tersebut karena Dimitri bukan seorang Muslim.

“ Haram hukumnya menikah dengan non Muslim, Fira. Ayah tidak akan pernah merestuinya”, ucap ayah tegas. 

Namun karena Zafira bersikeras ibunya akhirnya luluh. Merekapun menikah meski tanpa restu ayahnya. Dari pernikahan tersebut kemudian lahirlah Haskov pada tahun 1998 sebagai anak kedua. Tapi hal tersebut tidak lantas membuat hubungan Zafira dan kedua orang-tuanya membaik. Kakek-nenek Haskov baru sekali mengunjungi anak-cucunya di Moskow. Sementara Zafira juga tidak mau mengalah mengunjungi kedua orang-tuanya di Kazan. Namun demikian ketika liburan sekolah tiba sementara ia dan suaminya sibuk bekerja mereka menitipkan Haskov dan kakaknya ke rumah orang-tuanya. Itu sebabnya hubungan Haskov dan kakaknya dengan kakek neneknya cukup dekat. Merekalah yang memperkenalkan Islam karena Zafira tidak lagi memperhatikan ajarannya.     

Namun demikian Haskof baru benar-benar menjalankan ajaran Islam seperti shalat, puasa dan lain-lain setelah usia 15 tahun. Itupun setelah ia sering googling mencari tentang kebenaran Islam. Berita-berita miring tentang Afganistan seperti burqa, jihad dll justru membuatnya makin penasaran.

Setelah lulus sekolah menengah atas Haskovpun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan ilmu di Universitas Islam Rusia (UIR) yang terletak di Kazan. Pada tahun pertama ia memilih tinggal di asrama kampus agar dapat lebih merasakan suasana Islami bersama teman-teman barunya. Tapi untuk melega hati kakek neneknya yang sudah tua, tahun berikutnya hingga selesai kuliah 3 tahun kemudian ia memutuskan untuk tinggal di rumah mereka.  

Lulus dari UIR Haskov langsung mendaftarkan diri program beasiswa S2 di Universitas Islam Al-Azhar Kairo. Sambil menunggu pengumuman ia mengisi waktunya dengan bekerja di perpustakaan sebuah universitas swasta di Moskow. Dengan begitu ia dapat menyalurkan hobbynya membaca. Ia juga berharap dengan kembali ke rumah dapat memperkenalkan Islam kepada ayahnya, sekaligus ibunya agar kembali ke pangkuan Islam.

***************

“ Assalamualaykum brothers sister, how are you today. G kedinginan?”, berondong Haskov begitu melihat Farhan, Rafi dan Sitta mendekat. Suhu saat itu 3 derajat Celsius … bbbrrr …

Sesuai janjinya hari ini Haskov menemani ketiganya untuk mengunjungi Kremlin Red Square  yang merupakan ikon Rusia. Kremlin sebenarnya adalah istilah Rusia untuk benteng dimana di dalamnya berdiri kompleks gedung pemerintahan. Itu sebabnya Kremlin tidak hanya ada di Moskow namun juga di kota-kota besar Rusia lain. Namun orang terbiasa merujuk Kremlin sebagai pusat pemerintahan Rusia yang ada di Moskow. Kremlin yang dibangun pada abad ke 15 ini mempunyai 20 menara.

Sejak zaman para tsar/raja Rusia berkuasa hingga saat ini Kremlin juga digunakan sebagai tempat tinggal resmi tsar dan orang no 1 negara. Kremlin ini berada di dalam pelataran luas yang namanya Red Square. Ia merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat spiritual dan hiburan rakyat Rusia. Setiap awal tahun pelataran ini menjadi panggung utama acara Tahun Baru lengkap dengan pesta kembang apinya. Menjadi daya tarik tersendiri bagi turis lokal maupun mancanegara untuk berdatangan.

Di kompleks yang sangat luas ini berdiri beberapa istana dengan fungsinya yang berbeda-beda, gereja, museum, taman dll. Mausoleum atau makam Lenin bapak komunis Rusia yang meninggal pada tahun 1924 juga ada di tempat ini.  Belakangan sebuah mall megah yang merupakan mall terbesar di Moskow melengkapi kemeriahan Red Square.  

“ Waah luas sekali yaa kompleksnya”, ucap Rafi begitu memasuki pelataran raksasa tersebut. 

“ Pelataran ini sering dipakai konser musik yaa? Sering lihat gedung itu di foto-foto tapi g nyangka kalau ternyata ada di dalam kompleks ini. Gedung apa sih itu sebetulnya? “, tanya Sitta penasaran. ”, tanya Sitta sambil menunjuk sebuah bangunan unik warna-warni yang ada di depannya.

“ Rasanya pernah baca berita Opick main di sini deh. Kalau g salah di perayaan Iedul Adha tahun 2012”, tanya Farhan ragu.

“ Perayaan Iedul Adha di Moskow? Bisa emang?, timpal Sitta keheranan.  

“ Oh iyaa betul. Perayaan Iedul Adha atas prakasa mufti besar Rusia pernah diadakan disini. Tapi bukan di pelataran terbuka ini melainkan di dalam gedung pertunjukkan “The State Kremlin Palace”. Tempat yang sangat bergengsi. Tujuannya untuk memperkenalkan Islam kepada rakyat Rusia. Permainan sinar laser dengan foto-foto orang sedang shalat, Kabah, ayat-ayat Al-Quran dll menjadi latar belakang panggung. Benar-benar spektakuler. Sekitar 5000 penonton memenuhi gedung tersebut”, jelas Haskov dengan mata berbinar.  

“ Sejak kejatuhan rezim komunis Uni Sovyet pada tahun 1991 Rusia sangat terbuka pada umat agama lain. Rumah-rumah ibadah umat Kristen, Islam maupun Yahudi yang pada tahun 1937 ditutup secara paksa kembali dibuka”, lanjut Haskov. 

“ Kembali ke pertanyaan Sitta. Itu gereja, namanya St. Basil’s Cathedral. Dibangun pada tahun 1552 atas perintah Ivan The Terrible, tsar pertama Rusia. sebagai lambang kemenangan atas kerajaan Islam Kazan. Pernah dengar nama kaisar ini?”, Haskov balik bertanya.

“ Pernah .. tapi g tahu kenapa dibilang terrible alias mengerikan”, jawab Sitta lagi.

“ Ivan The Terrible sebelum diangkat menjadi tsar atau kaisar pertama Rusia hanyalah penguasa Moskow yang mempunyai kewajiban membayar jiziyah kepada kerajaan Islam Kazan. Kerajaan Islam yang didirikan pada tahun 1438 ini termasyhur dengan reputasinya sebagai penunggang kuda yang luar biasa. Mereka juga dikenal sebagai pandai besi yang mencetak besi berkualitas tinggi diantaranya adalah koin perak dengan tulisan Arab”.

“Menjelang tahun 1550- an ketika kerajaan Islam tersebut melemah Ivan mengerahkan pasukannya untuk menyerang kerajaan tersebut hingga terjadilah perang yang berakhir dengan kekalahan Kazan. Kekalahan ini menandakan runtuhnya dominasi Islam sejak abad 9. Dan sejak itu pula Kazan menjadi bagian dari Rusia hingga saat ini”.

“Dan untuk merayakan kemenangannya itu sang kaisar memerintahkan seorang arsitek Kazan untuk membangun sebuah katedral di Moskow, dengan model seperti masjid-masjid di Kazan”, jelas Haskov.  

“ Oh pantesan mirip banget masjid”, celetuk Farhan.

“ Hanya karena itu lalu ia diberi gelar the Terrible?”, tanya Rafi heran.   

“ Belum selesai ceritanyaa … begitu gereja selesai dibangun supaya si arsitek tidak bisa lagi membangun bangunan serupa ia memerintahkan algojo untuk mencongkel matanya!!”, lanjut Haskov.

“ Haaah … serius??”, seru Sitta, Farhan dan Rafi nyaris bersamaan.

Haskov mengangguk sambil jari telunjuknya menunjukkan ke suatu tempat “ Masih soal Kazan. Lihat gereja itu. Itu adalah kathedral Our Lady of Kazan. Dibangun pada tahun 1625 pada masa kerajaan dimana Kristen Ortodoks menjadi agama resmi kerajaan. Namun ditutup seperti juga rumah ibadah agama lain sejak rezim komunis berkuasa pra kejatuhan kerajaan yang diawali revolusi Rusia 1917. Baru dibuka kembali setelah direnovasi antara 1990 – 1993”, ucapnya.  

“ Pertanyaannya, mengapa gereja tersebut dinamakan Our Lady of Kazan?? Apakah ada hubungannya dengan kisah seorang putri raja Kazan yang ditawan Ivan The Terrible paska penaklukkan kerajaan Kazan?? Yang pasti di kota Kazan ada sebuah menara yang diberi nama sang putri yaitu Soyembika.  Ada 2 versi cerita mengenai putri Kazan ini. Paska penaklukan ia diasingkan ke penjara Moskow bersama putranya yang masih belia, hingga wafatnya 3 tahun kemudian di usianya yang ke 38 tahun”.

“Yang kedua, tergiur oleh kecantikannya, Ivan sang penakluk yang kejam itu melamarnya. Soyembika menerima lamaran tersebut namun dengan syarat, yaitu membangun menara masjid berlantai 7 dalam waktu 7 hari. Ironisnya, begitu menara selesai tepat pada waktunya, dengan alasan ingin melihat kota untuk terakhir kalinya dari atas menara, sang putri calon mempelai malah melompat menjatuhkan diri hingga tewas”.

“Waah menarik yaa ternyata sejarah Kazan. Sayang tidak banyak orang tahu. Jadi pingin kesana niih ”, ucap Sitta dengan berbinar.

“ Betul sekali. Kota yang didirikan pada tahun 1005 ini adalah saksi bisu sejarah yang sangat panjang. Selama ratusan tahun ia menjadi ibu kota kerajaan Islam yang secara bergantian menguasai sebagian besar wilayah Kaukasus yang sekarang menjadi wilayah Rusia”.

Kerajaan Islam yang tercatat pernah menguasai wilayah tersebut diantaranya adalah Kerajaan Bulgaria Volga yang didirikan Batu Khan pada tahun 1236-1255. Kemudian Kipchak Khanat dibawah Berke Khan, salah satu putra Jengis Khan kaisar Mongol yang dikenal bengis. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dibawah kaisar Ozbeg Khan yang memerintah dari tahun 1313 hingga 1341. Kekuasaannya meliputi sebagian wilayah Asia Tengah, sebagian besar wilayah Eropa Timur; dari pegunungan Ural, pesisir barat sungai Danube hingga jauh ke pedalaman Siberia, termasuk Moskow. Di sisi selatan kekuasaannya hingga ke tepi laut Hitam, pegunungan Kaukasus hingga perbatasan dinasti Mongol.

Ozbeg dikenal sangat toleran. Paus John XXI pernah mengiriminya surat tanda terima-kasih atas sikap sang kaisar yang mengizinkan kaum Nasrani beribadah di gereja dan melindungi mereka. Kebijakan pemungutan jizyah terhadap kaum dzimmipun diberlakukan dengan baik. Kaum dzimmi adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Negara Muslim.

Hubungan Moskow dengan kesultanan Islam Abbasiyah yang berpusat di Baghdad telah terjalin baik sejak tahun 922. Mereka saling bertukar duta besar. Bahkan seorang sultan Abbasiyah sempat mengajak Vladimir I penguasa Kiev untuk memeluk Islam tapi ditolak karena ia lebih memilih alkohol yang dilarang dalam Islam.

“Sempatkan berkunjung ke Kazan sebelum kembali ke Indonesia. Kunjung Kremlin Kazan dimana berdiri masjid biru Qul Syarif yang cantik. Dengan senang hati akan kutemani jika kalian berkenan. Kalian bisa menginap di rumah kakek nenekku”, ucap Haskov sambil tersenyum.

“Setujuuu “, jawab ketiganya serempak.  

Mereka terus berjalan menikmati keindahan bangunan-bangunan di pelataran tersebut sambil berbincang dan berfoto tentu saja.

“ Dingiin euy bikin lapaaaar, istirahat makan dulu yuuk, nanti lanjut lagi. G bayar inilah masuknya”, usul Farhan sambil menaikkan jaketnya hingga ke muka untuk menahan dinginnya udara.

“ Boleh kalau mau makan dulu. Kebetulan g jauh dari sini ada restoran Halal cukup enak dan tidak terlalu mahal”, jawab Haskov. 

Sitta dan Rafi yang juga ternyata merasakan hal yang sama tanpa banyak bicara segera mengikuti langkah pemuda Rusia tersebut keluar pelataran Red Square. Tak jauh dari tangga menuju metro Haskov berbelok ke kiri dan langsung masuk ke sebuah kafe Turki bernama Zam Zam.

Merekapun langsung duduk dan memesan makanan. Tak lama kemudian mereka sudah asik menikmati pesanan masing-masing. Selesai makan mereka masuk kembali ke Red Square.

“ Sebelum berkeliling bagaimana kalau kita shalat dulu. Di ujung taman sebelah sana ada tempat agak terlindung dan sepi. Kita bisa berjamaah kalau mau ”, ajak Haskov.  

Maka jadilah Haskov berdua Farhan shalat. Sementara Sitta yang sedang berhalangan dan Rafi yang memang bukan Muslim berjalan-jalan menikmati taman yang luas tersebut. 

Usai shalat mereka berbincang-bincang. Haskov mengajak Farhan untuk suatu Jumat nanti shalat di masjid terbesar di Moskow yaitu Moskow Katedral Mosque. Awalnya masjid yang dibangun pada 1904 ini hanya masjid kecil yang didominasi Muslim Tartar. Baru pada tahun 2015 masjid tersebut direnovasi dan diperbesar menjadi 6 lantai dengan kapasitas 10 ribu jamaah, menjadikannya masjid terbesar di Rusia bahkan mungkin di Eropa. Lokasinya sangat strategis yaitu di pusat kota bersebelahan dengan stadiun olimpiade dan sangat dekat dengan stasiun metro. Sering disebut masjid Prospect Mira sesuai nama jalan dan stasiun metro dimana masjid berada.

“Perhatian pemerintah Rusia terhadap Muslim belakangan ini patut diacungin jempol. Pada peresmian masjid tersebut hadir presiden Vladimir Putin mendampingi mufti besar Rusia. Hadir juga presiden Turki Tayyip Erdogan dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas”, cerita Haskov.

“ Selain itu Moskow juga mempunyai beberapa masjid lain yang cukup besar dan indah. Demikian juga di sejumlah kota besar negara bagian Rusia. Contohnya di Grosny ibukota Chechnya. Masjid Prophet Mohammed namanya, atau juga sering disebut masjid Ramzan Kadyrov sesuai nama presidennya yang dikenal sangat alim. Masjid ini menampung 70 ribu jamaah. Juga di Dagestan. Sebuah proyek besar yang diberi nama Pusat Spritual Nabi Isa Alaihi Salam sedang dibangun. Di dalam proyek yang berlokasi di tepi laut Kaspia ini selain masjid juga akan dibangun sebuah universitas Islam, pusat pembinaan dan rehabilitasi, madrasah penghafal Alquran, serta wahana wisata pantai”, lanjutnya.

“Putin juga sering mengutip ayat-ayat Al-Quran dalam acara kenegaraan meski ia bukan Muslim. Tapi adzan memang tetap tidak diperbolehkan hingga ke luar masjid tapi tidak masalah. Kami masih bisa memakluminya. Tugas kita sebagai Muslim Rusia yang utama adalah memperkenalkan Islam. Tunjukkan Islam bukan sekedar agama yang santun, bersih, disiplin dan toleran tapi juga tegas bersih dari kesyirikan.  Ini untuk melawan Islamophobia akut yang sedang menyerang dunia saat ini. Itu pesan salah satu dosen UIR pada acara wisuda yag selalu kuingat”, lanjut Haskov.  

“ Ohiya aku dengar berita miring di Indonesia mentri agamanya menyamakan adzan sama berisiknya dengan gonggongan anjing, benarkah?”, tiba-tiba ia bertanya mengagetkan Farhan.yang sedang asyik mendengarkan ceritanya.

“ Oh sampai juga di sini ya beritanya? Miris bukan?”, ujar Farhan kesal.       

“ Aneh juga yaa … Indonesia kan mayoritas Muslim masak panggilan shalat disamakan dengan gonggongan anjing. Kalau kejadiannya disini mungkin masih bisa dimaklumi”, ucap Haskov prihatin.

Tak lama Sitta dan Rafi mendekat dan mengajak keduanya melanjutkan petualangan menjelajahi Red Square. Tak cukup 1 hari untuk menikmati objek wisata nomor 1 Moskow tersebut sekalipun sejak pagi hari. Apalagi di musim dingin dimana matahari lebih cepat terbenam.

