Martha duduk santai di teras rumahnya yang mewah di sebuah kota besar di Amerika serikat. Sebuah novel terbaru karangan Dan Brown, penulis favoritnya, berada di tangannya. Ia memang sangat menyukai karya penulis novel “The Da Vinci Code” yang kontroversial itu, yang suka mencampur-adukan kehidupan nyata dengan dunia mistis, begitu ia menyebut agama dan kepercayaan, maklum Martha adalah seorang atheis, secara mengesankan.
Awalnya Martha adalah seorang yang religius. Maklum ia dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat. Namun setelah menjelang usia belasan tahun. ia merasa jawaban tentang doktrin Trinitas yang sering ia ajukan, tidak bisa memuaskan batinnya.
“Hidup adalah ya di dunia ini. Kebaikan adalah apa yang kita perbuat untuk sesama manusia agar dunia ini aman dan tentram. Hanya orang idiot yang mau mempercayai kehidupan setelah mati”. Pepatah ini yang sekarang menjadi pegangan Martha setelah ia dewasa.
Martha pernah bekerja di kantor berita kenamaan milik pemerintah setempat. Akan tetapi sejak 2 tahun yang lalu ia memutuskan untuk keluar dari kantornya. Ia memilih untuk manjadi wartawati freelance. Ia mulai jenuh dengan profesi yang dibayar karena tuntutan kemauan si pemilik kantor berita. Hatinya lama kelamaan berontak, ia tidak ingin terus membohongi publik. Dan iapun tidak ingin menunggu hingga dipecat seperti yang terjadi pada rekannya. Ia dipecat gara-gara memberitakan apa yang dilihat di depan matanya padahal tidak sesuai dengan keinginan bosnya.
***
Gempuran Israel ke jalur Gaza menggerakkan Martha untuk ikut meliput peristiwa biadab tersebut. Dukungan Barat dengan alasan Israel berhak mempertahankan diri membuat dahi perempuan berumur 30 an ini berkerut.
“ Sungguh tidak masuk akal, masak mempertahankan diri sampai harus mengorbankan ratusan jiwa, sebagian besar perempuan dan anak pulak. Apalagi ini kan kejadiannya di Gaza, rumah rakyat Palestina ??”, tanyanya.
Martha segera mempersiapkan diri keberangkatannya ke Gaza. Ini bukan kali pertama ia pergi ke daerah pertempuran. Sebelumnya ia pernah ikut meliput ke Suriah ketika masih bekerja untuk perusahaannya, dan ke Mesir serta Tunisia setelah berstatus freelance. Dengan modal pengalaman itulah ia bisa masuk ke Gaza tanpa kesulitan berarti. Ia juga berhasil merekrut seorang warga Gaza yang mampu berbahasa Inggris, yang akan membantunya menterjemahkan dari bahasa Arab yang tidak dikuasainya.
“ With pleasure madame, dengan senang hati, saya akan mendampingi anda selama tugas anda. Dengan syarat anda harus jujur, gunakan nurani anda”, demikian ucap Abdullah, pemuda asli Gaza berusia sekitar 21 tahun yang ditemuinya di lokasi.
“ Soal bayaran itu terserah anda, saya sudah sangat bersyukur jika anda mau melaporkan apa yang anda lihat disini apa adanya, tanpa bumbu-bumbu », tegasnya lagi.
« Kalau mau, selama anda meliput di negri kami, anda boleh menginap di rumah kami. Anda bisa tidur berdua dengan adik perempuan saya yang berumur 15 tahun. Ia pasti sangat senang bisa berkesempatan menyaksikan bagaimana seorang wartawati bertugas. Sebagai imbalannya, anda dapat mengajarkannya bahasa Inggris », tambah Abdullah.
Tentu saja Martha tidak melepaskan kesempatan emas tersebut. Bagi seorang wartawati seperti dirinya, tinggal di rumah penduduk dimana ia sedang meliput adalah hal yang paling didambakan. Karena dengan demikian ia dapat merasakan nafas liputannya.
