Natasya adalah namanya. Ia dilahirkan 16 tahun yang lalu di Grosny, ibu kota Chechnya. Namun hingga saat ini Tasya, demikian nama panggilannya, belum pernah melihat kota kelahirannya. Ibunya telah membawanya pergi meninggalkan kota tersebut ketika usianya 5 tahun. Kini ia tinggal di Pau, sebuah kota di Perancis Selatan. Disanalah ia mengecap bangku SMA. Tasya amat mencintai kota ini, meski sebenarnya kisah duka lebih banyak menyelimuti hidupnya dibanding sukanya. Sejarah panjang kota tua ini telah menginspirasi dirinya agar tetap survive.
Pau adalah ibu kota departemen / propinsi Pyrene Atlantik, satu dari 96 departemen yang dimiliki Perancis. Dari kota ini deretan pegunungan Pirenia yang merupakan pegunungan tertinggi ke 2 di Eropa, setelah pegunungan Alpen, jelas terlihat. Pegunungan ini menjadi batas sebelah selatan Perancis dengan tetangganya, Spanyol. Pau, meski statusnya adalah ibu kota propinsi namun Pau bukanlah kota besar. Maklumlah Perancis yang luasnya tidak lebih dari luas pulau Kalimantan ini membagi negaranya menjadi 18 propinsi atau departemen yang dibagi lagi menjai 100 region, termasuk yang berada di luar daratan Eropa, yaitu Outre Mer.
Lamartine, penulis kenamaan sekaligus politikus Perancis, menyebut Pau « Pau est la plus belle vue de terre du monde comme Naples est la plus belle vue de mer ». Artinya, Pau adalah kota tercantik di dunia sebagaimana Napoli adalah kota tercantik di dunia dilihat dari laut.
Mungkin agak berlebihan. Tapi tak dapat dipungkiri Pau dengan deretan pegunungan Pireneanya memang sangat cantik. Sejarah Pau memang unik. Di kota inilah lahir 2 tokoh besar Perancis.
Yang pertama Henry IV, raja Perancis yang berkuasa pada tahun 1589 hingga 1610. Ia keturunan dari raja Louis IX. Henry IV diangkat menjadi raja ketika konflik antara pemeluk Kristen Katolik dan Kristen Protestan meraja lela. Bahkan untuk menjadi raja ia harus rela mengganti aliran kepercayaannya, dari Kristen Protestan menjadi Kristen Katolik, meski sebenarnya ketika lahir ia memang telah dibaptis sebagai Kristen Katolik.
Pada masa kekuasaannyalah Pakta Perjanjian Nantes ditanda-tangani. Ini adalah perjanjian toleransi antara ke dua aliran pemeluk Kristen yang telah berperang dan saling menumpahkan darah selama seratus tahun. Melalui perjanjian inilah akhirnya pemeluk Kristen Protestan bisa menjalankan ajarannya meski masih dibatasi.
Yang kedua adalah Jean-Baptiste Bernadotte, raja Swedia yang memerintah pada tahun 1818 hingga 1844. Laki-laki kelahiran Pau ini menjadi raja Swedia dengan gelar Charles XIV. Suatu hal yang teramat sangat langka dimana orang asing bisa diangkat sebagai raja suatu Negara. Apalagi Bernadotte sama sekali tidak memiliki darah Swedia dalam tubuhnya. Ia wafat dalam kedudukan masih sebagai raja.
Namun sejarah Pau sebenarnya jauh lebih tua dari ke 2 tokoh diatas. Bahkan lebih tua lagi dari chateau de Pau, kastil tempat tinggal Henry IV sebelum menjadi raja Perancis. Ia menempati kastil gaya Mudejar ini ketika masih menjadi raja Navare. Kaum Mudejar adalah kaum Muslimin Spanyol masa lalu, yang memilih tetap tinggal di tanah Andalusia pada masa-masa Reconquista (Penaklukan oleh kaum Kristen Katolik). Yaitu ketika kerajaan Islam Granada jatuh ke bawah kekuasaan raja Ferdinand II dan ratu Isabel I.
Penguasa Kristen baru tersebut kemudian memaksa penduduk yang mayoritas Muslim itu untuk memilih satu diantara 3 pilihan, yaitu pergi meninggalkan tempat, dibunuh atau bertahan. Mereka yang bertahan ini kemudian dibagi atas 2 kelompok, Mudejar dan Mauris. Mudejar adalah mereka yang tetap Islam dan Mauris yang berhasil dipaksa masuk Kristen.
Mudejar sendiri berasal dari kata Arab, Mudajjan, yang artinya bertahan. Orang-orang Mudejar kebanyakan adalah ahli seni. Mereka inilah yang kemudian dipaksa membangun bangunan-bangunan Kristen dengan gaya khas Islam Spanyol, itulah gaya Mudejar.