“ Jika tertarik sejarah kalian bisa masuk ke museum di depan kalian itu, namanya Museum Sejarah Negara. Museum tersebut adalah salah satu museum terpenting di kota ini. Mungkin bisa disetarakan Musee du Louvre di Paris Perancis. Koleksinya diperkirakan mencapai 4,3 juta barang”, Haskov berkata sambil menunjuk sebuah bangunan megah di depan mereka.

“ Kapan-kapan aja kali yaa  .. hari ini kita lihat-lihat dari luar dulu”, usul Rafi.

Hingga menjelang malam mereka berada di tempat yang nyaris tak pernah sepi dari turis lokal maupun mancanegara itu tidak peduli dingin yang menggigit.

********************.

Dua tahun berlalu. Farhan dan Rafi telah menyelesaikan kuliah mereka tepat waktu. Rafi langsung kembali ke tanah air dan sedang menanti panggilan pekerjaan. Farhan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu S2 ekonomi syariah di universitas Durham Inggris. Sitta di tahun ke 3 universitas Moskow. Sementara Haskov sedang menyelesaikan tugas akhirnya di fakultas ushul fiqih universitas Al-Azhar Kairo.

“ Haskov, melalui dirimu Rafi mendapat hidayah. Beberapa hari lalu ia mengabarkan bahwa ia telah bersyahadat. Menurutnya persahabatan kita selama 2 tahun ini telah membuka hatinya. Ia sangat berterima-kasih padamu yang secara tak langsung telah mengenalkan Islam padanya. Aku jadi malu sendiri bertahun-tahun berteman dengannya tapi tidak mampu memberinya kesan yang baik tentang Islam. Sementara kamu seorang minoritas di negri bekas komununis bisa konsisten menjalankan Islam”,  tulis Farhan melalui email yang ditujukan kepada Haskov.

“ Masya Allah Allahu Akbar … Hidayah milik Allah, diberikanNya kepada yang Ia kehendaki  … sungguh senang mendengarnya  … kabar baik juga datang dari ibuku … Kemarin ia bersyahadat di masjid katedral Moskow … Alhmdulillah  … sayang ayahku masih belum tergerak .. menurutnya wine terlalu nikmat untuk ditinggalkan .. hayyaa … persis pernyataan Vladimir I dari Kiev, tsar Rusia yang pernah diajak masuk Islam oleh seorang sultan Abbasiyah”, jawab Haskov.

“ Alhamdulillah … selamat untuk ibumu, semoga istiqomah. Sampaikan salam hormatku. Mengenai ayahmu, semangat Haskov, jangan pernah putus asa. Tahukah kau, Sitta mau mengenakan jilbab aku yakin juga tidak terlepas dari peranmu. Ia sangat mengagumimu. Aku titip sekembalimu ke Moskow ya … Trimakasih sebelumnya … Jazakallah”, balas Farhan lagi mengakhiri email-nya.

***************

Jakarta, 28 Februari 2022.

Vin AM.

Read Full Post »

Suatu pagi di musim semi yang cerah, murid-murid sebuah sekolah dikejutkan oleh rentetan panjang peluru yang berhamburan dari sebuah senjata api yang ditembakkan orang tak dikenal. Azriel terhenyak. Saat itu ia baru saja masuk kelas untuk meletakkan tas sekolahnya. Ia segera berlari menuju jendela kelas. Dari sana ia melihat seorang lelaki berhelm menutup kepala dan wajah, dengan senjata api di tangan bergegas menuju sebuah motor kemudian dengan cepat melesat meninggalkan area sekolah dimana ia dan adik satu-satunya menuntut ilmu. Tiba-tiba ia teringat adiknya yang baru berumur 8 tahun itu. Bergegas iapun ke luar kelas dan menuruni tangga menuju pekarangan.

Disana ia melihat guru-guru, orang-tua dan siswa sekolah histeris. Ia melihat ada beberapa kerumunan, beberapa orang tergeletak bersimbah darah. Ia hanya berhenti dan melihat sepintas, pikirannya tertuju kepada Gabriel, adiknya.

“ Azriel, adikmu tertembak !”, teriak seorang teman mengagetkannya.

Azriel segera menghambur ke arah suara tersebut, ke arah kerumunan orang yang sedang berusaha menolong adiknya yang sedang terkapar. Ia segera menyeruak dan memeluk tubuh adiknya yang menangis kesakitan.

“ Ya ampun Gabriel, apa yang terjadi, tenaang, jangan menangis yaa, kamu g akan mati koq”, hibur Azriel.

Peristiwa nahas ini terjadi pada bulan Maret 2012 di sebuah  sekolah Yahudi dibawah yayasan Ozar Hatorah di kota Toulouse, Perancis. Seorang rabbi dan 6 orang murid dikabarkan meninggal tertembak sementara 5 orang lainnya terluka parah.

Beruntung Gabriel tertolong, peluru yang mengenai bahu kanannya dapat segera di keluarkan. Namun gadis kecil itu masih terguncang hingga beberapa bulan ke depan. Demikian pula sebagian besar murid sekolah tersebut, termasuk Azriel yang 6 tahun lebih tua dari adiknya.

Dari peristiwa tragis tersebut, Azriel menjadi bertambah yakin bahwa Islam adalah agama teroris. Bagaimana tidak, dari media ia mendengar bahwa lelaki berdarah dingin yang menembaki adik dan teman-temannya itu adalah seorang Muslim. Ia melakukan itu semua dengan dalih kesal melihat Muslim di Palestina sering diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Yahudi Israel.

“ Aneh .. sama sekali g masuk akal”, gerutunya keheranan.

Sebaliknya Azriel juga tahu apa itu antisemit, yaitu sikap permusuhan dan tidak suka seseorang/kelompok terhadap bangsa Yahudi. Kelompok tersebut bukan Muslim. Mereka orang kulit putih juga, biasanya fans berat Nazi. Ia dan teman-temannya sesama Yahudi sempat juga merasakan hal ini, tanpa tahu apa penyebabnya.

“ Anti-Semit di Perancis adalah yang paling liar.  Tinggalkan negara ini, kita telah punya Israel Raya yang aman bagi kita”, umbar PM Israel Ariel Sharon sebelum komanya selama 8 tahun.

“ Kau harus selalu ingat Azriel apa itu Holocaust. Shoah kita menyebutnya. Bagaimana kejamnya Nazi terhadap kita. Jutaan orang mereka bantai selama PD II hanya karena mereka iri terhadap kesuksesan Yahudi. Bagaimanapun Yahudi adalah ras tertinggi, ras paling mulia yang ada di muka bumi ini“, jelas ibunya berulang kali.

“ Tempat yang paling aman bagi kita adalah Yerusalem di Israel dimana ribuan tahun lalu berdiri kuil kuno Solomon. Disana Tuhan kita, Yahweh, akan senantiasa memberkati kaum Yahudi. Untuk itu apapun harus kita lakukan, surga adalah jaminannya, bukan cuma di dunia tapi juga di akhirat ”, kata-kata itu selalu terngiang di telinga Azriel.

Dengan bekal semangat dan rasa dendam membara di dada inilah Azriel dan sebagian besar remaja Yahudi dimanapun berada, bercita-cita tinggi ingin menjadi tentara Zionis. “ Aku harus menjadi tentara Zionis, demi terciptanya Negara Yahudi Raya”.

Ozar Hatorah sendiri adalah sebuah organisasi Yahudi ortodoks yang bergerak dalam bidang pendidikan, didirikan pada tahun 1945 di Yerusalem, dan didanai oleh komite Yahudi Amerika. Organisasi ini memulai kiprahnya dengan membangun 29 sekolah Yahudi di tanah pendudukan Palestina. Selanjutnya dibangun pula puluhan sekolah ke Negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara dimana komunitas Yahudi berada, seperti di Iran, Suriah, Libia dan Maroko, dengan total sekitar 17 ribu siswa.

Kemudian pada tahun 1971, ketika orang-orang  Yahudi bermigrasi dari Afrika Utara ke Perancis, Ozar Hatorah membuka sekolah di beberapa kota besar Perancis, hingga kini mencapai 20 sekolah, salah satunya yaitu sekolah dimana Azriel berada. Jumlah Yahudi di Perancis memang adalah yang terbanyak di Eropa, yaitu lebih dari 550 ribu. Namun kini sebagian sudah banyak yang berpindah ke Israel.

***

Azriel lahir dari seorang ibu keturunan Spanyol berdarah Yahudi. Nenek moyang dari pihak ibunya lari dari Spanyol menuju Perancis paska terjadinya Reconquista  pada tahun 1492. Ketika itu   ratu Isabela dan raja Ferdinand dari Aragon yang berhasil menaklukan Granada, kerajaan Islam terakhir di Spanyol, mengusir orang-orang Islam dan Yahudi yang tinggal di tanah tersebut. Setelah sempat berpindah-pindah kota akhirnya mereka menetap di Montauban, sebuah kota tak jauh dari Toulouse,  hingga sekarang ini.

Sementara ayahnya adalah imigran Iran yang menetap di Pau, kota kecil sekitar 200 km barat daya Toulouse, paska revolusi Iran oleh Khomeini pada tahun 1979 lalu. Ketika itu ayah Azriel baru berusia 5 tahun.  Ayah Azriel bersekolah di kota tersebut hingga lulus SMA.

Ayah bertemu dengan ibu karena sama-sama kuliah di universitas Toulouse, salah satu universitas tertua di Eropa. Universitas ini didirikan pada tahun 1229. Mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menikah meski berbeda keyakinan. Ayah dan keluarga besarnya seperti juga sebagian besar orang Iran adalah pemeluk Islam.

Tapi ayah  kelihatannya tidak begitu peduli dengan agama yang dipeluknya itu. Setidaknya itulah yang terkesan oleh Azriel. Namun ia tahu persis bahwa ayahnya selalu membawa-bawa batu khusus kemanapun ia pergi. Ayahnya yang jarang di rumah karena kesibukan pekerjaannya bahkan sering mengolok-olok Islam.

“ Payah pemerintah Arab Saudi, jenggot aja di urus. Heran, kenapa orang-orang bodoh terbelakang itu masih mau saja dibohongi pergi haji ke Mekah. Haji itu ya di Karbala dimana sayidina Husein dimakamkan”, gerutu ayahnya ketika terjadi kecelakaan maut di Mina pada musim haji lalu.

“ Bukannya memang Islam itu agama terbelakang, batu koq disembah, persis seperti batu jimatmu itu  ”, sambar ibunya sinis.

“ Jaga mulutmu Giselle .. Haji itu akal-akalannya Arab Saudi yang ingin memeras uang orang-orang Islam yang tidak berpendidikan” , hardik ayah yang merasa tersinggung dengan komentar pedas ibu.

Azriel segera masuk kamar, menutup pintunya rapat-rapat. Ia tutup kedua telinganya dengan head phone bersuara musik keras sekencang-kencangnya. Ia hafal betul kalau sudah begitu pasti bakal panjang urusannya, dan ia tidak ingin mendengarnya.

Sementara itu hubungan ayah dengan keluarga besarnya juga sangat rapuh.

“ Kau nikahi perempuan Yahudi. Kau sekolahkan anakmu di sekolah Yahudi. Sekarang kau tinggalkan pula agama nenek moyang kita. Enyahlah kau anak durhaka dengan tanah Karbalamu itu. Syiah bukan Islam, pahami itu  !”, kalimat itu didengar Azriel diucapkan oleh kakeknya dengan gusar. Ketika itu ia dan ayahnya sedang berlibur dengan mengunjungi kakek dan neneknya di Pau.

Maka sejak itulah hubungan ayah dan keluarga besarnya terputus. Tidak pernah lagi Azriel maupun ayah ibunya berkunjung ke rumah kakek nenek yang dulu sangat memanjakannya itu. Rumah berhalaman luas dengan pemandangan deretan pegunungan Pirenea itu sekali-sekali masih suka terbayang di pelupuk mata Azriel. Namun apa mau dikata, bahkan adiknya, Gabriel, sama sekali tidak mengenal siapa kakek dan nenek dari ayahnya.

Kini, Azriel telah lupa bahwa ia punya keterikatan dengan Muslim. Pelajaran dan pergaulannya di sekolah serta ibu dan keluarga besarnya begitu besar mempengaruhi hidupnya.

***

Malam itu Azriel terlihat serius di depan komputernya. Ia harus menyelesaikan tugas sekolah yang harus dikumpulkan besok lusa. Sejak beberapa hari terakhir ini ia memang sibuk mengumpulkan data-data untuk tugas yang menjadi syarat wajib mengikuti ujian akhir SMAnya. Tugas itu berkaitan dengan peristiwa yang pernah dialaminya 3 tahun lalu yaitu penembakan di sekolahnya.

Beberapa kali Azriel yang telah tumbuh menjadi seorang pemuda berusia 17 tahun itu terlihat tegang.  Wajahnya mengernyit menunjukkan ekspresi seolah tidak percaya campur heran kaget.

“The Hoax of the 20th Century: The case against the presumed extermination of European Jewry”, begitulah judul tulisan di depan layar komputer yang terpampang di depan matanya.

Azriel segera mengunci pintu kamarnya, khawatir ibunya memergoki apa yang sedang dibacanya.

Menurut berita tersebut, pada tahun 1976 Arthur Butz, seorang profesor teknik dari Northwestern University, menyatakan bahwa gas Zyklon-B yang selama ini dipercaya sebagai zat pembunuh orang-orang Yahudi pada peristiwa Holocaust sebenarnya tidak pernah digunakan untuk membunuh satu orangpun Yahudi. Zat itu hanya digunakan untuk proses menghilangan bakteri yang ada pada pakaian.

Selanjutnya,  Azriel menemukan artikel yang ditulis oleh Paul Rassinier, korban Holocaust yang selamat. Pada tahun 1964, ia menerbitkan sebuah buku berjudul “The Drama of European Jews”. Isi buku ini mempertanyakan apa yang diyakini dari Holocaust selama ini. Dalam bukunya, ia mengklaim bahwa sebenarnya tak ada kebijakan pemusnahan massal oleh Nazi terhadap Yahudi, tak ada kamar gas, dan jumlah korban tidak sebesar itu (5,6 – 5,9 juta orang).

Tulisan lain yang memperkuat “kebohongan holocaust” adalah tulisan seorang Winston Churchill, PM Inggris yang memainkan peran penting terjadinya PD II. Dalam karya monumentalnya,”The Second World War”, ia tidak menyebut sedikitpun tentang program Nazi dalam pembantaian orang Yahudi. Meski tak bisa disangkal bahwa Nazi memperlakukan Yahudi dengan buruk, kejam, dan bengis.

Disamping itu Azriel juga menemukan berita mengenai Nicolas Anelka dan Dieudonné M’bala. Anelka adalah seorang pesepak bola Perancis. Sedangkan Dieudonné  adalah seorang komedian Perancis, sekaligus aktor dan aktivis politik. Keduanya ditangkap dan diamankan polisi karena dianggap telah melakukan prilaku Antisemit.

Anelka melalui gerakan hormat spontan pada salah satu pertandingan yang dilakukannya, namun mengaku tidak tahu apa maknanya. Sementara Dieudonné yang sudah beberapa kali dihukum karena sikap antisemit-nya, diamankan polisi gara-gara sikapnya yang dianggap memihak terorisme. Terorisme yang dimaksud adalah tragedi penembakan di kantor berita satir Charlie’s Hebdo di Paris pada Januari 2015 lalu.

***

“ Selamat jalan nak, jangan lupa kabari kami disini. Semoga sukses dan Yahweh selalu menyertaimu”, ucap ibu Azriel sambil memeluknya erat.

Siang itu ayah, ibu, Gabriel, kakek nenek dan beberapa teman dekat Azriel melepas keberangkatan Azriel ke Jerusalem di Israel. Ia diterima di Hebrew university of Jerusalem melalui program beasiswa yang diberikan sekolahnya. Pengumuman itu ditrimanya hanya beberapa hari setelah hari kelulusannya.

Sebenarnya kuliah baru akan dimulai awal September namun ia ingin memanfaatkan liburan panjangnya dengan mengenal lebih dahulu Jerusalem, sejarah maupun penduduknya. Kota ini selama beberapa waktu memang telah begitu menyita perhatiannya. Jerusalem kota suci dimana dulu pernah berdiri bait suci umat Yahudi dan kini direbut umat Islam. Dengan semangat inilah Azriel memasuki kota suci 3 agama terbesar di dunia tersebut.

Pesawat mendarat di bandara Ben Gurion yang terletak sekitar 40 km baratlaut Jerusalem pada pukul 17.15 waktu setempat. Jerusalem sebenarnya mempunyai bandara sendiri, namun ditutup sejak tahun 2000 karena alasan keamanan.

Dari bandara Azriel langsung menumpang kereta api cepat menuju pusat kota Jerusalem. Rencananya ia akan langsung ke hotel. Dari hotel setelah cek-in dan meletakkan koper, ia akan berjalan-jalan sekitar hotel dimana ia tinggal. Untuk itu ia sengaja memilih hotel di pusat kota. Besok agak siang ia baru akan mengunjungi kota tua Jerusalem timur dimana Tembok Ratapan berada.

