Saat ini di Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, dapat kita temui sejumlah lembaga sosial yang didirikan dengan tujuan untuk membantu para perempuan dalam menangani berbagai masalah yang berhubungan dengan keperempuanan. Sebut saja misalnya Mitrawacana, Komnas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Rahima ( Pusat Pendidikan dan Informasi Islam & Hak-Hak Perempuan), Mitra Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Pekka (Perempuan kepala Keluarga ) dan lain-lain.
Lembaga-lembaga tersebut pada umumnya membuka berbagai bantuan layanan, diantaranya layanan hotline, konseling, konsultasi hingga pendampingan untuk bantuan medis, perlindungan dan hukum acara secara cuma-cuma kepada perempuan yang mengalami kekerasan, terutama kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Keberadaan berbagai lembaga diatas tidak melulu menangani masalah kekerasan terhadap perempuan namun juga peduli terhadap masalah gender lain seperti persamaan hak baik dalam hal mendapatkan pendidikan, perkerjaan hingga permasalahan politik. Ada pula lembaga yang khusus menangani permasalahan perempuan miskin. Dilaporkan kebanyakan anggota lembaga ini adalah perempuan dengan penghasilan dibawah Rp200 ribu perbulan padahal mereka harus menghidupi 1-6 anggota keluarga!
Disamping lembaga-lembaga keperempuanan tersebut ada pula sejumlah lembaga yang khusus menangani masalah anak. KPA (Komnas Perlindungan Anak) pimpinan Seto Mulyadi yang dikenal dengan panggilan Kak Seto adalah salah satu contohnya.
Yang ingin dicermati sejak kapan dan mengapakah lembaga-lembaga sosial yang bergerak khusus menangani masalah perempuan dan anak ini lahir? Menurut data yang sampai ke penulis lembaga-lembaga tersebut mulai menjamur sejak tahun 1990an. Penyebabnya bermacam-macam. Namun yang pasti, hingga saat ini angka kekerasan terhadap perempuan dan anak memang tidak pernah berkurang bahkan cenderung makin meningkat. Demikian pula masalah perdagangan perempuan dan anak yang tak juga kunjung usai.
Perkembangan terkini menyebutkan, sekitar 750.000 sampai 1.000.000 anak dan perempuan Indonesia diperdagangkan setiap tahunnya. Bahkan menurut catatan Kepolisian RI tahun 2000, 1.400 kasus diantaranya adalah pengiriman perempuan secara ilegal ke luar negeri. Mereka ini di selundupkan ke negri-negri seperti Hong Kong, Singapura, Malaysia bahkan Arab Saudi. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar korban tersebut diperjual-belikan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Selebihnya, mereka dipekerjakan sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga), pengemis, pengedar narkotika dan obat-obatan terlarang serta bentuk-bentuk pekerjaan lain seperti eksploitasi kerja di rumah makan, pekerja bar, karaoke, perkebunan dan sebagainya.
Tidak hanya cukup disitu, perempuan-perempuan ini juga mengalami berbagai kekerasan. Kekerasan terhadap mereka terjadi tidak saja ketika mereka telah tiba di rantau baik seorang diri maupun berkelompok, namun juga ketika mereka masih di tanah air. Kekerasannyapun bermacam-macam, mulai dengan penipuan, pelecehan hingga kekerasan fisik. Dan ketika tiba di rantau lebih parah lagi, dari tidak menerima makan dan prilaku yang pantas, kerja yang berlebihan, tidak menerima gaji, disekap, dianiaya, disiksa bahkan tidak jarang diperkosa dan dibunuh! Ironisnya, mereka tidak memiliki tempat untuk melapor dan mengadu. Mereka sebatang kara di negri orang dengan keahlian dan komunikasi yang amat minim pula.
Penyebab perdagangan perempuan dan anak beserta berbagai kekerasan yang menyertainya, bermacam-macam. Ada yang karena kemiskinan, angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya kesempatan kerja dan juga maraknya konflik sosial di berbagai daerah. Namun faktor lain yang tak kalah penting adalah semakin lemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas warga masyarakat untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologis sekaligus kontrol terhadap para anggotanya.
Namun apapun faktor dan alasannya, kekerasan serta perdagangan perempuan dan anak adalah sebuah bentuk tindak pidana yang serius dan melanggar hak azazi manusia. Kejahatan ini semakin kompleks bentuk maupun teknis operasionalnya, baik yang dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun sindikat. Kejahatan ini juga merupakan kejahatan terorganisir dan terencana. Ironisnya, yang terlibat sering kali adalah anggota keluarganya sendiri atau minimal teman atau kenalan sekampung.
Sebagai contoh, seorang anak perempuan di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dari pengakuan orang dekatnya, rupanya sejak usia taman kanak-kanak , anak tersebut sudah dipersiapkan dan diincar agar nantinya dapat dijual menjadi pelacur! Contoh lain, ada orang desa tertentu sengaja menjebak keluarga miskin yang mempunyai anak perempuan agar berhutang dengan bunga yang tinggi sehingga tidak dapat membayar. Akhirnya keluarga tersebut terpaksa menyerahkan anak perempuannya sebagai tebusan hutangnya. Praktik kotor dan hina ini biasanya banyak terjadi di daerah dan perkampungan miskin.
