Mirna duduk manis di dalam bus kota Paris. Hatinya sungguh bahagia. Ia telah ditrima sebagai mahasiswi Sorbonne University. Betapa tidak, Sorbonne University adalah salah satu universitas tertua di Perancis, dan tidak mudah untuk ditrima sebagai mahasiswa disini, bahkan untuk penduduk asli sekalipun.
Matanya menerawang jauh. Kata-kata ibu beberapa bulan yang lalu masih terdengar mengiang kuat di telinganya. Ketika itu ayah dan ibunya mengantar dirinya ke bandara Sukarno Hatta, untuk melepas kepergiannya ke Paris, Perancis.
“ Hati-hati jauh dari tanah air, sanak saudara dan handai taulan. Jaga iman dan islammu. Jaga kesehatan. Juga pergaulanmu di tengah lingkungan barumu », bisik ibu sambil memeluk erat dirinya.
Ini memang bukan kali pertama Mirna menginjakkan kaki di kota pusat mode dunia ini. Selama 3 tahun ia pernah tinggal di Paris bersama ke dua orang-tuanya. Kebetulan ayah mendapat tugas di kota ini. Waktu itu dirinya masih berumur 7 tahun. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali menjejakkan kakinya di kota ini, sebagai mahasiswi Sorbonne pula !
« Alhamdulillah », bisiknya dalam hati.
Mata Mirna tidak lepas dari jendela bus di sisinya. Ini adalah rute nostalgia yang dulu sering dijalaninya bersama ibu tercinta. Bus bernomor 73 ini berjalan melintasi Arch de Triomphes, tugu kemenangan bangsa Perancis, masuk ke Champs Elysees, boulevard terkenal di Paris dimana berjajar butik-butik kenamaan. Kemudian melewati Place de la Concorde, pelataran terkenal dimana sejumlah tokoh kenamaan Perancis di ‘guilotine’ alias di hukum pancung pada era revolusi Perancis di tahun 1793. Kabarnya 1300 an korban diguilotine dalam waktu 1 bulan, termasuk diantaranya raja Perancis Louis XVI dan permaisurinya yang berasal dari Austria ratu Marie Antoinette.
Di areal Place De La Concorde ini berdiri dua buah air mancur cantik yang mengapit Obelisk, tugu setinggi 23 meter, pemberian penguasa Ottoman di Mesir ( Pasha) Muhammad Ali. Tugu yang menjadi lambang perdamaian ini, di letakkan pada tahun 1836, di lokasi bekas eksekusi hukum pancung, tak lama setelah berakhirnya tragedi mengerikan tersebut. Konon, tugu yang ujungnya berbentuk lancip itu adalah menandakan jarum milik Cleopatra, ratu legendaris Mesir yang terkenal kecantikannya itu. Tugu ini dipenuhi inskripsi zaman kejayaan raja Mesir Ramses II.
Pandangan Mirna terpaku lurus menatap tugu Arc de Triomphes di ujung sana. Kebetulan ia duduk menghadap ke belakang. Inilah axe historis yang kontroversial itu, bisiknya dalam hati. Axe Historis adalah garis lurus dari Grand d’Árch, Arc de Triomphes menyusuri Champs Elyses, Place De La Concorde, Arc de Triomphes du Caroussel yang merupakan miniatur Arc de Triomphes hingga jardin Tuleries.
Dikatakan kontroversial karena sumbu prestis kota Paris tersebut kabarnya menuju satu titik yang sangat dibenci Barat, yaitu Mekah, dimana Ka’bah berdiri ! Dapat dibayangkan alangkah kecewa dan marahnya orang-orang yang sangat membenci ajaran Islam, bila hal ini benar.
