Suatu pagi di musim semi yang cerah, murid-murid sebuah sekolah dikejutkan oleh rentetan panjang peluru yang berhamburan dari sebuah senjata api yang ditembakkan orang tak dikenal. Azriel terhenyak. Saat itu ia baru saja masuk kelas untuk meletakkan tas sekolahnya. Ia segera berlari menuju jendela kelas. Dari sana ia melihat seorang lelaki berhelm menutup kepala dan wajah, dengan senjata api di tangan bergegas menuju sebuah motor kemudian dengan cepat melesat meninggalkan area sekolah dimana ia dan adik satu-satunya menuntut ilmu. Tiba-tiba ia teringat adiknya yang baru berumur 8 tahun itu. Bergegas iapun ke luar kelas dan menuruni tangga menuju pekarangan.
Disana ia melihat guru-guru, orang-tua dan siswa sekolah histeris. Ia melihat ada beberapa kerumunan, beberapa orang tergeletak bersimbah darah. Ia hanya berhenti dan melihat sepintas, pikirannya tertuju kepada Gabriel, adiknya.
“ Azriel, adikmu tertembak !”, teriak seorang teman mengagetkannya.
Azriel segera menghambur ke arah suara tersebut, ke arah kerumunan orang yang sedang berusaha menolong adiknya yang sedang terkapar. Ia segera menyeruak dan memeluk tubuh adiknya yang menangis kesakitan.
“ Ya ampun Gabriel, apa yang terjadi, tenaang, jangan menangis yaa, kamu g akan mati koq”, hibur Azriel.
Peristiwa nahas ini terjadi pada bulan Maret 2012 di sebuah sekolah Yahudi dibawah yayasan Ozar Hatorah di kota Toulouse, Perancis. Seorang rabbi dan 6 orang murid dikabarkan meninggal tertembak sementara 5 orang lainnya terluka parah.
Beruntung Gabriel tertolong, peluru yang mengenai bahu kanannya dapat segera di keluarkan. Namun gadis kecil itu masih terguncang hingga beberapa bulan ke depan. Demikian pula sebagian besar murid sekolah tersebut, termasuk Azriel yang 6 tahun lebih tua dari adiknya.
Dari peristiwa tragis tersebut, Azriel menjadi bertambah yakin bahwa Islam adalah agama teroris. Bagaimana tidak, dari media ia mendengar bahwa lelaki berdarah dingin yang menembaki adik dan teman-temannya itu adalah seorang Muslim. Ia melakukan itu semua dengan dalih kesal melihat Muslim di Palestina sering diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Yahudi Israel.
“ Aneh .. sama sekali g masuk akal”, gerutunya keheranan.
Sebaliknya Azriel juga tahu apa itu antisemit, yaitu sikap permusuhan dan tidak suka seseorang/kelompok terhadap bangsa Yahudi. Kelompok tersebut bukan Muslim. Mereka orang kulit putih juga, biasanya fans berat Nazi. Ia dan teman-temannya sesama Yahudi sempat juga merasakan hal ini, tanpa tahu apa penyebabnya.
“ Anti-Semit di Perancis adalah yang paling liar. Tinggalkan negara ini, kita telah punya Israel Raya yang aman bagi kita”, umbar PM Israel Ariel Sharon sebelum komanya selama 8 tahun.
“ Kau harus selalu ingat Azriel apa itu Holocaust. Shoah kita menyebutnya. Bagaimana kejamnya Nazi terhadap kita. Jutaan orang mereka bantai selama PD II hanya karena mereka iri terhadap kesuksesan Yahudi. Bagaimanapun Yahudi adalah ras tertinggi, ras paling mulia yang ada di muka bumi ini“, jelas ibunya berulang kali.
“ Tempat yang paling aman bagi kita adalah Yerusalem di Israel dimana ribuan tahun lalu berdiri kuil kuno Solomon. Disana Tuhan kita, Yahweh, akan senantiasa memberkati kaum Yahudi. Untuk itu apapun harus kita lakukan, surga adalah jaminannya, bukan cuma di dunia tapi juga di akhirat ”, kata-kata itu selalu terngiang di telinga Azriel.
Dengan bekal semangat dan rasa dendam membara di dada inilah Azriel dan sebagian besar remaja Yahudi dimanapun berada, bercita-cita tinggi ingin menjadi tentara Zionis. “ Aku harus menjadi tentara Zionis, demi terciptanya Negara Yahudi Raya”.
Ozar Hatorah sendiri adalah sebuah organisasi Yahudi ortodoks yang bergerak dalam bidang pendidikan, didirikan pada tahun 1945 di Yerusalem, dan didanai oleh komite Yahudi Amerika. Organisasi ini memulai kiprahnya dengan membangun 29 sekolah Yahudi di tanah pendudukan Palestina. Selanjutnya dibangun pula puluhan sekolah ke Negara-negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara dimana komunitas Yahudi berada, seperti di Iran, Suriah, Libia dan Maroko, dengan total sekitar 17 ribu siswa.
Kemudian pada tahun 1971, ketika orang-orang Yahudi bermigrasi dari Afrika Utara ke Perancis, Ozar Hatorah membuka sekolah di beberapa kota besar Perancis, hingga kini mencapai 20 sekolah, salah satunya yaitu sekolah dimana Azriel berada. Jumlah Yahudi di Perancis memang adalah yang terbanyak di Eropa, yaitu lebih dari 550 ribu. Namun kini sebagian sudah banyak yang berpindah ke Israel.
