Ali diam tertegun. Pagi itu seperti biasa ia bangun pukul 4 pagi. Bersama ke 3 kakak lelakinya mereka bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Ayahnya kali ini tidak menyertai mereka karena sudah beberapa hari ini ia demam tinggi, badannya menggigil. Ali dan kakak-kakaknya tidak shalat di masjidil Aqsho’ melainkan dimasjid Umar yang letaknya lebih jauh dari masjidil Aqsho ke rumah. Namun bukan hal ini yang menyebabkan Ali diam terpaku. Karena walaupun rumah sempit yang disesaki ayah, ibu, nenek, kakek, 3 kakak lelaki, 1 adik perempuan dan 2 adik lelaki kembar ini menempel ditembok Al-Aqsho mereka nyaris tidak pernah bisa melaksanakan shalat subuh di masjid suci ke 3 didunia ini. Karena pihak pendudukan Israel tidak mengizinkannya. Dan ini telah berlaku sejak ia lahir 10 tahun yang lalu.
Bukan .. bukan itu. Lalu apa ? Ali terdiam karena jalan yang biasa dilaluinya untuk menuju sekolah ditutup. Pagar kawat setinggi 3 meter terpampang di depan matanya. Beberapa temannya yang sudah tiba terlebih dahulu juga terlihat diam terpaku. Mereka tidak berani coba-coba melintasi pagar yang kelihatannya biasa-biasa itu. Ini bukan disebabkan sejumlah tank yang sengaja ditempatkan pemerintah Israel untuk berjaga-jaga di hadapan kawat tersebut. Tank bagi anak-anak Palestina memang bukan barang yang membuat mereka kecut namun karena anak-anak ini paham betul bahwa pagar kawat tersebut beraliran listrik !!
Tak sampai 10 menit kemudian tempat tersebut telah dipenuhi anak-anak yang hendak pergi ke sekolah. Beberapa orang tua yang mendampingi anak-anak mereka mulai berteriak-teriak : “ Hei Yahudi keparat .. apalagi mau kalian .. tidak bisakah kalian barang sedetikpun membiarkan kami tenang … !! “ ; “ Lihat anak-anak ini .. mereka hanya hendak pergi ke sekolah !! “ ; “ Astaghfirullah .. mengapa kalian tutup pintu ini … “ ; “ Hei Yahudi .. tampakkan diri kalian .. jangan hanya bersembunyi dibalik kendaraan besi keparat itu ..!! “
Tak ada jawaban dan reaksi sedikitpun dari balik pagar. Sementara orang-orang mulai kesal. Sebagian bayi yang berada di gendongan ibu yang mengantar anaknya sekolah mulai terdengar menangis, sejumlah balita mulai merengek dan menarik-narik ujung celana ayah atau baju ibu mereka. Ali tetap diam menunggu dengan pandangan tegang. Ia tahu sebentar lagi pasti akan terdengar tembakan dan korbanpun bakal berjatuhan.
Mendengar keributan tersebut wargapun mulai datang berduyun-duyun. Mereka mulai memunguti apa saja yang bisa dipungut. Tak ayal lagi batu dan kayupun beterbangan menuju tank melewati pagar kawat listrik itu.
“ Ayo anak-anak .. kita tinggalkan tempat ini. Biarkan bapak-bapak dan kakak-kakak kalian mengurusi ini semua.”, terdengar suara lantang uztad Hambali, guru sekolah mereka.
“ Tugas kalian adalah belajar, menghafal ayat –ayat Al-Quran .. kalian adalah aset Palestina yang paling berharga … ayo .. ayo ..”, serunya membangkitkan semangat.
Anak-anak menurut dan pergi meninggalkan tempat dengan segera. Sebaliknya dengan Ali. Dengan berat hati ia mentaati perintah sang guru. Sambil berjalan mundur, matanya tidak mau lepas dari tempat tersebut. Ingin rasanya ia membantu kakak-kakak dan bapak-bapak itu melawan orang-orang zalim yang telah membuat salah satu adiknya meninggal dua tahun lalu. Adik kecilnya yang baru berusia 4 tahun itu terkena ledakan bom kecil yang tercecer di pekarangan rumahnya. Ketika itu ia dan adiknya sedang bermain-main. Tiba-tiba adiknya menemukan benda berbahaya tersebut. Kemudian menendang-nendangnya tanpa mengira bahwa barang tersebut ternyata adalah bom yang masih aktif !!
« Ayo .. cepat anak-anak .. Ali .. perhatikan langkahmu ! », teriakan kencang pak Hambali membuyarkan ingatan Ali. Ia segera berbalik badan dan berlari menyusul teman-temannya yang sudah berjalan agak jauh meninggalkannya.
Sekitar 30 anak terkumpul sudah di dalam kelas. Mereka segera membaca surah Al-Fatihah. Setelah itu satu persatu anak maju ke depan kelas untuk menyetor hafalan mereka. Target uztad Hambali, guru yang telah berusia 75 tahun ini, anak-anak hafal seluruh isi Al-Quran akhir tahun ini. Saat ini sebagian besar anak telah hafal 25 juz.