Itu semua bisa terjadi kabarnya karena besarnya perhatian dan simpati Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis pendiri Emporium Perancis, terhadap Islam, khususnya terhadap nabi Muhammad saw. Mirna tiba-tiba teringat pertemuannya dengan Miriam gadis blasteran Perancis Rusia mualaf yang bernama asli Maria, beberapa waktu lalu. Dalam pertemuannya itu Miriam menunjukkan sebuah buku berjudul Journal de Sainte-Hélène yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ini adalah semacam buku harian milik sang kaisar selama di pengasingannya di pulau Santa Helena. Ditulis oleh salah satu jendral kepercayaannya, Baron Gourgaud, di tahun 1815-1818, dan dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1944.
Alinea yang telah diberi stabilo kuning oleh Miriam itu kembali terbayang di mata Mirna :
“I like the Mohammedan religion best. It has fewer incredible things in it than ours” , dan “the Mohammedan religion is the finest of all”.
Dalam buku lain berjudul ‘Bonaparte et I’Islarn” oleh Cherlifs, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Miriam memberi stabilo alinea berikut :
“I hope the time is not far off when I shall be able to unite all the wise and educated men of all the countries and establish a uniform regime based on the prinsiples of the Qur’an wich alone can lead men to happiness.”
“Tahukah kau apa itu Napoleon Code? », tanya Miriam suatu hari. Mahasiswi kedokteran yang dikenalnya di Mosquee de Paris di suatu Jumat ini dengan penuh semangat. Gadis ini memang sangat menyukai buku. Itu sebabnya ia memilih bekerja sambilan di sebuah toko buku Islam tidak jauh dari masjid terbesar di Paris tersebut. Toko tersebut milik seorang lelaki asal Suriah yang menikah dengan seorang perempuan asli Perancis. Mirna pernah bertemu dengan keduanya. Ia memang sering berkunjung ke toko buku yang memiliki banyak koleksi buku-buku Islam pelbagai bahasa itu.
“ Napoleon Code adalah undang-undang Perancis yang disusun oleh Napoleon pada masa kekuasaannya”, lanjut Miriam membuyarkan lamunan Mirna.
“ Meski undang-undang ini bukan yang pertama di dunia, namun ia dianggap sebagai undang-undang sipil pertama yang berhasil dan sangat memengaruhi perundang-undangan di banyak Negara. Undang-undang ini diantaranya memuat aturan tentang toleransi beragama dan menghapuskan feodalisme yang tadinya sudah membudaya di negerinya”, ucap Miriam penuh semangat.
“ Namun tahukah kau darimana ide itu semua datang » ?, tanyanya.
Mirna menggeleng.
« Piagam Madinah yang disusun oleh Rasulullah Muhammad dan Al-Quran ! Ini berkat persahabatan sang kaisar dengan teman-teman Muslim yang dibinanya selama beberapa tahun di Mesir. Salah satu orang kepercayaannya yaitu jenderal Jacques Menou bahkan mendahuluinya bersyahadat”, lanjut Miriam lagi.
Mirna tiba-tiba terngiang cerita tantenya yang telah lama menetap di Paris. “ Di dindingnya tergantung lukisan beberapa orang sahabat Bonaparte dengan sorban mirip sorban orang Turki”, “ Yang lebih mengagetkan lagi, di langit-langit ruang tersebut ada kaligrafi yang sangat mirip tulisan La illaha illa Allah”. Itu adalah cerita tante Sofie, istri adik ibu Mirna yang asli Perancis itu, tentang kunjungannya ke rumah seorang duta besar Jerman di Paris beberapa waktu lalu. Tante Sofie yang masuk Islam sejak menikah dengan om Rahmat ini memang rajin mengikuti kegiatan yang diselenggarakan asosiasi pendatang di Paris dimana ia tercatat sebagai anggotanya.
Bus berhenti di halte ujung pelataran yang saat ini sering dipakai untuk upacara kemerdekaan. Sepasang turis setengah umur yang tadi duduk di kursi paling belakang terlihat turun di halte tersebut. Tak lama kemudian buspun berjalan kembali, berbelok ke kanan, menyusuri sungai Seine. Di sebelah kiri tampak Jardin de Tulerie serta Musee du Louvre dimana dipajang koleksi barang-barang berharga terkenal manca Negara diantaranya yaitu lukisan Monalisa. Di dalam musium ini terdapat pula divisi Islam yang memajang berbagai koleski peninggalan Islam.
