Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Kisah Ummul Mukmnin’ Category

Siapa tak kenal Umar ibnul Khattab, sahabat rasul yang mempunyai julukan Al Faruq’ yang berarti Sang Pembeda atau Sang Pemisah. Rasulullah memberikan julukan tersebut berkat ketegasan Umar memisahkan antara yang hak dan yang batil.  

Ketika menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah, Umar tak segan-segan menindak siapa pun yang melanggar hukum.

Sekalipun aku ini keras, tapi sejak semua urusan diserahkan kepadaku, aku menjadi orang yang sangat lemah di hadapan yang hak,” ujar Umar di depan rakyatnya.

Umar sebelum masuk Islam memang dikenal sebagai orang yang sangat keras. Ia sering menyiksa orang-orang Quraisy yang kedapatan meninggalkan agama nenek moyang mereka demi memeluk Islam. Ini ia lakukan semata karena keyakinannya yang begitu kokoh terhadap berhala-berhala yang menjadi sesembahan kaumnya ketika itu.

Hingga suatu hari rasulullah berdoa memohon kepada Allah swt agar Islam diberi kekuatan dengan masuk Islamnya seorang diantara Umar, yaitu Umar ibnu Khattab atau Amr bin Hisyam alias Abu Jahal. Dan ternyata Allah swt memilih Umar ibnu Khattab sebagai kekuatan Islam.

Ya, Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar,” ucap Rasulullah.

Umar juga dikenal sebagai orang yang sangat tawadhu ( rendah hati/tidak sombong). Sikapnya tersebut terlihat jelas dari penampilannya. Namun penampilan bersahaja tersebut sama sekali tidak mengurangi wibawanya sebagai seorang khalifah. Bahkan sikap tersebut mampu menarik musuh untuk lebih menghormatinya lagi.

Contohnya adalah Hormuzan. Hormuzan adalah panglima perang Persia yang gigih memimpin pasukannya menghadapi pasukan Islam, diantaranya yang paling sengit adalah dalam perang Jalula. Jalula adalah sebuah kota perbukitan di sebelah utara Iran.

Pasukan Hormuzan beberapa kali mengalami kekalahan. Namun Hormuzan sendiri selalu berhasil meloloskan diri. Selanjutnya setelah berhasil membangun kekuatan, ia kembali melakukan penyerangan terhadap Islam meski tetap saja kalah. Akhirnya Hormuzanpun menyerah dan menanda-tangani perjanjian damai serta menyerahkan jizyah sebagai buktinya.

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (Terjemah QS. At-Taubah(9):29).

Tetapi tak lama kemudian Hormuzan melanggar perjanjian yang dibuatnya sendiri yaitu dengan memimpin pemberontakan, menyerang dan membunuh rakyat sipil.  Dua kali hal tersebut dilakukannya. Maka ketika akhirnya ia berhasil ditangkap, iapun dibawa ke Madinah untuk diserahkan kepada khalifah Umar.  

Hormuzan dibawa ke Madinah dalam keadaan masih mengenakan pakaian kebesarannya yang mewah layaknya pembesar Persia, yaitu sutra bersulam emas dan berhiaskan permata.

Selanjutnya ia dibawa ke rumah Umar, namun tidak bertemu. Rupanya sang khalifah sedang tertidur di teras masjid dengan berselimutkan sarung lusuh. Di tangannya tergenggam sebuah kantong kecil berisi jagung. Terkejut Hormuzan dibuatnya.

“ Mana pengawalnya? Mana ajudannya??” tanya Hormuzan keheranan.

“ Ia tidak punya ajudan, tidak juga pengawal, tidak juga sekretaris pribadi. Ia hidup bersahaja”, jawab Anas ibn Malik yang mengantarnya.

“Kalau begitu ia adalah seorang nabi yang suci”, seru Hormuzan tertegun.

Singkat cerita, terjadilah percakapan antara Umar dan Hormuzan.

Hai Hormuzan, tidakkah engkau saksikan akibat dari setiap tipu muslihat yang kalian lakukan terhadap Allah?” tanya Umar membuka pembicaraan.

Dulu Allah berpihak kepada kami maka kamipun dapat menaklukkan kalian. Namun kini rupanya Allah berpihak pada kalian maka kalianpun menaklukkan kami,” jawab Hormuzan.

Aku menawarkanmu memeluk Islam, sekadar saran agar engkau bisa selamat di dunia maupun di akhirat”, lanjut Umar.

Aku tidak mau. Aku akan tetap berpegang pada agama dan keyakinanku. Aku tidak mau masuk Islam karena tekanan”, balas Hormuzan.

Baik, aku tidak akan memaksamu“, jawab Umar.

” Sekarang apa yang engkau inginkan?” lanjut Umar lagi.

Sambil menatap tajam, Hormuzan menjawab, “Aku khawatir engkau akan membunuhku sebelum aku mengucapkan keinginanku”

Jangan khawatir,  katakan saja!“, balas Umar.

Hormuzan lalu mengatakan bahwa ia haus dan ingin minum. Umarpun memberinya semangkuk air.

Namun Hormuzan tidak segera meminumnya. “Aku kuatir engkau akan membunuhku sebelum aku meminum air ini”

Jangan  khawatir, minumlah!”, tegas Umar.

Hormuzanpun menegukkan minuman tersebut. Setelah itu sambil menatap Umar, ia berkata” Sungguh engkau telah nyata memberikan jaminan keselamatan padakuSekarang aku mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad adalah rasul Allah, dan bahwa ajaran yang dibawanya adalah benar datang dari Allah.”