Tanpa sadar Azriel berdecak kagum. Ia tidak pernah berpikir bahwa Jerusalem yang dikabarkan sering terjadi kericuhan itu ternyata kota yang maju dan modern. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, stasiun kereta api dan jembatannya yang merupakan gerbang masuk kota terlihat indah dan megah. Jalan rayanya mulus, besar dan bersih. Demikian pula rumah penduduknya yang rata-rata di cat putih, terlihat rapi dan teratur.

Maka malam itu jadilah Azriel berbaur di sebuah kafe diantara turis-turis manca negara yang memenuhi kota tersebut. Suara musik hingar bingar terdengar sahut menyahut dari kafe dan pub di sekitarnya. Tidak terkesan sedikitpun bahwa Jerusalem adalah kota suci seperti yang ia pahami selama ini.

“ Kalau ingin menyaksikan kesucian kota ini pergilah ke kota tua anak muda”, begitu jawaban pelayan sambil meletakkan bir pesanannya.

***

Esok harinya, sekitar pukul 11 siang Azriel sudah bersiap meninggalkan hotel. Tujuannya adalah kota tua. Rencananya ia akan berdoa dulu di Tembok Ratapan, setelah itu baru berjalan-jalan melihat sekelilingnya. Kebetulan halte bus yang menuju tempat tujuannya tidak jauh dari hotel tempat ia bermalam.

Tak lama kemudian Azriel sudah berada di dalam bus yang dipenuhi turis. Rupanya keberuntungan sedang berada di pihak pemuda tersebut, karena ada guide yang sedang memandu sekelompok turis di dalam bus tersebut. Dengan demikian ia bisa ikut menguping penjelasannya.

“ Di depan sebelah kiri kita itu adalah universitas Hebrew of Jerusalem. Ini adalah universitas kedua tertua di Israel, dibangun pada tahun 1918. Albert Einstein dan Sigmund Freud adalah alumni universitas ini”, jelas sang guide sambil menunjuk ke sebuah bangunan megah di depan sana.

Azriel segera mengalihkan pandangannya ke gedung dimana ia akan menuntut ilmu nanti. Sebuah kompleks gedung dengan taman yang cukup luas terbentang di hadapannya.  Rasa senang dan bangga segera menyelimuti hati Azriel. Senyum simpul menghiasi wajah bertopi kecil khas Yahudi yang bertengger di kepala Azriel.

Bus berhenti sebentar di depan sebuah halte yang ada di seberang kampus. Tampak beberapa pasang muda mudi, tampaknya mahasiswa,  mengantri untuk menaiki bus. Azriel dan para penumpang bus yang sebagian besar turis tak mau melewatkan kesempatan tersebut. Mereka segera mengambil foto bangunan bergengsi tersebut.

“ Di sebelah kanan anda, di atas bukit, adalah kompleks Temple Mount. Orang Islam menyebutnya Haram Asy-Syarif. Bangunan berkubah kuning adalah apa yang disebut Dome of the Rock”,  terdengar suara guide mengingatkan.

Serentak para penumpang termasuk Azriel menoleh ke arah kanannya. Dome of the Rock yang fenomenal, dengan kubah kuning keemasannya terlihat mencolok.

“ Bait Solomon”, bisik Azriel dalam hati dengan mata berbinar.

Ingatannya segera melayang kepada cerita para guru dan rabbi di sekolahnya.

“ Dimanapun kita berada selalu saja ditindas. Dan ini terjadi sejak ribuan tahun lalu. Begitulah kehendak Yahweh, agar kita selalu ingat untuk terus berjuang. Jadi jangan merasa takut, Yahweh senantiasa melindungi kita, umat Yahudi. Kita adalah umat terbaik, termulia, tak ada yang dapat mengalahkan kita”, jelas rabbi menggebu-gebu.

“ Yahweh, Tuhan kita  telah menetapkan tanah Jerusalem yang diberkati, dimana Bait Solomon ke 1 dan 2 pernah berdiri dan dihancurkan, adalah milik kita. Untuk itu harus kita rebut kembali dari para perampasnya. Bait Solomon ke 3, bait terakhir itu harus segera didirikan berapapun banyak dan mahalnya yang harus kita korbankan”, tambahnya lagi.

Bus terus melaju perlahan, menyusuri bagian timur dan tenggara bukit dimana Temple Mount yang berdiri megah dikelilingi tembok raksasa mirip benteng itu berada. Membuat puas mata yang memandangnya. Beberapa menit kemudian buspun berhenti. Didepan sana terlihat antrian bus-bus besar turis diparkir.

“ Kita sudah sampai. Mari kita turun, jangan sampai tertinggal barang-barang anda. Jangan lupa ini bus umum”, teriak sang guide memperingatkan rombongan yang dipimpinnya.

“ Satu lagi, kita saat ini berada di pintu selatan, kalau sampai nanti ada yang tersesat kita berkumpul lagi di pintu ini”, tegasnya.

Azriel segera turun dari bus dan bergegas menuju pintu gerbang lalu mengantri dibelakang deretan antrian ratusan turis yang sudah tiba lebih dulu. Setelah melalui pemeriksaan ketat polisi Israel Azriel akhirnya sudah berada di pelataran raksasa kompleks Temple Mount.

Angin kencang segera menerpa wajahnya. Di depannya terbentang pelataran luas berlantai batu semacam kapur berwarna keputihan. Di sebelah kanannya terlihat sedikit menyembul kubah berwarna abu-abu. Berdasarkan buku panduan yang diambilnya di hotel, itu adalah Masjidil Aqsho. Sedangkan agak jauh ke depan terlihat jelas kubah  Dome of the Rock yang sudah terlihat sejak dari kejauhan.

Azriel dengan mantab melangkahkan kakinya menuju Tembok Ratapan yang terletak tidak jauh dari pintu gerbang yang dimasukinya tadi. Tembok Ratapan sebenarnya nama yang diberikan oleh orang non-Yahudi, karena disanalah orang Yahudi meratap sebagai bagian dari ibadah. Sekaligus untuk meratapi kehancuran kuil. Orang Yahudi sendiri menamakannya dengan bahasa Ibrani Kotel HaMaaravi atau Tembok Barat. Tembok ini mereka yakini sebagai sisa-sisa salah satu dinding Bait Solomon yang telah hancur ribuan tahun silam.

Azriel segera berdoa sebagaimana orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia sempat melihat banyak diantara mereka yang meratap sambil membenturkan-benturkan kepalanya ke tembok di depannya. Ia juga sempat melihat orang-orang menyelipkan kertas kecil ke celah-celah tembok.

“ Orang yang tidak dapat berdoa langsung di tembok dapat mengirimkan doa atau menggunakan Kaddish, sebuah doa khusus. Kita tuliskan doa tersebut dalam sebuah kertas kemudian diselipkan di celah-celah dinding, Kvitelach namanya, oleh orang yang sempat ke sana”, tiba-tiba terngiang suara rabbinya di telinga Azriel ketika di kelas dulu.

Azriel segera teringat titipan doa ibu, nenek dan tantenya. Iapun segera melakukan hal yang sama. Ada sedikit rasa ragu terselip di hatinya “ apakah Tuhan membaca surat ?”, tapi ia tidak ingin memperpanjangnya.

Tak lama setelah itu Azriel pergi meninggalkan lokasi dan pergi menuju ke sebuah lorong. Menurut peta yang ada di tangannya itulah jalan menuju Dome of the Rock. Mulanya ia agak ragu, lorong tersebut agak sempit dan gelap. Terlihat pintu besi di depannya dan sebuah pos penjagaan polisi meski saat itu pintu terbuka dan tak terlihat adanya polisi di dalamnya.

Setelah ia berada didalam lorong ia baru menyadari bahwa daerah tersebut adalah daerah Muslim. Ia baru teringat kota tua Jerusalem memang terbagi-bagi berdasarkan kelompok agama. Ada sedikit rasa was-was. Para rabbi dan guru di sekolah juga ibunya selalu mengingatkan bahwa orang Muslim sangat membenci mereka. Apalagi di kota tua ini. Itu sebabnya ia selalu diwanti-wanti agar berhati-hati dan tidak menjalin komunikasi terhadap mereka.

“ Orang-orang Islam itu teroris. Mereka adalah perampas tanah dan kuil suci kita. Jangan pernah berbicara apalagi bersentuhan dengan mereka, mereka adalah najis”, ujar ibu memperingatkan sesaat sebelum keberangkatannya kemarin.

Secara spontan Azriel segera melepas topi kecil khas Yahudinya. Ia baru sadar tak satupun rombongan turis yang ada di sekelilingnya. Ia ingin berbalik tapi ternyata keingin-tahuannya mencapai Dome of the Rock lebih besar dari rasa khawatirnya.

Apalagi ia juga tidak melihat wajah-wajah jahat mengancamnya. Sebaliknya ia justru melihat banyak anak-anak kecil berwajah ceria berlarian, berbaur dengan laki-laki dewasa dan perempuan-perempuan berjilbab berbondong-bondong menuju arah yang sama dengan dirinya. Deretan kios sederhana yang berada di sepanjang jalan yang dilaluinya juga sibuk menutup kios mereka dan segera bergabung dengan yang lainnya. Azriel sempat berpikir jangan-jangan sedang ada acara khusus kaum Muslimin.

Azriel memang tidak tahu bahwa hari Jumat adalah hari istimewa bagi umat Islam, bahwa setiap hari besar tersebut kaum Muslimin mendirikan shalat berjamaah. Ia juga tidak tahu bahwa para pemandu memilih menghindar dari keramaian shalat Jumat. Atau bila sang pemandu kebetulan seorang Muslim biasanya ia minta digantikan dengan teman lain yang bukan beragama Islam.

Azriel terus berjalan berbaur bersama rombongan kaum Muslimin yang rupanya hendak shalat Jumat di Majidil Aqsho dan masjid As-Sakrah, nama lain Dome of the Rock, tanpa ia mengetahuinya. Hingga ketika rombongan besar ini mencapai pintu gerbang pelataran besar dimana kedua masjid itu berada terjadilah keributan.

Ia melihat puluhan tentara Israel berjaga-jaga di depan gerbang yang di beri barikade kawat berduri. Tentara-tentara bersenjata lengkap, berhelm dan tameng tersebut terlihat sedang memeriksa dan menggeledah tubuh dan tas yang dibawa orang-orang yang kelihatannya memaksa masuk tersebut.

Selanjutnya terjadilah adu mulut, diikuti dengan aksi dorong mendorong. Bahkan akhirnya adegan menjambak jilbab para perempuan dan juga pukulan gagang senapan terhadap para pemudapun tak terhindarkan. Ternyata hanya orang-orang tua dan anak kecil saja yang diizinkan masuk.

Kekacauan ini terjadi selama beberapa menit hingga kemudian terdengar suara dari pengeras suara di dalam masjid, yaitu azan panggilan shalat. Dan secara spontan sebagian besar orang-orang yang tadi memaksa masukpun langsung menggelar sajadah dan duduk di pelataran, tidak mempedulikan para tentara yang terlihat menahan amarah. Masih terlihat ada sebagian yang memaksa masuk namun tidak lagi sebanyak tadi. Hingga berselang sekitar setengah jam kemudian orang-orang mulai berdiri dan melakukan gerakan-gerakan khusus secara bersamaan, dengan tanpa suara sedikitpun.

Azriel yang sejak tadi berdiri di sebuah sudut yang agak terlindung, memperhatikan semua yang terjadi di depannya, terkesima. Lautan manusia terlihat memenuhi pelataran luas tersebut. Ia memang tidak pernah tahu apalagi melihat orang Islam bersembahyang. Karena meskipun ayahnya mengaku Islam ia tidak pernah sekalipun melihat ayahnya itu shalat.

Namun demikian ada sekelebat bayangan suasana mirip apa yang dilihatnya saat itu. Azriel berusaha keras mengingat dimana ia pernah melihat hal seperti itu. Akhirnya ia berhasil, bayangan itu adalah bayangan sepuluh tahun yang lalu, yaitu ketika ia diajak ayah menengok kakek dan neneknya di Pau. Di sebuah masjid kecil yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Tiba-tiba saja Azriel rindu kepada suasana yang tidak pernah lagi dirasakannya itu. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa bahwa ia bukanlah seorang Yahudi tulen, paling tidak sebenarnya ia mempunyai ikatan batin dengan dunia Muslim, yaitu melalui darah ayahnya.

Lamunan Azriel segera buyar ketika tiba-tiba terdengar suara tembakan menggema di udara. Di ujung sana, terjadi kegaduhan. Shalat baru saja usai, orang-orang yang mulai membubarkan diri itupun terlihat panik. Azriel melihat puluhan tentara Israel sedang berusaha memasuki masjid secara paksa, membuat jamaah yang masih berada di dalam masjid berusaha menutup pintu masjid dari dalam. Selanjutnya dengan bekal batu seadanya jamaah yang berada di dalam masjid tadi mengadakan perlawanan terhadap tentara Israel tersebut. Tak ayal batu-batupun beterbangan melalui jendela-jendela masjid yang sebentar-sebentar dibuka dan ditutup.

Belum hilang keterkejutan Azriel terdengar pula tembakan senjata dari bagian lain pelataran tersebut. Ternyata suara tembakan berasal dari suatu tempat di dekat Masjid As-Sakrah. dimana kaum perempuan mendirikan shalat Jumat. Masjid As-Sakrah dan Masjidil Aqsho terletak pada satu garis lurus menuju Masjdil Haram di Mekah dimana Ka’bah yang merupakan kiblat umat Islam, berada.

Azriel segera menghambur ke sana, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Disana ia melihat sesosok tubuh anak perempuan berusia sekitar 8  tahun terkapar, persis seperti apa yang terjadi pada adiknya 3 tahun lalu. Seorang ibu dengan air mata bercucuran, dibantu beberapa orang lainnya berusaha menggangkat tubuh gadis kecil tersebut.

Ironisnya semua itu berlangsung dibawah todongan moncong senjata beberapa tentara yang mengepung mereka. Orang-orang yang berusaha menerobos kepungan tersebut demi memberikan bantuan segera ditendangi dan dipukuli tentara-tentara tersebut.  Termasuk Azriel yang tidak tahan untuk berdiam diri dan hanya menonton saja. Kepala anak muda tersebut dipukul dengan gagang senapan hingga bocor. Dan dalam keadaan demikian ia masih harus menerima hantaman keras di perut dan tendangan sepatu tentara di bagian belakang tubuhnya, menyebabkannya terjatuh.

***.

Azriel terhenyak, ia mendapati dirinya terbaring di dalam sebuah ruangan sederhana berpenerangan sangat redup yang sama sekali tak dikenalnya. Ia berusaha bangkit untuk duduk namun kepalanya terasa berat hingga jatuh terbaring kembali.

Sayup-sayup terdengar suara indah keluar dari mulut seorang perempuan. Nada suara tersebut begitu mendayu menghujam langsung ke sanubarinya. Azriel tidak dapat mengenali bahasa dari suara tersebut. Ia berusaha menolehkan kepalanya untuk mengetahui dari mana suara tersebut berasal.

Di ujung ruangan itu samar-samar ia melihat dua bayangan orang, satu besar satu kecil, sedang berdiri berdampingan. Bayangan yang lebih kecil mengikuti bayangan orang yang lebih besar. Setelah berpikir sejenak Azriel teringat itu adalah gerakan shalat orang Islam seperti yang tadi siang dilihatnya.

Tiba-tiba ia teringat apa yang dialaminya siang tadi. Ya ia sedang berusaha membantu anak kecil yang tertembak ketika tiba-tiba kepalanya dihantam gagang senapan dan terjatuh. Tapi mengapa ia sekarang berada di tempat ini, pikirnya berusaha mengingat.

Beberapa menit kemudian ia melihat gadis kecil yang tadi shalat itu sudah berdiri di depannya, sambil tersenyum mengulurkan segelas air. Azriel menggelengkan kepalanya perlahan. Walau bagaimanapun kecurigaan masih menyelimuti hatinya. Bagaimana bila minuman itu diisi racun, bisiknya dalam hati.

Tak lama kemudian muncul 3 orang laki-laki kedalam ruangan tersebut.

“ Assalamualaykum”, serentak terdengar suara ketiganya begitu mereka memasuki ruangan.

“ Waalaykum salam”, jawab  si gadis kecil yang bergegas menyambut dan  mencium tangan salah satu orang yang datang. Azriel menduga ayahnya.

“ Waalaykum salam”, susul perempuan yang lebih besar yang tadi dilihat Azriel sedang shalat, juga sambil mencium tangan ayah gadis tadi, suaminya, duga Azriel kali ini. Selanjutnya Azriel juga melihat dua orang yang datang bersama sang bapak, mencium tangan ibunya. Anak-anaknya, tebak Azriel lagi, dalam hati.