Disamping itu, jika ditilik dari posisinya yang sangat dekat dengan perbatasan Spanyol, Pau kemungkinan besar dulunya juga pernah menjadi bagian dari kerajaan Islam Andalusia. Di masa ketika pasukan Islam hampir menaklukkan Poitier, kota di jantung Perancis, sekitar 300 km selatan Paris. Ini terjadi pada tahun 732M.
***
« Salut, je peux? », sapa Diva. Diva adalah murid baru di kelas Tasya. Pagi itu setelah memperkenalkan diri di depan kelas, wali kelas mempersilahkannya duduk di bangku yang dikehendakinya. Setelah sempat celingukan, akhirnya ia mendekati bangku Tasya. Ia meminta izin untuk duduk di bangku sebelah Tasya yang kebetulan memang kosong. Tentu saja Tasya segera mengangguk dan menggeser duduknya. Itulah awal persahabatan Tasya dengan Diva.
Diva berasal dari Indonesia. Gadis berjilbab ini pindah ke Pau karena ayahnya mendapat tugas di kota ini. Ia seorang gadis yang ceria dan cepat menyesuaikan diri. Tidak heran bila dalam waktu relative singkat telah mempunyai banyak teman. Kebalikan dari Tasya yang cenderung tertutup dan pemalu. Namun ternyata hal ini tidak menghalangi persabatan mereka. Bahkan dari awal Tasya sudah dapat merasakan adanya kedekatan emosi dengan teman barunya itu. Belakangan Tasya baru sadar bahwa persamaan tersebut adalah karena keduanya sama-sama Muslim. Hal yang sama sekali tak pernah diduga Tasya.
“ Oh jadi kamu orang Chenchen ?”, tanya Diva suatu hari begitu tahu bahwa Tasya dari Chechnya.
“ Maaf, apakah kamu Muslim? Karena setahuku mayoritas penduduk Chechnya kan Muslim?”, tanya Diva lagi dengan mata berbinar.
Tasya hanya mengangguk pelan, tidak begitu yakin dengan dirinya sendiri, maklum ia jarang sekali shalat. Lingkungan tidak mendukung, itu yang selalu dijadikan alasan. Ibu Tasya memang shalat 5 kali sehari. Dulu ibu Tasya rajin mengingatkan putri satu-satunya itu untuk shalat, namun lama-lama ia tampak bosan karena ada saja alasan Tasya untuk menghindar kewajiban tersebut.
Sementara di sekolah, hal itu mustahil dilakukan. Zuhur dan Ashar yang jatuh di jam sekolah otomatis Tasya lewatkan begitu saja, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tasya hanyalah pendatang, mungkin satu-satunya Muslim di lingkungan sekolah Kristen ini. Itu sebabnya terkejut Tasya mendengar niat Diva untuk shalat di jam-jam sekolah.
“Shalat adalah kewajiban Tas. G mungkin aku meninggalkan hal ini. Aku sudah terpaksa mengalah menanggalkam jilbabku yang sebenarnya juga wajib. Namun apa boleh buat, daripada aku tidak sekolah ”, ujar Diva suatu hari yang selalu membuka jilbabnya begitu turun dari bus atau mobil yang mengantarnya .
Perancis memang secara resmi melarang murid sekolah dari TK hingga SMA mengenakan jilbab. Pelarangan ini keluar pada tahun 2004, setelah adanya peristiwa September 2001.
“Itu sebabnya besok orang-tuaku akan datang menemui kepala sekolah, meminta secara resmi agar aku diizinkan shalat di salah satu ruangan sekolah”, sambungnya.
Hal itu memang dilakukan kedua orang-tua Diva. Menurut keterangan Diva kepala sekolah bisa memahami keinginan tersebut. Ia menjanjikan jawaban secepatnya. Beberapa hari kemudian Divapun dipanggil madame Boursier , wali kelas mereka. Ia mengizinkan Diva shalat di ruangannya.
“Alhamdulillah”, ucap Diva setelah menceritakan kabar gembira itu pada Tasya. Ia tampak begitu lega, sementara Tasya hanya terbengong-bengong.
Namun tak sampai 3 jam kemudian, ketika Diva sedang bersiap-siap melaksanakan shalat Zuhur, madame Boursier kembali memanggilnya.
“Maafkan aku Diva. Aku mendapat laporan bahwa bila aku memberimu izin shalat di ruang ini, puluhan siswa Muslim yang ada di sekolah ini akan berbondong-bondong shalat juga disini”, ujarnya tajam.
“Dan aku tidak berani membayangkan apa yang akan dikatakan orang. Jadi dengan terpaksa aku batalkan tawarkanku pagi tadi”, lanjutnya.