Akhirnya engkau memeluk Islam. Tapi, mengapa tidak sejak tadi engkau ucapkan syahadat itu?”, tanya Umar.

Aku tidak mau orang menyangka kalau aku memeluk Islam karena takut dibunuh”, tegas Hormuzan.

Umarpun berkata, “Memang benar! Orang-orang Persia memang punya cara berpikir yang hebat. Layak kalau mereka mempunyai kerajaan besar.” Lalu Umar memerintahkan asisten-asistennya untuk menghormati dan berbuat baik kepada Hormuzan.

Namun apa lacur beberapa tahun kemudian ketika Umar wafat karena dibunuh oleh seorang budak bekas Majusi Persia bernama Fairuz yang bergelar Abu Lu’luah, bekas panglima Persia itu ternyata ikut terlibat perbuatan keji tersebut. Na’udzubillah min dzalik.

Di kemudian hari kebencian orang-orang Persia yang merasa Islam telah merenggut kebesaran kerajaan mereka adalah pangkal lahirnya Syiah. Mereka sejatinya memeluk Islam karena terpaksa demi mewujudkan dendam kesumat mereka. ( Baca : https://muslim.or.id/26381-mengenal-syiah-antara-syiah-dan-imperium-persia.html )

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 19 Oktober 2020.

Vien AM.  

Read Full Post »

ummu salamahKhadijah adalah seorang perempuan Quraisy terhormat yang lahir dari keluarga kaya raya. Putri cantik Khuwailid bin Asad ini juga dikenal sebagai perempuan yang sukses meneruskan bisnis kedua orang-tuanya yang wafat ketika Khadijah masih muda belia. Ia dijuluki ‘Afifah Thahirah atau perempuan suci oleh orang-orang disekitarnya. Bunga Mekah ini pernah menikah dua kali. Keduanya wafat ketika masih berstatus sebagai suaminya. Dari suami pertamanya Khadijah mempunyai 2 orang anak. Setelah itu Khadijah memutuskan untuk tidak lagi menikah meski beberapa lelaki terhormat datang melamarnya.

Namun Allah menghendaki lain. Sejak ia mendengar sendiri laporan dari pembantu setianya, Maisaroh, tentang  bagaimana santunnya seorang pemuda bernama Muhammad bin Abdullah yang ditunjuknya untuk membantu menjalankan bisnisnya, hatinya tiba-tiba hidup kembali. Sebelum itu ia memang pernah mendengar kabar bahwa pemuda Quraisy ponakan Abu Thalib, cucu Abdul Mutthalib itu memiliki akhlak yang sungguh mulia. Ia dikenal sebagai pemuda yang jujur dan sopan  Sangat berbeda dengan kebanyakan pemuda Mekah yang gemar bermabuk-mabukan dan pesta pora.

Hal inilah yang membuat Khadijah berpikir ulang. “Pasti ada sesuatu yang istimewa dalam diri anak muda ini. Dari begitu banyak orang yang pernah aku serahi tugas menjalankan perniagaan tak satupun yang pernah pulang dengan membawa berkah yang demikian berlimpah. Dan ini semua berkat kejujuran dan kesantunannya ”, pikirnya keheranan. “Walaupun beda usia antara aku dan dirinya cukup jauh, rasanya bukan hal mustahil bagi kami untuk bersatu dalam sebuah pernikahan. Semoga firasatku ini firasat yang baik. Semoga darinya akan lahir anak-anak yang berkwalitas ”.

Itu sebabnya maka Khadijahpun memberanikan diri mengutus sahabatnya, Nafisah binti Muniyah, untuk menanyakan apa yang menjadi penghalang pemuda yang diam-diam telah mencuri hatinya itu, sehingga ia belum juga menikah.

Aku tidak pernah berani berpikir ke arah itu karena aku belum memiliki cukup harta untuk meminang seseorang”, begitu jawaban pendek Muhammad. Maka akhirnya ketika Nafisah memberitahukan bahwa Khadijah, yang masih memiliki hubungan kekerabatan walau jauh itu, menginginkan Muhammad melamar dirinya, Muhammad langsung setuju. Ternyata diam-diam sang pemuda juga menyimpan rasa kagum terhadap Khadijah. Itu sebabnya Muhammad segera melamarnya.

Dengan persetujuan kedua keluarga besar maka menikahlah Muhammad bin Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu Muhammad  berusia 25 tahun sementara Khadijah 40 tahun. Perbedaan usia yang jauh serta kesenjangan ekonomi  yang lebar antara keduanya tidak menghalangi pasangan tersebut membina rumah tangga yang penuh bahagia.

Khadijah mempercayakan urusan perniagaannya kepada sang suami tercinta, dan di tangan Muhammad perniagaan Khadijah semakin lancar dan maju. Sementara Khadijah sendiri lebih fokus kepada urusan rumah tangga.  Namun  demikian ini tidak berarti bahwa Muhammad lepas tangan terhadap urusan yang umumnya dianggap sebagai urusan perempuan itu. Tidak jarang Muhammad terlihat membantu pekerjaan sehari-hari Khadijah. Pendek kata meskipun kini Muhammad telah menjadi seorang saudagar kaya raya, ia tetap sederhana dan bersahaja.

