Rasulullah saw bersabda, ”Pernikahan adalah sunnah-ku, karena itu barangsiapa yang tiada menyukainya maka ia bukan termasuk umatku .”
Sunnah terbagi atas dua jenis sebagaimana sabda Rasulullah: ”Sunnah itu ada dua macam : (1) sunnah yang merupakan suatu kewajiban, yang jika diikuti niscaya beroleh petunjuk dan jika ditinggalkan niscaya tersesat. Dan (2) sunnah yang bukan kewajiban, yang bilamana dikerjakan niscaya mendapat pahala (keutamaan) dan jika ditinggalkan bukan merupakan suatu kesalahan.”
Pernikahan dalam Islam hukumnya adalah sunnah yang termasuk dalam sunnah kelompok pertama, yaitu jika diikuti niscaya beroleh petunjuk dan jika ditinggalkan niscaya tersesat. Artinya, Allah swt mengganjar hambanya yang mau menikah bukan saja dengan pahala yang banyak namun lebih utama lagi beroleh petunjuk. Karena menikah dapat menjauhkan seseorang dari perbuatan zina yang sangat dilaknati dan dimurkai-Nya.
Namun demikian, hukum ini tidak bersifat kaku dan mengikat sehingga dapat menyulitkan para hamba-Nya. Karena pada dasarnya Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia. Karenanya bila ada sebagian kecil manusia yang disebabkan satu dan lain hal merasa tidak sanggup menikah, hal ini masih dapat dibenarkan. Contohnya adalah orang yang sakit parah dan laki-laki impoten. Sebagian ulama bahkan berpendapat haram hukumnya. Sebab hal ini dapat mengakibatkan timbulnya pertengkaran dan ketidak bahagiaan sepihak.
Pernikahan juga berarti membentuk keluarga, yang merupakan bagian atau kelompok terkecil dari sebuah masyarakat. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil dan tenang inilah, Islam mengajarkan agar perempuan dan laki-laki yang telah cukup umur segera melangsungkan pernikahan.
” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS.Ar-Rum(30):21).
Dengan adanya ikatan pernikahan yang dilangsungkan dengan mengharap ridho’ Allah SWT, akan tercipta sebuah rumah tangga bahagia yang dipenuhi rasa kasih sayang, saling menghormati, saling mengingatkan dan saling mengerti. Hubungan seksual yang dilakukan dalam bingkai ikatan antara suami istri inilah yang akan mendatangkan kenikmatan, kesenangan serta kebahagiaan yang sesungguhnya bukan semu dan sesaat.
Rasullullah bersabda: “ Pilihlah untuk benih-benih kalian, karena sesungguhnya keturunan itu direncanakan”.
Pernikahan dalam pandangan Islam bukan sekedar penyaluran dorongan hawa nafsu semata akan tetapi jauh lebih mulia dari itu. Pernikahan adalah sebuah perencanaan masa depan berjangka panjang dalam rangka membentuk keluarga kecil yang takwa. Dari keluarga-keluarga kecil yang demikianlah kemudian akan terbentuk masyarakat yang adil dan makmur dibawah syariat Islam.
Tujuan utama terkecil pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawardah wa rahmah. Yaitu keluarga yang dipenuhi ridho Allah swt dengan diberi-Nya ketenangan, kehormatan, keamanan serta cinta dan kasih sayang antar seluruh anggota keluarga. Tanda keluarga yang demikian terlihat dengan antara lain adanya kesetiaan dari masing-masing pasangan, anak-anak yang berbakti kepada kedua orang-tuanya serta lingkungan sosial yang sehat serta rizki yang dekat.
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (QS.Al-Baqarah(2):223).
Ayat diatas adalah sebuah perumpamaan yang menerangkan bahwa laki-laki adalah bagaikan seorang petani penggarap yang menanam bibit tanaman atau bercocok tanam pada ladang yang dimilikinya, yaitu istrinya. Itulah sebabnya bila si petani menanam bibit kromosom Y di ladangnya maka buahnya pasti juga berkromosom Y alias janin laki-laki, sebaliknya bila ia menanam bibit kromosom X maka buahnya juga dapat dipastikan berkromosom X alias janin perempuan. Artinya si petani memiliki 2 macam bibit kromosom, yaitu X dan Y. Bibit inilah yang nantinya menentukan hasilnya.
