Seorang Syeikh yang alim tengah berjalan santai bersama seorang murid di taman kota Cairo, sebuah kota indah di tepi sungai Nil. Keduanya melihat sepasang sepatu yang sudah usang dan lusuh. Mereka berdua yakin kalau itu adalah sepatu milik pekerja kebun yang sebentar lagi akan menyelesaikan pekerjaannya.
Sang murid melihat kepada syeikhnya seraya berkata :
“Bagaimana kalau kita candai tukang kebun ini dengan menyembunyikan sepatunya, kemudian kita bersembunyi di belakang pepohonan. Nanti ketika dia datang, kita lihat bagaimana dia kaget serta cemas karena kehilangan sepatunya.”
Sang syeikh menjawab:
“Anakku, tidak pantas kita menghibur diri dengan mengorbankan orang miskin. Kamu kan seorang yang kaya dan kamu bisa saja menambah kebahagiaan untuk dirinya. Sekarang cobalah kamu masukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam sepatunya, kemudian saksikan bagaimana respons dari tukang kebun miskin itu?”
Sang murid sangat takjub dengan usulan syeikhnya. Ia langsung memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu tukang kebun itu. Setelah itu ia bersembunyi di balik semak-semak bersama sang syeikh sambil mengintip apa yang akan terjadi dengan tukang kebun itu.
Tak berapa lama datanglah tukang kebun itu, sambil mengibas-ngibaskan kotoran debu dari pakaiannya, dia menuju ke tempat dia meninggalkan sepatunya. Ketika ia memasukkan kakinya ke dalam sepatu, ia menjadi terperanjat, karena ada sesuatu yang mengganjal di dalamnya.
Saat ia keluarkan, ternyata, uang. Ia memeriksa sepatu yang satunya lagi, ternyata juga berisi uang. Ia memandangi uang itu berulang-ulang seolah ia tidak percaya dengan penglihatannya. Iapun memutar pandangannya ke segala penjuru namun ia tidak melihat seorang pun.
Sambil menggenggam uang itu lalu ia berlutut sambil menengadah ke langit ia berucap :
“Aku bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Wahai Yang Maha Tahu, istriku sedang sakit dan anak-anakku kelaparan, mereka belum mendapatkan makanan hari ini. Engkau telah menyelamatkanku, anak-anakku dan istriku dari penderitaan”.
Dengan kepolosannya ia terus menangis terharu sambil memandangi ke langit sebagai ungkapan rasa syukurnya atas karunia dari Allah Yang Maha Pemurah.
Sang murid sangat terharu atas pemandangan yang dilihatnya dari balik persembunyian itu. Air matanya berlinang tanpa dapat ia bendung.
Sang syeikh yang bijak berkata kepada muridnya :
“Bukankah sekarang kamu merasakan kebahagiaan yang lebih dari pada kamu melakukan ide pertama untuk menyembunyikan sepatu tukang kebun miskin itu?”
Sang murid menjawab :
“Aku telah mendapatkan pelajaran yang tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Sekarang aku paham makna kalimat, “Ketika kamu memberi, kamu akan memperoleh kebahagiaan yang lebih banyak daripada ketika kamu diberi”.
Sang syeikh melanjutkan nasehatnya,
Ketahuilah bahwa bentuk pemberian itu bermacam-macam:
- Memaafkan kesalahan orang di saat kamu mampu melakukan balas dendam, adalah suatu “pemberian”.
- Mendoakan teman dan saudaramu di belakangnya_ (tanpa sepengetahuannya) itu adalah juga “pemberian”.
- Berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk,_ juga suatu “pemberian.”
- Menahan diri dari membicarakan aib sesama kita di belakangnya adalah “pemberian” juga.
Marilah kita saling “memberi & berbuat baik”, niscaya “hidup kita akan menjadi lebih indah”.
“Salinglah memberikan hadiah di antara kalian, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Bukhari).
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no. 176).
Wallahu’alam bish shawwab.
Leave a Reply