Mirna tetap duduk di dalam bus hingga bus tiba di halte Pont Neuf, jembatan tertua kota Paris. Di jembatan ini berdiri patung raja Perancis Henry IV yang sedang duduk di atas kudanya.
Mirnapun kemudian turun dari bus. Cuaca di awal musim gugur hari itu sangat cerah. Temperatur sekitar 18 derajat Celcius, temperatur yang sangat ideal untuk berjalan-jalan. Agak dingin mungkin bagi orang Indonesia, namun dengan jaket tipis atau sweater masih enak untuk dinikmati.
Mirna berjalan perlahan menyeberangi sungai yang terbelah dua, mengapit dataran kecil memanjang yang membentuk delta. Delta inilah yang dinamakan ile de la cite, yang pada abad pertengahan merupakan pusat kota. Bangunan-bangunan tua khas Perancis yang berdiri berjejer di sepanjang pulau kecil ini dengan jelas mencerminkan keadaan tersebut. Mirna berhenti di bawah patung Henry IV yang berdiri tepat di tengah, di antara dua sungai.
« S’íl vous plait mademoiselle » , ujar seorang turis Asia sambil menyodorkan kamera ke arah Mirna. Mirna mahfum bahwa turis tersebut meminta tolong agar Mirna memotret pasangan muda tersebut. Ia sudah sangat sering melakukan hal tersebut. Paris memang benar-benar pantas dijadikan tujuan bulan madu. Romantic city, kata orang.
Setelah puas memandang keindahan Seine dengan latar belakang Eiffel di kejauhan, Mirna berjalan menyusuri ile de la cite hingga tiba di Conciergeri. Bangunan tua abad pertengahan ini dulunya adalah istana yang kemudian berubah fungsi menjadi penjara bagi orang-orang kenamaan, diantaranya sang ratu sendiri, Mary Antoinette. Ini terjadi pada era revolusi Perancis yang memakan korban puluhan ribu orang.
Dari tempat inilah para penghuni penjara dijemput dengan kereta kuda, kemudian diarak di sepanjang jalan menuju lokasi eksekusi. Sebagian besar di Place de la Concorde yang baru dilalui Mirna tadi.
Mirna bergidik membayangkan peristiwa mengerikan tersebut. Ia segera melanjutkan langkahnya, melewati hotel de la justice hingga akhirnya tiba depan Notre Dame de Paris. Pelataran katedral yang menjadi salah tujuan utama turis ini penuh dijejali turis. Terlihat antrian panjang mengular menuju gerbang katedral.
Mirna terus mengayunkan langkahnya menyusuri pinggir sungai Seine. Sekali-sekali bersama turis lain, ia melambaikan tangan ke arah bateau mouche, kapal turis yang menyusuri Seine, yang penuh turis itu. Deretan kotak hijau sepanjang sungai, berisi barang-barang bekas, kebanyakan koleksi buku-buku lama, piringan hitam, poster dll, terlihat sedikit mengganggu pandangan kearah sungai. Namun bagi para pemburu barang kuno dan pecinta buku, bisa jadi mereka menemukan barang yang telah lama mereka cari.
Sampai di jembatan berikutnya, Mirna menyeberang jalan ke arah kiri jalan. Dari kejauhan terlihat mencolok kubah Pantheon, bekas gereja yang telah berubah fungsi menjadi mausoleum, yaitu makam orang-orang ternama seperti Voltaire, Victor Hugo dan Alexandre Dumas. Universitas Sorbonne terletak tidak jauh dari sana. Inilah yang disebut latin quarter yang menjadi tujuan turis. Area ini terletak di Paris 5.
Mirna tiba di Place St Michel. Terlihat kerumunan orang. Mirna bisa menebak pasti para turis itu sedang menonton para lulusan lyceen, alias murid SMA yang sedang menjajakan buku-buku mereka.