Saat ini ilmu genetika telah membuktikan teori ayat yang telah berumur ribuan tahun tersebut. Walaupun dalam prakteknya, jelas, si petani alias si lelaki sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk memilih bibit kromosom mana yang ia kehendaki untuk ditanam didalam ladangnya. Kecuali dalam proses bayi tabung yang dilakukan oleh dokter ahli.
Hadis yang diriwayatkan oleh Tsauban RA mengatakan: “Air (mani) laki-laki berwarna putih dan air (mani) perempuan berwarna kekuningan. Jika keduanya bercampur dan air mani laki-laki mengalahkan air mani perempuan, maka (akan membentuk) jenis kelamin laki-laki dengan izin Allah SWT, namun jika air mani perempuan mengalahkan air mani laki-laki, maka (akan membentuk) jenis kelamin perempuan dengan izin Allah SWT.”
Rasullullah juga pernah berkata : ”Barangsiapa ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan suci & mensucikan maka hendaklah ia mengawini wanita yang menjaga kehormatannya”.
”Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS.An Nisaa’ (4):34).
Perbuatan nusyuz adalah perbuatan-perbuatan istri yang tidak mau menyenangkan hati suami, termasuk menolak hubungan seksual tanpa alasan yang jelas alias mengada-ada.
Rasulullah dalam khutbah Haji Wada’ juga bersabda :” …….. Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas para istri kalian dan mereka mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai kedalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal itu, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Adapun hak mereka atas kalian ialah kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara baik…” .
Namun sayang, ada sebagian lelaki secara seenaknya menafsirkan ayat diatas. Padahal dalam khutbah Haji Wada’ diatas dengan jelas dikatakan bahwa pukulan yang diperbolehkan bagi istri yang nusyuz adalah pukulan yang samasekali tidak membahayakan dan bila ia bertaubat tidak akan mengulanginya lagi tidak ada alasan bagi si suami untuk menyakitinya. Pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas dan tidak menyakitkan. Pada hadis lain juga ditambahkan tidak memukul pada bagian muka /wajah.
Sebaliknya, setiap perempuan mustinya memaklumi bahwa hubungan seksual terutama bagi laki-laki adalah sebuah kebutuhan berkala yang memerlukan penyaluran. Ilmu kedokteran belakangan ini membuktikan bahwa laki-laki dewasa yang tidak dapat mengeluarkan sperma dari tubuhnya secara berkala beresiko terserang suatu penyakit tertentu dan yang bila terus diabaikan dapat beresiko lebih fatal.
Islam dengan jelas mengharamkan perbuatan onani maupun masturbasi apalagi perbuatan zina. Maka tidak ada jalan lain, satu-satunya yang dapat menolongnya hanya sang istri tercinta! Atau dapat juga dengan berpuasa dan mengalihkan perhatian ke kegiatan yang memerlukan energi extra. Maka dengan izin-Nya saja seorang lelaki dapat terhindar dari penyakit.
Jadi sebenarnya hubungan seksual, sekali lagi, bukan sekedar pemenuhan hawa nafsu. Ini adalah kebutuhan alami. Islam bahkan mengajarkan sebuah nilai tambah bahwa bila perbuatan ini dilakukan dengan suami/istrinya dan dalam rangka mencari ridho’-Nya maka ini adalah bagian dari ibadah. Disamping itu, demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan Islam mengajarkan agar hamba-hamba-Nya, baik laki-laki maupun perempuan untuk mengendalikan nafsu syahwatnya dengan berbagai cara. Mulai dari menahan pandangan, menutup aurat hingga berpuasa.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, ……”.(QS.An-Nuur(24):30-31).
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu”.(QS.Al-Ahzab(33:59).
Sedangkan bagi mereka yang belum mampu membina keluarga, Islam menyuruh mereka untuk bersabar dan menjaga kesucian dirinya, yaitu menjauhkan diri dari segala yang menjurus pada perbuatan zina. Hingga dengan demikian Allah swt akan memampukan mereka dengan karunia jodoh dan rezeki yang baik.