Tak lama setelah terdengar percakapan dalam bahasa yang tidak dimengertinya, merekapun menghampiri Azriel yang kali ini berusaha untuk duduk. Rasa sakit di sekujur tubuhnya masih terasa mengganggunya.

“ Siapa kalian, dan mengapa aku berada di tempat ini?”, tanyanya pelan.

“ Tenang saja, kami bukan orang jahat. Kami menolong dan membawamu ke rumah kami karena kau tak sadarkan diri setelah terkena hantaman popor senapan tentara Israel siang tadi”, jawab salah seorang laki-laki tadi dengan bahasa Inggris yang cukup bagus.

“ Kami akan mengantarmu ke tempat yang kau mau sesegera mungkin …  tapi bila kau belum sanggup dan untuk sementara ingin tinggal di rumah kami yang sederhana ini, silahkan saja”, lanjutnya, menterjemahkan apa yang dikatakan ayahnya.

“ Maaf hanya aku yang bisa berbahasa Inggris di keluarga kami. Panggil aku Azis”, katanya sambil mengulurkan tangan penuh persahabatan.

“ Aku Azriel. Trima-kasih banyak sudah menyelamatkanku”, jawab Azriel, setelah ragu sejenak, sambil menyambut uluran tangan Azis.

Beberapa menit kemudian, Azriel yang memilih untuk pulang itu, sudah berada di kegelapan lorong-lorong Jerusalem bersama Azis, yang mengantarnya pulang ke hotel dimana ia tinggal. Dan tak lama kemudian keduanyapun berpisah di perempatan jalan setelah saling tukar nomor selular.

“ Hotelmu tak jauh dari lampu merah seberang jalan itu, belok ke kiri sekitar 50 m dari sana. Maaf aku tidak mengantarmu sampai tujuan, terlalu beresiko, beberapa menit lagi tentara Israel akan segera menutup gerbang menuju rumahku, bisa-bisa aku tidak bisa pulang kalau sampai terlambat”, ucap Azis.

“ Selain itu sebentar lagi waktu shalat Isya tiba”, sambungnya sambil  melirik jam tangannya. “ Kalau perlu sesuatu hubungi aku ”,  teriaknya setengah berlari.

Tak sampai 10 menit kemudian Azriel sudah sampai di hotel. Setelah membersihkan diri dan memesan makan malam, ia segera memeriksa isi tasnya untuk memastikan tidak ada barang yang hilang. Dan untuk kesekian kalinya ia harus mengakui bahwa selama ini ia, keluarganya dan mungkin sebagian orang Barat telah salah menilai orang Islam. Tak satupun barang di dalam tasnya hilang termasuk laptop dan hpnya.

Malam itu Azriel tidak dapat memejamkan matanya dengan baik. Terlalu banyak hal dan pengalaman baru di dapatnya hari itu.  Yang pasti perkenalannya dengan Azis hari itu telah membuahkan tali persahabatan yang erat di antara keduanya. Azis tidak pernah menanyakan apakah teman barunya itu seorang Yahudi atau bukan. Azriel sendiri juga tidak pernah berniat menceritakannya.

                                                                 ***

Hari demi hari berlalu minggu-minggupun demikian. Azriel telah memulai perkuliahannya dan mulai tinggal di asrama mahasiswa. Beberapa kali Azriel mengunjungi Azis, dan tak jarang memintanya berkeliling Jerusalem dan kota-kota sekitarnya. Kota-kota yang telah rusak berat akibat bom-bom yang berjatuhan menimpa rumah-rumah penduduk, sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya.

Banyak kejadian tak terduga yang dilihatnya. Seperti seorang perempuan di stasiun yang ditembaki tentara Israel hanya gara-gara tidak mau membuka jilbabnya, orang-tua yang dipukuli beramai-ramai karena membela seorang anak yang tertangkap tentara Israel membawa batu, anak-anak yang ditangkap dan dimasukkan secara paksa ke dalam jip tentara Israel sementara orang-tuanya hanya bisa memandang, menyemangati dan mendoakan anak-anak tersebut agar sabar dan selalu memohon pertolongan Tuhannya.

Namun ironisnya, berita yang tersebar dan tampaknya dipercaya Barat, itu semua karena mereka membawa senjata seperti pisau, batu dan lain-lain untuk menyerang para tentara Israel. Padahal ia melihat sendiri tidak demikian. Memang perlawanan itu ada, dunia Islam menamakannya Intifadha 3, yaitu gerakan kebangkitan rakyat Palestina dengan batu sebagai senjatanya.

“ Kami hanya rakyat biasa yang menuntut keadilan, pembebasan negeri kami dari pendudukan Zionis Israel. Kau lihat sendiri betapa susahnya hidup kami. Air, listrik semua dijatah. Tanah kami diserobot. Dengan seenaknya mereka membangun perumahan mewah sementara kami makin terpinggirkan hidup di tempat pengungsian. Dimana letak keadilan. Katanya bendera  Palestina telah berkibar di PBB, namun apa arti semua ini bagi kami, tetap saja kami hidup tertindas dan menderita. Siapa yang peduli terhadap nasib kami??”, keluh Azis.

“ Bandingkan dengan tragedi berdarah yang baru saja terjadi di Paris yang dalam hitungan jam dunia langsung bereaksi. Kami mengalami hal seperti itu setiap hari, kau melihat sendiri kan? Kami sejak lahir sudah terbiasa hidup dalam ketakutan, bom yang tiba-tiba meledak ketika kami sedang tidur nyenyak, kekhawatiran tiba-tiba pintu rumah digedor dan anggota keluarga kami diambil secara paksa”, lanjutnya geram.

“ Menurutmu bagaimana seharusnya kami bersikap, diam saja dan pasrah hingga kami semua binasa satu demi satu hingga lenyap bangsa kami dari bumi ini ???”, desisnya.

Azriel hanya bisa diam tidak tahu harus berkata apa. Ia sendiri sudah mulai merasa muak dengan tingkah laku para tentara Israel, terselip rasa bersalah dan malu. Bahkan tanpa sadar sedikit demi sedikit ia mulai malas pergi berdoa ke Tembok Ratapan seperti sebelumnya.

Hingga suatu hari ketika Asis berhasil mengajak Azriel masuk ke Dome of the Rock, hal yang tidak mudah terjadi, Azis tiba-tiba menyodorkannya sebuah kitab. Kitab kecil itu dihiasi kaligrafi indah di sampulnya.

“ Barangkali kau ingin melihat-lihat. Itu adalah Al-Quran dengan terjemah bahasa Perancis. Aku baru melihatnya hari ini. Mungkin itu tamu Muslim yang membawakannya khusus untukmu”, kata Azis sambil tertawa kecil dan mengedipkan sebelah matanya.

Secara spontan, Azriel segera menerima dan membukanya dengan hati-hati, secara acak :

“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)”.

Azriel terhenyak, serasa ditampar tepat di wajahnya. Apa ini maksudnya, pikirnya terkejut. Ia sebenarnya ingin segera menutup dan mengembalikannya kembali kepada Azis. Namun ia merasa ada kekuatan yang memaksanya terus melanjutkan 3 hingga 4 ayat berikutnya. Setelah itu dengan cepat ia mengembalikan kitab suci tersebut kepada Azis, tanpa sepatah katapun.

“ Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari`at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: “Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Kalimat-kalimat itu terus terngiang hingga sore hari ketika ia tiba di kamar asramanya. Azriel segera membuka laptopnya. Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepalanya.

“Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu”. Terbayang di kepalanya berbagai prilaku brutal tentara Israel selama beberapa bulan ia di kota ini. Padahal selama ini berita yang beredar adalah orang-orang Yahudilah yang tertindas bukan sebaliknya. Tiba-tiba ia teringat berita mengenai kebohongan Holocaust yang pernah dibacanya. Terbayang pula peristiwa Reconquesta yang menyebabkan nenek moyangnya keluar dari Spanyol menuju ke Perancis.

“ Apa kesalahan bangsa Yahudi? Mungkinkah semua ini kutukan Tuhan kepada Yahudi?” pikirnya.

Itulah awal pencarian Azriel. Di tengah kesibukannya kuliah, dengan bantuan laptopnya, ia sempatkan mempelajari Alquran dengan terjemahan bahasa Perancis. Bila menemui kesulitan ia tak segan-segan googling di dunia maya untuk mencari jawabannya. Ia buka pula kitab sucinya, untuk dijadikan bahan perbandingan.

“Orang-orang non-Yahudi harus dijauhi, bahkan lebih daripada babi yang sakit.” (Orach Chaiim 57, 6a)

“Tuhan (Yahweh) tidak pernah marah kepada orang-orang Yahudi, melainkan hanya (marah) kepada orang-orang non-Yahudi.” (Talmud IV/8/4a).

“ Hemm pantas saja para tentara Yahudi suka berbuat semena-mena terhadap rakyat Palestina”, pikir Azriel yang mulai dilanda kegundahan hebat. Ia juga baru tahu bahwa sejak dulupun bangsanya itu sering membantah perintah Tuhannya, bahkan nabi-nabipun dibunuh!

Hingga suatu hari di musim panas 1.5 tahun sejak kedatangannya, ia mendengar professor Moshe Sharon, seorang professor sejarah Universitas Hebrew, Yerusalem, berkata :

“ Pada dasarnya semua sejarah adalah sejarah Islam. Artinya, semua tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah pada dasarnya adalah Muslim. Dari Adam hingga ke zaman kita, termasuk juga raja Solomon, raja David serta para nabi seperti Ibrahim, Ishak maupun Yesus.

Sebenarnya, sejak penciptaan dunia ini, hanya ada satu agama, yaitu agama Islam. Jadi jika ada yang berkata tempat ini berkaitan dengan Solomon, ini adalah tempat di mana dulu Kuil Solomon berdiri, seorang Muslim akan berkata, “Ya, tentu saja, memang benar.”

Oleh karenanya, tidak ada penjajahan Islam yang ada hanyalah pembebasan oleh Islam”.

Azriel benar-benar terkesima mendengar pernyataan professor tersebut. Baginya ini benar-benar hal baru. Malam itu iapun segera menghubungi Azis agar hari Sabtu nanti bisa menemuinya di depan pintu gerbang menuju Dome of the Rock. Ia ingin tahu bagaimana tanggapan sahabat Muslimnya itu.

                                                                           ***

“ Betul sekali apa yang dikatakan profesormu itu Azriel. Itu adalah perkataan Alquran”, “, jawab Azis mantab ketika Azriel pagi itu memperdengarkan rekaman pernyataan professor Moshe Sharon.

“ Yuk kita lihat ayatnya “, lanjut Azis sambil berjalan menuju rak dimana sejumlah buku dan  Al-Quran diletakkan. Ia segera mengambil Al-Quran dengan terjemahan Perancis yang beberapa bulan lalu pernah diperlihatkan dan dibacanya.

“ Bacalah terjemahan ini Azriel, ini adalah ayat 136 surat Al-Baqarah,

“ Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.

“ Tunduk patuh itu dalam bahasa Arab adalah Muslim, akar kata yang sama dengan Islam. Dengan kata lain Muslim atau pemeluk agama Islam itu adalah orang yang tunduk patuh kepada Tuhannya, Tuhan Yang Satu, Tuhan seluruh alam semesta, Tuhan kita semua, aku dan kamu, Tuhan yang menamakan dirinya Allah Azza wa Jala”, jelas Azis.

“ Aku bacakan juga ya sebuah hadist:

“Aku ( Muhammad) adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam ( Yesus) di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365)

“ Masalahnya Taurat maupun Injil itu telah dirubah dan diacak-acak sedemikian rupa hingga tidak  lagi seperti aslinya. Apalagi Talmut, kitab yang menjadi pegangan para pemimpin agamamu”, tambah Azis lagi.

Azriel menganguk-angguk. Ia sedang berpikir keras apa kira-kira yang akan dilakukan ibu dan keluarga besarnya bila ia sampai berpindah kepercayaan. Namun ia juga dapat membayangkan bagaimana perasaan kakek dan neneknya di Pau sana bila suatu hari nanti ia dapat datang menebus kesalahan ayahnya. Rumah besar dengan halaman belakang pegunungan itupun kembali berkelebat di kepalanya. Celotehan kakek dan nenek serta suasana damai itu terasa begitu menjanjikan. Sejenak kemudian dengan nada mantab Azrielpun berkata :

“ Bagaimana caranya bila aku ingin memeluk Islam .. aku sudah merasakan beberapa bulan terakhir ini bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan aku ingin menjadi bagian dari kebenaran tersebut”.

“ Allahuakbar “, seru Azis sambil memeluk Azriel erat. Ia segera  menariknya mendekati imam masjid yang kebetulan sedang berada didalam masjid berkubah kuning keemasan itu.

***

Read Full Post »

Tersesat

«  Riska ? », sapa Laras.

«  Laraaas ?? Ya ampuun apa kabaar. Aduuh senengnya bisa ketemu kamu lagi. Berapa tahun ya kita g ketemu”, seru Riska langsung memeluk erat Laras.

Sore itu secara tidak sengaja Laras melihat Riska, sahabatnya di SMP, yang sejak lulus 23 tahun silam tidak pernah bertemu lagi. Usai lulus SMP Riska ikut kedua orang-tuanya pindah ke luar negri dan meneruskan SMA dan kuliahnya disana.

Ketika itu Laras sedang berjalan-jalan sendiri di sebuah mall. Saat itulah ia melihat sahabatnya itu sedang berdiri di depan sebuah toko buku. Laras segera mengenalinya. Riska tak banyak berubah. Hanya jilbabnya saja yang membuat ia berbeda.

Sayang  pertemuan mereka berlangsung tidak begitu lama. Namun demikian cukup berbekas di dalam hati Laras. Suami Riska muncul tak lama setelah itu. Ia usai mengantri di kasir dan membayar buku yang dibelinya.

“ Nanti calling-calling yaa say, kita ketemu lagi yang lama ”, ujar Riska setelah mereka bertukar no hp. Lalu iapun segera menyusul suaminya yang orang bule itu, yang kelihatannya sengaja  berjalan perlahan demi memberi kesempatan istrinya tercinta melepas rindu kepada sahabatnya. Dengan bergandengan tangan keduanyapun hilang dari pandangan Laras.

***

Malamnya Laras terlihat duduk termenung di rumahnya yang megah. Matanya kosong menatap pesawat televisi yang dinyalakannya. Penampilan Syahrini, penyanyi favoritnya, kali ini tidak mampu menarik perhatiannya. Pertemuannya dengan Riska sore tadi benar-benar membuat dirinya harus mengingat apa sebenarnya yang ia cari dalam hidup ini.

Bagaimana tidak, Riska yang telah 6 tahun menikah dan tidak kunjung dikaruniai keturunan, seperti juga dirinya, bisa tetap terlihat bahagia dan menikmati hidupnya. Sementara dirinya, hidup seperti dalam neraka. Setiap hari suaminya selalu menekuk muka, apapun yang dilakukannya selalu salah dan membuat suaminya uring-uringan. Akhir-akhir ini suaminya itu bahkan sering pulang larut malam. Kadang-kadang malah tidak pulang.

“ Apa yang aku cari … Rumah ini begitu besar dan mewah, namun aku hanya sendiri disini, sepiii … », desahnya.

“ Sabar say yaa, g usah terlalu dipikirin … Yakin deh pasti Allah memberi kita yang terbaik … Punya anak itu g gampang, banyak tanggung-jawabnya. Apalagi kan  kamu kerja  Ras, pasti bakal repot bagi waktu …. Yaah, nikmati ajalah … Aku g punya anak tapi aku tetep bisa main sama anak orang, anak teman-temanku, anak-anak yatim piatu juga buanyak banget … Banyakin shalat tahajud, puasa dll, kalau Allah sudah menakdirkan kita punya keturunan g mustahil lho 10 tahun perkawinan baru hamil “, kata-kata Riska sore tadi terngiang memenuhi telinganya.

“  Kalau Laras tahu keadaanku sekarang pasti ia akan kecewa sekali”, bisik Laras dalam hati. Tiba-tiba kerinduan untuk bertahajud, mengenakan mukena, bersujud memenuhi hatinya kecilnya.

“ Ya Allah berapa lama sudah aku tidak lagi melakukan hal seperti itu”.

Tanpa dapat dicegah lagi air mata Laras mengalir deras membasahi pipinya. Ia mengatupkan kedua tangannya menutupi wajahnya.

« Ya Allah maafkan hamba-Mu yang hina ini », isaknya.

***

 « Ma, aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Rio »,  kata Laras dengan suara perlahan kepada ibunya.

Ketika itu Laras dan ibunya sedang santai duduk-duduk di teras halaman belakang rumah mereka. Ibu yang waktu itu sedang menghirup teh kesukaannya langsung tersedak. Ia segera meletakkan cangkir teh yang baru setengah diminumnya. Setelah beberapa menit berlalu, ibupun berkata, “ Apa sudah kau pikirkan matang-matang? ”.