Tindak kekerasan terhadap anak (Child Abuse) terbagi atas 3 kelompok yaitu tindak kekerasan fisik, tindak kekerasan psikis dan pelecehan seksual. Tindak kekerasan fisik adalah tindakan menyiksa atau menganiaya seseorang yang sifatnya menyakiti dan melukai anggota tubuh. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki dll) atau dengan alat-alat lainnya. Sedang tindak kekerasan psikis atau non-fisik adalah tindakan merendahkan, melecehkan, mengancam, memaksa serta tindakan-tindakan sejenis yang sifatnya melukai perasaan. Tindakan ini biasanya dilontarkan melalui perkataan.
Menurut laporan KPA, dari ketiga pengelompokan yang diterima sepanjang Januari-Agustus 2007, ternyata kekerasan psikis menduduki peringkat teratas, yaitu 47.64 %. Menariknya, 14,20 % kasus dilaporkan sendiri oleh anak sebagai korban dan yang dilaporkan adalah orangtuanya sendiri!
Jenis kekerasan terhadap anak secara psikis bermacam-macam. Yang paling umum adalah jenis kekerasan emosional. Berbagai ucapan yang dilontarkan sebagai ungkapan kekesalan orangtua seperti ucapan ” Bodoh kamu !”, ” Dasar anak tak tahu diuntung” dll adalah diantaranya. Kekerasan seperti ini dapat membuat anak terluka secara batiniah dan cukup berpotensi mempengaruhi perkembangan kejiwaan dan mental anak di waktu mendatang. Ironisnya, masih berdasarkan laporan KPA, kasus penyiksaan terhadap anak dari tahun ke tahun makin tinggi saja. Bila pada tahun 2003 ’hanya’ ada 481 kasus maka pada tahun 2007 telah berlipat menjadi 4 kalinya, yaitu 1736 kasus.
Disamping itu tidak membekali anak dengan ilmu pengetahuan baik melalui institusi resmi maupun tidak resmi, mengexploitasi anak atau memanfaatkan anak untuk mencari uang seperti meminta-minta/ mengemis, mengikut-sertakan anak dalam segala macam lomba secara berlebihan dengan tujuan menafkahi hidup keluarga walaupun anak tersebut mengikutinya dengan senang hati dapat dikategorikan sebagai penganiayaan terselubung ( Hidden Crime).
Sedangkan jenis kekerasan terhadap perempuan berdasarkan yang sering dilaporkan dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual dan perkosaan.
Menurut data yang diambil dari beberapa sumber pada tahun 2004, dilaporkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu sebanyak 88,49% dari total kasus kekerasan yang dilaporkan. Dari prosentase tersebut 81,82% pelakunya adalah suami, mantan suami, orang tua, saudara, anak dan majikan.
Sejumlah laporan juga membuktikan bahwa latar belakang status sosial, ekonomi dan pendidikan baik korban maupun pelaku adalah beragam. Dengan demikian laporan ini menepis anggapan dan mitos bahwa KDRT maupun kekerasan anak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi rendah, tidak bekerja dan berpendidikan rendah.
Sedangkan tindakan pelecehan seksual dilaporkan banyak terjadi di kantor-kantor, di tempat kerja juga di tempat umum. Di kantor dan di tempat kerja kebanyakan dilakukan atasan terhadap bawahan namun banyak juga terjadi pada tingkatan yang sama, yaitu antar pegawai. Sedangkan pelecehan di tempat umum banyak terjadi di tempat-tempat yang ramai dan berdesakan seperti terminal, pasar dan bus ketika penuh penumpang, biasanya pada jam-jam pulang kantor. Bentuk pelecehan bermacam-macam, bisa bersifat fisik bisa juga non fisik.
Jenis kekerasan terakhir adalah perkosaan. Tragisnya perkosaan dilaporkan sering kali dilakukan oleh orang yang telah dikenal. Kasus ini biasanya diawali dengan bujukan serta ancaman. Namun tidak sedikit pula laporan perkosaan yang dilakukan orang tak dikenal. Ini biasanya diawali dengan penculikan serta ancaman dan diakhiri dengan perampokan atau bisa juga diawali dengan perampokan dan diakhiri dengan pembunuhan. Penculikan sering terjadi di tempat sepi atau malam hari ketika seorang perempuan sedang seorang diri. Namun bisa pula terjadi di siang hari ketika seorang perempuan tidak sedang sendirian!
Pertanyaannya, mengapa semua ini bisa terjadi ? Mengapa kaum perempuan dan anak-anak begitu rentan seolah mereka hidup sendiri, terpisah dari keberadaan kaum lelaki yang dalam Islam mustinya berfungsi sebagai pelindung dan pengayom bagi mereka? Salah siapakah ini?