Itu ia rasakan sendiri ketika ia bertugas di Tunisia untuk meliput peristiwa Arab Spring yang terjadi pada tahun 2012 lalu. Ketika itu ia tinggal di sebuah keluarga Islam yang sangat taat menjalankan agama. Itulah kali pertama ia mengenal dunia Islam. Untuk menghormati keluarga tersebut ia bahkan berinisiatif mengenakan jilbab sebagaimana lazimnya perempuan Muslim di sana. Dan ia sangat menikmatinya.
Demikian pula saat ini. Ia sudah berniat akan melakukan hal yang sama meski Abdullah tidak menuntut itu. Ia bahkan berhasil membina hubungan yang baik dengan Yasmin, adik perempuan Abdullah. Gadis remaja tersebut terlihat sangat mengaguminya.
***
Martha masuk ke Gaza City pada hari ke 8 Israel menggempur kota tersebut. Ia menyaksikan kepanikan penduduk yang melanda hampir seluruh sudut kota yang terkena rudal di sana sini. Para perempuan berteriak histeris, anak-anak menangis ketakutan, para lelaki mondar-mandir menggotong korban dengan tubuh berlumuran darah, ambulans dengan susah payah berzig-zag melewati reruntuhan bangunan, sementara darah berceceran dimana-mana dengan bau anyir yang sungguh menyengat.
Ia memulai liputannya dengan mendekati seorang ibu muda yang sedang duduk memeluk erat bayinya sambil meratap di depan sebuah bangunan yang telah rata dengan tanah. Dengan bantuan Abdullah, Martha menjadi tahu bahwa perempuan itu tidak hanya kehilangan tempat tinggalnya, namun juga kedua anak sulungnya, ibu, adik perempuan serta tiga sepupunya. Kebetulan mereka tinggal di dalam satu kompleks apartemen yang selama 3 hari berturut-turut tanpa ampun dibombardir tentara Israel. Suaminya, seorang pejuang HAMAS, lolos dari serangan brutal tersebut karena saat itu sedang bertugas..
“Ya Allah balaslah orang-orang yang menzalimi kami itu dengan balasan yang setimpal. Beri kami kesabaran atas segala cobaan ini”, mohon perempuan tersebut dengan air mata berlinang.
Tampaknya tak hanya apartemen dimana perempuan muda itu tinggal yang menjadi sasaran, namun juga masjid yang berada di depannya. Menara masjid tersebut ambruk menutup sebagian jalanan. Terlihat beberapa orang lelaki sedang shalat di antara puing-puing masjid yang sebagian besar juga telah rata dengan tanah.
“Shalat adalah kewajiban. Jadi dalam kondisi dan keadaan bagaimanapun kami akan selalu melaksanakannya. Dengan shalat hati menjadi lebih tenang”, jelas Abdullah tanpa diminta.
Martha hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak habis pikir bagaimana rakyat Gaza bisa bertahan hidup dalam keadaan seperti ini. Apalagi ia tahu bahwa bulan ini adalah bulan puasa.
“ Tidak usah heran madame. kami sudah terbiasa menahan lapar dan dahaga. Tidak di bulan Ramadhanpun kami memang harus berpuasa. 8 tahun sudah zionis Israel memblokade kami”, begitu Abdullah menjawab keheranan Martha.
“ Namun Barat mengatakan bahwa HAMASlah yang harus mempertanggung-jawabkan agresi ini. Menurut mereka Israel membombardir negri anda karena HAMAS telah menculik 3 remaja Israel, membunuhnya dan juga kemudian melempari kota-kota Israel dengan roket”, tanya Martha dengan hati-hati.
“Itulah jahatnya media. Mereka memberitakan sesuatu sesuai kehendak mereka”, sungut Abdullah
“HAMAS tidak mungkin melakukan penculikan warga sipil, apalagi kemudian membunuhnya, pantang! Anda pasti ingat peristiwa penculikan seorang serdadu Israel di tahun 1996. Yang 3 tahun kemudian akhirnya dibebaskan dengan penukaran ribuan tahanan Palestina yang selama bertahun-tahun disekap zionis terkutuk tersebut. TIga tahun, HAMAS menahan sabar, agar penculikan yang mereka lakukan ada manfaatnya. Mengerti arah pembicaraan saya madame Amerika?”, tanya Abdullah berusaha menahan emosi.