***
Azriel lahir dari seorang ibu keturunan Spanyol berdarah Yahudi. Nenek moyang dari pihak ibunya lari dari Spanyol menuju Perancis paska terjadinya Reconquista pada tahun 1492. Ketika itu ratu Isabela dan raja Ferdinand dari Aragon yang berhasil menaklukan Granada, kerajaan Islam terakhir di Spanyol, mengusir orang-orang Islam dan Yahudi yang tinggal di tanah tersebut. Setelah sempat berpindah-pindah kota akhirnya mereka menetap di Montauban, sebuah kota tak jauh dari Toulouse, hingga sekarang ini.
Sementara ayahnya adalah imigran Iran yang menetap di Pau, kota kecil sekitar 200 km barat daya Toulouse, paska revolusi Iran oleh Khomeini pada tahun 1979 lalu. Ketika itu ayah Azriel baru berusia 5 tahun. Ayah Azriel bersekolah di kota tersebut hingga lulus SMA.
Ayah bertemu dengan ibu karena sama-sama kuliah di universitas Toulouse, salah satu universitas tertua di Eropa. Universitas ini didirikan pada tahun 1229. Mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menikah meski berbeda keyakinan. Ayah dan keluarga besarnya seperti juga sebagian besar orang Iran adalah pemeluk Islam.
Tapi ayah kelihatannya tidak begitu peduli dengan agama yang dipeluknya itu. Setidaknya itulah yang terkesan oleh Azriel. Namun ia tahu persis bahwa ayahnya selalu membawa-bawa batu khusus kemanapun ia pergi. Ayahnya yang jarang di rumah karena kesibukan pekerjaannya bahkan sering mengolok-olok Islam.
“ Payah pemerintah Arab Saudi, jenggot aja di urus. Heran, kenapa orang-orang bodoh terbelakang itu masih mau saja dibohongi pergi haji ke Mekah. Haji itu ya di Karbala dimana sayidina Husein dimakamkan”, gerutu ayahnya ketika terjadi kecelakaan maut di Mina pada musim haji lalu.
“ Bukannya memang Islam itu agama terbelakang, batu koq disembah, persis seperti batu jimatmu itu ”, sambar ibunya sinis.
“ Jaga mulutmu Giselle .. Haji itu akal-akalannya Arab Saudi yang ingin memeras uang orang-orang Islam yang tidak berpendidikan” , hardik ayah yang merasa tersinggung dengan komentar pedas ibu.
Azriel segera masuk kamar, menutup pintunya rapat-rapat. Ia tutup kedua telinganya dengan head phone bersuara musik keras sekencang-kencangnya. Ia hafal betul kalau sudah begitu pasti bakal panjang urusannya, dan ia tidak ingin mendengarnya.
Sementara itu hubungan ayah dengan keluarga besarnya juga sangat rapuh.
“ Kau nikahi perempuan Yahudi. Kau sekolahkan anakmu di sekolah Yahudi. Sekarang kau tinggalkan pula agama nenek moyang kita. Enyahlah kau anak durhaka dengan tanah Karbalamu itu. Syiah bukan Islam, pahami itu !”, kalimat itu didengar Azriel diucapkan oleh kakeknya dengan gusar. Ketika itu ia dan ayahnya sedang berlibur dengan mengunjungi kakek dan neneknya di Pau.
Maka sejak itulah hubungan ayah dan keluarga besarnya terputus. Tidak pernah lagi Azriel maupun ayah ibunya berkunjung ke rumah kakek nenek yang dulu sangat memanjakannya itu. Rumah berhalaman luas dengan pemandangan deretan pegunungan Pirenea itu sekali-sekali masih suka terbayang di pelupuk mata Azriel. Namun apa mau dikata, bahkan adiknya, Gabriel, sama sekali tidak mengenal siapa kakek dan nenek dari ayahnya.
Kini, Azriel telah lupa bahwa ia punya keterikatan dengan Muslim. Pelajaran dan pergaulannya di sekolah serta ibu dan keluarga besarnya begitu besar mempengaruhi hidupnya.
***
Malam itu Azriel terlihat serius di depan komputernya. Ia harus menyelesaikan tugas sekolah yang harus dikumpulkan besok lusa. Sejak beberapa hari terakhir ini ia memang sibuk mengumpulkan data-data untuk tugas yang menjadi syarat wajib mengikuti ujian akhir SMAnya. Tugas itu berkaitan dengan peristiwa yang pernah dialaminya 3 tahun lalu yaitu penembakan di sekolahnya.
Beberapa kali Azriel yang telah tumbuh menjadi seorang pemuda berusia 17 tahun itu terlihat tegang. Wajahnya mengernyit menunjukkan ekspresi seolah tidak percaya campur heran kaget.
“The Hoax of the 20th Century: The case against the presumed extermination of European Jewry”, begitulah judul tulisan di depan layar komputer yang terpampang di depan matanya.
Azriel segera mengunci pintu kamarnya, khawatir ibunya memergoki apa yang sedang dibacanya.
Menurut berita tersebut, pada tahun 1976 Arthur Butz, seorang profesor teknik dari Northwestern University, menyatakan bahwa gas Zyklon-B yang selama ini dipercaya sebagai zat pembunuh orang-orang Yahudi pada peristiwa Holocaust sebenarnya tidak pernah digunakan untuk membunuh satu orangpun Yahudi. Zat itu hanya digunakan untuk proses menghilangan bakteri yang ada pada pakaian.