Uztad Hambali mengajar anak-anak dengan tegas namun penuh kesabaran. Ia adalah seorang mujahid. Itu sebabnya dalam usianya yang 75 tahun itu perawakannya masih tegap meski ia telah kehilangan salah satu kakinya. Anak-anak sangat menyayangi sekaligus menghormatinya. Di sela-sela waktunya mengajar ia sering menceritakan pengalaman dan perjuangannya.
“ Palestina dulu dan sekarang seperti bumi dan langit « , begitu keluhan yang sering kali diucapkannya dengan nada pilu. “ Dulu Palestina tenang dan damai. Islam, Kristen dan Yahudi saling menghargai. Pemerintahan Islam yang ketika itu memegang pimpinan tahu betul apa itu Islam. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Ingat selalu surat Al-Kafirun « , ucap pak Hambali sambil memandang ke arah jendela kelas yang terbuka lebar tanpa daun jendela.
« Namun lihat apa yang terjadi begitu pihak Yahudi memegang kendali. Pertikaian dan permusuhan terus terjadi setiap hari setiap detik. Mereka hanya memikirkan nasib bangsa dan agamanya sendiri. Kita, umat Islam yang saat ini dalam keadan lemah menjadi sasaran empuk dan bulan-bulanan. Kita terus didesak dan dikucilkan. Tanah kita terus mereka ambili. Hak kita mereka injak-injak. Ironisnya, semua ini atas sepengetahuan PBB, badan international yang mustinya berlaku adil terhadap semua pihak”, sekali lagi uztad Hambali memandang ke arah jendela. Namun kali ini dengan pandangan khawatir. Ali yang melihat jelas perubahan air muka gurunya itu segera ikut memandang ke arah jendela. Sebuah pesawat melintas diatas madrasah mereka. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
“ Ingat anak-anakku Allah swt telah memilih dan memuliakan kita sebagai rakyat Palestina. Tanah kita ini telah dipilih menjadi tempat dimana pertempuran akhir zaman akan terjadi. Pertempuran antara hamba yang takwa dan hamba yang mendurhakai-Nya. Antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi terlaknat yang menjadikan Dajjal sebagai pemimpin mereka. Masjidil Aqsho adalah masjid yang harus kita pertahankan. Jangan biarkan orang-orang kafir merebutnya .. Allahuakbar .. Allahuakbar .. Allahuakbar … “. Seruannya itupun langsung disambut oleh murid-muridnya dengan penuh antusias.
Bersamaan dengan itu tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar di halaman samping kiri madrasah. “ Tiarap .. tiarap “,seru uztad Hambali. Anak-anak yang semula telah siap berlari berhamburan menuju pintu kelas segera membatalkan niatnya dan langsung tiarap, sesuai perintah guru mereka.
Tak lama kemudian terdengar lagi suara pesawat berderu tepat di atas kepala mereka. Tanpa diperintah anak –anak secara otomatis berseru : “ Allahu akbar ..Allahuakbar .. “. Terdengar suara ledakan dasyat. “ Buuuummmm “ !! Kali ini bom jatuh di sisi kanan madrasah.
“ Lari-lari .. cepat menuju persembunyian “, teriak uztad Hambali dengan suara parau. Murid-murid segera berlari menuju ruang bawah tanah di ujung madrasah. Ali sempat melirik ke luar. Api besar menyala dan melahap ruang kelas sebelah. Ia melihat orang-orang berlarian berusaha menyelamatkan murid-murid di tempat itu. Suara tangisan dan jerit ketakutan terdengar menggema.
Beberapa menit kemudian ruang bawah tanahpun telah sesak dijejali para murid dan guru. Suasana terasa tegang dan mencekam. Uztad Hambali segera mengajak mengucap takbir dan tahmid. Beberapa menitpun berlalu. Uztad Hambali dan seorang uztad lain keluar meninggalkan ruangan. Anak-anak tetap didalam, menanti dengan hati berdebar.
Tak lama kemudian keduanya muncul kembali. Wajah dan rambut mereka dipenuhi debu dan arang. Dengan lega mereka mengabarkan bahwa untuk sementara keadaan telah aman. Anak-anak boleh keluar dan kembali ke rumah masing-masing.
Ali segera keluar. Di luar terlihat orang-orang datang berlarian. Mereka adalah para orang tua murid yang khawatir dan mencari tahu keadaan anak-anak mereka.
“Astaghfirullah ….. Allahuakbar .. Subhanallah ..” terdengar seruan di sela-sela suara anak-anak yang menangis. “Allah pasti membalas perbuatan kalian Yahudi biadab , Yahudi terkutuk !!”; “ Lawan kami secara jantan Yahudi pengecut ..satu lawan satu .. bukan begini caranya .. anak-anak kalian serang .. pengecut .. pengecut …!! ” …
Ali melihat kedua kakaknya berada diantara orang-orang yang sibuk membantu korban yang kebanyakan anak-anak itu. Ia melihat ruang kelas sebelah telah rata dengan tanah, reruntuhan bangunan berserakan, bercak darah dimana-mana, suara jeritan dan tangisan serta debu dan arang yang berterbangan bercampur aduk.