“Namun bila kau tetap bersikukuh ingin shalat, kau bisa melakukannya di halaman sekolah, secara sembunyi-sembunyi”, tegasnya.
Diva hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia cukup terkejut ternyata ia tidak sendiri di sekolah ini. Apakah itu berarti teman-teman Muslimnya selama ini juga tidak pernah shalat Zuhur dan Ashar ??
“Sungguh mengerikan!”, begitu komentar ayah ibu Diva begitu mendengar laporan putrinya.
Selanjutnya Tasya melihat ibu Diva sering datang di waktu Zuhur. Diva melakukan shalatnya di dalam mobil. Sekali-sekali Diva bahkan pulang naik bus, untuk sekedar shalat, sekaligus makan siang di rumah. Kebetulan ada beberapa hari dalam seminggu dimana jam istirahat berlangsung sekitar 2 jam.
***
Persahabatan antara Tasya dengan Diva tanpa disadari telah membuat hidup Tasya lebih cerah dan berarti, sekaligus menantang. Tasya mulai membiasakan diri untuk shalat, dan berhati-hati dalam memilih makanan.
“Kalau mau aman lebih baik memilih makanan laut”, bisik Diva suatu hari di kantin sekolah.
Selain pengetahuan mengenai keislaman, Diva yang supel juga berhasil membawa Tasya keluar dari sepinya kehidupan remajanya, masuk ke dalam pergaulan yang lebih luas. Berkatnya, Tasya jadi mengenal lebih baik Cecile, Francine dan Rukaya. Cecile adalah gadis asli Perancis, sedangkan Francine lahir dari ibu berdarah Vietnam dan ayah Perancis, sementara Rukaya adalah keturunan Mesir, Muslim, meski jarang shalat. Berlima mereka menjalin persahabatan.
Pernah suatu hari, Diva kelabakan mencari jilbabnya yang biasanya ia simpan di dalam tasnya. Kelima sahabat tersebut segera membantu Diva. Setelah mencari kesana kemari akhirnya mereka menemukan jilbab tersebut tergantung di kipas angin yang tergantung di atap kelas.
“Pasti ini pekerjaan Kevin ! Awas, besok akan kuhajar dia !”, teriak Cecile kesal. Cecile memang seorang yang tomboy, ia jago bela diri.
Dan benar, besoknya Kevin memang ia hajar.
“Jangan sekali lagi kamu berani mengerjai Diva yaa ! »bentaknya.
Sejak itu tidak ada satupun teman yang berani mengganggu Diva dan kelompok mereka.
Namun demikian Tasya belum mampu sepenuhnya membuka rahasia dirinya, terutama kepada Cecile, Francine dan Rukaya. Diva tampaknya menyadari hal tersebut tapi tidak ingin memaksanya. Ketika mereka ada janji untuk rendez-vous, untuk nonton bioskop atau sekedar berkunjung ke rumah teman, misalnya, dan Diva ingin menjemput dan mengantarnya, Tasya selalu meminta untuk tidak diantar-jemput di rumah, melainkan di suatu tempat yang agak jauh. Padahal Tasya telah beberapa kali ke rumah Diva.
Tampaknya Tasya tidak siap melihat reaksi dan tanggapan sahabat-sahabat barunya bila mereka mengetahui dimana Tasya tinggal selama ini. Hingga suatu hari, ketika pembagian raport, Diva menanyakan apakah ibu atau ayahnya akan datang mengambilnya.
“ Ibuku ingin berkenalan dengan ibumu Tas, datang g”?”, tanya Diva.
“Ibuku tidak bisa berbahasa Perancis Div, tidak juga bahasa Inggris”, jawab Tasya pelan, sedikit malu.
“Disamping itu ibu juga kurang sehat. Biasanya ayah atau kakak lelakiku yang datang, tetapi saat ini mereka sedang tidak ada di tempat. Aku tidak yakin apakah ibuku mau hadir atau tidak. Kalaupun mau, berarti aku harus mendampinginya agar bisa menterjemahkan penjelasan madame Boursier nantinya”, jelas Tasya.
Diva hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Tasya, sebelum akhirnya bertanya “Kamu bicara bahasa apa di rumah, Chechnya?”, “ajari aku dong”, pintanya.
Begitulah akhirnya Tasyapun mulai bercerita banyak mengenai keluarga dan tanah airnya. Sebuah kenangan buruk yang lama telah dikubur dalam-dalam.
***
« Terus terang aku sudah tidak ingat lagi seperti apa negriku. Namun karena ayahibuku sering menceritakannya maka kadang timbul juga keinginanku untuk suatu hari mengunjunginya”, begitu Tasya membuka lembaran lamanya.
