Lukman melirik jam tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 10 pagi. Ia dijanjikan datang sekitar jam 11 untuk menemui seseorang yang dapat memberikan sejumlah dana bagi yayasan yatim-piatu yang dikelolanya. Ia segera merapikan buku dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja dihadapannya. Ujian Akhir Semester tinggal 1 minggu lagi. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan. Namun tugas mengurus yayasan bagaimanapun tidak kalah pentingnya. Ini adalah amanah dari kedua-orang tua bahkan para leluhurnya. Lebih penting lagi karena menyangkut nasib orang banyak. Perlahan Lukman menghela nafas….
Lukman adalah seorang pemuda yang tahun ini akan memasuki usia 19 tahun. Ia menyelesaikan pendidikan SMU nya tahun lalu. Berkat beasiswa yang diterimanya sekarang ia duduk di tahun pertama fakultas Ekonomi di sebuah universitas negri favorit di Jakarta. Selain dikenal pintar, Lukman juga dikenal sebagai remaja yang aktif dan pandai bergaul. Disamping juga rajin menjalankan ibadah. Ketika duduk di bangku kelas 2 SMU Lukman bahkan pernah menjabat ketua OSIS. Ia memang senang berorganisasi. Rasanya masih hangat dalam ingatan masa-masa ketika ia masih memakai seragam putih abu-abu. Pengumuman bahwa guru tidak hadir adalah hal yang paling dinanti-nanti.
***
” Anak-anak, hari ini pak Samsul berhalangan hadir. Jadi anak-anak diminta belajar sendiri-sendiri dan yang paling penting dilarang brisik”, “Horee…”, seru murid-murid serentak begitu pak Mastur menyelesaikan kata-katanya. Suasana kelaspun langsung berubah menjadi seperti pasar. Dimana-mana terdengar kegaduhan. Ada yang mengeluarkan makanan, ada yang sekedar mengobrol dengan teman sebangkunya, ada yang berjalan kesana kemari, ada pula yang iseng mencorat-coret papan tulis dengan banyolan-banyolan yang kadang agak menyerempet ke pornografi.
Terbayang pula beberapa teman yang diam-diam keluar kelas menuju kantin dan mulai mencoba untuk merokok. Ia sendiri pada awalnya tidak berani mencobanya karena ia tahu merokok dapat membuat seseorang ketagihan.” Bila sudah ketagihan”, begitu kata ayahnya. ” Tidak saja kesehatan yang jadi taruhan tapi juga kantong jadi bolong. Buat apa orang cape-cape kerja kalau akhirnya cuma jadi puntung rokok”, lanjutnya. Dan ia menyadari bahwa selain ia bukan berasal dari keluarga berlebih iapun diajari bahwa merokok adalah mubah bahkan ayahnya yang seorang kiyai berpendapat merokok hukumnya haram. Karena akibat dari merokok lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Namun karena terus dibujuk teman-temannya akhirnya pertahanannyapun runtuh. Ia mencoba mengisap sebatang Gudang Garam yang disodorkan Luki, temannya. Sontak iapun terbatuk-batuk. Teman-temannya mentertawainya. Pada saat itulah tiba-tiba muncul bu Farikhah, guru BP alias Bimbingan Pelajar yang memang bertugas mengawasi gerak-gerik dan prilaku murid-murid. Lukman dan beberapa teman yang tertangkap tangan sedang memegang batang rokok langsung digiring ke ruang BP. Di ruang tersebut mereka dikuliahi panjang lebar. ”Kamu Lukman, masak sebagai ketua OSIS malah memberi contoh tidak baik? Ayah kamu kiyai, kamu tidak malu kalau ia sampai tahu anaknya melakukuan sesuatu yang diharamkannya?”, kata bu Farikhah sambil mengancam akan melaporkan kelakuannya kalau ia ketahuan tetap merokok.
***
Lukman tersenyum sendiri mengingat masa-masanya yang telah berlalu itu. Ia bersyukur mau mendengar kata-kata bu gurunya yang galak itu sehngga kini ia tidak terjebak dengan masalah rokok…
Satu jam kemudian Lukman telah berada di lantai sebuah gedung perkantoran di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia menekan angka 5 tombol lift gedung tersebut. Dengan proposal ditangan, Lukman melihat bayangan dirinya di cermin lift tampak 3 atau 4 tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Baru kali ini ia sendirian mencari dana. Dulu ketika masih duduk di OSIS, ia pernah beberapa kali bersama temannya melakukan hal yang sama. Namun kali ini ia merasa berbeda. Proposal yang dibawanya sekarang menyangkut harkat hidup orang banyak. Sejak ayahnya meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, Lukman sebagai anak tunggal dituntut menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penanggung jawab yayasan yatim piatu yang dikelolanya itu.