Selanjutnya, Azriel menemukan artikel yang ditulis oleh Paul Rassinier, korban Holocaust yang selamat. Pada tahun 1964, ia menerbitkan sebuah buku berjudul “The Drama of European Jews”. Isi buku ini mempertanyakan apa yang diyakini dari Holocaust selama ini. Dalam bukunya, ia mengklaim bahwa sebenarnya tak ada kebijakan pemusnahan massal oleh Nazi terhadap Yahudi, tak ada kamar gas, dan jumlah korban tidak sebesar itu (5,6 – 5,9 juta orang).
Tulisan lain yang memperkuat “kebohongan holocaust” adalah tulisan seorang Winston Churchill, PM Inggris yang memainkan peran penting terjadinya PD II. Dalam karya monumentalnya,”The Second World War”, ia tidak menyebut sedikitpun tentang program Nazi dalam pembantaian orang Yahudi. Meski tak bisa disangkal bahwa Nazi memperlakukan Yahudi dengan buruk, kejam, dan bengis.
Disamping itu Azriel juga menemukan berita mengenai Nicolas Anelka dan Dieudonné M’bala. Anelka adalah seorang pesepak bola Perancis. Sedangkan Dieudonné adalah seorang komedian Perancis, sekaligus aktor dan aktivis politik. Keduanya ditangkap dan diamankan polisi karena dianggap telah melakukan prilaku Antisemit.
Anelka melalui gerakan hormat spontan pada salah satu pertandingan yang dilakukannya, namun mengaku tidak tahu apa maknanya. Sementara Dieudonné yang sudah beberapa kali dihukum karena sikap antisemit-nya, diamankan polisi gara-gara sikapnya yang dianggap memihak terorisme. Terorisme yang dimaksud adalah tragedi penembakan di kantor berita satir Charlie’s Hebdo di Paris pada Januari 2015 lalu.
***
“ Selamat jalan nak, jangan lupa kabari kami disini. Semoga sukses dan Yahweh selalu menyertaimu”, ucap ibu Azriel sambil memeluknya erat.
Siang itu ayah, ibu, Gabriel, kakek nenek dan beberapa teman dekat Azriel melepas keberangkatan Azriel ke Jerusalem di Israel. Ia diterima di Hebrew university of Jerusalem melalui program beasiswa yang diberikan sekolahnya. Pengumuman itu ditrimanya hanya beberapa hari setelah hari kelulusannya.
Sebenarnya kuliah baru akan dimulai awal September namun ia ingin memanfaatkan liburan panjangnya dengan mengenal lebih dahulu Jerusalem, sejarah maupun penduduknya. Kota ini selama beberapa waktu memang telah begitu menyita perhatiannya. Jerusalem kota suci dimana dulu pernah berdiri bait suci umat Yahudi dan kini direbut umat Islam. Dengan semangat inilah Azriel memasuki kota suci 3 agama terbesar di dunia tersebut.
Pesawat mendarat di bandara Ben Gurion yang terletak sekitar 40 km baratlaut Jerusalem pada pukul 17.15 waktu setempat. Jerusalem sebenarnya mempunyai bandara sendiri, namun ditutup sejak tahun 2000 karena alasan keamanan.
Dari bandara Azriel langsung menumpang kereta api cepat menuju pusat kota Jerusalem. Rencananya ia akan langsung ke hotel. Dari hotel setelah cek-in dan meletakkan koper, ia akan berjalan-jalan sekitar hotel dimana ia tinggal. Untuk itu ia sengaja memilih hotel di pusat kota. Besok agak siang ia baru akan mengunjungi kota tua Jerusalem timur dimana Tembok Ratapan berada.
Tanpa sadar Azriel berdecak kagum. Ia tidak pernah berpikir bahwa Jerusalem yang dikabarkan sering terjadi kericuhan itu ternyata kota yang maju dan modern. Gedung-gedung tinggi pencakar langit, stasiun kereta api dan jembatannya yang merupakan gerbang masuk kota terlihat indah dan megah. Jalan rayanya mulus, besar dan bersih. Demikian pula rumah penduduknya yang rata-rata di cat putih, terlihat rapi dan teratur.
Maka malam itu jadilah Azriel berbaur di sebuah kafe diantara turis-turis manca negara yang memenuhi kota tersebut. Suara musik hingar bingar terdengar sahut menyahut dari kafe dan pub di sekitarnya. Tidak terkesan sedikitpun bahwa Jerusalem adalah kota suci seperti yang ia pahami selama ini.
“ Kalau ingin menyaksikan kesucian kota ini pergilah ke kota tua anak muda”, begitu jawaban pelayan sambil meletakkan bir pesanannya.
***
Esok harinya, sekitar pukul 11 siang Azriel sudah bersiap meninggalkan hotel. Tujuannya adalah kota tua. Rencananya ia akan berdoa dulu di Tembok Ratapan, setelah itu baru berjalan-jalan melihat sekelilingnya. Kebetulan halte bus yang menuju tempat tujuannya tidak jauh dari hotel tempat ia bermalam.
Tak lama kemudian Azriel sudah berada di dalam bus yang dipenuhi turis. Rupanya keberuntungan sedang berada di pihak pemuda tersebut, karena ada guide yang sedang memandu sekelompok turis di dalam bus tersebut. Dengan demikian ia bisa ikut menguping penjelasannya.
“ Di depan sebelah kiri kita itu adalah universitas Hebrew of Jerusalem. Ini adalah universitas kedua tertua di Israel, dibangun pada tahun 1918. Albert Einstein dan Sigmund Freud adalah alumni universitas ini”, jelas sang guide sambil menunjuk ke sebuah bangunan megah di depan sana.