Chechnya, dengan Grosny sebagai ibukota, adalah Negara pecahan Uni Sovyet. Negara ini terletak di pegunungan Kaukasus utara, di antara laut Hitam dan danau Kaspia, berbatasan dengan Ukarina di barat laut, Dagestan di timur dan Georgia di selatan. Sama seperti Chechnya, Ukraina, Dagestan dan Georgia, ketiganya adalah juga bekas bagian dari Uni Sovyet.
Sebelum abad 18, hubungan bangsa Chenchen yang mayoritas Muslim, dengan para tsar Moskow relative masih cukup baik. Namun setelah itu, Moskow meng-ekspansi Chechnya secara militer. Di bawah pimpinan raja-rajanya, yaitu Peter I, kemudian Catherine II, Chechnya yang dikenal memiliki pejuang-pejuang yang tangguh itu terpaksa takluk.
Pada tahun 1834, Imam Shamil berhasil meneruskan impian pendahulunya. Ia berhasil melawan dominasi Rusia dan mendirikan pemerintahan Islam syariah, yang dikenal dengan nama Imamat, meski hanya bertahan selama 27 tahun. Setelah itu Chechnya kembali jatuh. Rusia menyedot Chechnya yang tanahnya subur dan memiliki kekayaan alam berlimpah, membiarkan rakyatnya tetap miskin. Penjajahan juga terjadi terhadap kehidupan sosial budaya mereka. Demi alasan persatuan, bahasa dan budaya tradisional dilarang penggunaannya. Demikian pula kehidupan beragama. Perlawanan memang terus terjadi tetapi tanpa hasil memuaskan.
Hingga ketika PD I meletus , rakyat Chechnyapun bereaksi kembali. Namun pemerintahan kolonial tersebut menanggapinya secara kejam dan tidak berperikemanusiaan. Mereka memerintahkan pembasmian ras alias genosida terhadap bangsa ini. Hampir 40% orang Chechnya hilang atau tidak jelas keberadaannya. Mereka dibunuh, diusir atau diasingkan.
Ironisnya, mungkin karena rasa ketakutan yang amat sangat, rakyat justru terpecah. Sebagian ingin bergabung dan benar-benar takluk kepada pemerintah, sebagian lain ingin menggabungkan diri dengan Barat dan sisanya bersikukuh mempertahankan ke-islaman mereka dengan bergabung dengan Turki Ottoman. Akhirnya perang saudarapun tak terhindarkan.
Di masa pemerintahan Gorbachev yang terkenal dengan glasnost dan perestroikanya, Uni Sovyetpun hancur. Ini membuka peluang baru bagi kemerdekaan bangsa Chechen. Dipimpin oleh Jenderal Dzhokhar Dudayev, ibukota Grozny direbut pada tahun 1991. Proklamasi berhasil dikumandangkan, namun tetap tidak diakui presiden Rusia terpilih, Boris Yeltsin. Keadaan makin memanas. Pada masa-masa itulah Tasya lahir.
“ Masa kecilku dipenuhi oleh ketakutan. Hampir setiap hari aku mendengar berita hilangnya atau matinya saudara atau handai taulan. Ayah dan kakak lelakiku sering tidak berada di rumah karena ikut berperang. Bahkan adik kembarku yang baru berusia 3 tahunpun ikut menjadi korban”, cerita Tasya.
“ Aku sedang tertidur lelap, ketika tiba-tiba terdengar suara tembakan tidak jauh dari rumahku”.
“ Bangun Tasya, bangun, cepat ! », terdengar teriakan ayah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, dan langsung menyambarku. Ketika itu usiaku sekitar 5 tahun. Ibu segera menggendong salah satu adik kembarku, sementara kakak lelakiku, Gelayev, menggendong kembaran yang lain.
Kami segera berlari ke belakang menuju garasi, dan bergegas masuk ke dalam mobil. Aku sempat melihat sebuah koper dan setumpuk barang di dalam mobil, tampaknya ayah memang sudah menyiapkannya sewaktu-waktu kami membutuhkannya . Ayah langsung duduk di belakang kemudi kendaraan setelah mendudukkanku di kursi belakang, di sebelah ibu yang memangku adikku. Kakakku duduk di kursi depan di samping ayah, sambil memangku adikku yang lain.
Mobilpun cepat bergerak mundur, berputar arah dan meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi menembus kegelapan malam. Suara tembakan berkali-kali menggelegar di belakangku. Kedua adik kembarku terus menangis. Aku sendiri, mungkin saking ketakutannya malah tidak bisa menangis. Aku betul-betul merasa tegang. Sambil memegang erat lengan ibu yang kulihat terus berdoa, berkali-kali aku menengok ke belakang , ingin memastikan tidak ada yang mengikuti kami. Aku sempat melihat bola api raksasa menjulur ke langit, kemudian terdengar ledakan dasyat. Duuuaaar !!