“ Coba anda pikirkan, apa gunanya HAMAS menculik kemudian membunuh tawanan, sementara di dalam sana ribuan tawanan Palestina disekap tanpa ada satupun yang peduli. Tidak juga Negara anda yang katanya menjunjung tinggi HAM, Demokrasi dan lain-lain itu”.
“Percayalah, ini adalah fitnah murahan. HAMAS bagi kami adalah pahlawan. Tanpa mereka dunia akan terus diam bungkam membisu seolah kami ini tidak ada”.
“ Dengan bersatunya HAMAS dan FATAH kami menjadi lebih kuat. Itu sebabnya Israel kesal. Maka merekapun mencari-cari alasan agar dapat menghancurkan HAMAS. Tapi kami tidak takut. Allah selalu bersama orang yang benar. Lebih baik mati daripada kami harus tunduk kepada mereka. Kematian kami adalah syahid. Surga balasannya”, tegas Abdullah penuh percaya diri, membuat Martha terbengong-bengong.
“Satu lagi yang harus anda catat, tentara Israel adalah tentara pengecut. Mereka hanya berani menyerang dari udara, paling banter dari dalam tank. Mereka menyerang secara membabi buta, mengorbankan sipil, kaum perempuan dan anak-anak. Tapi di darat?? Silahkan dibuktikan”, lanjut pemuda tersebut berapi-api.
***
Hari terus berganti. Gempuran Israel makin membabi buta. Memasuki minggu ke 3 korban meninggal telah mencapai lebih dari 1000 orang, 200 diantaranya adalah anak-anak. Ribuan rumah penduduk, belasan masjid, sekolah, pasar hingga pembangkit listrik tak luput dari amukan Israel. Puluhan ribu warga Gaza terpaksa mengungsi dari rumah-rumah mereka. Sementara para pejuang HAMAS juga tidak mau menurunkan frekwensi lemparan roket mereka ke kota-kota di wilayah Israel. Meski sering kali tidak mengenai target karena harus berhadapan dengan Iron dome.
Iron dome adalah sistim pertahanan udara Israel yang dididirikan khusus untuk menghalau roket-roket HAMAS. Proyek ini menerima suntikan dana besar dari Amerika Serikat yang merupakan sekutu terdekat Negara zionis tersebut.
“Israel berhak mempertahankan diri”, demikian alasan Barrack Obama membantu Israel.
“ Sungguh aneh, kami ini yang ditindas dan dijajah di negri sendiri. Adalah hak kami untuk berontak dan menuntut kemerdekaan. Namun kami tetap disalahkan”, keluh Abdullah.
Martha diam tidak memberi komentar. Ia dapat mengerti perasaan partner barunya tersebut. Diam-diam ia juga mengutuk agresi brutal Israel dan kecewa dengan sikap negaranya yang terang-terangan memihak Negara zionis itu.
Maka malam hari itu, Marthapun melampiaskan kekecewaannya melalui bait-bait berikut:
Adalah seorang anak tiri
Yang suka membangkang kepada kedua orang-tuanya yang zalim
Karena gara-gara merekalah
Orang-tua kandung dan keluarga besarnya terusir dari rumahnya
Ini membuat murka sang orang-tua
Maka disekap dan dikuncilah si anak di dalam kamarnya
Selama bertahun-tahun
Tanpa bekal makan minum serta pasokan dan kebutuhan dasar lainya
Hingga suat hari
Dengan mengumpulkan tenaga dan kekuatan yang dimilikinya
Si anak malang membuat lubang demi mencapai kebebasannya
Dari sana dilemparkannya sejumlah batu menuju rumah sang induk semang
Sialnya
Meski lemparan tidak sampai berakibat fatal
Karena tersangkut kubah besi yang sengaja diciptakan sang tirani
Siksapun makin menjadi-jadi
Alih-alih mendapat kebebasan yang didambakannya
Justru gempuran dan siksaan brutal yang diterimanya
Tangis dan raung kesakitanpun menggema
Tanpa seorangpun mau peduli derita itu
Inikah makna Demokrasi dan Toleransi?