Azriel segera mengalihkan pandangannya ke gedung dimana ia akan menuntut ilmu nanti. Sebuah kompleks gedung dengan taman yang cukup luas terbentang di hadapannya. Rasa senang dan bangga segera menyelimuti hati Azriel. Senyum simpul menghiasi wajah bertopi kecil khas Yahudi yang bertengger di kepala Azriel.
Bus berhenti sebentar di depan sebuah halte yang ada di seberang kampus. Tampak beberapa pasang muda mudi, tampaknya mahasiswa, mengantri untuk menaiki bus. Azriel dan para penumpang bus yang sebagian besar turis tak mau melewatkan kesempatan tersebut. Mereka segera mengambil foto bangunan bergengsi tersebut.
“ Di sebelah kanan anda, di atas bukit, adalah kompleks Temple Mount. Orang Islam menyebutnya Haram Asy-Syarif. Bangunan berkubah kuning adalah apa yang disebut Dome of the Rock”, terdengar suara guide mengingatkan.
Serentak para penumpang termasuk Azriel menoleh ke arah kanannya. Dome of the Rock yang fenomenal, dengan kubah kuning keemasannya terlihat mencolok.
“ Bait Solomon”, bisik Azriel dalam hati dengan mata berbinar.
Ingatannya segera melayang kepada cerita para guru dan rabbi di sekolahnya.
“ Dimanapun kita berada selalu saja ditindas. Dan ini terjadi sejak ribuan tahun lalu. Begitulah kehendak Yahweh, agar kita selalu ingat untuk terus berjuang. Jadi jangan merasa takut, Yahweh senantiasa melindungi kita, umat Yahudi. Kita adalah umat terbaik, termulia, tak ada yang dapat mengalahkan kita”, jelas rabbi menggebu-gebu.
“ Yahweh, Tuhan kita telah menetapkan tanah Jerusalem yang diberkati, dimana Bait Solomon ke 1 dan 2 pernah berdiri dan dihancurkan, adalah milik kita. Untuk itu harus kita rebut kembali dari para perampasnya. Bait Solomon ke 3, bait terakhir itu harus segera didirikan berapapun banyak dan mahalnya yang harus kita korbankan”, tambahnya lagi.
Bus terus melaju perlahan, menyusuri bagian timur dan tenggara bukit dimana Temple Mount yang berdiri megah dikelilingi tembok raksasa mirip benteng itu berada. Membuat puas mata yang memandangnya. Beberapa menit kemudian buspun berhenti. Didepan sana terlihat antrian bus-bus besar turis diparkir.
“ Kita sudah sampai. Mari kita turun, jangan sampai tertinggal barang-barang anda. Jangan lupa ini bus umum”, teriak sang guide memperingatkan rombongan yang dipimpinnya.
“ Satu lagi, kita saat ini berada di pintu selatan, kalau sampai nanti ada yang tersesat kita berkumpul lagi di pintu ini”, tegasnya.
Azriel segera turun dari bus dan bergegas menuju pintu gerbang lalu mengantri dibelakang deretan antrian ratusan turis yang sudah tiba lebih dulu. Setelah melalui pemeriksaan ketat polisi Israel Azriel akhirnya sudah berada di pelataran raksasa kompleks Temple Mount.
Angin kencang segera menerpa wajahnya. Di depannya terbentang pelataran luas berlantai batu semacam kapur berwarna keputihan. Di sebelah kanannya terlihat sedikit menyembul kubah berwarna abu-abu. Berdasarkan buku panduan yang diambilnya di hotel, itu adalah Masjidil Aqsho. Sedangkan agak jauh ke depan terlihat jelas kubah Dome of the Rock yang sudah terlihat sejak dari kejauhan.
Azriel dengan mantab melangkahkan kakinya menuju Tembok Ratapan yang terletak tidak jauh dari pintu gerbang yang dimasukinya tadi. Tembok Ratapan sebenarnya nama yang diberikan oleh orang non-Yahudi, karena disanalah orang Yahudi meratap sebagai bagian dari ibadah. Sekaligus untuk meratapi kehancuran kuil. Orang Yahudi sendiri menamakannya dengan bahasa Ibrani Kotel HaMaaravi atau Tembok Barat. Tembok ini mereka yakini sebagai sisa-sisa salah satu dinding Bait Solomon yang telah hancur ribuan tahun silam.
Azriel segera berdoa sebagaimana orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia sempat melihat banyak diantara mereka yang meratap sambil membenturkan-benturkan kepalanya ke tembok di depannya. Ia juga sempat melihat orang-orang menyelipkan kertas kecil ke celah-celah tembok.
“ Orang yang tidak dapat berdoa langsung di tembok dapat mengirimkan doa atau menggunakan Kaddish, sebuah doa khusus. Kita tuliskan doa tersebut dalam sebuah kertas kemudian diselipkan di celah-celah dinding, Kvitelach namanya, oleh orang yang sempat ke sana”, tiba-tiba terngiang suara rabbinya di telinga Azriel ketika di kelas dulu.
Azriel segera teringat titipan doa ibu, nenek dan tantenya. Iapun segera melakukan hal yang sama. Ada sedikit rasa ragu terselip di hatinya “ apakah Tuhan membaca surat ?”, tapi ia tidak ingin memperpanjangnya.
Tak lama setelah itu Azriel pergi meninggalkan lokasi dan pergi menuju ke sebuah lorong. Menurut peta yang ada di tangannya itulah jalan menuju Dome of the Rock. Mulanya ia agak ragu, lorong tersebut agak sempit dan gelap. Terlihat pintu besi di depannya dan sebuah pos penjagaan polisi meski saat itu pintu terbuka dan tak terlihat adanya polisi di dalamnya.