“ Ya Allah, apa itu yang mereka ledakkan ? “, tanya ibu panik.
“ Itu tentara Mujahidin dalam serangan fajarnya”, sahut ayah, “ Kalian harus tenang. Berdoalah semoga Allah membantu kita. Ini saat yang sangat genting. Seperti yang sudah kita rencanakan, kau, Natasya dan si kembar harus segera meninggalkan negri ini. Pasport dan semua surat-surat sudah siap. Perancis adalah tujuan kalian. Mudah-mudahan dalam waktu seminggu ini kalian sudah bisa terbang. Percayalah, ini hanya sementara. Aku dan Gelayev akan tetap bertahan disini, bersama para Mujahidin”, ayah berkata sambil terus menancapkan gas kendaraan menuju ke luar kota.
« Berapa usia Gelayev, kakakmu ketika itu ? »potong Diva.
“ 11 tahun. Tapi penampilannya jauh lebih dewasa dari umurnya. Mungkin karena keadaan. Kami terpaut agak banyak karena ibuku pernah 2 kali keguguran”, jawab Tasya, memaklumi rasa penasaran Diva.
“ Aku tidak ingat berapa lama kami berada di dalam keadaan seperti itu. Tampaknya aku ketiduran. Tahu-tahu ketika aku terbangun sudah di berada di dalam sebuah bangunan tua, bersama beberapa orang yang tidak aku kenal, kecuali ibu dan adik kembarku. Ayah dan Gelayev tidak terlihat”.
Ibu mengatakan bahwa kami hanya akan beberapa hari saja di tempat penampungan ini.
« Kita tunggu ayah disini, setelah itu akan pindah ke tempat yang lebih baik», begitu selalu jawaban ibu. Namun nyatanya kami cukup lama berada di tempat itu. Hingga suatu hari ketika aku sedang sibuk mengangkati jemuran pakaian, kami dikejutkan suara ledakan. Suara itu terdengar dekat sekali. Orang-orang segera berhamburan keluar.
« Ada ranjau meledak ! »teriak seseorang.
“Disana !”, teriaknya lagi.
Tiba-tiba aku teringat bahwa adik kembarku tidak ada di dekatku. Padahal tadi mereka sedang asik bermain tidak jauh dariku. Perasaanku segera saja menjadi tidak karuan. Bersama orang banyak aku segera ikut berlari mendekati lokasi ledakan.
“ Ya Allah, sungguh aku tidak akan bisa melupakan peristiwa tersebut. Aku melihat adikku tergeletak dalam keadaan bersimbah darah. Sementara kembarannya memandang bingung sambil memegang sesuatu di tapak tangannya. Namun sebelum aku sadar apa yang sebenarnya terjadi, seseorang segera merampas apa yang dipegang adikku dan melemparmya jauh-jauh. Dooooaar ! Langsung benda tersebutpun meledak memekakkan telinga”.
Aku segera menarik adikku yang menangis kencang dan memeluknya erat-erat. Tak lama kemudian orang-orangpun datang berkumpul dan melarikan adikku yang bersimbah darah tadi menuju pos P3K yang letaknya tak jauh dari lokasi ledakan. Namun nyawanya tak tertolongkan, ranjau itu tampaknya meledak tepat ketika ia mengambilnya, menghancurkan tubuh kecilnya. Terdengas tangis ibu, yang sudah ada di sampingnya. Sekilas aku melihat pandangan ibu yang menyalahkanku. Ya Allah maafkan aku.
Kali ini Tasya benar-benar menangis, mengingat kejadian memilukan 11 tahun yang lalu. Diva segera menghibur Tasya, “Tentu ini bukan salahmu Tasya, bukankah umurmu ketika itu tidak lebih dari 5 tahun bukan?”
“Ibu memang tidak pernah menyalahkanku, tapi pandangan ibu yang hanya sekilas itu tetap saja sulit hilang dari ingatanku. Apalagi ketika sebulan kemudian adikku meninggal karena kekurangan gizi. Maklum selama di pengungsian tersebut pasokan amat sangat terbatas. Maka ketika akhirnya ayah datang, ibu langsung setuju untuk segera pergi meninggalkan negri kami menuju Perancis. Terlalu banyak kenangan pahit yang harus kami telan di negri kami ini ”, kata Tasya pelan, sambil mengusap air mata.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”, ucap Diva sambil mengelus pundak sahabatnya.
“Katakan aku untuk berhenti bila kau mulai bosan mendengar ceritaku Diva, tidak ada cerita yang menarik dari kehidupanku ”, kata Tasya pada Diva.