Yang sering didengungkan Barat ?
Lalu apa arti semua ini
Wahai dunia yang diam membisu
***
Suatu hari Martha menemui seorang lelaki yang baru saja lolos dari rudal Israel. Orang tersebut adalah salah satu pendiri rumah tahfiz, rumah tempat anak-anak belajar Al-Quran, begitu yang ia tahu dari Abdullah.
“ Bangunan ini adalah bangunan sumbangan rakyat Indonesia, khusus untuk menghafal Al-Quran. Namanya rumah tahfiz”, jelas lelaki berkebangsaan Indonesia yang telah 10 tahun menetap Gaza itu. Istrinya asli penduduk Gaza.
“Bangunan ini baru saja selesai minggu lalu. Namun mereka telah menghajarnya. “, lanjutnya.
“ Rumah kami persis di sebelah rumah tahfiz ini. Dua hari yang lalu rudal Israel mendarat di halaman rumah kami. Pagi tadi mereka kembali membombardirnya, hingga hancur bersama rumah ini. Untung saya sudah mengungsikan keluarga besar saya”, keluhnya.
“Ada apa menurut mereka di dalam sana ? Bom ? Persenjataan HAMAS ?? Lihatlah sendiri, apa yang ada di dalam sini”, lanjut lelaki setengah baya tersebut dengan mata nanar dan suara bergetar.
Martha segera mengikuti langkah lelaki tersebut, dan masuk ke dalam bangunan yang hampir rata dengan tanah itu. Ia melihat buku-buku termasuk Al-Quran yang sering dilihatnya ketika ia berada di Suriah dan Tunisia, berserakan dimana-mana. Lemari yang porak poranda, kaca-kaca yang hancur, serta dinding dan atap yang berlobang-lobang.
“ Percayalah tidak ada bom atau persenjataan di dalam sini. Yang ada hanya Al-Quran dan buku-buku pelajaran Islam. Disinilah anak-anak berusia antara 6 sampai 13 tahun mustinya belajar menghafal ayat-ayat suci Al-Quran. Itulah jalan kami untuk mendekatkan diri pada-Nya, untuk memohon pertolongan keluar dari kesulitan dan penderitaan », jelasnya.
Martha mendengarkan penjelasan yang diterjemahkan Abdullah, merekam sambil sekali-sekali memotret apa yang dianggapnya perlu. Namun belum selesai ia mengambil foto, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dari bagian dalam bangunan. Orang-orang segera berhamburan mencari asal suara keluar. Rupanya masih ada yang terjebak di dalam reruntuhan tersebut.
Akhirnya setelah dengan susah payah orang tersebut bisa diselamatkan. Ternyata korban adalah 2 orang anak sekitar usia 10 tahun dan satu orang dewasa. Tampak darah mengucur dari kepala mereka, membasahi muka dan baju yang dipenuhi debu. Orang-orang segera membantu dan memapah mereka keluar dari bangunan yang sebagian atapnya sudah roboh tersebut.
Begitulah Martha melewati hari-hari yang menegangkan di tengah-tengah rakyat Gaza. Di malam hari ia meng-edit tulisan dan foto-foto yang dibuatnya, kemudian langsung mengirimkannya ke beberapa kantor berita.
Ada satu hal yang tanpa disadari membuatnya betah berlama-lama di dalam kamarnya, yaitu bacaan ayat-ayat suci yang dibacakan penghuni rumah dimana ia tinggal. Setiap malam ia mendengar alunan merdu ayat-ayat yang dibacakan kalau tidak oleh ibu, nenek, kakak, adik atau Abdullah sendiri. Tak jarang pula ia mendengar sayup-sayup alunan tersebut dari rumah tetangga atau masjid di sekitarnya.
Hingga suatu malam, ketika Yasmin telah tidur, karena keingin-tahuan yang tinggi, diam-diam ia mengambil Al-Quran yang sering dibaca gadis itu. Namun ternyata bacaan itu ditulis dalam bahasa Arab yang sama sekali tidak difahaminya. Dalam hati Marthapun berjanji kepada diri sendiri bahwa ia akan mencari terjemahannya sekembalinya ke tanah airnya nanti.