Sementara itu di waktu-waktu luangnya, Khadijah mendapati bahwa sang suami sering merenung dan berusaha berpikir siapakah sebenarnya Sang Pencipta yang patut disembah dan diagungkan. Muhammad muda senantiasa menjauhkan diri dari ritual penyembahan berhala yang lazim dilakukan kaumnya yang dalam kesesatan. Semua ini tak terlepas dari pengamatan Khadijah. Hal ini menimbulkan kekaguman dan kesan mendalam di hati sang istri tercinta. Oleh karenanya ia tidak pernah menghalangi kepergian suaminya bermunajat di gua Hira dalam rangka merenung dan memikirkan penciptaan bumi, langit beserta seluruh isinya.

Itu sebabnya ketika suatu hari suami dengan menggigil ketakutan pulang ke rumah sambil menceritakan bahwa ia telah didatangi ’mahluk yang memenuhi langit’ ( malaikat Jibril as), Khadijah tidak mencemoohkannya bahkan langsung mempercayainya. Beliaulah orang yang pertama beriman dan langsung mempercayai kerasulan Muhammad saw disaat yang lain masih mengingkari dan mencemoohnya.

Khadijah segera menyelimuti dan menghibur sang suami dengan kata-kata yang menyejukkan dan menenangkan hati. Dalam keadaan inilah turun ayat berikut :

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. ” . (QS.Al-Muzzammil(73):1-4).

Untuk menenangkan hati suaminya Khadijah mengajaknya menemui   Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani buta sekaligus sepupunya. Di sana Khadijah menceritakan apa yang dialami Muhammad yang ketika itu belum menjadi seorang Rasul.

Itu adalah malaikat yang pernah Allah utus kepada Musa. Oh, alangkah bahagianya apabila aku masih muda dan perkasa. Alangkah bahagianya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu”, berkata Waraqah setelah mendengar cerita keponakannya.

Apakah mereka akan mengusirku?” tanya Muhammad, risau.

Ya, tidak ada seorangpun yang membawa seperti apa yang kamu bawa kecuali dimusuhi dan diperangi oleh kaumnya. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang akan kamu hadapi itu, niscaya aku akan membantumu sekuat tenaga.”

Sayang tidak berapa lama setelah kejadian tersebut, Waraqah meninggal dunia. Sedangkan Khadijah, sejak itu selalu bersiap diri rela mengorbankan waktu, jiwa serta seluruh hartanya untuk dakwah Rasullullah Muhammad saw,  sang suami tercinta. Demikian  pula ketika kaum Quraisy memboikot Rasul dan para pengikutnya di lorong sempit rumah beliau selama kurang lebih 2 tahun, Khadijah senantiasa mendampingi dan menghibur Rasul dengan penuh kesetiaan.

Hingga akhirnya setelah 25 tahun mendampingi Rasulullah, pada usia 65 tahun Allah swt memanggil Khadijah untuk kembali kepada-Nya. Tahun tersebut di kemudian hari dikenang  dengan sebutan ‘Amul-Huzn atau Tahun Duka Cita. Karena pada tahun tersebut paman Rasulullah, Abu Thalib yang selama ini senantiasa melindungi dakwah Rasulullah juga berpulang ke rahmatullah.

Yang juga patut dicatat, selama Khadijah menjadi istri Rasulullah tidak pernah sekalipun suaminya itu memadunya, hal yang amat lazim bagi pria Arab ketika itu untuk memiliki istri lebih dari satu. Apalagi ketika itu Rasulullah masih sangat muda, namun tak pernah sekalipun mencoba menambah istri lagi, bahkan terpikirpun tidak.

Pasangan istimewa ini dikaruniai 4 putri dan 2 putra. Empat putri mereka adalah Zainab, Ruqaiah, Ummi Kultsum dan Fatimah binti Muhammad. Sedangkan dua putra mereka  adalah Abdullah dan Qasim bin Muhammad. Keduanya meninggal ketika masih kecil.

Di kemudian hari, Aisyah, istri Rasulullah yang masih belia, menunjukkan kecemburuan yang sangat karena Rasulullah memuji Khadijah, dengan kepolosannya berkata, “Bukankah dia hanya seorang yang sudah tua dan Allah SWT telah mengganti untukmu orang yang lebih baik darinya?”

Mendengar itu, wajah Rasulullah sontak memerah, dan bersabda, “Demi Allah! Allah tidak pernah menggantikan yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika orang-orang ingkar, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dia membelaku dengan hartanya ketika orang-orang menghalangiku, dan aku dikaruniai Allah anak darinya, sementara aku tidak dikaruniai anak dari istri-istriku yang lain”.

Rasulullah juga pernah bersabda, “Wanita terbaik di semesta ini adalah Maryam binti ‘Imran, ‘Asiyah binti Muzahim, Khadijah binti Khuwailid dan Fathimah binti Muhammad” ( HR.At Tirmidzi).

Wallahu’alam bishawab.

Jakarta, April 2009.

Vien AM.

Read Full Post »

164013294-288-k884574Aisyah ra adalah seorang perempuan berparas cantik dengan kulit putih dan pipi kemerahan hingga Rasulullah saw sering memanggilnya dengan nama kesayangan “Humairah” yang berarti yang kemerahan. Selain cantik, Aisyah juga dikenal sebagai seorang perempuan cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau saw.

Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))

Putri Abu Bakar ra, sahabat Rasulullah saw sekaligus khalifah pertama ini dinikahi Rasulullah ketika berusia 18 tahun, bukan 6 tahun seperti yang selalu diberitakan selama ini. Berikut adalah hasil penelitian Maulana Habibur Rahman Siddiqui Al-Kandahlawi, seorang ulama hadist dari tanah Hindustan yang lahir di Kandahla-India, tahun 1924, tentang usia Aisyah ketika dinikahi Rasulullah saw.  Tulisan tersebut diambil dari hasil riset Dr.M. Syafii Antonio dalam bukunya, “Muhammad saw, The Super Leader Super Manager”. (2007).

https://bin99.wordpress.com/about/meluruskan-riwayat-pernikahan-rasulullah-saw-aisyah-r-a/comment-page-1/#comment-1550

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa perawi yang menceritakan tentang usia Aisyah ketika menikah hanyalah perawi-perawi Iraq. Padahal sebagaimana kita ketahui  Iraq adalah markas Syiah yang sangat membenci para sahabat sejati termasuk Aisyah. Dengan kejinya mereka bahkan tega menuduh Aisyah adalah pelacur. Na’udzubillah min dzalik …  Dapat dibayangkan bagaimana perasaan Rasulullah bila masih ada di antara kita dan mendengar fitnah jahat yag menimpa istri yang paling dicintainya tersebut.

Aisyah adalah satu-satunya perempuan mulia yang dinikahi Rasulullah dalam keadaan gadis, hal yang sangat dibanggakannya. Namun demikian tak urung kecemburuannya pada istri satu-satunya Rasulullah hingga wafatnya yaitu Khadijah ra tak mampu disembunyikannya. Padahal ketika dinikahi Rasulullah Khadijah tidak lagi muda, yaitu 40 tahun dan sudah pernah menikah 2 x pula.

Aisyah berkata, “Dulu Rasulullah saw setiap keluar rumah, hampir selalu menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku merasa cemburu. Aku berkata, ‘Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik?’

Lalu, Rasulullah marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku, menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku. Dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku tidak membuahkan keturunan.’ Kemudian Aisyah berkata, ‘Aku bergumam pada diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya.”

Sebaliknya Rasulullah, sebagai manusia biasa, pernah dilanda kecemburuan berat akibat fitnah yang dihembuskan kaum Munafikun terhadap sang istri yang begitu dicintainya itu. Fitnah tersebut terjadi saat berakhirnya perang antara kaum muslimin dengan Bani Musthakiq pada bulan Sya’ban tahun 5 Hijriyah. Peperangan ini diikuti oleh sejumlah kaum Munafik. Ketika itu kebetulan Aisyah yang mendapat giliran tugas mendampingi Rasulullah dalam perang.

Dalam perjalanan pulang, ketika rombongan berhenti sejenak untuk beristirahat, Aisyah ikut turun dari tandu untuk buang air kecil. Namun ketika hendak kembali ke tandunya Aisyah merasa kehilangan kalung yang tadi dipakainya. Maka tanpa setahu seorangpun Aisyah mencari kalung yang hilang tersebut. Sementara itu rombongan yang tidak menyadari bahwa ummul mukminin itu masih di luar tenda melanjutkan perjalanan. Alhasil Aisyahpun tertinggal, dan dengan pasrah hanya bisa menunggu orang mencarinya.

Ketika itulah muncul   Shafwan bin Mu’athal as-Sulami adz-Dzakwani ra, seorang sahabat yang bertugas menyisir anggota rombongan yang tertinggal. Alangkah terkejutnya pemuda tersebut mendapat seorang perempuan sedang tertidur di padang pasir nan luas. Dan lebih terkejut lagi mengetahui perempuan tersebut adalah  Aisyah istri Rasulullah.

Setelah Aisyah akhirnya terbangun, Shafwanpun segera memberikan tunggangan untanya kepada Aisyah. Sementara ia sendiri berjalan kaki sambil menuntun unta yang ditunggangi Aisyah dengan rasa hormat, hingga memasuki kota Madinah. Saat itulah kaum Munafikun memanfaatkan kejadian tersebut dengan menghembuskan fitnah bahwa sang istri tercinta telah berselingkuh!.

Sayangnya Rasulullah yang memang sedang sangat lelah paska perang, termakan fitnah kejam tersebut, hingga selama 1 bulan sempat mendiamkan Aisyah, tanpa Aisyah menyadari penyebabnya. Dan tak urung menyebabkan Aisyah jatuh sakit dan memilih pulang ke rumah kedua orang-tuanya untuk beristirahat dan menenangkan pikiran. Dalam keadaan kacau itulah kemudian Allah swt menurunkan ayat 11-26 surat An-Nuur yang menerangkan bahwa perempuan muda tersebut tidaklah bersalah.

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. … … Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, … …

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)“.

Alangkah lega dan bahagianya Rasulullah mendengar itu.

“Bergembiralah, wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah swt telah membersihkan dirimu”.

Lalu ibunda Aisyahpun berkata putrinya: “Bangunlah berjumpa Rasulullah !”.

“Demi Allah … Aku tidak akan bangun menjumpainya. Aku hanya akan memuji kepada Allah swt karena Dialah yang menurunkan ayat Al-Quran menyatakan kebersihanku”, jawab Aisyah.

Di usianya yang masih belia Aisyah telah dikenal sebagai periwayat hadis yang handal. Beliau telah meriwayatkan  2210 hadis, 297 diantaranya terdapat di dalam kitab Hadis Bukhari-Muslim. Hafalannya sungguh luar biasa. Banyak sahabat Rasulullah yang sering menanyakan asal usul suatu hadis kepadanya, termasuk juga Umar bin Khatab, sang khalifah.

Istri Rasulullah ini belajar dan mendalami ajaran Islam langsung dari lisan Rasulullah,  di dalam rumah kenabian di mana wahyu turun dan Al-Quran dibaca siang dan malam. Ia dikenal sebagai sosok perempuan cerdas, pandai berdiplomasi, memiliki lisan yang fasih dan jika  berbicara mampu menarik setiap telinga yang mendengarnya.