Setelah ia berada didalam lorong ia baru menyadari bahwa daerah tersebut adalah daerah Muslim. Ia baru teringat kota tua Jerusalem memang terbagi-bagi berdasarkan kelompok agama. Ada sedikit rasa was-was. Para rabbi dan guru di sekolah juga ibunya selalu mengingatkan bahwa orang Muslim sangat membenci mereka. Apalagi di kota tua ini. Itu sebabnya ia selalu diwanti-wanti agar berhati-hati dan tidak menjalin komunikasi terhadap mereka.
“ Orang-orang Islam itu teroris. Mereka adalah perampas tanah dan kuil suci kita. Jangan pernah berbicara apalagi bersentuhan dengan mereka, mereka adalah najis”, ujar ibu memperingatkan sesaat sebelum keberangkatannya kemarin.
Secara spontan Azriel segera melepas topi kecil khas Yahudinya. Ia baru sadar tak satupun rombongan turis yang ada di sekelilingnya. Ia ingin berbalik tapi ternyata keingin-tahuannya mencapai Dome of the Rock lebih besar dari rasa khawatirnya.
Apalagi ia juga tidak melihat wajah-wajah jahat mengancamnya. Sebaliknya ia justru melihat banyak anak-anak kecil berwajah ceria berlarian, berbaur dengan laki-laki dewasa dan perempuan-perempuan berjilbab berbondong-bondong menuju arah yang sama dengan dirinya. Deretan kios sederhana yang berada di sepanjang jalan yang dilaluinya juga sibuk menutup kios mereka dan segera bergabung dengan yang lainnya. Azriel sempat berpikir jangan-jangan sedang ada acara khusus kaum Muslimin.
Azriel memang tidak tahu bahwa hari Jumat adalah hari istimewa bagi umat Islam, bahwa setiap hari besar tersebut kaum Muslimin mendirikan shalat berjamaah. Ia juga tidak tahu bahwa para pemandu memilih menghindar dari keramaian shalat Jumat. Atau bila sang pemandu kebetulan seorang Muslim biasanya ia minta digantikan dengan teman lain yang bukan beragama Islam.
Azriel terus berjalan berbaur bersama rombongan kaum Muslimin yang rupanya hendak shalat Jumat di Majidil Aqsho dan masjid As-Sakrah, nama lain Dome of the Rock, tanpa ia mengetahuinya. Hingga ketika rombongan besar ini mencapai pintu gerbang pelataran besar dimana kedua masjid itu berada terjadilah keributan.
Ia melihat puluhan tentara Israel berjaga-jaga di depan gerbang yang di beri barikade kawat berduri. Tentara-tentara bersenjata lengkap, berhelm dan tameng tersebut terlihat sedang memeriksa dan menggeledah tubuh dan tas yang dibawa orang-orang yang kelihatannya memaksa masuk tersebut.
Selanjutnya terjadilah adu mulut, diikuti dengan aksi dorong mendorong. Bahkan akhirnya adegan menjambak jilbab para perempuan dan juga pukulan gagang senapan terhadap para pemudapun tak terhindarkan. Ternyata hanya orang-orang tua dan anak kecil saja yang diizinkan masuk.
Kekacauan ini terjadi selama beberapa menit hingga kemudian terdengar suara dari pengeras suara di dalam masjid, yaitu azan panggilan shalat. Dan secara spontan sebagian besar orang-orang yang tadi memaksa masukpun langsung menggelar sajadah dan duduk di pelataran, tidak mempedulikan para tentara yang terlihat menahan amarah. Masih terlihat ada sebagian yang memaksa masuk namun tidak lagi sebanyak tadi. Hingga berselang sekitar setengah jam kemudian orang-orang mulai berdiri dan melakukan gerakan-gerakan khusus secara bersamaan, dengan tanpa suara sedikitpun.
Azriel yang sejak tadi berdiri di sebuah sudut yang agak terlindung, memperhatikan semua yang terjadi di depannya, terkesima. Lautan manusia terlihat memenuhi pelataran luas tersebut. Ia memang tidak pernah tahu apalagi melihat orang Islam bersembahyang. Karena meskipun ayahnya mengaku Islam ia tidak pernah sekalipun melihat ayahnya itu shalat.
Namun demikian ada sekelebat bayangan suasana mirip apa yang dilihatnya saat itu. Azriel berusaha keras mengingat dimana ia pernah melihat hal seperti itu. Akhirnya ia berhasil, bayangan itu adalah bayangan sepuluh tahun yang lalu, yaitu ketika ia diajak ayah menengok kakek dan neneknya di Pau. Di sebuah masjid kecil yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Tiba-tiba saja Azriel rindu kepada suasana yang tidak pernah lagi dirasakannya itu. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa bahwa ia bukanlah seorang Yahudi tulen, paling tidak sebenarnya ia mempunyai ikatan batin dengan dunia Muslim, yaitu melalui darah ayahnya.
Lamunan Azriel segera buyar ketika tiba-tiba terdengar suara tembakan menggema di udara. Di ujung sana, terjadi kegaduhan. Shalat baru saja usai, orang-orang yang mulai membubarkan diri itupun terlihat panik. Azriel melihat puluhan tentara Israel sedang berusaha memasuki masjid secara paksa, membuat jamaah yang masih berada di dalam masjid berusaha menutup pintu masjid dari dalam. Selanjutnya dengan bekal batu seadanya jamaah yang berada di dalam masjid tadi mengadakan perlawanan terhadap tentara Israel tersebut. Tak ayal batu-batupun beterbangan melalui jendela-jendela masjid yang sebentar-sebentar dibuka dan ditutup.