Beberapa hari terakhir wartawati tersebut bahkan sempat ikut berpuasa. Ia penasaran ingin mengetahui bagaimana rasanya berpuasa di tengah mereka. Jujur, ia benar-benar kagum pada disiplin keluarga ini menjalankan ibadah mereka. Hampir setiap hari, di tengah gempuran senjata dan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi, ia melihat keluarga ini shalat dan sahur bersama seolah tidak ada masalah.
Belum lagi prilaku Abdullah juga adik-adiknya yang sangat menghormati ibu mereka. Hal yang tidak pernah dilihatnya di Barat. Disamping juga sikap hormat mereka terhadap dirinya selaku tamu.
***
Suatu hari ketika genjatan senjata sedang berlangsung, Martha berniat mengunjungi salah satu kamp pengungsian terdekat. Abdullah menawarkan pengungsian di Khan Yunis yang terletak di bagian selatan Jalur Gaza, dekat perbatasan Rafah di Mesir. Mereka meninggalkan rumah pukul 10 pagi dengan sepeda motor.
Pagi itu, warga Gaza, kota berpenduduk 1.7 juta jiwa, sebelum genosida yang baru saja dilakukan zionis Israel, penuh dengan orang lalu lalang. Penduduk yang selama hampir satu bulan ini terpaksa mengungsi, demi menghindari bombardir Israel, berbondong-bondong pulang untuk melihat keadaan rumah mereka yang telah hancur.
Wajah-wajah pilu menahan kesedihan yang mendalam tidak dapat mereka sembunyikan. Mayat-mayat bergelimpangan, sebagian tidak utuh, yang belum sempat dimakamkan, bau darah yang anyir, antrian penduduk yang mengular menanti pembagian air bersih dan makanan. Begitulah pemandangan yang disaksikan Martha.
Satu-satunya pemandangan yang dapat membuatnya tersenyum hanyalah kelakuan ceria anak-anak usia 4-5 tahun yang berlarian di antara reruntuhan bangunan, seolah telah bertahun-tahun mereka tidak pernah bermain sebebas hari itu.
“Katakan Abdullah, apa yang harus dilakukan seseorang bila ingin memeluk Islam?”, tanya Martha mengejutkan Abdullah.
“ Mengapa kau bertanya begitu? Apakah kau tertarik masuk Islam ? », Abdullah balik bertanya.
“ Hanya ingin tahu saja”, jawab Martha sambil mengangkat bahunya.
“ Membaca 2 kalimat syahadat. Setelah itu melakukan kewajiban shalat 5x sehari dan berbuat baik kepada sesama. Itu yang utama”, jawab Abdullah singkat.
Martha mengangguk-anggukkan kepalanya sebelum akhirnya bertanya lagi, penasaran, “Apa itu kalimat syahadat?”
Namun belum sempat Abdullah menjawab pertanyaan tersebut, sebuah roket meluncur cepat tepat di atas kepala mereka. Dan sebelum Martha menyadari apa yang terjadi, desingan yang kemudian disusul ledakan dasyat terdengar menggelegar di depan mereka. Sebuah motor yang baru saja menyusul mereka langsung terpental. Asap tebal membumbung tinggi ke udara. Abdullah segera menghentikan motornya.
“Tiaraap, cepat tiaraaap”, perintahnya kepada Martha.
Beberapa menit berlalu dengan tegang. Setelah yakin tidak akan datang roket susulan barulah Abdullah dan Martha bangun berdiri. Kejadian ini berlangsung hanya beberapa puluh meter sebelum mereka memasuki kamp pengungsian Khan Yunis yang menjadi tujuan mereka. Para penghuni kamp yang padat itupun berhamburan keluar untuk memeriksa kerusakan sekaligus membantu korban.
“ Astaghfirullahaladzim … Lihat perbuatan mereka. Katanya genjatan senjata. Sungguh Zionis terlaknat !”, terdengar orang-orang memaki-maki apa yang telah dilakukan penjajah Israel tersebut.