“Sama sekali tidak, Tasya, justru sebaliknya. Terus terang aku tidak mengira ada kejadian seperti dirimu di zaman modern ini”, ucap Diva.
“ Aku memang pernah mendengar cerita semacam itu, yaitu dari nenekku. Tapi itu di zaman negaraku masih dijajah Belanda puluhan tahun lalu, sebelum kami merdeka », lanjut Diva lagi.
« Tapi terserah kamu Tasya, kita masih punya banyak waktu koq. Kalo kamu masih mau bercerita dengan senang hati aku mendengarkan. Tapi kalo tidak ya lain waktu saja. Mungkin ada baiknya kalo kita refreshing dulu, kita jalan-jalan dulu yuuk ? », ajak Diva sambil menggandeng tangan Tasya.
Maka jadilah Diva dan Tasyapun berjalan-jalan. Keduanya menyusuri bulevard de Pyrene sambil menjilati es krim yang mereka beli di tukang es keliling yang berada di sudut taman. Udara musim semi yang mulai menghangat, dengan aneka bunganya yang mulai berkembang indah membuat keduanya sejenak melupakan cerita kelam Tasya.
«Kami masuk ke negri ini melalui Afrika utara. Selama dua tahun kami berpindah-pindah tempat, mulai dari Malaga dan Valencia di Spanyol, hingga akhirnya di Pau ini. Tapi jangan tanya aku mengapa kami memilih Perancis ya, aku tidak tahu sampai sekarang ini », tanpa diminta Tasya meneruskan ceritanya yang tadi terputus.
« Di pengungsian kami tidak sendiri, ada beberapa keluarga Chechnya lain selain keluarga Iran, Palestina dan lain-lain. Sementara ayah dan Gelayev baru menyusul setelah kami 2 bulan berada di Malaga. Namun ayah tak sampai 6 bulan sudah kembali ke Chechnya karena pertempuran memang belum selesai. Gelayev sendiri terus bersama kami hingga kami menetap di Pau. Ia yang membantu kehidupan baru kami di kota ini. Ia benar-benar seorang anak sekaligus kakak yang patut dibanggakan. Ntah apa jadinya kalau ia tidak ada”, kenang Tasya.
“Apakah setelah itu ayahmu tidak pernah menengok ibu dan dirimu lagi?”, tanya Diva penasaran.
“ Tentu saja, tetapi setelah kami di Pau. Dan tidak pernah lama, bahkan Gelayevpun setelah itu sering kembali ke Chechnya, berjihad bersama ayah dan ribuan orang Chenchen lainnya. 3 tahun yang lalu Gelayev kehilangan salah satu kakinya, tertembak di dekat tempurung lututnya hingga terpaksa diamputasi . Namun dia tetap tegar. Ia tetap sering ikut ayah berperang, hingga detik ini», jelas Tasya dengan nada penuh kekaguman.
“Bagaimana dengan ibu dan dirimu, bagaimana kalian hidup dan mencari penghasilan di tempat baru yang pasti masih asing bagi kalian?”, tanya Diva setelah lama termangu.
“ Mulanya kami masih bisa mengandalkan uang bekal yang dibawa. Namun setelah beberapa bulan berlalu bekal tersebutpun sudah pasti makin menipis. Gelayev segera berinisiatif untuk mencari pekerjaan. Ia mengerjakan apa saja yang ia bisa kerjakan untuk sekedar mendapat upah. Aku juga sempat mengemis “, ujar Tasya pelan, pandangannya kosong jauh ke depan.
“ Selama beberapa tahun kami tinggal di tempat-tempat pengungsian illegal. Beberapa kali kami harus berpindah tempat karena diusir. Ibu sempat berpikir untuk kembali saja ke negri kami, namun ayah tidak setuju. Ayah meminta kami untuk bersabar. Keadaan di Chechnya benar-benar tidak kondusif. Begitu alasan ayah”, terus Tasya.
Hari mulai sore. Matahari telah condong ke barat, bersembunyi di balik awan di atas untaian pegunungan Pirene yang saljunya sudah mulai meleleh. Diva melirik ke jam tangan di pergelangan tangannya.
“Jam berapa ini Div ? Aku harus pulang nanti ibu khawatir bila aku pulang terlalu sore. Kapan-kapan aku teruskan lagi ceritaku, kalau kau masih berminat », kata Tasya.
“Jam 5 kurang. Iya, kapan-kapan dilanjutkan ya . Kita belum shalat Ashar lho”, jawab Diva mengingatkan.
“ Kalo aku masih bisa di rumah, kamu gimana, mau ke rumahku dulu? Atau di sini aja? ”, tanya Diva lagi sambil celingukan mencari tempat yang agak tersembunyi untuk shalat.