“Ibu sudah berkali-kali mengingatkan, pernikahan dengan agama dan keyakinan yang sama saja pasti ada saja permasalahan, apalagi berbeda  … Dan yang pasti ayahmu tidak akan setuju kalau tahu kekasihmu itu bukan seorang Muslim”, lanjut ibu.

“ Tapi ma, mama kan tahu berapa umurku sudah,  32 tahun maa … berapa kali aku berpacaran dengan sesama Muslim tidak ada yang berlanjut. Teman-teman dekatku sudah menikah semua bahkan banyak yang sudah mempunyai anak. Masak mama tega sih aku jadi perawan tua” jawab Laras merajuk.

“Toh Rio baik, dia juga tidak pernah menyuruhku pindah agama. Janji ma, aku tidak akan meninggalkan agama kita, selama-lamanya”, lanjut Laras lagi dengan suara memohon.

Begitulah Laras memulai hidup barunya. Ia menikah dengan Rio yang baru dikenalnya beberapa bulan di rumah Rio, tanpa restu ayahnya. Hingga 2 tahun pernikahan mereka, ayahnya melarang keduanya menginjakkan kaki di rumah orang-tuanya. Namun secara diam-diam melalui telpon Laras sering bertukar kabar dengan ibunya. Laras baru dapat bertemu lagi dengan ibunya setelah ayahnya meninggal dunia tak lama setelah itu.

Ada sedikit penyesalan di hati Laras, karena ia tahu persis ayahnya benar-benar marah dan sakit hati atas apa yang dilakukannya itu. Bahkan ia tahu kalau ayahnya jadi sering sakit-sakitan sejak pernikahannya. Tetapi ia dapat segera melupakan semua itu karena Rio sangat mencintai dan memperhatikan dirinya. Hingga beberapa bulan setelah ayahnya tiada, Laras rela menggadaikan agamanya demi menyenangkan sang suami

Awalnya memang berat bagi Laras untuk meninggalkan shalat 5 waktu yang telah dilakukannya sejak kecil. Tapi sejak mula pernikahanpun sebenarnya shalat bagi Laras sudah kurang nyaman. Ketika itu keduanya masih tinggal di rumah orang-tua Rio yang kebetulan seorang pendeta. Hampir setiap mimggu mereka mengadakan semacam kebaktian di rumah mereka. Tak jarang ketika waktunya shalat tiba, dan Laras hendak shalat, ia disindir-sindir yang kampunganlah, yang sok, yang tidak toleranlah. Akibatnya Laras jadi jarang shalat, mengajipun hanya sekali-sekali ia lakukan.

Maka ketika akhirnya ia berpindah agama, ia disambut penuh sukacita oleh keluarga besar suaminya. Dan sejak itu iapun rajin pergi ke gereja bersama mereka, termasuk juga mengikuti aktifitas keagamaan lainnya. Dan sejak itu pula ia makin menjauh bahkan nyaris putus hubungan dengan keluarga besarnya sendiri maupun teman-teman karibnya. Hingga pertemuan tak sengajanya kemarin dengan Riska.

***

Riska rupanya menepati janjinya. Tiga hari setelah pertemuan kemarin, ia menelpon Laras, dan mengajaknya rendez-vous untuk berkangen-kangenan. Mulanya ada sedikit keraguan di hati Laras untuk memenuhi keinginan sahabatnya itu. Ia merasa tidak siap menghadapi reaksi Riska jika tahu ia sudah meninggalkan agamanya. Jujur, ia merasa dirinya « kotor » dibanding Riska yang terlihat begitu lembut dengan jilbabnya itu.

“ Ayo dong Ras, waktuku g banyak lho, minggu depan aku udah harus balik lagi ke Perancis”, desak Riska yang rupanya masih menetap di negri tersebut sejak lulus SMP dulu.

Akhirnya Laraspun luluh dan memenuhi permintaan sahabatnya. Ia sendiri memang rindu untuk ngobrol dan bernostalgia dengan karibnya itu.

« Iya Ras, suamiku bule, orang Perancis, teman kuliah hehe … Tapi dia masuk Islam koq, Alhamdulillah .. Malah sekarang dia lebih alim dari aku lho. Percaya g sih, dia yang rajin ngingetin aku bahwa jilbab itu wajib, jadi malu deh aku .. ».

Jleeb, jantung Laras langsung berdegub keras mendengar jawaban pertanyaannya sendiri, yaitu suami Riska orang mana. Keringat dingin mendadak membasahi sekujur tubuhnya. Jari jemari Laras tanpa dapat dicegah bergetar keras. Matanya serasa berkunang-kunang. Laras berusaha untuk tenang, ia menggigit bibirnya, matanya ia pejamkan.

« Laras, kenapa kamu ?? Laraass ??  Kamu sakit?? », terkejut Riska melihat keadaan Laras. Ia segera mengeluarkan tissue dari dalam tasnya dan menyeka keringat dingin yang membasahi dahi Laras.

“ Aku antar kamu ke dokter yaa?”, bujuk Riska lagi sambil memegang tangan sahabatnya itu.

Laras hanya menggeleng pelan. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia terharu melihat reaksi Riska yang begitu tulus. Dipandanginya wajah lembut dengan jilbab hijau pupus menutupi kepala dan rambut ikal sebahu yang dulu sering dilihatnya itu.

Setelah ia berhasil menenangkan diri, iapun berkata pelan, “ Riska, aku bukan Muslim lagi sekarang”.

Riska terhenyak, seolah tidak mempercayai pendengarannya” Apa? Kamu bukan Muslim lagi?? Maksud kamuuu … “. Laras hanya mengangguk tanpa berani mengangkat kepala apalagi memandang wajah Riska yang mendadak putih seperti kapas. “Becanda kamu”, bisik Riska.

Beberapa menit berlalu hening tanpa seorangpun berani memulai percakapan. Dan akhirnya Laras yang memecah keheningan “ Menurutmu, apakah itu sebuah kesalahan besar ? “

“ Aku sudah kepalang basah Ris, orang-orang terlanjur mencapku sebagai pezinah karena menikah dengan laki-laki non Muslim. Sementara agama suamiku mengatakan hanya dengan menjadi Kristen semua dosaku terangkat, dan aku dijamin masuk surga. Kau  tahu semua orang pasti ingin masuk surga kaan … Salahkah aku?”, desak Laras mencari pembenaran.

Riska termenung, masih belum dapat menerima kenyataan bahwa sahabat kecilnya itu telah murtad. Beberapa waktu kemudian setelah ia dapat menguasai kembali gemuruh hatinya yang bercampur antara kecewa, sedih, marah dan ntah apa lagi Riskapun berkata pelan, “ Masalahnya apa betul apa yang mereka katakan dan janjikan itu ??”.

“ Kamu kan pasti tahu bahwa Yesus, Tuhan yang mereka sembah itu adalah manusia, ia bukan Tuhan tapi seorang rasul seperti juga nabi-nabi lain, seperti nabi Adam, Ibrahim, Musa, Sulaiman, Daud dan juga nabi Muhammad saw. Nah kalau yang disembah saja salah, bagaimana mungkin dapat menyelamatkanmu? Atau mungkin sekarang kamu juga yakin bahwa nabi Isa as adalah Tuhan?? Ya Allah, yang benar saja Laras …”.

“ Dan lagi, jika memang benar alasanmu meninggalkan Islam itu karena kau telah dicap sebagai pezinah, bukan itu solusinya. Bertobat dan kembalilah. Tentu kau tahu, bahwa dosa yang tidak terampuni dalam Islam hanyalah syirik, yaitu menuhankan selain Allah. Laah kalau kau masuk Kristen kan malah tak terampuni dosa dan kesalahanmu Laras … “, bisik Riska lembut.

Laras tetap diam, sebelum akhirnya menjawab lirih “ Maaf Riska, aku tidak mau dan tidak ingin berdebat soal ini denganmu”.

“ Oke, tapi setidaknya jawablah pertanyaanku, pernahkah kau membaca kitab suci mereka?  Jujurlah bagaimana perasaanmu ketika membacanya, bandingkan dengan ketika kau membaca Al-Quran. Kau juga pasti tahu Injil maupun Taurat sudah di acak-acak sedemikian rupa hingga tidak lagi sesuai dengan aslinya. Alquran banyak menceritakan hal tersebut. Tidakkah kau ingat itu Laras ?”.

Laras berkata pelan. “ Jujur aku memang belum pernah membacanya. Tapi setiap kali aku ke gereja pada hari Minggu, aku selalu membaca dan menyanyikan lagu-lagu yang ada di Kidung Jamaat. Inilah  ibadah rutin yang aku lakukan”, jawab Laras.

“Hmm, kidung … samakah itu dengan Kitab Kidung? Kitab Kidung adalah salah satu kitab dalam Al-Kitab yang sungguh tidak sepantasnya menjadi bagian dari sebuah kitab suci; kalimat-kalimat porno dan pelecehan para nabi banyak dijumpai di kitab tersebut ”, jelas Riska.

“ Ketahuilah Laras, aku baru saja selesai belajar Kristologi, yaitu ilmu tentang Ke-kristen-an. Ilmu ini sangat bermanfaat mengingat makin gencarnya Kristenisasi umat Islam di negri ini. Tapi sungguh aku tidak mengira kau adalah salah satu korbannya”, tambah Riska lagi, dengan nada sedih.

“Sudahlah Riska, aku benar-benar tidak ingin berdebat denganmu soal ini”, kata Laras setengah mohon.

“ Yaah, baiklah, tapi aku mohon pikirkanlah baik-baik sekali lagi, ini bukan hal main-main lho. Aku dapat merasakan bagaimana kecewanya kedua orang-tuamu”, jawab Riska lagi.

Mendengar itu air mata yang sudah berusaha ditahan agar tidak menetes akhirnya keluar juga. Laras segera berdiri, menyambar tasnya dan setengah berlari meninggalkan Riska yang terbengong-bengong. Riska segera membayar makanan dan minuman yang belum sempat mereka makan, dan segera mengejar Laras. Namun Laras sudah menghilang ntah kemana. Ia berusaha menelpon tapi tidak diangkat.

***

Malam itu Laras membolak-balik Alkitab yang ada di atas pangkuannya. Tapi ia kebingungan bagaimana memulainya, maklum ia memang tidak pernah membacanya. Ia penasaran dengan apa yang dikatakan Riska siang tadi mengenai Kitab Kidung.

“Aku harus membuktikan bahwa aku tidak salah pilih, supaya ayah dan ibu tidak terlalu bersedih akan keputusan yang aku ambil”, katanya dalam hati.

Laras merasa bahwa ia harus tegar dan tidak cengeng. Kata-kata Riska tadi benar-benar membuatnya sakit hati. Tapi ia juga dapat merasakan kebenaran perkataan karibnya, bahwa ia harus benar-benar memikirkan lagi keputusannya berpindah agama. Apalagi kini suaminya terlihat tak acuh padanya. Apa yang dicarinya? Namun Laras juga sadar agama bukan untuk main-main. Itu sebabnya ia membuka Alkitabnya, untuk pertama kali dalam hidupnya.

“ Tidak ada kata terlambat”, bisiknya.

Tetapi setelah setengah jam membolak-balik kertas halaman yang sangat tipis dari kitab tebal tersebut, Laras akhirnya menyerah. Ia menutup kitab itu, lalu membuka komputernya dan search “ Kitab Kidung “.

Laras mengernyitkan alis matanya, “ Hmm ini tampaknya yang dimaksud Riska tidak pantas menjadi bagian dari sebuah kitab suci”, keluhnya.

Karena rasa penasarannya Laraspun kembali membuka Alkitab yang ada di sebelahnya. Namun kembali ia harus kecewa karena tidak tahu bagaimana cara mencari bab-bab yang ada dalam kitab tersebut.

Pada saat yang sama, HP nya bergetar, tanda ada sms masuk. Dari Riska. Laras agak ragu mau membukanya. Tapi akhirnya ia membukanya juga

“ Laras, maafkan aku bila telah menyakitimu. Tapi percayalah itu semua karena rasa sayangku. Kau adalah tetap sahabat sejatiku Laras. Tolong, baca dan pelajari Alkitab, pliiizz .. Bila kau mengalami kesulitan aku punya kenalan yang sangat menguasai Alkitab. Bisa aku kenalkan kalau kau mau … «

Malamnya, Laras terlihat khusyuk menjalankan shalat malam. Sebagai ganti mukena ia memakai kain seadanya untuk membalut tubuhnya. Mukena yang dulu menjadi miliknya ntah sudah dimana, ia sudah tidak ingat lagi. Sementara sebagai ganti sajadah ia memanfaatkan karpet kecil yang ada di rumah. Ia merasa bersyukur malam itu Rio   kembali pulang pagi hingga dengan leluasa ia dapat melakukan shalat malam, shalat yang selama beberapa tahun telah ditinggalkannya itu. Malam itu ia puas bersimpuh, sesenggukan, memohon ampunan kepada Tuhan, memohon agar diberi petunjuk dan kekuatan untuk melihat kebenaran.

***

Tiga hari kemudian Riska dan mb Inneke sudah berada di ruang tamu Laras. Laras yang mengundang Riska agar mau mengajak dan memperkenalkan  Inneka, kenalan yang kemarin dijanjikan Riska, agar mau datang dan mengajarkannya bagaimana cara membaca Alkitab. Laras sudah memutuskan bahwa bila ia kembali, ia harus benar-benar yakin bahwa agamanya itu benar, dan sekaligus dapat menunjukkan kesalahan agama yang dianutmya sekarang. Ia tidak ingin lagi bermain-main dengan agama dan keyakinannya.

« Alkitab terbagi atas 2 bagian, yang depan itu, yang indexnya berwarna hitam adalah yang dinamakan Perjanjian Lama, orang Islam biasa menyebutnya Taurat, kitab yang diturunkan kepada nabi Musa as. Sedangkan bagian selanjutnya yang indexnya berwarna merah adalah Perjanjian Baru. Inilah yang dinamakan Injil, kitab yang diturunkan kepada nabi nabi Isa atau Yesus”, demikian Inneke memulai penjelasannya sambil menunjukkan Al-Kitab yang dibawanya, Al-Kitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia yang biasa dipakai umat Kristiani.

“ Satu hal utama yang harus kau ketahui yaitu, agama yang dibawa Yesus adalah khusus untuk bani Israel, bukan untuk semua bangsa. Jika kau tidak percaya, bukalah Matius 15:24”.

“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” , begitu bunyi ayat yang dimaksud Inneke.

Inneke mengajarinya bagaimana cara membuka Al-Kitab. Selanjutnya ia meminta Laras agar membuka kitab Yohanes pasal 17 ayat 3 yang berbunyi  ” Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus ».

Kemudian kitab Markus pasal 12 ayat 29, Ulangan 4:35, Ulangan 6:4 dan  2 Samuel 7:22, yang isinya kurang lebih sama, yaitu bahwa Tuhan itu adalah Allah, tuhan yang satu.

(Markus 12:29). Yesus menjawab, “Perintah yang pertama, ialah: ‘Dengarlah, hai bangsa Israel! Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.

“ Dengan kata lain doktrin Tritunggal itu tidaklah benar… Yesus adalah seorang manusia, seorang  utusan Tuhan  bukan Tuhan itu sendiri.  Begitu pula dengan doktrin penghapusan dosa melalui disalibnya Yesus.  Yesus sejatinya sangat berduka menyadari dirinya harus disalib, meski ia tahu bahwa ia harus pasrah akan ketentuan Tuhannya. Ia sangat menyadari bahwa ia tidak memiliki kekuatan bahkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri”, ujar Inneke.

“Mari kita buka Matius pasal 26 ayat 42 dan Yohanes 12 ayat 27. Perhatikan bagaimana Yesus berdoa kepada Tuhannya memohon agar ia luput dari  penyaliban orang-orang Yahudi yang sangat memusuhinya”.

(42) Sekali lagi Yesus pergi berdoa, kata-Nya, “Bapa, kalau penderitaan ini harus Aku alami, dan tidak dapat dijauhkan, biarlah kemauan Bapa yang jadi.”

(27) “Hati-Ku cemas; apa yang harus Kukatakan sekarang? Haruskah Aku mengatakan, ‘Bapa, luputkanlah Aku dari saat ini’? Tetapi justru untuk mengalami saat penderitaan inilah Aku datang”.

” Menurutmu Riska, patutkah Tuhan disalib? meski alasannya pengorbanan demi umat manusia ?? “, tanya Inneke memancing.

”  Mungkin kau masih ingat apa kata Al-Quran, bahwa Yesus tidak sempat disalib. Allah menyelamatkannya dari aib tersebut. Sungguh tak pantas seorang utusan mati dengan cara seperti itu. Bagaimana cara Allah menyelamatkannya ? Tidak ada yang tahu persis. Tapi itu bukan hal yang mustahil bagi-Nya.  Sama seperti apa yang dilakukan-Nya ketika menyelamatkan Ibrahim dari hukuman bakar yang dijatuhkan raja Namrud”, lanjut Inneke.