Ternyata bukan hanya kamp pengungsian ini yang menjadi sasaran Israel di tengah genjatan senjata yang telah dilanggarnya itu. Namun juga pengungsian Jabalia di Gaza utara. Puluhan orang tewas akibat serangan udara Israel menyebabkan warga lain di kota itu bergegas mengungsi dari lokasi karena khawatir jadi sasaran serangan berikutnya.
Sebuah sekolah milik PBB juga tak luput dari hantaman mortir yang dilontarkan dari tank Israel. Puluhan orang yang sedang mengungsi ke sekolah tersebut dan sedang antri makanan menjadi korban, sebagian tewas dan sebagian lagi luka-luka.
Kebrutalan Israel tidak hanya berhenti disitu, bahkan rumah sakitpun dihajarnya. Sebuah bom mendarat di salah satu sisi rumah sakit yang sarat pasien itu, menyebabkan kepanikan luar biasa.
Juga Lebaran, yang merupakan puncak kemenangan umat Islam selama 1 bulan berpuasa, tidak lolos dari sasaran serangan rudal Israel. Sejumlah wargapun syahid di beberapa lokasi shalat Ied yang digelar warga Gaza. Dilaporkan 10 warga tewas, 8 diantaranya anak-anak, sementara puluhan lainnya terluka.
“ Benar-benar biadab”, kutuk Martha yang sempat merekam peristiwa mengenaskan tersebut. Hatinya benar-benar pilu menyaksikan betapa orang-orang yang dengan susah payah telah menjalankan perintah Tuhannya namun di saat hendak merayakan kemenangan tersebut harus menderita sedemikian beratnya. Padahal mereka hanya merayakannya dengan shalat bersama, demi meng-agung-kanNya.
“Ya Allah masukkan mereka kedalam surga-Mu”, tanpa sadar Martha berdoa, hal yang telah puluhan tahun tidak pernah dilakukannya. Hatinya bergetar kencang. Tiba-tiba ia merasakan gelombang keteduhan yang begitu dasyat, menyusup ke dalam sanubarinya. Tak kuasa ia menahan air matanya yang mengalir deras.
***
Malam itu Martha tidak dapat tidur nyenyak. Hatinya gelisah tanpa ia tahu apa penyebabnya. Ia melirik ke arah Yasmin yang sudah tertidur lelap satu jam yang lalu setelah membaca Al-Quran seperti biasa.
Pikiran Martha melayang-layang. Bayangan masa kecilnya bersama kedua-orangtua dan keluarga besarnya ketika sedang merayakan natal, menghadiri misa malam di gereja, masa remajanya yang mempertanyakan trinitas dan menyebabkannya menjadi apatis lalu ateis, kehidupan dewasanya yang sarat pesta dan mabuk-mabukkan hingga tahun-tahun sibuknya menjalani kehidupan sebagai wartawati perang. Bayangan tersebut terus berputar silih berganti memenuhi isi kepalanya.
Ditengah kegalauannya itu alunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar sayup-sayup memecah keheningan malam, membuat hatinya bergetar.
“Apa yang aku cari, siapa diriku, apa tujuan hidup ini”, keluhnya.
Tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada sajadah indah milik Yasmin yang sering digunakan gadis belia itu sebagai alas shalat. Sajadah itu terlihat begitu menantangnya. Dan ntah karena kekuatan apa Martha tahu-tahu sudah menggelar sajadah tersebut, setelah menutup kepalanya dengan kain kerudung yang selama hampir sebulan selalu ia kenakan. Secara reflek ia meniru sambil berusaha mengingat gerakan yang Yasmin sering lakukan ; berdiri, rukuk dan sujud. Itulah gerakan shalat.
Namun di tengah keasyikannya itu tiba-tiba terdengar bunyi sirene mengaung keras menandakan akan tibanya serangan udara Israel. Martha segera menghentikan kegiatannya, dan mengembalikan sajadah ke tempatnya kemudian membangunkan Yasmin. Suara Abdullah terdengar membangunkan seluruh isi rumah dan menyuruh mereka segera meninggalkan bangunan. Ia segera menarik lengan ibunya, menyambar adik bungsunya dari gendongan ibunya dan berlari menuju pintu utama.