Urwah bin Az-Zubair ra  suatu ketika pernah berkata : ” Aku tidak melihat ada seseorang yang lebih pandai dalam ilmu agama, lebih pandai dalam bidang kedokteran dan lebih pandai dalam bidang syair daripada  Sayyidah Aisyah ra. ”

Pada perang Khandaq, diberitakan bahwa Umar bin Khatab terpaksa menegur Aisyah karena keberaniannya  yang luar biasa maju menerobos ke bagian depan barisan pasukan hingga membahayakan keselamatan dirinya.

Anas bin Malik ra meriwayatkan, ia berkata : “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. Pada hari itu, aku melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya, untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb.”

Sebaliknya karena jiwa patriotnya yang sungguh menggebu itu suatu ketika ibunda kita ini pernah terpancing dalam suatu perang yaitu perang Jamal. Perang ini terjadi paska terjadinya fitnah besar yaitu terbunuhnya khalifah Ustman bin Affan. Ketika itu Aisyah ra bersama Talhah dan Zubair berperang melawan Ali bin Abu Thalib. Namun kemudian Aisyah tersadar bahwa perbuatan tersebut kurang baik hingga beliau menyesalinya dan Alipun memaafkannya.

(http://www.kompasiana.com/satriarevolusi/peperangan-ali-bin-abi-talib-dengan-aisyah-radhiallahu-anha-dalam-insiden-unta_552e29c96ea83417128b4576 )

Aisyah memang berpendapat bahwa beraktifitas adalah merupakan keharusan dan tuntutan bagi setiap perempuan. Setiap perempuan tidak boleh hanya duduk di dalam rumah tanpa berpikir untuk melakukan sesuatu yang berguna yang dapat membantu meringankan beban lingkungannya  namun tentu saja tanpa mengabaikan peran utamanya di rumah dan mendidik anak-anaknya. Allah swt memang tidak menganugerahi Aisyah seorangpun anak, hingga dengan demikian dapat secara maksimal mencurahkan seluruh kehidupannya bagi masyarakat dan lingkungannya.

Beliau berkata : ” Alat tenun di tangan seorang perempuan bisa bernilai lebih baik dari tombak di tangan orang yang berjuang dijalan Allah SWT ”.

Di pangkuannya jua Rasulullah menghembuskan nafas terakhirnya, karena memang Rasulullah menginginkannya. Diceritakan selama beberapa hari menjelang wafatnya, dalam sakitnya, Rasulullah meminta ke-ridho-an para istri agar diperbolehkan tetap tinggal di kamar Aisyah, tidak berpindah-pindah seperti biasanya, hingga Allah swt me-wafat-kannya. Di kamar Aisyah ini pulalah Rasulullah dimakamkan. Itulah Raudhah di Masjid Nabawi sekarang ini.

Aisyah sendiri wafat pada malam Selasa 17 Ramadhan 57 H di Madinah. Beliau wafat pada masa pemerintahan Muawiyah, di usianya yang ke 65 tahun, setelah berwasiat agar dishalati oleh Abu Hurairah. Lalu di makamkan di makam Baqi pada malam itu juga.

Wallahu’alam bishawab.

Jakarta, Mei 2008.

Vien AM.

Read Full Post »

syafiyah ummul mukmiminShafiyyah binti Huyay bin Akhthab bin Sa’yah adalah seorang wanita keturunan bangsawan, cerdas, cantik, dan taat beragama. Wanita ini berasal dari keturunan Al-Lawi, putra Ya’qub ( Israel) bin Ishak bin Ibrahim as, yang juga merupakan kakek moyang dari nabi Harun as. Ayahnya yaitu Huyay bin Akhthab bin Sa’yah adalah seorang pendeta sekaligus pembesar Yahudi bani Qurayzhah. Ibunya, Barrah binti Samaual juga seorang Yahudi dari bani yang sama. Mereka tinggal di Madinah yang ketika itu masih bernama Yatsrib.

Sejak kecil Shafiyyah sudah menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci agamanya, Taurat, ia mengetahui bahwa suatu hari nanti akan datang seorang nabi dari Jazirah Arab yang akan menjadi penutup para nabi.

Maka ketika suatu hari ia mendengar kabar bahwa di Mekah ada seorang laki-laki  yang mengaku nabi, dan saat ini sedang menuju ke kotanya, Yatsrib, ia tak heran. Yang justru ia heran adalah sikap kaumnya termasuk ayahnya yang tidak mau mempercayai hal tersebut, padahal ia adalah seorang pendeta. Bahkan dengan gigih memusuhinya.

Hal itu ia dengar sendiri ketika ayah dan pamannya baru pulang untuk mencari tahu tentang sang nabi baru yang hijrah ke Madinah dan mampir di Quba’ sebagai tamu Bani Amr bin ‘Auf. Ketika itu ayah dan paman Syafiyyah pergi meninggalkan rumah seharian penuh.

Namun ketika akhirnya keduanya pulang, sesampai di rumah mereka tidak mencari apalagi menyapa Syafiyah, anak kesayangan mereka, seperti biasanya. Sebaliknya, Syafiyyah justru melihat keduanya pulang dalam keadaan kesal, dongkol dan sangat marah. Pada saat itu ia mendengar percakapan keduanya :

“Apakah itu orangnya?” tanya paman.

“Ya, betul,” jawab ayah.

“Apa kamu mengenalnya?” tanya paman.

“Ya,” jawab ayah.

“Bagaimana pendapatmu tentang dia,” kata paman.