Dengan setengah berlari Ali menuju rumah. Ia melewati pagar kawat yang masih berdiri tegak, batu-batu berserakan, tank dengan moncong menghadap ke arahnya masih berada di tempatnya sementara sejumlah tentara Israel dengan senapan panjang di tangan mondar mandir di sekitar pagar.
Dari kejauhan Ali melihat beberapa pemuda Palestina dibawah ancaman senapan, tangan terikat ke belakang serta mata ditutup secarik kain digiring menuju suatu tempat. Rumahnya hanya tinggal beberapa meter saja ketika tiba-tiba ia melihat ayahnya yang sedang didorong ke luar rumah oleh dua tentara bersenjata hingga jatuh terjerembab di tanah. Sementara ibunya, sambil menggendong si bungsu yang menangis, berusaha mencegah perbuatan jahat keduanya.
Dengan susah payah ayah yang sedang dalam keadaan kurang sehat itu berusaha bangun dan berdiri kembali. Namun belum juga ayah berhasil salah seorang dari tentara biadab itu menembakkan senapannya ke arah paha kiri ayah. Ayahpun terjatuh kembali.
« Astaghfirullah « , seru Ali terkejut. Tanpa berpikir panjang ia segera berlari menuju keduanya sambil berteriak lantang : « Hei … hentikan .. hentikan .. hentikan itu !! ». Ia berusaha merebut senapan si tentara yang tadi menembak ayahnya.
Namun belum juga tangan Ali berhasil mencapai sasaran, sebuah pukulan keras menghamtam kepalanya. Rupanya itu adalah gagang senapan yang dihantamkan tentara yang satu lagi. Ali terhuyung. Ia berusaha menjaga keseimbangan badannya agar tidak jatuh menimpa tubuh ayahnya. Akhirnya ia terjatuh di sisi kanan ayahnya.
Dengan menyeringai lebar, si tentara mengarahkan senapan secara bergantian ke arah Ali dan ke arah ayah.
« Jangan tembak anakku, Yahudi kotor. Tembak aku saja !!”, seru ayah menantang. « Tidak « , teriak Ali panik. « Ayah sedang sakit. Tembak aku saja « .” Terlaknat kau Yahudi … Jangan tembak keduanya “, terdengar suara ibu berteriak tak kalah kencang.
Sesaat si Yahudi gila terlihat ragu. Namun beberapa detik kemudian Ali melihat ia menggerakkan senapannya ke arah ayahnya. Tanpa berpikir Alipun segera melompat dan menjatuhkan dirinya ke atas tubuh ayahnya . « Dooorr « .
Ali mendengar suara tembakan menggema di udara. Ia merasakan sebuah benda panas menembus punggung kirinya, kedua telinganya terasa mendengung sementara pandangannya kabur. Ali tak sadarkan diri .. entah untuk berapa lamanya ….
Ali terbangun dan bergegas mengambil air wudhu. Namun tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang bershalawat yang ditimpali isak tangis. Ibu menangiskah ? pikirnya. Ali segera menuju ruang depan. Ia melihat orang-orang berdatangan ke rumah. Ia melihat ayah, ibu, kakek, nenek, kedua kakaknya, adik perempuannya, adik kembarnya, uztad Hambali, sejumlah teman-temannya dan masih banyak lagi orang-orang yang dikenalnya dengan baik. Mereka mengerumuni sebuah keranda berbendera Palestina. Apa yang terjadi, pikirnya .. Siapakah yang meninggal dunia .. pasti gara-gara bom disekolah pagi tadi, pikirnya lagi .. tapi mengapa di rumahku ..
Ali heran dan penasaran. Ia terus berjalan dan menghampiri keranda tersebut. Ia merasa aneh karena meskipun rumahnya disesaki banyak orang ia dapat berjalan tanpa perlu berdesakan. “ Ibu, siapa yang meninggal ?” tanyanya lirih di telinga ibunya yang sedang menangis. Ia perhatikan wajah ibu begitu menderita namun sorot matanya tetap menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Ibunya tidak menjawab. Ganti ia bertanya kepada ayahnya kemudian kakek, nenek, kakak. Tapi tak satupun yang menjawab.
Akhirnya ia memberanikan diri membuka penutup wajah jenazah yang terbujur kaku di depan keluarga besarnya itu. “ Bismillahi rohmanirohim “, bisiknya pelan. Seraut wajah yang amat dikenalnya muncul. Bibirnya tersenyum lega. “ Aku ???” …
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un ….
Pau – France, 5 April 2010.
Vivin AM.
Leave a Reply