Dengan penuh kesabaran, selama satu bulan penuh, seminggu 2 x Inneke membimbing  Laras. Tak jarang ia mengajaknya untuk membandingkan ayat-ayat Al-Kitab dengan ayat-ayat yang mirip dengan yang ada di Al-Quran. Sayang Riska hanya bisa 2 kali saja menemani sahabatnya itu karena ia harus segera kembali ke Pau, kota kecil di selatan Perancis dimana selama beberapa tahun terakhir ia tinggal bersama suaminya.

***

Dear Riska yang baik, Assalamualaykum …

Terima kasih banyak sudah membantu menyadarkanku dari kesalahan yang telah kuperbuat. Tidak salah telah kau perkenalkan aku kepada mb Inneke. Ia begitu sabar membimbing, mengajari dan meyakinkanku bahwa Al-Kitab telah diselewengkan begitu rupa. Bahwa memang Islam yang dibawa para nabi dan utusan-Nya, adalah satu-satunya agama yang benar. Maka dengan izin-Nya aku sudah kembali Riska, Alhamdulillah …

Disaksikan mb Inneke, ibu dan saudara-saudariku pagi tadi aku telah bersyahadat, aku bersumpah tidak ingin lagi mengulangi kesalahan yang sama. Hanya dengan Islam aku akan terselamatkan meski aku tetap harus mempertanggung-jawabkan segala  kesalahanku di masa lalu, kecuali bila Allah berkenan menghapusnya. Untuk itu aku berjanji untuk terus memohon ampunan-Nya    …

Aku juga telah bercerai resmi dengan Rio, secara baik-baik …

Jujur baru kali ini aku menyadari alangkah beruntung Ia tidak menganugerahi aku seorangpun keturunan dari perkawinanku dengan Rio. Tak dapat kubayangkan bagaimana penyesalanku bila saja aku sampai mempunyai anak darinya.

Hal lain yang juga cukup membuatku gembira, Rio tidak mempersulit perceraian yang aku ajukan. Bahkan ternyata hal ini membuatnya terkagum-kagum akan hukum Islam yang membolehkan perceraian bila memang terpaksa.  Kau pasti tahu bahwa Kriten mengharamkan hal tersebut. Hal yang selama beberapa tahun ini benar-benar menyiksa kami berdua.

Doakan  Riska, semoga saja Rio tergerak lebih jauh mendalami Islam. Sejujurnya, 6 tahun dalam kebersamaan tidak mungkin hilang dalam sekejap. Aku masih mencintainya dan ingin agar ia juga terselamatkan. Tidak hanya itu, aku juga ingin agar dapat sebanyak mungkin menyelamatkan orang-orang yang selama ini tersesat, seperti aku dan Rio.

Salam kangen untukmu, sampaikan juga salam hormatku untuk suamimu tercinta.

Wassalam,

Sahabatmu yang berbahagia,

Laras

***

Jakarta, 24 May 2015.

Vien AM.

Read Full Post »

« Salut Fika, je suis Chole », tegur gadis tinggi semampai itu sambil mengulurkan tangannya. Ia mengenakan jeans merah tua ketat yang dimasukkan kedalam sepatu boot hitam runcing, atasannya blus kuning longgar kotak-kotak cerah. Rambutnya yang ikal sebahu berwarna coklat kemerahan dibiarkan tergerai menambah daya tariknya.

Fika segera menyambutnya, sambil berusaha keras mengingat-ingat siapa gadis itu dan dimana ia pernah bertemu.

« Aku kekasih Daniel, aku melihatmu di acara « Save Palestine » minggu lalu », kata gadis tersebut, seolah tahu apa yang ada di pikiran Fika.

« Oh iya betul, aku baru ingat, sorry », jawab Fika tersipu.

Beberapa bulan lalu Fika memang ikut dalam program kegiatan kampus berjudul “Save Palestine”. Dan Daniel adalah ketua kegiatan sosial tersebut. Kegiatan ini bertujuan menekan pemerintah Perancis agar peduli terhadap nasib Palestina. Di acara tersebut panitia memajang foto-foto kekejaman tentara Zionis Israel. Selanjutnya para pengunjung dipersilahkan memilih postcard dengan foto-foto yang sama, lalu menuliskan kata-kata menanggapi postcard yang dipilihnya itu. Kemudian postcard tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang telah disiapkan panitia untuk selanjutnya diserahkan langsung ke presiden Perancis, Francois Holland. Uniknya, acara ini murni kegiatan sosial tidak ada kaitannya dengan agama apapun.

Fika teringat gadis seksi yang menjadi kekasih Daniel tersebut. Gadis tersebut sebenarnya sangat cantik dan menarik, sayang terkesan binal dan nakal. Itu kesan Fika sepintas. Mungkin karena ia sering bergonta-ganti pacar selain dandanannya yang terlalu mencolok, khususnya bagi seorang mahasiswi.

“Kamu dari Indonesia ya, Daniel yang mengatakan. Kebetulan aku memang ingin tahu banyak soal Indonesia”, kata Chole membuyarkan lamunan Fika.

Itulah awal perkenalan Fika dengan Chole, seorang gadis Iran. Ada kedekatan emosi yang membuat mereka bisa bersahabat erat.  Chole ternyata seorang Muslimah. “Jangan-jangan Chole itu dari kata sholeh”, pikir Fika dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Dari persahabatan itu pulalah Fika menyadari adanya sesuatu yang membuat Chole terlihat ‘liar’. Fika melihat pada dasarnya Chole adalah seorang gadis yang baik.  Ia binal karena ada penyebabnya, meski Fika tidak tahu pasti apa penyebab tersebut. Oleh sebab itu ia bersyukur melihat sahabat barunya itu sedikt demi sedikit bisa mengurangi sikap buruk tersebut.

Orang-tua Chole adalah asli orang Iran. Awalnya mereka menetap di Teheran, ibu kota Iran. Namun 7 tahun silam, ketika Chole berumur 13 tahun, ibunya memutuskan untuk hijrah ke Paris. Hal ini terjadi tak lama setelah kedua orang-tuanya bercerai. Chole tidak tahu persis apa penyebab perceraian orang-tuanya, namun di kemudian hari ia menduga adanya perbedaan pandangan dalam agama.

Ia ingat benar ekspresi wajah ibunya tercinta setiap kali ada tamu yang datang, dan ia sebagai anak perempuan yang dilatih untuk selalu taat dan patuh pada orang-tua harus melayani tamu-tamu tersebut. Wajah ibu terlihat demikian terluka. Chole sendiri tidak ingat, atau tepatnya tidak ingin mengingat hari-hari pertama ia melayani mereka. Yang diingatnya justru jerit tangis adik perempuan satu-satunya yang ketika itu baru berumur 9 tahun. Ia tidak berani membayangkan apa yang terjadi di balik kamar terkunci tersebut, meski ia tahu persis apa yang dialami adiknya tercinta. Karena ia sendiri beberapa kali mengalaminya.

Seingatnya sejak itulah ibunya sering menangis diam-diam, hingga akhirnya sering bertengkar hebat dengan ayahnya. Maka terjadilah perceraian tersebut.  Tak lama kemudian ia dan adiknyapun ikut ibu mereka pindah ke Paris. Bergabung dengan keluarga besar ibu yang telah hijrah ke kota ini sejak pecahnya revolusi Iran di tahun 1979.

Saat ini Chole kuliah di fakultas Psikologi Universitas Sorbonne semester 5. Sedangkan Fika fakultas Hukum semester 5 di universitas yang sama. Fika sendiri tinggal di Paris sejak SMA, mengikuti ayahnya yang ketika itu mendapat tugas dari perusahaan. Namun kini ia tinggal sendiri di asrama mahasiswa karena kedua orang-tua dan satu-satunya adiknya telah kembali ke tanah air.

 ***

Fika, aku perhatikan kau suka shalat sambil duduk, kadang di kelas kadang di taman.  Mengapa tidak shalat di rumah saja sepulang kuliah ?”, tanya Chole suatu hari di bulan Ramadhan.

“Kalau kebetulan musim panas memang sempat, tapi kalau musim dingin kan tidak mungkin, tidak keburu, sampai rumah kan matahari sudah terbenam. Berarti lewat sudah waktu Zuhur maupun Asar”, jawab Fika.

“Hemm, begitu yaa … Apakah semua  orang Indonrsia alim seperti kamu ? “, kata Chole setelah hening beberapa saat.

“ Wah ini sih bukan soal alim atau tidak Shole. Shalat kan wajib”, potong Fika.

“ Iya siih, tapi kenapa ya aku malas sekali …”, keluh Chole.

“Oya, aku dengar kau suka berbuka puasa dan shalat di Mosquee de Paris yaa. Kapan-kapan aku ikut dong, rasanya sudah lama sekali aku tidak mengunjungi masjid », kata Chole beberapa saat setelah keduanya terdiam.

« Ayo aja. Rencananya Sabtu besok aku akan ke sana. Kalau mau kita bisa bertemu di sortie Place Monge metro no 7, kau tahu kan? », tanya Fika.

« D’accord, bisa aku cari. Jam berapa”, Chole balas tanya.

 “ Satu jam sebelum magrib, jam 19.00?”, jawab Fika.

Bulan Ramadhan tahun ini kebetulan jatuh pada musim gugur, jadi hari masih agak panjang.  Matahari sekitar pukul 5 sudah muncul, sedangkan pukul 20.00 matahari baru terbenam. Jadi pada musim tersebut puasa 2 jam lebih lama dari di Indonesia, yaitu sekitar 15 jam.

Maka jadilah Sabtu tersebut Chole dan Fika bertemu di tempat yang telah ditentukan.

“ Assalamualaykum Chole”, seru Fika. “Wah kamu cantik sekali dengan kerudung seperti itu”, puji Fika.

Chole sore itu memang terlihat berbeda. Ia mengenakan kerudung biru muda dan abaya biru tua dengan payet bunga dibagian bawahnya. Wajahnya hanya disentuh make up sederhana dan pemerah bibir secukupnya. Namun ia tetap terlihat cantik bahkan lebih anggun daripada penampilannya sehari-hari.

“Waalaykum salam, merci beaucoup Fika”, jawab Chole tersipu.

“Ini kerudung dan abaya ibuku, aku meminjamnya. Ibu tampak terkejut tapi senang melihatku”, aku Chole. “Kapan-kapan kau harus bertemu dengannya, pasti ia akan senang berkenalan denganmu. Berkatmu aku mau berubah. Tahukah kau, sudah beberapa hari ini aku berusaha untuk tidak merokok meski waktu berbuka puasa sudah tiba ”, lanjutnya sambil tersenyum.

Wah bravo, begitu dong. Dengan senang hati Chole. Tapi percayalah, itu bukan karena aku, tapi memang itulah jalanmu, karena tekadmu untuk berubah”, puji Fika sambil memandang kagum sahabatnya. Chole hanya manggut-manggut.

Kau masih puasa kaan, masih ada waktu 1 jam untuk berbuka. Kita beli kebab dulu ya,  take away, kita makan setelah shalat Magrib, oke?”, ajak Fika .

Tanpa menunggu jawaban Chole, Fika langsung menarik tangan Chole, dan segera menyelinap ke bagian tengah pelataran Place Monge yang ramai pengunjung. Tujuan mereka adalah stand kebab bertuliskan “HALAL”.Setiap hari di pelataran tak jauh dari Masjid Agung Paris ini memang digelar semacam pasar kaget. Dari buah-buah, sayur-sayuran, aneka makanan hingga pakaian dijajakan di tempat ini.

Tak lama kemudian keduanya sudah berada diantara orang-orang yang mengantri membeli kebab. Chole sempat terheran-heran karena banyak juga orang Perancis yang kebanyakan non Muslim itu terlihat diantara yang mengantri.

“Kalau kau suka makanan Perancis tak jauh dari sini ada restoran halal. Crepe asinnya enak sekali lho. Kalau kita tidak terburu-buru kapan-kapan aku ajak kau kesana Chole”, bisik Fika.

“Wah boleh juga tuh, aku suka sekali crepe asin, crepe isi daging asap dan bayam, nyaam ”, jawab Chole membayangkant. Namun tak urung ada sedikit rasa malu dan sesal di hatinya, karena selama ini ia tidak pernah memikirkan apakah makanan yang dibelinya itu halal atau tidak.

“Sebaliknya kalau kamu suka makanan khas Maroko seperti tajin, kuskus dll, disudut masjid ada sebuah restoran yang menyajikan masakan tersebut. Banyak orang asli Perancis berkunjung ke tempat itu”, lanjut Fika membuat Chole bertambah lapar membayangkan makanan.

Noted Fika, kapan-kapan akan aku ajak ibuku kesana. Kebetulan ibu sangat menyukai kuskus”, jawab Chole.

“ Bonjour mademoiselle, alors, quest-ce-que vous voulez”, tanya si penjual kebab. Tanpa terasa keduanya telah sampai di depan laki-laki asal Turki penjual kebab tersebut.

Maka keduanyapun segera menyebut pesanan mereka. Dan dalam hitungan menit keduanya sudah menggenggam pesanan masing-masing.

“Merci monsieur, au revoir”, kata Fika dan Chole bersamaan.

Dan beberapa saat kemudian keduanyapun telah larut bersama orang-orang yang berbondong-bondong menyebrang jalan. Belakangan Chole baru meyadari ternyata sebagian besar penyebrang jalan tersebut menuju tujuan yang sama, yaitu masjid de Paris.

 “ Jujur, aku tidak menyangka begitu banyak Muslim di kota ini”, bisik Chole terheran-heran. .

“ Ya Chole, Muslim di kota ini memang lumayan banyak. Itu sebabnya aku selalu datang ke sini paling sedikit 1 jam sebelum waktu shalat. Terlambat sedikit saja dijamin sulit mendapat tempat yang strategis di dalam sana”, jawab Fika.

“Dan ini bukan hanya dalam bulan puasa lho. Setiap Jumatan juga seperti ini, penuuh, baik musim panas maupun musim dingin, Allahuakbar”, lanjut Fika lagi.

Tak lama kemudian Fika dan Cholepun tiba di tujuan. Setelah celingukan kesana kemari akhirnya mereka menemukan tempat yang agak lowong yaitu di shaft bagian tengah masjid yang dibangun pada tahun 1926 sebagai penghargaan atas gugurnya 100 ribu prajurit Muslim Perancis melawan Jerman itu. Fika segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid, setelah itu mengambil Alquran yang tersedia di rak tak jauh dari mereka duduk, lalu membacanya dengan suara pelan. Sementara Chole hanya diam mendengarkan sambil sekali-sekali memperhatikan masjid berarsitektur Maroko tersebut, dan jamaah yang ada di sekitarnya.

Hingga ketika azan menjelang tiba orang-orang sibuk berlomba membagikan kurma kepada sesama jamaah sebagai makanan pembuka puasa mereka hari itu. Sekitar setengah jam kemudian usai Magrib berjamaah Fikapun mengajak Chole keluar ruangan masjid untuk menyantap kebab yang tadi mereka beli. Dan beberapa lama kemudian keduanya telah larut kembali dalam lautan jamaah Isya dan Tarawih.

***

“Fika, ada hal yang sangat ingin kutanyakan padamu, yaitu tentang kaum perempuan dalam pandangan Islam”, tanya Chole suatu hari sepulang dari kampus.

“Kau pasti tahu bahwa mayoritas penduduk Iran adalah pengikut Syiah”, lanjut Chole lagi. Keduanya sekarang duduk di bangku taman kampus, agak jauh dari keramaian.

Fika hanya mengangguk, mencoba meraba kira-kira apa yang ingin ditanyakan sahabatnya itu. Meski ia tidak tahu terlalu banyak tentang Syiah namun tidak jarang juga ia mendengar ayah ibunya membicarakan hal tersebut

“Sebaliknya, aku mendengar bahwa mayoritas Islam di dunia adalah Sunni, termasuk orang Indonesia. Jangan khawatir Fika, aku tidak ingin membicarakan perbedaan tersebut, apalagi berdebat denganmu tentang hal ini”, lanjut Chole seolah bisa membaca jalan pikiran Fika.

“Aku hanya ingin tahu benarkah kaum perempuan yang bermut’ah mendapatkan pahala besar di sisi Allah?  Yang kedua, aapa bedanya mut’ah dengan pernikahan resmi?”berondongnya.

Fika tersentak, tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Chole. Ia menghela nafas sejenak, berpikir keras jawaban apa sebaiknya yang ia berikan. Hingga akhirnya iapun berkata “Terus terang sebenarnya aku tidak begitu tahu apa itu mut’ah. Karena Sunni memang tidak mengenal mut’ah. Yang ada hanya pernikahan resmi atau perzinahan”.

Namun tanpa disangka, jawaban singkat tersebut telah mampu membuat Chole terkejut, “Yang benar ? ? Sunni tidak mengenal mut’ah? Maksud kamu bagaimana?”.