Belum hilang keterkejutan Azriel terdengar pula tembakan senjata dari bagian lain pelataran tersebut. Ternyata suara tembakan berasal dari suatu tempat di dekat Masjid As-Sakrah. dimana kaum perempuan mendirikan shalat Jumat. Masjid As-Sakrah dan Masjidil Aqsho terletak pada satu garis lurus menuju Masjdil Haram di Mekah dimana Ka’bah yang merupakan kiblat umat Islam, berada.
Azriel segera menghambur ke sana, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Disana ia melihat sesosok tubuh anak perempuan berusia sekitar 8 tahun terkapar, persis seperti apa yang terjadi pada adiknya 3 tahun lalu. Seorang ibu dengan air mata bercucuran, dibantu beberapa orang lainnya berusaha menggangkat tubuh gadis kecil tersebut.
Ironisnya semua itu berlangsung dibawah todongan moncong senjata beberapa tentara yang mengepung mereka. Orang-orang yang berusaha menerobos kepungan tersebut demi memberikan bantuan segera ditendangi dan dipukuli tentara-tentara tersebut. Termasuk Azriel yang tidak tahan untuk berdiam diri dan hanya menonton saja. Kepala anak muda tersebut dipukul dengan gagang senapan hingga bocor. Dan dalam keadaan demikian ia masih harus menerima hantaman keras di perut dan tendangan sepatu tentara di bagian belakang tubuhnya, menyebabkannya terjatuh.
***.
Azriel terhenyak, ia mendapati dirinya terbaring di dalam sebuah ruangan sederhana berpenerangan sangat redup yang sama sekali tak dikenalnya. Ia berusaha bangkit untuk duduk namun kepalanya terasa berat hingga jatuh terbaring kembali.
Sayup-sayup terdengar suara indah keluar dari mulut seorang perempuan. Nada suara tersebut begitu mendayu menghujam langsung ke sanubarinya. Azriel tidak dapat mengenali bahasa dari suara tersebut. Ia berusaha menolehkan kepalanya untuk mengetahui dari mana suara tersebut berasal.
Di ujung ruangan itu samar-samar ia melihat dua bayangan orang, satu besar satu kecil, sedang berdiri berdampingan. Bayangan yang lebih kecil mengikuti bayangan orang yang lebih besar. Setelah berpikir sejenak Azriel teringat itu adalah gerakan shalat orang Islam seperti yang tadi siang dilihatnya.
Tiba-tiba ia teringat apa yang dialaminya siang tadi. Ya ia sedang berusaha membantu anak kecil yang tertembak ketika tiba-tiba kepalanya dihantam gagang senapan dan terjatuh. Tapi mengapa ia sekarang berada di tempat ini, pikirnya berusaha mengingat.
Beberapa menit kemudian ia melihat gadis kecil yang tadi shalat itu sudah berdiri di depannya, sambil tersenyum mengulurkan segelas air. Azriel menggelengkan kepalanya perlahan. Walau bagaimanapun kecurigaan masih menyelimuti hatinya. Bagaimana bila minuman itu diisi racun, bisiknya dalam hati.
Tak lama kemudian muncul 3 orang laki-laki kedalam ruangan tersebut.
“ Assalamualaykum”, serentak terdengar suara ketiganya begitu mereka memasuki ruangan.
“ Waalaykum salam”, jawab si gadis kecil yang bergegas menyambut dan mencium tangan salah satu orang yang datang. Azriel menduga ayahnya.
“ Waalaykum salam”, susul perempuan yang lebih besar yang tadi dilihat Azriel sedang shalat, juga sambil mencium tangan ayah gadis tadi, suaminya, duga Azriel kali ini. Selanjutnya Azriel juga melihat dua orang yang datang bersama sang bapak, mencium tangan ibunya. Anak-anaknya, tebak Azriel lagi, dalam hati.
Tak lama setelah terdengar percakapan dalam bahasa yang tidak dimengertinya, merekapun menghampiri Azriel yang kali ini berusaha untuk duduk. Rasa sakit di sekujur tubuhnya masih terasa mengganggunya.
“ Siapa kalian, dan mengapa aku berada di tempat ini?”, tanyanya pelan.
“ Tenang saja, kami bukan orang jahat. Kami menolong dan membawamu ke rumah kami karena kau tak sadarkan diri setelah terkena hantaman popor senapan tentara Israel siang tadi”, jawab salah seorang laki-laki tadi dengan bahasa Inggris yang cukup bagus.
“ Kami akan mengantarmu ke tempat yang kau mau sesegera mungkin … tapi bila kau belum sanggup dan untuk sementara ingin tinggal di rumah kami yang sederhana ini, silahkan saja”, lanjutnya, menterjemahkan apa yang dikatakan ayahnya.
“ Maaf hanya aku yang bisa berbahasa Inggris di keluarga kami. Panggil aku Azis”, katanya sambil mengulurkan tangan penuh persahabatan.
“ Aku Azriel. Trima-kasih banyak sudah menyelamatkanku”, jawab Azriel, setelah ragu sejenak, sambil menyambut uluran tangan Azis.
Beberapa menit kemudian, Azriel yang memilih untuk pulang itu, sudah berada di kegelapan lorong-lorong Jerusalem bersama Azis, yang mengantarnya pulang ke hotel dimana ia tinggal. Dan tak lama kemudian keduanyapun berpisah di perempatan jalan setelah saling tukar nomor selular.