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”.(QS.An-Nuur(24):33).
Karena berbagai alasan Islam memang tidak melarang hambanya yang ingin memiliki istri lebih dari 1 orang.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat………”.(QS.An-Nisa’(4):3).
Namun ini bukan berarti bahwa Islam menganjurkan poligami karena jauh sebelum Islam datangpun orang-orang yang hidup pada peradaban masa lalu telah melakukannya. Itupun tidak terbatas hanya pada kalangan raja-raja namun juga masyarakat biasa bahkan para Rasul Allah. Kitab Injil mencatat hal tersebut dan tak satupun ayatnya yang mengecam atau menilainya sebagai tindakan yang salah, bermaksiat apalagi dosa.
Ayat-ayat tersebut diantaranya memberitakan bahwa nabi Ibrahim as mempunyai dua istri, yaitu Sara dan Hagar. Disamping itu Ibrahim disebut juga mempunyai gundik yang bernama Kentura. Begitu pula nabi-nabi lain diantaranya adalah nabi Yakub as. Beliau memiliki empat istri, yaitu Lea, Rahel, Bilha dan Zilpa. Nabi Musa berpoligami dengan mengawini dua istri. Salah satunya bernama Zipora. Sedangkan Salomo atau Nabi Sulaiman diceritakan mempunyai 700 istri dan 300 gundik. Nabi Daud memiliki banyak istri dan gundik, diantaranya Ahinoam, Abigail, Maacha, Hadjit, Edjla, Michal dan Batsyeba.
Walaupun begitu sekali lagi, ayat diatas bukanlah suatu anjuran agar seorang mukmin berpoligami. Ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila diperhatikan akan memberikan pengertian lain yang berbeda dan lebih jelas.
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa sebagai berikut:
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”.
Perlu diketahui, pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali. Karena itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”, (kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat….”
Allah SWT memberikan batasan maximal empat istri karena pada waktu itu (tidak hanya dunia Arab namun juga Eropa termasuk Romawi dan Yunani) hampir sebagian besar lelaki memiliki istri yang tidak terbatas.
”…,..Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(QS.An-Nisa’(4):3).
Namun Ia menegaskan bahwa satu adalah lebih baik bila seorang suami khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap mereka. Karena tanggung-jawab seorang suami selain harus menanggung hidup istrinya juga harus mampu mengayomi, membahagiakan serta mendidiknya menjadi wanita shalehah. Dan kelak ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Alkisah terjadi perselisihan antara khalifah Abu Jafar Al-Manshur dengan istrinya, Al-Hurrah. Sang khalifah bermaksud menikah lagi namun Al-Hurrah keberatan. Kemudian keduanya sepakat menjadikan Imam Abu Hanifah sebagai penengah diantara keduanya. Imam yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi ini bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi. Ia lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Ia diberi gelar Abu Hanifah (suci, lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. Dari namanyalah muncul Mazhab Hanafi.
Abu Hanifah berkata ” Silahkan bicara, wahai Amirul Mukminin ”. Al-Manshurpun memulainya ” Berapa perempuan yang boleh dinikahi laki-laki dalam satu waktu ?” Abu Hanifah mejawab :” Empat.” ”Apakah boleh seseorang mengatakan pendapat yang bertentangan dengan yang demikian ?” Abu Hanifah kembali menjawab : ” Tidak”. Segera Al-Manshurpun menoleh kepada istrinya seraya berkata :” Engkau mendengar itu, wahai istriku?”
Namun Abu Hanifah segera menegaskan : ” Allah menghalalkan itu hanya untuk lelaki yang adil. Barangsiapa tidak berbuat adil atau takut tidak berbuat adil maka selayaknya tidak lebih dari satu orang saja. Kita selayaknya bertindak dengan adab yang diajarkan Allah dan mengikuti nasihat-Nya.” Mendengar itu maka Al Manshur segera meninggalkan tempat tersebut. Jadi tidak benar jika ada yang menyatakan bahwa Islamlah yang mengajarkan praktek Poligami. Karena Islam sesungguhnya hanya mengaturnya.