“Kalo saja para anggota terhormat DPR mau datang ke Paris bukan cuma untuk mencari hiburan ke Moulin Rouge, belanja di Lafayette atau sekedar berjalan-jalan, namun juga ke tempat ini untuk melihat apa yang dilakukan para lulusan SMA ini, pasti mutu pendidikan kita akan jauh lebih daripada sekarang ini”, komentar ayah suatu hari.
Tidak seperti di tanah air, buku pelajaran di Perancis memang bisa turun menurun. Ini disebabkan kebijaksanaan pemerintah yang tidak sering mengganti-ganti kurikulum. Jadi tidak heran bila tiap akhir tahun para lulusan SMA tersebut melelang bukunya. Karena memang bisa digunakan adik kelas. Itupun tidak semua buku karena justru sebagian besar dipinjamkan oleh pihak sekolah.
Di tempat ini pula beberapa waktu lalu teman-teman Mirna menyelenggarakan acara berjudul “ Save Palestine”.
« Mir, kami akan menyelenggarakan acara peduli Palestina. Kami ingin menggalang dana dan bantuan untuk rakyat Palestina, tanpa peduli apa ras dan agamanya. Kalau kamu tertarik bisa gabung dengan kami”, ucap Daniel, seorang mahasiswa asal Swiss yang merupakan aktifis kampus.
Tanpa banyak berpikir dan bertanya Mirna segera memutuskan mengikuti acara tersebut. Ia tahu mahasiswa Sorbonne memang banyak yang peduli terhadap nasib Palestina. Ini bukan untuk pertama kali mereka menggelar acara seperti ini.
Pagi itu pukul 9 pagi Mirna sudah berada di lokasi. Daniel terlihat sibuk memberi arahan teman-teman apa yang mereka harus lakukan. Dua buah meja panjang dipasang memanjang, lengkap dengan 6 kursinya. Di tengah meja disiapkan sebuah kotak surat dengan tulisan “ a messieur le president de la republique Francois Holland, a lÉlysee ».
« Boss, t-shirt pesanan kita sudah datang tuuh », lapor Ben, mahasiswa asal Amrik jurusan jurnalistik berkulit hitam itu kepada Daniel. “Saya bagikan ya”, lanjutnya sambil membuka kotak berisi t-shirt hijau dengan tulisan besar “Save Palestine”di bagian depan, dan “Go to Hell Israel” di bagian belakang.
“ Kenapa kamu Mir”, tanya Rachel, mahasiswi asal Swedia melihat Mirna yang tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya melihat huruf-huruf besar di t-shirt tersebut. “ Mereka memang pantas go to hell koq”, lanjut Rachel tanpa menunggu jawaban Mirna. “ Lihat saja foto-foto tersebut”, sambil menunjuk ke papan yang terpasang di sisi kiri dan kanan meja panjang.
Panitia memang sengaja memajang foto-foto kekejaman tentara Israel terhadap rakyat Palestina. Masing-masing 2 papan penuh foto di kiri kanan meja. Bergidik Mirna menyaksikan foto-foto tersebut.
Tentu saja Mirna tahu persis kelakuan bejad tentara Israel yang doyan membantai rakyat Palestina, terutama Muslim Arab, dengan semena-mena, bahkan terhadap balita sekalipun! Cuma ia tidak menyangka saja teman-teman bulenya ternyata seberani itu mengexpresikan diri. Namun ia yakin kalau ini terjadi di Indonesia dan yang melakukan Muslim pasti sudah dicap terorisme. Duuh, sedihnya, batin Mirna.
Sekitar pukul 12 siang turis makin ramai memadati area pelataran. Udara cukup bersahabat, sekitar 18 derajat Celcius, matahari bersinar terang. Daniel tampaknya tidak salah memilih lokasi, turis yang lalu lalang mau tidak mau harus melewati lokasi acara mereka.
Ben dengan pengeras suara di tangan dan suaranya yang berat dan khas tidak perlu terlalu khawatir bersaing dengan suara musil break dance anak-anak muda tak jauh dari sana.