“Apa itu berarti dirimu masih suci?? Kamu tidak pernah disentuh lelaki manapun?  sekalipun?”, berondongnya.

“Tentu saja tidak. Haram Chole … Aku akan mempetahankan keperawananku, meski teman-teman disini menganggapnya aneh, hingga suatu hari nanti aku menemukan suami yang tepat. Seorang lelaki yang sholeh, yang takwa, yang mencintaiku sepenuh hati, yang mau menjaga dan melindungi aku dan anak-anakku kelak. Itu pasti Chole”, jawan Fika meyakinkan.

Chole terkesima mendengar jawaban tersebut. Ia diam seribu bahasa, dan selama beberapa detik hanya memandangi Fika seolah sahabatnya itu sudah hilang ingatan. Hingga tanpa bisa ditahan lagi tiba-tiba saja ia menangis histeris.

Fika segera mendekap Chole dan berusaha menenangkannya.

“Tenang Chole, tenang … Apa yang menyebabkan dirimu seperti ini? Kamu ingin menceritakannya padaku ? Ceritakan saja bila itu bisa membuatmu lega dan tenang”, hibur Fika.

Selang beberapa saat akhirnya Cholepun menjadi tenang. Ia mulai bercerita hari-hari menyakitkan yang selama ini telah dikuburnya dalam-dalam, meski ia tahu Allah akan mengganjarnya dengan pahala yang besar. Setidaknya itulah yang dikatakan ayahnya. Itu sebabnya ia begitu kecewa dan sakit hati mendengar jawaban Fika yang menganggap hal tersebut adalah haram, alias dosa besar !

Istri durhaka !”, desis ayah Chole kepada ibunya. Ketika itu ibu Chole berusaha menyembunyikan adik Chole  yang baru berumur 9 tahun, di dapur rumah mereka. Sementara Chole sendiri hanya tertunduk ketakutan, sadar bahwa ia harus melayani tamu kehormatan ayahnya. Dan ini bukan pertama kalinya ia  harus melakukan hal tersebut.

Tidak tahukah kau bahwa kunjungan pemuka Qom ke rumah kita ini adalah kehormatan. Mereka adalah orang-orang suci yang dapat membawa keberkahan kepada kita. Biarkan anak-anak kita melayani mereka. Allah sendiri yang akan memberi balasan pahala terbaik-Nya”.

Dengan nada pilu, Chole bercerita bahwa semua teman-teman perempuannya pernah mengalami hal tersebut. Bahkan ada diantara mereka yang sampai hamil, namun kemudian digugurkan, termasuk dirinya yang pernah hamil 2 kali. “Tidak sulit di negara kami menemukan praktek pengguguran kandungan. Dan itu bukan hal yang harus ditutup-tutupi”, jelas Chole.

Astaghfirullahaladzim”, pekik Fika tanpa sadar. “ Itu kan berarti kalian telah berbuat dosa dua kali lipat, perzinahan dan pembunuhan”.

“Ntahlah Fika, aku tidak mengerti mengapa bisa begitu. Malu aku sebenarnya menceritakan hal ini. Tidak jarang aku berpikir, alangkah sialnya menjadi perempuan”, isaknya.

“Dendamku benar-benar bertumpuk. Untuk itu aku melepaskannya dengan semua laki-laki yang menjadi kekasihku. Sungguh, aku tidak peduli apakah kekasihku hanya menginginkan kepuasan seksual atau karena betul-betul mencintaiku. Tidak ada bedanya. Bukankah perempuan hanya sampah yang dapat dicampakkan sesuka hati oleh laki-laki!”, teriaknya histeris.

Alangkah pilunya hati Fika mendengar pengakuan sahabatnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

“Sudah, tenanglah Chole. Bukankah itu bukan salahmu. Kau hanya korban ketidak-tahuan. Bertaubatlah segera, pasti Allah akan mengampunimu”, hibur Fika.

Chole terus terisak. Beberapa saat kemudian setelah Chole dapat menguasai dirinya kembali, ia kembali bertanya, “Bagaimana pula dengan hijab menurut Sunni, Fika?”.

“Kalau itu memang wajib, jelas ayatnya. Gimana menurutmu?”, kata Fika, balik bertanya.

“Hemmm, tapi apakah itu berarti polisi akan menangkapmu bila kedapatan kau berjalan-jalan tanpa hijab?”, tanyanya lagi.

“Yaa kalau di Indonesia ya tidak karena negara kami bukan negara Islam. Meski mayoritas penduduk adalah Muslim tapi Indonesia tidak menerapkan hukum Islam. Berhijab, seperti juga shalat 5 waktu, memang wajib, tapi itu tidak berarti polisi akan menangkap kita kalau kita tidak melakukannya”, jawab Fika diplomatis.

“ Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negaraku”, keluhnya.

Terus terang kami mengenakan hijab karena takut ditangkap polisi”, aku Chole tersipu.

“Itu sebabnya kebanyakan perempuan Iran yang hijrah ke luar negri menanggalkan hijab mereka begitu tiba di negri tujuan mereka, termasuk aku, ibuku dan sebagian besar perempuan di keluarga besarku”, jelas Chole.

Fika tiba-tiba teringat acara tv beberapa waktu lalu yang menayangkan pengakuan perempuan Iran yang menanggalkan hijab begitu tiba di Perancis.

Pantas saja, orang Perancis doyan menyudutkan posisi perempuan Islam », keluh Fika dalam hati.

“Kalau begini caranya, alangkah sulitnya umat Islam melawan Islamophobia yang menyerang Barat secara bertubi-tubi. Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Tapi begitu seseorang memutuskan masuk Islam otomatis ia harus melaksanakan hukum-hukum Islam. Itu adalah konsekwensinya. Hal yang lumrah saja sebenarnya”, batin Fika.

“Itu akibatnya kalau orang dipaksa berhijab, tanpa diberi bekal pengetahuan”,  kata Fika lembut kepada sahabatnya itu.

***

Jakarta, Maret 2015.

Vien AM.

Read Full Post »

Martha duduk santai di teras rumahnya yang mewah di sebuah kota besar di Amerika serikat. Sebuah novel terbaru karangan Dan Brown, penulis favoritnya, berada di tangannya. Ia memang sangat menyukai karya penulis novel “The Da Vinci Code” yang kontroversial itu, yang suka mencampur-adukan kehidupan nyata dengan dunia mistis, begitu ia menyebut agama dan kepercayaan, maklum Martha adalah seorang atheis, secara mengesankan.

Awalnya Martha adalah seorang yang religius. Maklum ia dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Namun setelah menjelang usia belasan tahun. ia merasa jawaban tentang doktrin Trinitas yang sering ia ajukan, tidak bisa memuaskan batinnya.

Hidup adalah ya di dunia ini. Kebaikan adalah apa yang kita perbuat untuk sesama manusia agar dunia ini aman dan tentram. Hanya orang idiot yang mau mempercayai kehidupan setelah mati”. Pepatah ini yang sekarang menjadi pegangan Martha setelah ia dewasa.

Martha pernah bekerja  di kantor berita  kenamaan milik pemerintah setempat.  Akan tetapi sejak 2 tahun yang lalu ia memutuskan untuk keluar dari kantornya. Ia memilih untuk manjadi wartawati freelance. Ia mulai jenuh dengan profesi yang dibayar karena tuntutan kemauan si pemilik kantor berita. Hatinya lama kelamaan berontak, ia tidak ingin terus membohongi publik. Dan iapun tidak ingin menunggu hingga dipecat seperti yang terjadi pada rekannya. Ia dipecat gara-gara memberitakan apa yang dilihat di depan matanya padahal tidak sesuai dengan keinginan bosnya.

***

Gempuran Israel ke jalur Gaza menggerakkan Martha untuk ikut meliput peristiwa biadab tersebut. Dukungan Barat dengan alasan Israel berhak mempertahankan diri membuat dahi perempuan berumur 30 an ini berkerut.

Sungguh tidak masuk akal, masak mempertahankan diri sampai harus mengorbankan ratusan jiwa, sebagian besar perempuan dan anak pulak.  Apalagi ini kan kejadiannya di Gaza, rumah rakyat Palestina ??”, tanyanya.

Martha segera mempersiapkan diri keberangkatannya ke Gaza.  Ini bukan kali pertama ia pergi ke daerah pertempuran. Sebelumnya ia pernah ikut meliput ke Suriah ketika masih bekerja untuk perusahaannya, dan ke Mesir  serta Tunisia setelah berstatus freelance. Dengan modal pengalaman itulah ia bisa masuk ke Gaza tanpa kesulitan berarti. Ia juga berhasil merekrut seorang warga Gaza yang mampu berbahasa Inggris, yang akan membantunya menterjemahkan dari bahasa Arab yang tidak dikuasainya.

With pleasure madame, dengan senang hati,  saya akan mendampingi anda selama tugas anda. Dengan syarat anda harus jujur, gunakan nurani anda”, demikian ucap Abdullah, pemuda asli Gaza berusia sekitar 21 tahun yang ditemuinya di lokasi.

Soal bayaran itu terserah anda, saya sudah sangat bersyukur jika anda mau melaporkan apa yang anda lihat disini apa adanya, tanpa bumbu-bumbu », tegasnya lagi.

« Kalau mau, selama anda meliput di negri kami, anda boleh menginap di rumah kami. Anda bisa tidur berdua dengan adik perempuan saya yang berumur 15 tahun. Ia pasti sangat senang bisa berkesempatan menyaksikan bagaimana seorang wartawati bertugas. Sebagai imbalannya, anda dapat mengajarkannya bahasa Inggris », tambah Abdullah.

Tentu saja Martha tidak melepaskan kesempatan emas tersebut. Bagi seorang wartawati seperti dirinya, tinggal di rumah penduduk dimana ia sedang meliput adalah hal yang paling didambakan. Karena dengan demikian ia dapat merasakan nafas liputannya.

Itu ia rasakan sendiri ketika ia bertugas di Tunisia untuk meliput peristiwa Arab Spring yang terjadi pada tahun 2012 lalu. Ketika itu ia tinggal di sebuah keluarga Islam yang sangat taat menjalankan agama. Itulah kali pertama ia mengenal dunia Islam. Untuk menghormati keluarga tersebut ia bahkan berinisiatif mengenakan jilbab sebagaimana lazimnya perempuan Muslim di sana. Dan ia sangat menikmatinya.

Demikian pula saat ini. Ia sudah berniat akan melakukan hal yang sama meski Abdullah tidak menuntut itu. Ia bahkan berhasil membina hubungan yang baik dengan Yasmin, adik perempuan Abdullah. Gadis remaja tersebut terlihat sangat mengaguminya.

***

Martha masuk ke Gaza City pada hari ke 8 Israel menggempur kota tersebut. Ia menyaksikan kepanikan penduduk yang melanda hampir seluruh sudut kota yang terkena rudal di sana sini. Para perempuan berteriak histeris, anak-anak menangis ketakutan, para lelaki mondar-mandir menggotong korban dengan tubuh berlumuran darah, ambulans dengan susah payah berzig-zag melewati reruntuhan bangunan, sementara darah berceceran dimana-mana dengan bau anyir yang sungguh menyengat.

Ia memulai liputannya dengan mendekati seorang ibu muda yang sedang duduk memeluk erat bayinya sambil meratap di depan sebuah bangunan yang telah rata dengan tanah. Dengan bantuan Abdullah, Martha menjadi tahu bahwa perempuan itu tidak hanya kehilangan tempat tinggalnya, namun juga kedua anak sulungnya, ibu, adik perempuan serta tiga sepupunya. Kebetulan mereka tinggal di dalam satu kompleks apartemen yang selama 3 hari berturut-turut tanpa ampun dibombardir tentara Israel. Suaminya, seorang pejuang HAMAS, lolos dari serangan brutal tersebut karena saat itu sedang bertugas..

Ya Allah balaslah orang-orang yang menzalimi kami itu dengan balasan yang setimpal. Beri kami kesabaran atas segala cobaan ini”, mohon perempuan tersebut dengan air mata berlinang.

Tampaknya tak hanya apartemen dimana perempuan muda itu tinggal yang menjadi sasaran, namun juga masjid yang berada di depannya. Menara masjid tersebut ambruk menutup sebagian jalanan. Terlihat beberapa orang lelaki sedang shalat di antara puing-puing masjid yang sebagian besar juga telah rata dengan tanah.

Shalat adalah kewajiban. Jadi dalam kondisi dan keadaan bagaimanapun kami akan selalu melaksanakannya. Dengan shalat hati menjadi lebih tenang”, jelas Abdullah tanpa diminta.

Martha hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak habis pikir bagaimana rakyat Gaza bisa bertahan hidup dalam keadaan seperti ini. Apalagi ia tahu bahwa bulan ini adalah bulan puasa.

Tidak usah heran madame. kami sudah terbiasa menahan lapar dan dahaga. Tidak di bulan Ramadhanpun kami memang harus berpuasa. 8 tahun sudah zionis Israel memblokade kami”, begitu Abdullah menjawab keheranan Martha.

 “ Namun Barat mengatakan bahwa HAMASlah yang harus mempertanggung-jawabkan agresi ini. Menurut mereka Israel membombardir negri anda karena HAMAS telah menculik 3 remaja Israel, membunuhnya dan juga kemudian melempari kota-kota Israel dengan roket”, tanya Martha dengan hati-hati.

“Itulah jahatnya media. Mereka memberitakan sesuatu sesuai kehendak mereka”, sungut Abdullah

HAMAS tidak mungkin melakukan penculikan warga sipil, apalagi kemudian membunuhnya, pantang! Anda pasti ingat peristiwa penculikan seorang serdadu Israel di tahun 1996. Yang 3 tahun kemudian akhirnya dibebaskan dengan penukaran ribuan tahanan Palestina yang selama bertahun-tahun disekap zionis terkutuk tersebut.  TIga tahun, HAMAS menahan sabar, agar penculikan yang mereka lakukan ada manfaatnya. Mengerti arah pembicaraan saya madame Amerika?”, tanya Abdullah berusaha menahan emosi.

Coba anda pikirkan, apa gunanya HAMAS menculik kemudian membunuh tawanan, sementara di dalam sana ribuan tawanan Palestina disekap tanpa ada satupun yang peduli. Tidak juga Negara anda yang katanya menjunjung tinggi HAM, Demokrasi dan lain-lain itu”.

“Percayalah, ini adalah fitnah murahan.  HAMAS bagi kami adalah pahlawan. Tanpa mereka dunia akan terus diam bungkam membisu seolah kami ini tidak ada”.

Dengan bersatunya HAMAS dan FATAH kami menjadi lebih kuat. Itu sebabnya Israel kesal. Maka merekapun mencari-cari alasan agar dapat menghancurkan HAMAS. Tapi kami tidak takut. Allah selalu bersama orang yang benar. Lebih baik mati daripada kami harus tunduk kepada mereka. Kematian kami adalah syahid. Surga balasannya”, tegas Abdullah penuh percaya diri, membuat Martha terbengong-bengong.

Satu lagi yang harus anda catat, tentara Israel adalah tentara pengecut. Mereka hanya berani menyerang dari udara, paling banter dari dalam tank. Mereka menyerang secara membabi buta, mengorbankan sipil, kaum perempuan dan anak-anak. Tapi di darat?? Silahkan dibuktikan”, lanjut pemuda tersebut berapi-api.

***

Hari terus berganti. Gempuran Israel makin membabi buta. Memasuki minggu ke 3 korban meninggal telah mencapai lebih dari 1000 orang, 200 diantaranya adalah anak-anak. Ribuan rumah penduduk, belasan masjid, sekolah, pasar hingga pembangkit listrik tak luput dari amukan Israel. Puluhan ribu warga Gaza terpaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka. Sementara para pejuang HAMAS juga tidak mau menurunkan frekwensi lemparan roket mereka ke kota-kota di wilayah Israel. Meski sering kali tidak mengenai target karena harus berhadapan dengan Iron dome.

Iron dome adalah sistim pertahanan udara Israel yang dididirikan khusus untuk menghalau roket-roket HAMAS. Proyek ini menerima suntikan dana besar dari Amerika Serikat yang merupakan sekutu terdekat Negara zionis tersebut.

Israel berhak mempertahankan diri”, demikian alasan Barrack Obama membantu Israel.

“ Sungguh aneh, kami ini yang ditindas dan dijajah di negri sendiri. Adalah hak kami untuk berontak dan menuntut kemerdekaan. Namun kami tetap disalahkan”, keluh Abdullah.

Martha diam tidak memberi komentar. Ia dapat mengerti perasaan partner barunya tersebut.  Diam-diam ia juga mengutuk agresi brutal Israel dan kecewa dengan sikap negaranya yang terang-terangan memihak Negara zionis itu.