“Yasmin, Reza, Martha, cepat turun dan keluar dari bangunan ini!”,serunya.
Marthapun segera menarik Yasmin dan Reza, adik Yasmin, yang masih setengah mengantuk, dan lari menyusul Abdullah. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu, peralatan jurnalisnya.
“Kalian turun duluan, aku menyusul”, katanya sambil berbalik masuk kamarnya lagi.
Dengan cepat ia mengumpulkan seluruh peralatan yang menjadi sumber penghidupannya itu, berkas-berkas, kamera dan laptopnya. Setelah itu ia bergegas menuju pintu.
Namun terlambat. Sebuah bom jatuh tepat di atas bangunan apartemen dimana ia tinggal selama ini. Terdengar suara menggelegar kencang, api dan asap tebal membumbung tinggi, Martha merasa tubuhnya terlempar keras, udara panas luar biasa menyergap sekelilingnya. Ia sempat melihat bangunan tempat tinggalnya runtuh sebelum akhirnya ia mendarat beberapa meter dari lokasi kejadian dengan sekujur tubuh yang sakit luar biasa.
Di tengah kegelapan malam itu, langitpun tampak memerah tercemar pijaran api yang begitu dasyat. Terdengar raungan, ratapan dan tangisan bercampur hirup pikuk suara orang berlarian kesana kemiri, sebelum akhirnya senyap. Martha tak sadarkan diri.
***
Paginya ketika ia tersadar,ia telah berada di ruang sebuah rumah sakit. Rumah sakit yang disesaki orang-orang yang terluka, juga keluarga korban dan relawan yang keluar masuk membawa korban baru. Bau anyir darah langsung menyergap hidung Martha. Ternyata itu bukan hanya darah korban lain namun telah bercampur dengan bau darahnya sendiri. Darah tersebut terus keluar dari pelipis dan bahunya yang terserempet pecahan rudal malam tadi. Kepalanya dirasanya begitu berat, perutnya terasa mual. Ingin rasanya ia berteriak meminta bantuan dokter. Namun ia begitu malu melihat banyaknya pasien yang keadaannya tidak lebih baik darinya.
“ Temanmu ini telah kehilangan terlalu banyak darah. Aku tidak yakin apakah dapat menyelamatkannya. Kau lihat sendiri, kami sangat kekurangan tenaga medis, persediaan obatpun sangar terbatas », jelas seorang dokter kulit putih kepada Abdullah yang berdiri disamping tempat Martha terbaring lemas.
Samar-samar Martha melihat bayangan Abdullah. Setengah tak sadar ia berusaha menjawil Abdullah, dengan suara lemah ia menanyakan keadaan ibu dan adik-adiknya.
“ Reza tak tertolong”, katanya singkat namun Martha dapat menangkap jelas suaranya yang bergetar hebat. Mata Abdullah terlihat sembab namun ia berusaha tegar.
“Ya Tuhan”, keluh Martha tak kalah sedihnya.
Selanjutnya dengan susah payah ia berusaha berbicara dengan Abdullah.
“Abdullah, ajarkan aku bacaan syahadat. Aku ingin mati dalam keadaan Islam”, pintanya sambil menahan sakit.
“ Asyhadu an-laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah”, jawab Abdullah tanpa banyak tanya.
Dengan terbata-bata Martha mengikutinya perlahan-lahan. .
“Abdullah dengar, aku tak tahu apakah aku bisa bertahan atau tidak. Namun satu permintaanku, bila aku harus mati disini, kuburkan aku secara Islam”, bisik Martha lirih,
Abdullah terdiam sesaat.
“ Aku tidak bisa janji karena biasanya wartawan-wartawati asing yang meninggal disini diurus dan dibawa pulang ke tanah airnya oleh tim dari PBB”, jawab Abdullah.
“Namun akan kuusahakan”, janjinya tak kuasa menghadapi tatapan Martha yang penuh harap.
Beberapa menit kemudian perempuan itupun lemah terkulai, sebuah senyum kemenangan terlihat menghiasi wajahnya yang makin pucat.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”, ucap Abdullah tertunduk.
***
Jakarta, 17Agustus 2014.
Vien AM.
Leave a Reply