“ Hello dear brothers sisters, this is your chance to express your opinion about Palestine. Just take the postcard that you like, write on the other side what ever you want, and we will send it to the president of the republique, for free !”, teriaknya penuh semangat.
Ia mengulang ajakannya itu berselang-seling, bahasa Perancis dan bahasa Inggris.
Acara ini bisa dibilang sukses. Hingga acara ditutup pada pukul 8 malam, tercatat ribuan postcard siap dikirim. Daniel sebagai penanggung jawab acara dan beberapa mahasiswa lainnya akan membawanya langsung ke L’Elysee, istana kepresidenan Francois Hollande.
Pikiran Mirna melayang. Ia mencoba membayangkan bagaimana kira-kira reaksi sang presiden menerima surat tersebut. Bagimanapun masalah Palestina sangat berkaitan erat dengan dunia Islam. Islamophobia apalagi sejak peristiwa 11 September 2001 masih menghantui Barat. Sebaliknya banyak orang Barat yang akhirnya bersyahadat karena rasa penasaran dan mencari tahu kebenaran ajaran yang dibawa nabi Muhammad 14 abad silam itu.
Saat ini Islam di Barat termasuk Perancis berkembang begitu pesat, membuat pemerintah kebakaran jenggot. Hingga akhirnya keluarlah berbagai aturan yang merugikan Islam. Jilbab, pembangunan masjid dll adalah contohnya. Lupa bahwa negara ini berkoar-koar mengklaim sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan toleransi. Sungguh ironis.
“Bagaimana perasaan Napoleon ya sekiranya ia masih hidup”, pikir Mirna.
Tiba-tiba ia teringat perkataan dosen sejarah peradaban dunia di kampusnya, “ Sejarah mencatat ketika Islam memegang kekuasaan kaum minoritas jarang yang tertindas. Sebaliknya ketika Kristen mendominasi kaum minoritas hampir selalu tertindas. Penaklukan Yerusalem oleh sultan Salahuddin di abad 10 dan penaklukan kerajaan Andalusia di Spanyol di akhir abad 15 melalui peristiwa reconquista dibawah raja Ferdinand dan ratu Isabella, adalah contoh yang paling nyata”.
“Bagaimana dengan di Indonesia, aku dengar negaramu mulai diobok-obok seperti negaraku ya ”, bisik Rukiyah, gadis Mesir yang duduk di sebelah Mirna.
“Alhamdulillah, tidak ada masalah. Kaum minoritas dapat leluasa menjalankan ajaran agama mereka. Rumah ibadah juga banyak, proposional tentunya ya, sesuai dengan perbandingan pemeluknya. Tapi yaitulah, ada pihak yang tampaknya tidak senang dengan keadaan kami “, jawab Mirna setengah prihatin.
« Kriing », « Attention mademoiselle ! », terdengar bunyi bel sepeda dan teriakan si pengendara tepat di kiri telinga Mirna.
« Astaghfirullah », triak Mirna spontan membuyarkan lamunannya. Sebuah sepeda nyaris menyerempet dirinya. Mirna segera menepi. Namun tak urung sumpah serapah si pengendara sepeda tetap terdengar meski sepeda sudah agak jauh.
Mirna melirik jam tangan di pergelangannya, nyaris pukul 3. Pantas perutnya sudah terasa keroncongan, menandakan minta diisi. Mirna segera mengarahkan langkah kakinya menuju jalan setapak yang ramai dibanjiri turis yang ingin mencari makan.
“ C’est Halal mademoiselle”, seru para pelayan resto berlomba menawarkan resto mereka sambil memperlihatkan menu masakan yang mereka sajikan. Di tempat ini, restoran Halal memang banyak dijumpai. Tidak terbatas hanya resto cepat saji yang menjual kebab namun juga Tagine dan Kuskus, masakan traditional Maroko, selain masakan asli Perancis.
***
Jakarta, 16 Juni 2014.
Vien AM.
Leave a Reply