Tasya termangu sejenak, sebelum akhirnya menjawab, “ Iya deh disini aja. Tapi wudhunya gimana ? »,tanyanya lagi.
« Hemm dimana yaa .. Tuuh, ada keran disana », jawab Diva lagi.
Seperti juga di kota-kota besar Eropa, Pau memiliki banyak keran air umum dengan berbagai bentuk yang indah. Airnya bisa diminum. Tapi tidak jarang pula anjing yang banyak dipelihara bule-bule itu dan diperlakukan layaknya seorang anak bahkan lebih mungkin, minum di tempat itu juga. Bahkan menjilatinya !
“Eh g jadi deng, najiiiis ”, seru Diva yang tiba-tiba teringat hal itu.
Akhirmya Tasyapun hanya tayamum dan shalat sambil duduk di salah satu bangku yang ada di dekat situ. Kebetulan bangku itu agak tersembunyi, jadi gadis Checnya itu bisa tenang menjalankan shalatnya.
“ Terima-kasih ya Allah telah Kau pertemukan aku dengan Diva yang senantiasa mengingatkanku untuk shalat. Balaslah ia dengan balasan yang terbaik”, mohon Tasya pada Tuhannya, di akhir shalatnya.
Usai shalat kedua gadis tersebut meninggalkan taman dan segera menuju halte bus yang letaknya tidak jauh dari apartemen dimana Diva tinggal. Hingga di sebuah pertigaan, Tasya tiba-tiba bertanya ,
“ Ingatkah kau Div, kau pernah memergokiku di tempat ini?”.
« Tentu. Sebenarnya apa yang terjadi ketika itu? « , Diva balik bertanya.
Tentu saja ia tidak dapat melupakan kejadian beberapa bulan lalu tersebut. Siang itu ia sedang berjalan kaki dengan ibunya menuju pertokoan yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari kediamannya. Ketika itulah tiba-tiba ia mendengar suara kencang mobil bertabrakan. Orang-orang segera berlarian mendekati lokasi tabrakan.
“Hei apa-apain ini, g bisa nyetir apa?”, teriak pengemudi Renault 407 keluaran terbaru sambil keluar dari mobil, membanting pintu dan menghampiri pengemudi Peugeot tua yang tampak ketakutan di dalam mobilnya.
Kalau saja orang-orang yang berada di dekat sana tidak segera melerai pasti si pengemudi Peugeot tua sudah babak belur. Tampaknya pengemudi Peugeot tersebut adalah orang asing. Dengan terbata-bata ia meminta maaf dan berjanji akan menanggung seluruh biaya perbaikan mobil yang ditabraknya itu. Ia memohon supaya kejadian tersebut diselesaikan secara damai, tidak perlu dilaporkan ke polisi.
Namun yang mengejutkan Diva, orang yang berada di sebelah pengemudi Peugeot. Dia adalah Tasya !
Keduanya sempat beradu pandang. Tapi sebelum Diva menyadari bahwa itu sahabatnya, sahabatnya itu telah menyingkir ntah kemana. Diva sempat berusaha mencarinya tapi tidak berhasil. Keesokan harinya ketika Diva ingin menanyakan kejadian tersebut, Tasya tampak tidak senang dan berusaha menghindar. Diva akhirnya diam saja dan berusaha melupakannya.
“ Itu ayahku … Kami tidak mempunyai surat-surat penting, maklum kami imigran gelap, kau tahu kan sekarang”, jelas Tasya.
“ Ayah selalu memperingatkanku dan ibu untuk segera menyingkir bila harus berurusan dengan polisi. Apapun masalahnya, benar apalagi salah, kami bisa di deportasi kalau sampai tertangkap aparat », keluh Tasya.
Diva hanya diam seribu bahasa, tidak tahu harus berkata apa. Menjadi pengungsi di negara manapun pasti tidaklah menyenangkan. Dalam hati Diva berdoa semoga hal ini tidak akan terjadi terhadap diri, keluarga dan bangsa Indonesia.
Patut menjadi catatan, Perancis saat ini menjadi tuan rumah ribuan pengungsi dari berbagai negara. Kebanyakan mereka mengungsi karena negaranya mengalami peperangan. Dengan membawa bekal seadanya mereka rela meninggalkan kampung halaman, sanak keluarga, rumah dan harta benda mereka. Awalnya ada yang sanggup menginap di hotel selama beberapa minggu. Namun lama kelamaan bakal merekapun habis. Hingga akhirnya mereka terpaksa bertahan di kamp-kamp pengungsian yang sangat minim fasilitasnya.