Mulanya ia ingin menolak. Rasanya ia tidak akan mampu mengemban tugas yang sedemikan berat tersebut. Namun ibu dan pamannya terus mendesaknya. Mereka berkata umur 19 tahun bukanlah umur yang terlalu belia untuk belajar memikul sebuah tanggung-jawab besar. Mereka bahkan mencontohkan Usamah bin Zaid, seorang remaja 19 tahun yang hidup pada abad ke 7 M di daratan Arabia.. Remaja tersebut pernah ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi panglima besar Islam. Kemudian juga remaja 19 tahun lain, yaitu putra mantan perdana mentri Pakistan, Benazir Butho yang ditunjuk menjadi penerus karir politik ibunya. Disamping itu, toh Lukman tidak sendiri. Ia didampingi paman dan ibunya yang dapat memberikan bimbingan serta nasihat. Maka akhirnya Lukmanpun bersedia menerima tugas luhur tersebut.
Yayasan milik keluarga ini telah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Tujuan utamanya adalah untuk membantu dan menyantuni anak-anak yatim di sekitar kampumg dimana mereka tinggal. Yayasan menyediakan pelatihan ketrampilan seperti menganyam tikar, menganyam keset, membuat sapu ijuk, sapu lidi dan semacamnya. Pelatihan ini selain diberikan kepada anak-anak tersebut juga diberikan kepada warga yang berminat. Dari keuntungan menjual hasil karyanya inilah mereka hidup. Dengan demikian kini mereka tidak perlu lagi meminta-minta dan mengemis. Disamping itu yayasan juga mendirikan koperasi kecil yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi warga sekitar. Itu sebabnya yayasan harus mencari dana seperti yang dilakukan Lukman saat ini.
Tiba-tiba terdengar bunyi ” triing” dan pintu liftpun terbuka. Tanpa terasa Lukman sudah berada di lantai 5. ”Selamat pagi, pak Warno”, sapa Lukman sambil melirik label nama di dada satpam yang berada di lantai tersebut. Ia teringat ayahnya yang selalu mengajarinya untuk menyapa seseorang dengan menyebut namanya. Karena dengan begitu akan membuat orang yang disapanya merasa lebih dihargai. “Usahakan bertanya kepada orang yang mengenalnya atau paling tidak lihat tulisan di dadanya, bila ada.. “, begitu ayah menjelaskan ketika Lukman bertanya bagaimana ia bisa tahu nama seseorang yang tidak dikenalnya. ”Saya mencari pak Joko”, sambungnya “ Sudah ada janji ?”, tanya satpam tersebut ramah. “Sudah pak. Nama saya Lukman dari yayasan Al-Mukaromah Kemang”, jelas Lukman.
Setelah pak satpam yang bernama pak Warno itu menghubungi pak Joko, iapun mengantar Lukman ke sebuah ruangan tamu dan mempersilahkannya duduk dan menanti. Lukman duduk sambil mengamati ruangan berpendingin udara sejuk tersebut. Dihadapannya tergantung 3 foto besar berbingkai kuning emas.. Foto-foto itu adalah foto-foto pengeboran sumur lepas pantai. Dari foto itu terlihat jelas bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan minyak milik swata asing.
Lukman berangan-angan kelak ia dan generasinya harus memiliki perusahaan minyak yang dimiliki sepenuhnya oleh pribumi. Disamping itu mereka juga akan mendirikan rumah yatim piatu yang memiliki fasilitas yang memadai , sekolah, rumah sakit, lembaga penelitian, bank, pusat perbelanjaan dan pom bensin yang kesemuanya dilengkapi masjid atau paling tidak musholla. Dan hebatnya, semuanya itu dibangun atas dana zakat, infak, sodaqoh dan wakaf. Bukankah mayoritas penduduk Indonesia muslim? Bukan sesuatu yang mustahil, pikir Lukman yakin. Dengan demikian negri ini tidak perlu lagi mengemis dan berhutang kepada negri-negri adidaya dan kaya sehingga akhirmya hanya menyusahkan rakyat terutama rakyak kecil dan miskin. Bagaimanapun, rasanya sulit bagi pihak yang berhutang untuk dapat mempertahankan ide dan pendapat sendiri. Yang ada kemungkinan besar malah dipaksa menerima ide dan pendapat yang memberi hutang. Secara tidak langsung ini namanya penjajahan, penjajahan pikiran, bisik Lukman sedih dalam hati.