“Aku akan memusuhinya selama aku hidup,” kata ayah.

Dan sejak itu pula kaum Yahudi selalu memerangi nabi baru yang tak lain tak bukan adalah rasulullah Muhammad saw. Sebaliknya dengan Shafiyah, ia justru  makin yakin bahwa nabi baru tersebut adalah nabi yang dimaksud dalam kitabnya.

Syafiyyah menjadi saksi betapa besarnya kebencian ayahnya terhadap ajaran islam dan rasulnya. Beberapa kali ayahya sebagai seorang pemimpin Yahudi melanggar perjanjian yang dibuat oleh rasulullah saw. Padahal perjanjian Madinah yang diciptakan demi tercapainya keamanan kota Madinah yang bukan lagi hanya didiami suku-suku Yahudi, melainkan juga kaum Muslimin baik kaum Anshar ( Muslimin Madinah) maupun kaum Muhajirin ( Muslimin Mekah yang hijrah ke Madinah) itu ditanda-tangani oleh para pemimpin Yahudi.

Kebencian Huyay bin Akhtab sendiri terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi sejak diusirnya Yahudi bani Nadhir dari Madinah pada tahun ke 4 Hijriyah karena telah berusaha membunuh Rasulullah saw. Setahun kemudian, dalam perang Khandaq, ketika Madinah diserang dan kaum Muslimin sedang kesulitan melawan kaum Qurays Mekah dan suku-suku Arab lainnya, Huyay menusuk dari belakang. Ia berkhianat dengan mengadakan pertemuan rahasia dengan pihak musuh demi mengalahkan pasukan Muslimin.

Usai perang Khandaq, atas perintah Allah swt melalui malaikat Jibril as, Rasulullah saw segera menuju perkampungan bani Quraydzah. Setelah dikepung selama 15 atau 25 malam, akhirnya mereka berhasil ditundukkan. Tapi Huyay, yang juga membawa serta putri kesayangannya, Shafiyyah, sempat meloloskan diri dan pindah ke Khaibar, yang merupakan kota terbesar Yahudi. Di kota inilah Huyay bersama para pemimpin Yahudi lainnya membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum Muslimin.

https://vienmuhadisbooks.com/2011/06/10/xx-jihad-fi-sabilillah3/

Penaklukan Khaibar

Khaibar adalah kota terbesar Yahudi yang memiliki banyak benteng dan ladang-ladang kurma. Tanah kota tersebut dikenal amat subur, airnya berlimpah dan berbagai buah tumbuh dengan mudah di tanah ini. Kota yang merupakan  benteng utama Yahudi ini terletak sekitar 165 km utara Madinah.

Pada tahun ke 6 Hijriyah, usai perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah menerima perintah agar memerangi Khaibar. Perang ini berlangsung dahsyat dengan kemenangan di tangan kaum Muslimin. Pasukan kaum Muslimin berhasil mengalahkan benteng pertahanan terakhir dan terkuat Yahudi tersebut. Huyay mati terbunuh dalam peperangan itu. Demikian pula Kinanah, suami ke 2 Shafyiyah. Sementara Syafiyyah beserta kaum wanitanya dan anak-anaknya tertawan.

https://vienmuhadisbooks.com/2011/06/10/xxii-perang-khaibar/

Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa Bilal menggiring Shafiyah sebagai salah satu tawanan, melewati banyak mayat keluarga dan kaumnya untuk menghadap Rasulullah. Melihat itu, Rasulullah bangkit dan mendekati Bilal seraya berkata, “Apakah kau sudah tidak punya perasaan kasih sayang hingga membiarkan wanita-wanita itu melewati mayat orang-orang yang mereka cintai?”

Masuk Islam dan Menikah dengan Rasulullah.

Shafiyyah masuk dalam bagian pendapatan perang seorang sahabat, Dahiyyah bin Khalifah. Namun kemudian seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada Dahiyyah, Shafiyah binti Huyay, putri pemimpin Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, padahal ia hanya layak untuk engkau.”

Mendengar itu Rasulullahpun memanggil Dahiyyah dan menyuruhnya agar memilih tawanan yang lain. Sementara Rasulullah yang memang mempunyai hak harta perang seperlima bagian memberikan pilihan kepada Shafiyah, apakah ingin dimerdekakan, kemudian dikembalikan kepada kaumnya yang masih hidup di Khaibar, ataukah masuk Islam kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Ternyata Shafiyah yang sejak awal sudah yakin dengan adanya nabi baru, memilih untuk masuk Islam dan menikah dengan Rasulullah, dengan maskawin kemerdekaannya.

Pada saat itu, Shafiyah berkata, “Ya Rasulullah, saya memeluk Islam dan saya sudah percaya kepadamu sebelum engkau mengajak saya. Saya sudah sampai pada perjalananmu. Saya tidak punya keperluan kepada orang-orang Yahudi. Saya sudah tidak mempunyai bapak, dan tidak mempunyai saudara yang merdeka. Lalu untuk apa saya kembali kepada kaumku?”

Bukti bahwa Shafiyyah sudah mengimani nabi jauh sebelum ia bertemu nabi, tercermin dari kisah berikut. Suatu hari rasulullah bertanya tentang bekas luka di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?”. Syafiyah menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah itu?’ Kemudian dia menampar wajahku.”

Sayang kedatangan istri ke 9 Rasulullah ini disambut sinis oleh istri-istri nabi yang lain. Ini disebabkan selain karena ia seorang Yahudi, juga karena kecemburuan para istri terhadap kecantikan Shafiyyah.