Yang lebih menyedihkan lagi, mereka ini kebanyakan dari negara-negara Muslim, seperti Suriah, Mesir, Maroko dll. Dan yang paling menyakitkan lagi sebagian mereka ini adalah korban kekejaman para diktator Syiah yang memang menganggap bahwa orang-orang Sunni yang merupakan mayoritas Muslim dunia adalah musuh nomor satu mereka. Sungguh ironis !
“ Aku turut prihatin, alangkah beratnya penderitaanmu Tasya … “, ucap Diva akhirnya.
Tasya hanya diam. Keduanya terus berjalan hingga akhirnya tiba di halte bus dimana mereka harus berpisah. Tak lama kemudian bus yang dinantipun tiba. Mereka segera berpelukan.
“ A demain, sampai besok!”, seru keduanya hampir bersamaan.
Buspun berjalan meninggalkan Diva yang terus melambaikan tangannya hingga bus berbelok dan hilang dari pandangan gadis tersebut.
***
Di dalam bus Tasya tampak merenung. Gadis ini sungguh merasa bersyukur bahwa Allah swt telah berkenan mempertemukannya dengan Diva. Hidup di rantau jauh dari akar dan budaya tempat ia dilahirkan, bukan berarti dapat menjauhkannya dari ajarannya. Banyak yang dapat ia lakukan agar hidup ini tidak sia-sia, agar pengorbanan ayah ibu kakak dan adiknya tidak percuma.
“Aku harus jadi orang yang berguna, bermanfaat bagi diri, keluarga, lingkungan, bangsa dan agama. Aku harus menjadi seorang Muslim yang teguh pendirian, yang tidak setengah-setengah, yang bisa menjadi teladan bagi orang lain”, begitu pikir Tasya.
Tak terasa bus telah tiba di tujuan, Tasya segera turun dan berjalan cepat menuju tempat tinggalnya yang masih agak jauh dari halte tempat ia turun. Setibanya di rumah, ia melihat ibunya sedang shalat Magrib. Tasya segera menuju kamar mandi, mencuci kaki tangannya kemudian berwudhu. Setelah itu ia masuk ke kamarnya, membuka lemari dan mencari syal yang dapat ia gunakan sebagai jilbab pertamanya. Ia mematut-matut diri di depan kaca sebelum akhirnya keluar dan menemui ibunya yang baru saja selesai shalat.
“Assalamualaykum, maaf kemaleman ya bun Tasya pulang”, ujar Tasya sambil mencium tangan ibunya yang sudah mulai dipenuhi keriput itu.
“Waalaykum salam”, jawab ibu sambil memandang putri satu-satunya itu.
“ Jadi kamu tadi pergi pakai jilbab ? »tanya ibu penuh tanda tanya.
“ Ngga sih, tapi Tasya janji mulai hari ini Tasya akan pakai jilbab kalau ke luar rumah. Insya Allah ini akan jadi tanda awal Tasya untuk istiqomah. Doain bun yaa ..”, pinta Tasya.
Ibu segera menarik dan memeluk erat Tasya ke pelukannya. Air mata menetes dari sudut mata yang menyimpan seribu derita tersebut.
“ Subhanallah Alhamdulillah”, hanya itu yang keluar dari bibir ibu yang terlihat gemetar menahan kebahagiaan yang sungguh tak terkira.
Tiba-tiba kata-kata ayah beberapa minggu yang lalu terngiang kembali di telinga Tasya.
“ Negri kita saat ini, terutama Grosny, memang sudah menjadi indah dan maju. Masjid agung yang besar nan megah menghiasi kota itu. Namun sayang, penduduknya yang sudah terkontaminasi dengan slogan demokrasi dan toleransi ala Barat, hanya menggunakan rumah Allah tersebut di hari Jumat. Sekulerisasi di segala bidang sudah menguasai cara berpikir sebagian penduduk. Sungguh tepat sekali perkiraan rasulullah seribu empat ratus tahun yang lalu bahwa umat Islam di akhir zaman banyak tapi hanya seperti buih. Artinya mereka tidak berkwalitas, lemah dan tunduk kepada orang kafir”.
“ Aku tidak boleh dan tidak mau jadi buih itu”, bisik Tasya dalam hati.
“Aku ingin agar orang-orang di sekitar sini tahu dan mengenal apa itu sesungguhnya Islam. Bumi ini milik Allah, bukan milik satu bangsa tertentu. Kami bukan pengemis apalagi teroris yang harus dibasmi », tegasnya lagi penuh percaya diri.
Ya disinilah, di Pau, kota di Perancis sebelah selatan yang berbatasan dengan Spanyol, dimana dulu kebesaran Islam pernah mencapai kejayaan, seorang gadis Muslim imigran bernama Natasya, berjanji akan memperkenalkan indahnya Islam. Allahuakbar …
***
Jakarta, 10 Mei 2014.
Vien AM.
Leave a Reply