“ Hotelmu tak jauh dari lampu merah seberang jalan itu, belok ke kiri sekitar 50 m dari sana. Maaf aku tidak mengantarmu sampai tujuan, terlalu beresiko, beberapa menit lagi tentara Israel akan segera menutup gerbang menuju rumahku, bisa-bisa aku tidak bisa pulang kalau sampai terlambat”, ucap Azis.
“ Selain itu sebentar lagi waktu shalat Isya tiba”, sambungnya sambil melirik jam tangannya. “ Kalau perlu sesuatu hubungi aku ”, teriaknya setengah berlari.
Tak sampai 10 menit kemudian Azriel sudah sampai di hotel. Setelah membersihkan diri dan memesan makan malam, ia segera memeriksa isi tasnya untuk memastikan tidak ada barang yang hilang. Dan untuk kesekian kalinya ia harus mengakui bahwa selama ini ia, keluarganya dan mungkin sebagian orang Barat telah salah menilai orang Islam. Tak satupun barang di dalam tasnya hilang termasuk laptop dan hpnya.
Malam itu Azriel tidak dapat memejamkan matanya dengan baik. Terlalu banyak hal dan pengalaman baru di dapatnya hari itu. Yang pasti perkenalannya dengan Azis hari itu telah membuahkan tali persahabatan yang erat di antara keduanya. Azis tidak pernah menanyakan apakah teman barunya itu seorang Yahudi atau bukan. Azriel sendiri juga tidak pernah berniat menceritakannya.
***
Hari demi hari berlalu minggu-minggupun demikian. Azriel telah memulai perkuliahannya dan mulai tinggal di asrama mahasiswa. Beberapa kali Azriel mengunjungi Azis, dan tak jarang memintanya berkeliling Jerusalem dan kota-kota sekitarnya. Kota-kota yang telah rusak berat akibat bom-bom yang berjatuhan menimpa rumah-rumah penduduk, sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya.
Banyak kejadian tak terduga yang dilihatnya. Seperti seorang perempuan di stasiun yang ditembaki tentara Israel hanya gara-gara tidak mau membuka jilbabnya, orang-tua yang dipukuli beramai-ramai karena membela seorang anak yang tertangkap tentara Israel membawa batu, anak-anak yang ditangkap dan dimasukkan secara paksa ke dalam jip tentara Israel sementara orang-tuanya hanya bisa memandang, menyemangati dan mendoakan anak-anak tersebut agar sabar dan selalu memohon pertolongan Tuhannya.
Namun ironisnya, berita yang tersebar dan tampaknya dipercaya Barat, itu semua karena mereka membawa senjata seperti pisau, batu dan lain-lain untuk menyerang para tentara Israel. Padahal ia melihat sendiri tidak demikian. Memang perlawanan itu ada, dunia Islam menamakannya Intifadha 3, yaitu gerakan kebangkitan rakyat Palestina dengan batu sebagai senjatanya.
“ Kami hanya rakyat biasa yang menuntut keadilan, pembebasan negeri kami dari pendudukan Zionis Israel. Kau lihat sendiri betapa susahnya hidup kami. Air, listrik semua dijatah. Tanah kami diserobot. Dengan seenaknya mereka membangun perumahan mewah sementara kami makin terpinggirkan hidup di tempat pengungsian. Dimana letak keadilan. Katanya bendera Palestina telah berkibar di PBB, namun apa arti semua ini bagi kami, tetap saja kami hidup tertindas dan menderita. Siapa yang peduli terhadap nasib kami??”, keluh Azis.
“ Bandingkan dengan tragedi berdarah yang baru saja terjadi di Paris yang dalam hitungan jam dunia langsung bereaksi. Kami mengalami hal seperti itu setiap hari, kau melihat sendiri kan? Kami sejak lahir sudah terbiasa hidup dalam ketakutan, bom yang tiba-tiba meledak ketika kami sedang tidur nyenyak, kekhawatiran tiba-tiba pintu rumah digedor dan anggota keluarga kami diambil secara paksa”, lanjutnya geram.
“ Menurutmu bagaimana seharusnya kami bersikap, diam saja dan pasrah hingga kami semua binasa satu demi satu hingga lenyap bangsa kami dari bumi ini ???”, desisnya.
Azriel hanya bisa diam tidak tahu harus berkata apa. Ia sendiri sudah mulai merasa muak dengan tingkah laku para tentara Israel, terselip rasa bersalah dan malu. Bahkan tanpa sadar sedikit demi sedikit ia mulai malas pergi berdoa ke Tembok Ratapan seperti sebelumnya.
Hingga suatu hari ketika Asis berhasil mengajak Azriel masuk ke Dome of the Rock, hal yang tidak mudah terjadi, Azis tiba-tiba menyodorkannya sebuah kitab. Kitab kecil itu dihiasi kaligrafi indah di sampulnya.
“ Barangkali kau ingin melihat-lihat. Itu adalah Al-Quran dengan terjemah bahasa Perancis. Aku baru melihatnya hari ini. Mungkin itu tamu Muslim yang membawakannya khusus untukmu”, kata Azis sambil tertawa kecil dan mengedipkan sebelah matanya.
Secara spontan, Azriel segera menerima dan membukanya dengan hati-hati, secara acak :
“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu)”.
Azriel terhenyak, serasa ditampar tepat di wajahnya. Apa ini maksudnya, pikirnya terkejut. Ia sebenarnya ingin segera menutup dan mengembalikannya kembali kepada Azis. Namun ia merasa ada kekuatan yang memaksanya terus melanjutkan 3 hingga 4 ayat berikutnya. Setelah itu dengan cepat ia mengembalikan kitab suci tersebut kepada Azis, tanpa sepatah katapun.
“ Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari`at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: “Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Kalimat-kalimat itu terus terngiang hingga sore hari ketika ia tiba di kamar asramanya. Azriel segera membuka laptopnya. Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepalanya.
“Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu”. Terbayang di kepalanya berbagai prilaku brutal tentara Israel selama beberapa bulan ia di kota ini. Padahal selama ini berita yang beredar adalah orang-orang Yahudilah yang tertindas bukan sebaliknya. Tiba-tiba ia teringat berita mengenai kebohongan Holocaust yang pernah dibacanya. Terbayang pula peristiwa Reconquesta yang menyebabkan nenek moyangnya keluar dari Spanyol menuju ke Perancis.
“ Apa kesalahan bangsa Yahudi? Mungkinkah semua ini kutukan Tuhan kepada Yahudi?” pikirnya.
Itulah awal pencarian Azriel. Di tengah kesibukannya kuliah, dengan bantuan laptopnya, ia sempatkan mempelajari Alquran dengan terjemahan bahasa Perancis. Bila menemui kesulitan ia tak segan-segan googling di dunia maya untuk mencari jawabannya. Ia buka pula kitab sucinya, untuk dijadikan bahan perbandingan.
“Orang-orang non-Yahudi harus dijauhi, bahkan lebih daripada babi yang sakit.” (Orach Chaiim 57, 6a)
“Tuhan (Yahweh) tidak pernah marah kepada orang-orang Yahudi, melainkan hanya (marah) kepada orang-orang non-Yahudi.” (Talmud IV/8/4a).
“ Hemm pantas saja para tentara Yahudi suka berbuat semena-mena terhadap rakyat Palestina”, pikir Azriel yang mulai dilanda kegundahan hebat. Ia juga baru tahu bahwa sejak dulupun bangsanya itu sering membantah perintah Tuhannya, bahkan nabi-nabipun dibunuh!
Hingga suatu hari di musim panas 1.5 tahun sejak kedatangannya, ia mendengar professor Moshe Sharon, seorang professor sejarah Universitas Hebrew, Yerusalem, berkata :
“ Pada dasarnya semua sejarah adalah sejarah Islam. Artinya, semua tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah pada dasarnya adalah Muslim. Dari Adam hingga ke zaman kita, termasuk juga raja Solomon, raja David serta para nabi seperti Ibrahim, Ishak maupun Yesus.
Sebenarnya, sejak penciptaan dunia ini, hanya ada satu agama, yaitu agama Islam. Jadi jika ada yang berkata tempat ini berkaitan dengan Solomon, ini adalah tempat di mana dulu Kuil Solomon berdiri, seorang Muslim akan berkata, “Ya, tentu saja, memang benar.”
Oleh karenanya, tidak ada penjajahan Islam yang ada hanyalah pembebasan oleh Islam”.
Azriel benar-benar terkesima mendengar pernyataan professor tersebut. Baginya ini benar-benar hal baru. Malam itu iapun segera menghubungi Azis agar hari Sabtu nanti bisa menemuinya di depan pintu gerbang menuju Dome of the Rock. Ia ingin tahu bagaimana tanggapan sahabat Muslimnya itu.
***
“ Betul sekali apa yang dikatakan profesormu itu Azriel. Itu adalah perkataan Alquran”, “, jawab Azis mantab ketika Azriel pagi itu memperdengarkan rekaman pernyataan professor Moshe Sharon.
“ Yuk kita lihat ayatnya “, lanjut Azis sambil berjalan menuju rak dimana sejumlah buku dan Al-Quran diletakkan. Ia segera mengambil Al-Quran dengan terjemahan Perancis yang beberapa bulan lalu pernah diperlihatkan dan dibacanya.
“ Bacalah terjemahan ini Azriel, ini adalah ayat 136 surat Al-Baqarah,
“ Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
“ Tunduk patuh itu dalam bahasa Arab adalah Muslim, akar kata yang sama dengan Islam. Dengan kata lain Muslim atau pemeluk agama Islam itu adalah orang yang tunduk patuh kepada Tuhannya, Tuhan Yang Satu, Tuhan seluruh alam semesta, Tuhan kita semua, aku dan kamu, Tuhan yang menamakan dirinya Allah Azza wa Jala”, jelas Azis.
“ Aku bacakan juga ya sebuah hadist:
“Aku ( Muhammad) adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam ( Yesus) di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365)
“ Masalahnya Taurat maupun Injil itu telah dirubah dan diacak-acak sedemikian rupa hingga tidak lagi seperti aslinya. Apalagi Talmut, kitab yang menjadi pegangan para pemimpin agamamu”, tambah Azis lagi.
Azriel menganguk-angguk. Ia sedang berpikir keras apa kira-kira yang akan dilakukan ibu dan keluarga besarnya bila ia sampai berpindah kepercayaan. Namun ia juga dapat membayangkan bagaimana perasaan kakek dan neneknya di Pau sana bila suatu hari nanti ia dapat datang menebus kesalahan ayahnya. Rumah besar dengan halaman belakang pegunungan itupun kembali berkelebat di kepalanya. Celotehan kakek dan nenek serta suasana damai itu terasa begitu menjanjikan. Sejenak kemudian dengan nada mantab Azrielpun berkata :
“ Bagaimana caranya bila aku ingin memeluk Islam .. aku sudah merasakan beberapa bulan terakhir ini bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan aku ingin menjadi bagian dari kebenaran tersebut”.
“ Allahuakbar “, seru Azis sambil memeluk Azriel erat. Ia segera menariknya mendekati imam masjid yang kebetulan sedang berada didalam masjid berkubah kuning keemasan itu.
***