Berikut penuturan Aisyah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau meminjamkan salah satu untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’

Di dalam hadits riwayat Tirmidzi diceritakan, “ Shafiyyah sedang menangis, kemudian Rasulullah menghampirinya dan bertanya, ‘Mengapa engkau menangis?’ Ia menjawab, “Hafshah mengejekku bahwa aku wanita Yahudi’. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’. Kemudian Rasulullah menegur Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, wahai Hafshah!”

Sementara pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Saad, ketika istri-istri Nabi berkumpul menjelang Rasulullah wafat, Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, Rasul bersabda, “Berkumurlah!” Dengan terkejut para istri bertanya, “Dari apa?” Rasul menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”

Setelah Rasulullah wafat, yaitu 4 tahun setelah Shafiyyah dinkahi, ia merasa makin terasing di tengah kaum Muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dari Yahudi. Meski demikian, ummul Mukminin ini tetap tegar dan terus mendukung perjuangan Islam. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, Shaifiyyah berada di barisan Utsman.

Kinanah berkata, “Aku menuntun kendaraan Shafiyyah ketika hendak membela Utsman. Kami dihadang oleh Al-Asytar, lalu ia memukul wajah keledainya hingga miring. Melihat hal itu, Shafiyyah berkata, ‘Biarkan aku kembali, jangan sampai orang ini mempermalukanku.’ Kemudian, Shafiyyah membentangkan kayu antara rumahnya dengan rumah Utsman guna menyalurkan makanan dan air minum”.

Hal itu terjadi ketika musuh-musuh Ustman menyandera khalifah ke 3 tersebut di kamarnya sendiri, tanpa diperbolehkan mendapat makanan dan minuman.

Shafiyyaf ra wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’ berdampingan dengan ummul Mukminin yang lain.

Shafiyah merawikan 10 hadits dari nabi saw. Di antaranya, “Suatu malam, nabi beri’tikaf di masjid, lalu aku datang mengunjungi beliau. Setelah selesai mengobrol, aku berdiri dan hendak pulang. Beliaupun berdiri untuk mengantarku. Tiba-tiba dua laki-laki Anshar lewat. Tatkala mereka melihat nabi, mereka mempercepat langkah mereka. “Perlahankanlah langkah kalian! Sesungguhnya ini adalah Shafiyah binti Huyai!” kata nabi. “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”, kata mereka. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya setan itu berjalan pada aliran darah manusia. Sebenarnya aku khawatir, kalau-kalau setan membisikkan tuduhan dusta atau hal yang tidak baik dalam hati kalian.” (HR. Al-Bukhari).

Wallahu’ alam bish shawwab.

Jakarta, 22 November 2016.

Vien AM.

 

Read Full Post »

juwairiyah ummul mukmiminPernikahan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dengan Zainab binti Jahsy didasarkan pada perintah Allah sebagai jawaban terhadap tradisi jahiliah. Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang berasal dan kalangan kerabat sendiri. Zainab adalah anak perempuan dan bibi Rasulullah, Umaimah binti Abdul Muththalib. Beliau sangat mencintai Zainab.

Nasab dan Masa Pertumbuhannya

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah, kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau. Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelurn kenabian. Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pernimpin Quraisy yang dermawan dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy rnenyebutnya dengan perempuan Quraisy yang cantik.

Zainab termasuk wanita pertarna yang memeluk Islam. Allah pun telah menerangi hati ayah dan keluarganya sehingga memeluk Islam. Dia hijrah ke Madinah bersama keluarganya. Ketika itu dia masih gadis walaupun usianya sudah layak menikah.

Pernikahannya dengan Zaid bin Haritsah

Terdapat beberapa ayat A1-Qur’an yang mernerintahkan Zainab dan Zaid melangsungkan pernikahan. Zainab berasal dan golongan terhormat, sedangkan Zaid bin Haritsah adalah budak Rasulullah yang sangat beliau sayangi, sehingga kaum muslimin menyebutnya sebagai orang kesayangan Rasulullah. Zaid berasal dari keluarga Arab yang kedua orang tuanya beragama Nasrani. Ketika masih kecil, dia berpisah dengan kedua orang tuanya karena diculik, kemudian dia dibeli oleh Hakam bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid r.a., lalu dihadiahkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.

Ayah Zaid, Haritsah bin Syarahil, senantiasa mencarinya hingga dia mendengar bahwa Zaid berada di rumah Rasulullah. Ketika Rasulullah menyuruh Zaid memilih antara tetap bersama beliau atau kembali pada orang tua dan pamannya, Zaid berkata, “Aku tidak menginginkan mereka berdua, juga tidak menginginkan orang lain yang engkau pilihkan untukku. Engkau bagiku adalah ayah sekaligus paman.” Setelah itu, Rasulullah mengumumkan pembebasan Zaid dan pengangkatannya sebagai anak. Ketika Islam datang, Zaid adalah orang yang pertama kali memeluk Islam dari kalangan budak. Dia senantiasa berada di dekat Nabi, terutama setelah dia rneninggalkan Mekah, sehingga beliau sangat mencintainya, bahkan beliau pernah bersabda tentang Zaid,

“Orang yang aku cintai adalah orang yang telah Allah dan aku beri nikmat. (HR. Ahmad)

Allah telah memberikan nikmat kepada Zaid dengan keislamannya dan Nabi telah memberinya nikmat dengan kebebasannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Zaid dengan Hamzah bin Abdul Muththalib. Dalam banyak peperangan, Zaid selalu bersama Rasulullah, dan tidak jarang pula dia ditunjuk untuk menjadi komandan pasukan. Tentang Zaid, Aisyah pernah berkata, “Rasulullah tidak mengirimkan Zaid ke medan perang kecuali selalu menjadikannya sebagai komandan pasukan, Seandainya dia tetap hidup, beliau pasti menjadikannya sebagai pengganti beliau.”