Maka malam hari itu, Marthapun melampiaskan kekecewaannya melalui bait-bait berikut:

Adalah seorang anak tiri

Yang suka membangkang kepada kedua orang-tuanya yang zalim

Karena gara-gara merekalah

Orang-tua kandung dan keluarga besarnya terusir dari rumahnya

Ini membuat murka sang orang-tua

Maka disekap dan dikuncilah si anak di dalam kamarnya

Selama bertahun-tahun

Tanpa bekal makan minum serta pasokan dan kebutuhan dasar lainya

Hingga suat hari

Dengan mengumpulkan tenaga dan kekuatan yang dimilikinya

Si anak malang membuat lubang demi mencapai kebebasannya

Dari sana dilemparkannya sejumlah batu menuju rumah sang induk semang

Sialnya

Meski lemparan tidak sampai berakibat fatal

Karena tersangkut kubah besi yang sengaja diciptakan sang tirani

Siksapun makin menjadi-jadi

Alih-alih mendapat kebebasan yang didambakannya

Justru gempuran dan siksaan brutal yang diterimanya

Tangis dan raung kesakitanpun menggema

Tanpa seorangpun mau peduli derita itu

Inikah makna Demokrasi dan Toleransi?

Yang sering didengungkan Barat ?

Lalu apa arti semua ini

Wahai dunia yang diam membisu

 ***

Suatu hari Martha menemui seorang lelaki yang baru saja lolos dari rudal Israel. Orang tersebut adalah salah satu pendiri rumah tahfiz, rumah tempat anak-anak belajar Al-Quran, begitu yang ia tahu dari Abdullah.

Bangunan ini adalah bangunan sumbangan rakyat Indonesia, khusus untuk menghafal Al-Quran. Namanya rumah tahfiz”, jelas lelaki berkebangsaan Indonesia yang telah 10 tahun menetap Gaza itu. Istrinya asli penduduk Gaza.

Bangunan ini baru saja selesai minggu lalu. Namun mereka telah menghajarnya. “, lanjutnya.

Rumah kami persis di sebelah rumah tahfiz ini. Dua hari yang lalu rudal Israel mendarat di halaman rumah kami. Pagi tadi mereka kembali membombardirnya, hingga hancur bersama rumah ini.  Untung saya sudah mengungsikan keluarga besar saya”, keluhnya.

Ada apa menurut mereka di dalam sana ? Bom ? Persenjataan HAMAS ??  Lihatlah sendiri, apa yang ada di dalam sini”,  lanjut lelaki setengah baya tersebut dengan mata nanar dan suara bergetar.

Martha segera mengikuti langkah lelaki tersebut, dan masuk ke dalam bangunan yang hampir rata dengan tanah itu. Ia melihat buku-buku termasuk Al-Quran yang sering dilihatnya ketika ia berada di Suriah dan Tunisia, berserakan dimana-mana. Lemari yang porak poranda, kaca-kaca yang hancur, serta dinding dan atap yang berlobang-lobang.

“ Percayalah tidak ada bom atau persenjataan di dalam sini. Yang ada hanya Al-Quran dan buku-buku pelajaran Islam. Disinilah anak-anak berusia antara 6 sampai 13 tahun mustinya belajar menghafal ayat-ayat suci Al-Quran. Itulah jalan kami untuk mendekatkan diri pada-Nya, untuk memohon pertolongan keluar dari  kesulitan dan penderitaan », jelasnya.

Martha mendengarkan penjelasan yang diterjemahkan Abdullah, merekam sambil sekali-sekali memotret apa yang dianggapnya perlu. Namun belum selesai ia mengambil foto, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dari bagian dalam bangunan. Orang-orang segera berhamburan mencari asal suara keluar. Rupanya masih ada yang terjebak di dalam reruntuhan tersebut.

Akhirnya setelah dengan susah payah orang tersebut bisa diselamatkan. Ternyata korban adalah 2 orang anak sekitar usia 10 tahun dan satu orang dewasa. Tampak darah mengucur dari kepala mereka, membasahi muka dan baju yang dipenuhi debu. Orang-orang segera membantu dan memapah mereka keluar dari bangunan yang sebagian atapnya sudah roboh tersebut.

Begitulah Martha melewati hari-hari yang menegangkan di tengah-tengah rakyat Gaza. Di malam hari ia meng-edit tulisan dan foto-foto yang dibuatnya, kemudian langsung mengirimkannya ke beberapa kantor berita.

Ada satu hal yang tanpa disadari membuatnya betah berlama-lama di dalam kamarnya, yaitu bacaan ayat-ayat suci yang dibacakan penghuni rumah dimana ia tinggal. Setiap malam ia mendengar alunan merdu ayat-ayat yang dibacakan kalau tidak oleh ibu, nenek, kakak, adik atau Abdullah sendiri. Tak jarang pula ia mendengar sayup-sayup alunan tersebut dari rumah tetangga atau masjid di sekitarnya.

Hingga suatu malam, ketika Yasmin telah tidur, karena keingin-tahuan yang tinggi, diam-diam ia mengambil Al-Quran yang sering dibaca gadis itu. Namun ternyata bacaan itu ditulis dalam bahasa Arab yang sama sekali tidak difahaminya. Dalam hati Marthapun berjanji kepada diri sendiri bahwa ia akan mencari terjemahannya sekembalinya ke tanah airnya nanti.

Beberapa hari terakhir wartawati tersebut bahkan sempat ikut berpuasa. Ia penasaran ingin mengetahui bagaimana rasanya berpuasa di tengah mereka. Jujur, ia benar-benar kagum pada disiplin keluarga ini menjalankan ibadah mereka. Hampir setiap hari, di tengah gempuran senjata dan kepulan asap  tebal yang membumbung tinggi, ia melihat keluarga ini shalat dan sahur bersama seolah tidak ada masalah.

Belum lagi prilaku Abdullah juga adik-adiknya yang sangat menghormati ibu mereka. Hal yang tidak pernah dilihatnya di Barat. Disamping juga sikap hormat mereka terhadap dirinya selaku tamu.

***

Suatu hari ketika genjatan senjata sedang berlangsung, Martha berniat mengunjungi salah satu kamp pengungsian terdekat. Abdullah menawarkan pengungsian di Khan Yunis yang terletak di bagian selatan Jalur Gaza,  dekat perbatasan Rafah di Mesir. Mereka meninggalkan rumah pukul 10 pagi dengan sepeda motor.

Pagi itu, warga Gaza, kota berpenduduk 1.7 juta jiwa, sebelum genosida yang baru saja dilakukan zionis Israel, penuh dengan orang lalu lalang. Penduduk yang selama hampir satu bulan ini terpaksa mengungsi, demi menghindari bombardir Israel, berbondong-bondong pulang untuk melihat keadaan rumah mereka yang telah hancur.

Wajah-wajah pilu menahan kesedihan yang mendalam tidak dapat mereka sembunyikan. Mayat-mayat bergelimpangan, sebagian tidak utuh, yang belum sempat dimakamkan, bau darah yang anyir, antrian penduduk yang mengular menanti pembagian air bersih dan makanan. Begitulah pemandangan yang disaksikan Martha.

Satu-satunya pemandangan yang dapat membuatnya tersenyum hanyalah kelakuan ceria anak-anak usia 4-5 tahun yang berlarian di antara reruntuhan bangunan, seolah telah bertahun-tahun mereka tidak pernah bermain sebebas hari itu.

“Katakan Abdullah, apa yang harus dilakukan seseorang bila ingin memeluk Islam?”, tanya Martha mengejutkan Abdullah.

“ Mengapa kau bertanya begitu? Apakah kau tertarik masuk Islam ? », Abdullah balik bertanya.

“ Hanya ingin tahu saja”, jawab Martha sambil mengangkat bahunya.

Membaca 2 kalimat syahadat. Setelah itu melakukan kewajiban shalat 5x sehari dan berbuat baik kepada sesama. Itu yang utama”, jawab Abdullah singkat.

Martha mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum akhirnya bertanya lagi, penasaran, “Apa itu kalimat syahadat?”

Namun belum sempat Abdullah menjawab pertanyaan tersebut, sebuah roket meluncur cepat tepat di atas kepala mereka. Dan sebelum Martha menyadari apa yang terjadi, desingan yang kemudian disusul ledakan dasyat terdengar menggelegar di depan mereka. Sebuah motor yang baru saja menyusul mereka langsung terpental. Asap tebal membumbung tinggi ke udara. Abdullah segera menghentikan motornya.

“Tiaraap, cepat tiaraaap”, perintahnya kepada Martha.

Beberapa menit berlalu dengan tegang. Setelah yakin tidak akan datang roket susulan barulah Abdullah dan Martha bangun berdiri. Kejadian ini berlangsung hanya beberapa puluh meter sebelum mereka memasuki kamp pengungsian Khan Yunis yang menjadi tujuan mereka. Para penghuni kamp yang padat itupun berhamburan keluar untuk memeriksa kerusakan sekaligus membantu korban.

“ Astaghfirullahaladzim … Lihat perbuatan mereka. Katanya genjatan senjata. Sungguh Zionis terlaknat  !”, terdengar orang-orang memaki-maki apa yang telah dilakukan penjajah Israel tersebut.

Ternyata bukan hanya kamp pengungsian ini yang menjadi sasaran Israel di tengah genjatan senjata yang telah dilanggarnya itu. Namun juga pengungsian Jabalia di Gaza utara. Puluhan orang tewas akibat serangan udara Israel menyebabkan warga lain di kota itu bergegas mengungsi dari lokasi karena khawatir jadi sasaran serangan berikutnya.

Sebuah sekolah milik PBB juga tak luput dari hantaman mortir yang dilontarkan dari tank Israel. Puluhan orang yang sedang mengungsi ke sekolah tersebut dan sedang antri makanan menjadi korban, sebagian tewas dan sebagian lagi luka-luka.

Kebrutalan Israel tidak hanya berhenti disitu, bahkan rumah sakitpun dihajarnya. Sebuah bom mendarat di salah satu sisi rumah sakit yang sarat pasien itu, menyebabkan kepanikan luar biasa.

Juga Lebaran, yang merupakan puncak kemenangan umat Islam selama 1 bulan berpuasa, tidak lolos dari sasaran serangan rudal Israel. Sejumlah wargapun syahid di beberapa lokasi shalat Ied yang digelar warga Gaza.  Dilaporkan 10 warga tewas, 8 diantaranya anak-anak, sementara puluhan lainnya terluka.

Benar-benar biadab”, kutuk Martha yang sempat merekam peristiwa mengenaskan tersebut. Hatinya benar-benar pilu menyaksikan betapa orang-orang yang dengan susah payah telah menjalankan perintah Tuhannya namun di saat hendak merayakan kemenangan tersebut harus menderita sedemikian beratnya. Padahal mereka hanya merayakannya dengan shalat bersama, demi meng-agung-kanNya.

“Ya Allah masukkan mereka kedalam surga-Mu”, tanpa sadar Martha berdoa, hal yang telah puluhan tahun tidak pernah dilakukannya. Hatinya bergetar kencang. Tiba-tiba ia merasakan gelombang keteduhan yang begitu dasyat, menyusup ke dalam sanubarinya. Tak kuasa ia menahan air matanya yang mengalir deras.

***

Malam itu Martha tidak dapat tidur nyenyak. Hatinya gelisah tanpa ia tahu apa penyebabnya. Ia melirik ke arah Yasmin yang sudah tertidur lelap satu jam yang lalu setelah membaca Al-Quran seperti biasa.

Pikiran Martha melayang-layang. Bayangan masa kecilnya bersama kedua-orangtua dan keluarga besarnya ketika sedang merayakan natal, menghadiri misa malam di gereja, masa remajanya yang mempertanyakan trinitas dan menyebabkannya menjadi apatis lalu ateis, kehidupan dewasanya yang sarat pesta dan mabuk-mabukkan hingga tahun-tahun sibuknya menjalani kehidupan sebagai wartawati perang. Bayangan tersebut terus berputar silih berganti memenuhi isi kepalanya.

Ditengah kegalauannya itu alunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar sayup-sayup memecah keheningan malam, membuat hatinya bergetar.

“Apa yang aku cari, siapa diriku, apa tujuan hidup ini”, keluhnya.

Tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada sajadah indah milik Yasmin yang sering digunakan gadis belia itu sebagai alas shalat. Sajadah  itu terlihat begitu menantangnya. Dan ntah karena kekuatan apa Martha tahu-tahu sudah menggelar sajadah tersebut, setelah menutup kepalanya dengan kain kerudung yang selama hampir sebulan selalu ia kenakan. Secara reflek ia meniru sambil berusaha mengingat gerakan yang Yasmin sering lakukan ; berdiri, rukuk dan sujud. Itulah gerakan shalat.

Namun di tengah keasyikannya itu tiba-tiba terdengar bunyi sirene mengaung keras menandakan akan tibanya serangan udara Israel. Martha segera menghentikan kegiatannya, dan mengembalikan sajadah ke tempatnya kemudian membangunkan Yasmin. Suara Abdullah terdengar membangunkan seluruh isi rumah dan menyuruh mereka segera meninggalkan bangunan. Ia segera menarik lengan ibunya, menyambar adik bungsunya dari gendongan ibunya dan berlari menuju pintu utama.

Yasmin, Reza, Martha, cepat turun dan keluar dari bangunan ini!”,serunya.

Marthapun segera menarik Yasmin dan Reza, adik Yasmin, yang masih setengah mengantuk, dan lari menyusul Abdullah. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu, peralatan jurnalisnya.

Kalian turun duluan, aku menyusul”, katanya sambil berbalik masuk kamarnya lagi.

Dengan cepat ia mengumpulkan seluruh peralatan yang menjadi sumber penghidupannya itu, berkas-berkas, kamera dan laptopnya. Setelah itu ia bergegas menuju pintu.

Namun terlambat. Sebuah bom jatuh tepat di atas bangunan apartemen dimana ia tinggal selama ini. Terdengar suara menggelegar kencang, api dan asap tebal membumbung tinggi, Martha merasa tubuhnya terlempar keras, udara panas luar biasa menyergap sekelilingnya. Ia sempat melihat bangunan tempat tinggalnya runtuh sebelum akhirnya ia mendarat beberapa meter dari lokasi kejadian dengan sekujur tubuh yang sakit luar biasa.

Di tengah kegelapan malam itu, langitpun tampak memerah tercemar pijaran api yang begitu dasyat. Terdengar raungan, ratapan dan tangisan bercampur hirup pikuk suara orang berlarian kesana kemiri, sebelum akhirnya senyap. Martha tak sadarkan diri.

***

Paginya ketika ia tersadar,ia telah berada di ruang sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang disesaki orang-orang yang terluka,  juga keluarga korban dan relawan yang keluar masuk membawa korban baru. Bau anyir darah langsung menyergap hidung Martha.  Ternyata itu bukan hanya darah korban lain namun telah bercampur dengan bau darahnya sendiri. Darah tersebut terus keluar dari pelipis dan bahunya yang terserempet pecahan rudal malam tadi. Kepalanya dirasanya begitu berat, perutnya terasa mual. Ingin rasanya ia berteriak meminta bantuan dokter. Namun ia begitu malu melihat banyaknya pasien yang keadaannya tidak lebih baik darinya.

Temanmu ini telah kehilangan terlalu banyak darah. Aku tidak yakin apakah dapat menyelamatkannya. Kau lihat sendiri, kami sangat kekurangan tenaga medis, persediaan obatpun sangar terbatas », jelas seorang dokter kulit putih kepada Abdullah yang berdiri disamping tempat Martha terbaring lemas.

Samar-samar Martha melihat bayangan Abdullah. Setengah tak sadar ia berusaha menjawil Abdullah, dengan suara lemah ia menanyakan keadaan ibu dan adik-adiknya.

Reza tak tertolong”, katanya singkat namun Martha dapat menangkap jelas suaranya yang bergetar hebat. Mata Abdullah terlihat sembab namun ia berusaha tegar.

Ya Tuhan”, keluh Martha tak kalah sedihnya.

Selanjutnya dengan susah payah ia berusaha berbicara dengan Abdullah.

“Abdullah, ajarkan aku bacaan syahadat. Aku ingin mati dalam keadaan Islam”, pintanya sambil menahan sakit.

“  Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah”, jawab Abdullah tanpa banyak tanya.

Dengan terbata-bata Martha mengikutinya perlahan-lahan. .

“Abdullah dengar, aku tak tahu apakah aku bisa bertahan atau tidak. Namun satu permintaanku, bila aku harus mati disini, kuburkan aku secara Islam”, bisik Martha lirih,

Abdullah terdiam sesaat.

“ Aku tidak bisa janji karena biasanya wartawan-wartawati asing yang meninggal disini diurus dan dibawa pulang ke tanah airnya oleh tim dari PBB”, jawab Abdullah.

“Namun akan kuusahakan”, janjinya tak kuasa menghadapi tatapan Martha yang penuh harap.

Beberapa menit kemudian perempuan itupun lemah terkulai, sebuah senyum kemenangan terlihat menghiasi wajahnya yang makin pucat.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”, ucap Abdullah tertunduk.

***

Jakarta, 17Agustus 2014.

Vien AM.

Read Full Post »

Older Posts »