Namun harus diyakini bahwa hukum Allah pasti tidak akan salah. Lelaki dan perempuan pada setiap zaman secara normal pasti akan saling membutuhkan. Dan pada saat-saat tertentu pasti akan selalu datang saat dimana jumlah perempuan lebih banyak dari lelaki. Yaitu ketika terjadi peperangan. Maka ketika itulah seorang lelaki diizinkan mengawini lebih dari seorang perempuan.
Inilah yang dicontohkan Rasulullah saw. Pada masa muda hingga awal kerasulannya di Mekah, beliau tetap beristrikan seorang saja, yaitu Khadijah ra yang kemudian memberinya 4 putri dan 2 putra. Padahal ketika itu Rasulullah masih berusia 25 tahun sementara Khadijah sendiri berusia hampir 40 tahun. Keadaan ini terus berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat 2 tahun sebelum hijrah.
Rasulullah saw mulai berpoligami ketika usia beliau mencapai 52 tahun yaitu setelah hijrah ke Madinah pada 622 M. Ketika itu peperangan mulai berkecamuk. Dengan banyaknya lelaki yang meninggal dunia akibatnya banyak perempuan menjadi janda. Rasulullah menikahi janda-janda tersebut dengan berbagai motivasi. Hafsah binti Umar, Ummu Salamah dan Ummu Habibah adalah Umirul Mukminin yang dinikahi Rasulullah sebagai penghormatan dan balas jasa suami mereka yang syahid dalam perang melawan musuh Islam. Sedang Shafiyyah binti Huyay, seorang keturunan bangsawan Yahudi yang kemudian memeluk Islam, dan Juwairiyah binti Al-Harits, keduanya menebus diri mereka sebagai tawanan perang melalui pernikahannya dengan Rasulullah. Selanjutnya sebagai putri seorang kepala suku, pernikahan Juwariyah menjadi tali pengikat kekeluargaan yang mengakibatkan sebagian besar sukunya berpindah memeluk Islam.
Sementara Zainab binti Jahsy dinikahi Rasulullah atas perintah langsung Allah melalui ayat 37 surat Al-Ahzab sebagai berikut :
” …… Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.
”Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab(33):52).
Namun setelah turun ayat diatas, Rasulullah tidak lagi menikahi perempuan lain. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah berpoligami dan tidak berpoligami bukan semata keinginan pribadi melainkan dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Rasulullah terakhir menikah dengan Maimunah binti Al-Harits ra pada tahun 7 H. Berarti selama 5 tahun terakhir kehidupannya, Rasulullah tidak menikah lagi. Beliau tetap berumah-tangga bersama para Umirul Mukminin yang dinikahinya selama 7 tahun penuh peperangan. Itupun diantara sejumlah istri yang ketika dinikahi Rasulullah masih perawan hanya seorang saja, yaitu Aisyah binti Abu Bakar, putri sahabat terdekat beliau, khalifah Abu Bakar ra. Itupun tetap karena Rasulullah memerintahkannya. Perintah ini datang melalui malaikat Jibril as yang menghampiri Rasulullah dengan membawa gambar Aisyah. Inilah salah satu penyebab Aisyah bangga akan pernikahannya dengan Rasulullah.
Rasulullah saw memang memiliki istri lebih dari empat. Ini adalah sebuah kekhususan bagi beliau, tidak berlaku bagi yang lain. Bahkan Allah swt sesungguhnya telah mengizinkan Rasulullah untuk menikahi semua perempuan yang menyerahkan diri kepada beliau tanpa batas, tanpa mahar, juga menikahi para keponakannya sekalipun serta para hamba sahayanya, bila Rasul menghendaki. Namun Rasulullah lebih senang tidak melakukan hal tersebut karena khawatir menyakiti hati mereka. Dan yang terpenting karena hal tersebut bukan sebuah perintah dari-Nya. Padahal sejarah bersaksi betapa banyak perempuan yang rela bahkan merengek-rengek untuk dinikahi Rasulullah!
”Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. ………..”. (QS.Al-Ahzab(33):50).