Masih banyak riwayat yang menerangkan kedudukan Zaid di sisi Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam.. Sesampainya di Madinah beliau meminang Zainab binti Jahsy untuk Zaid bin Haritsah. Semula Zainab membenci Zaid dan menentang menikah dengannya, begitu juga dengan saudara laki-lakinya. Menurut mereka, bagaimana mungkin seorang gadis cantik dan terhormat menikah dengan seorang budak? Rasulullah menasihati mereka berdua dan menerangkan kedudukan Zaid di hati beliau, sehingga turunlah ayat kepada mereka:

“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.“ (Q.S. Al-Ahzab: 36)

Akhirnya Zainab menikah dengan Zaid sebagai pelaksanaan atas perintah Allah, meskipun sebenarnya Zainab tidak menyukai Zaid. Melalui pernikahan itu Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. ingin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali dalam ketakwaan dan amal perbuatan mereka yang baik. Pernikahan itu pun bertujuan untuk menghilangkan tradisi jahiliah yang senang membanggakan diri dan keturunan. Akan tetapi, Zainab tetap tidak dapat menerima pernikahan tersebut karena ada perbedaan yang jauh di antara mereka berdua. Di depan Zaid, Zainab selalu membangga-banggakan dirinya sehingga menyakiti hati Zaid. Zaid menghadap Rasulullah untuk mengadukan perlakukan Zainab terhadap dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. menyuruhnya untuk bersabar, dan Zaid pun mengikuti nasihat beliau. Akan tetapi, dia kembali menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu lagi hidup bersama Zainab.

Mendengar itu, beliau bersabda, “Pertahankan terus istrimu itu dan bertakwalah kepada Allah.” Kemudian beliau mengingatkan bahwa pernikahan itu merupakan perintah Allah. Beberapa saat kemudian turunlah ayat, “Pertahankan terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” Zaid berusaha menenangkan din dan bersabar, namun tingkah laku Zainab sudah tidak dapat dikendalikan, akhirnya terjadilah talak. Selanjutnya, Zainab dinikahi Rasulullah.

Prinsip dasar yang melatarbelakangi pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy adalah untuk menghapuskan tradisi pengangkatan anak yang berlaku pada zaman jahiliah. Artinya, Rasulullah ingin menjelaskan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya Zaid bin Haritsah yang sebelum turun ayat Al-Qur’an telah diangkat sebagai anak oleh beliau. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka,’ itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dan maula-maulamu.” (QS. Al-Ahzab:5)

Karena itu, seseorang tidak berhak mengakui hubungan darah dan meminta hak waris dan orang tua angkat (bukan kandung). Karena itulah Rasulullah menikahi Zainab setelah bercerai dengan Zaid yang sudah dianggap oleh orang banyak sebagai anak Muhammad. Allah telah menurunkan wahyu agar Zaid menceraikan istrinya kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Pada mulanya Rasulullab tidak memperhatikan perintah tersebut, bahkan meminta Zaid mempertahankan istrinya. Allah memberikan peringatan sekali lagi dalam ayat:

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, ‘sedang kamu menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.“ (QS. Al-Ahzab:37)

Ayat di atas merupakan perintah Allah agar Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam. menikahi Zainab dengan tujuan meluruskan pemahaman keliru tentang kedudukan anak angkat.

Menjadi Ummul-Mukminin

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. mengutus seseorang untuk mengabari Zainab tentang perintah Allah tersebut. Betapa gembiranya hati Zainab mendengar berita tersebut, dan pesta pernikahan pun segera dilaksanakan serta dihadiri warga Madinah.

Zainab mulai memasuki rurnah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya beliau selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.

Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi,

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. “ (Qs. Al-Ahzab: 40)

Zainab berkata kepada Nabi, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dan langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.” Zainab sangat mencintai Rasulullah dan merasakan hidupnya sangat bahagia. Akan tetapi, dia sangat pencemburu terhadap istri Rasul lainnya, sehingga Rasulullah pernah tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab wanita Yahudiyah itu.

Zainab bertangan terampil, menyamak kulit dan menjualnya, juga mengerjakan kerajinan sulaman, dan hasilnya diinfakkan di jalan Allah.

Wafatnya

Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusul beliau, yaitu pada tahun kedua puluh hijrah, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dalarn usianya yang ke-53, dan dimakamkan di Baqi. Dalarn sebuah riwayat dikatakan bahwa Zainab berkata menjelang ajalnya, “Aku telah rnenyiapkan kain kafanku, tetapi Umar akan mengirim untukku kain kafan, maka bersedekahlah dengan salah satunya. Jika kalian dapat bersedekah dengan sernua hak-hakku, kerjakanlah dari sisi yang lain.” Sernasa hidupnya, Zainab banyak mengeluarkan sedekah di jalan Allah.

Tentang Zainab, Aisyah berkata, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalarn kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”

Semoga Allah memberikan kemuliaan kepadanya (Sayyidah Zainab Binti Jahsy) di akhirat dan ditempatkan bersama hamba-hamba yang saleh. Amin.

Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

Wallahu’alam bish shawwab.

Dicopy dari :

https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/28/zainab-binti-jahsy-radhiallaahu-anha/

Jakarta, 12 September 2013.

Vien AM.

Read Full Post »

Older Posts »