Tanpa disadarinya, tahu-tahu seorang pria berpakaian rapi lengkap dengan dasinya telah muncul dihadapannya. Dengan nada simpatik pria tersebut menegur sambil mengulurkan tangannya: ” Ngelamun apa pak?”. Lukman tergagap dibuatnya. ” Maaf pak… bapak Pak Joko?” tanyanya untuk menutupi rasa bersalahnya.
Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, akhirnya bapak tersebut menanda-tangani proposal yang dibawa Lukman. Rupanya Lukman cukup beruntung hari itu. Pak Joko adalah pimpinan departemen komunikasi di perusahaan ternama tersebut. ”Sebagai bentuk partisipasi perusahaan, kami memang telah menyediakan dana untuk keperluan masyarakat sekitar. Saya tidak hafal persis berapa jumlahnya. Tapi yang penting saya sudah acc. Nanti nak Lukman silahkan menghubungi bu Lisa di lantai 2”, begitu penjelasan pak Joko sambil berdiri mengakhiri pertemuan. “Sama-sama saja, kebetulan saya mau keluar “, katanya menawarkan lift untuk berbagi
Selama didalam lift, pak Joko menanyakan apa pekerjaan Lukman. Ketika Lukman menerangkan bahwa ia seorang mahasiswa semester 2 sebuah perguruan tinggi, pak Joko tampak tertegun sejenak.. ” Wah .. kalau begitu nak Lukman ini seumuran dengan anak saya. Apa hari ini tidak ada kuliah ?”, tanyanya ramah. ” Ada pak, jam setengah 2”, jawab Lukman tersipu. Pak Joko langsung melirik jamnya. ”Bisa terlambat dong…. ya sudah, saya antar sebentar ke lantai ke 2 ”, katanya sambil menahan pintu lift. Kebetulan lift telah tiba di lantai 2 dan pintupun telah terbuka. Dengan menjulurkan kepalanya pak Jokopun memanggil seseorang ”Pak Adam, tolong sebentar pak…tolong sampaikan proposal ini ke bu Lisa …. .katakan siang nanti hubungi saya..terima-kasih pak.”, begitu perintah pak Joko. ” Nanti bu Lisa yang akan menghubungi nak Lukman. Sebelum datang untuk mengambil uangnya telepon dulu, bikin janji dengannya”, tambahnya, kali ini kepada Lukman.
Lukman benar-benar bersyukur. Ia sadar jarang ada orang mau berbaik hati terhadap seseorang yang membawa proposal untuk meminta dana bantuan sebagaimana dirinya. Saking gembiranya ia mengucapkan beberapa kali terima-kasih kepada bapak yang penuh pengertian tersebut. Dan begitu pintu lift terbuka di lantai dasar , Lukmanpun segera menghambur ke jalan raya mengejar bus yang akan mengantarnya ke kampus. Dibelakangnya tampak pak Joko yang hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
***
Malam harinya, Lukman kembali tenggelam di antara buku-bukunya. Ketika ia sedang asyik-asyiknya menekuni pelajaran tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu kamar. Beberapara detik kemudian sebelum ia sempat membuka pintu tersebut, kepala pak Mahmud, salah satu karyawannya, telah tersembul dari balik pintu. Lukman memang tidak pernah melarang orang-orang dekat disekitarnya untuk banyak berbasa-basi.
” Ada apa pak ?”, tanyanya. ” Pak Asmuri ingin ketemu mas Lukman, kelihatannya penting sekali mas ..”, jawab pak Mahmud. Lukman segera berdiri dan menemui tamunya. Ketika ditemui, Pak Asmuri terlihat sedang panik. Ia mondar-mandir di teras rumah. Pak Asmuri segera bercerita bahwa anak perempuannya yang baru berumur 2 tahun jatuh sakit. ” Tubuhnya menggigil saking tinggi suhu tubuhnya, wajahnya pucat dan matanya kuyu”, katanya menerangkan. Ia telah membawanya ke puskesmas namun kataya anak tersebut harus segera dirawat di rumah sakit. Padahal ia tak punya uang sepeserpun. Ia bermaksud meminjam uang yayasan. Tanpa berpikir panjang Lukman segera mengabulkan permintaan tersebut. Ia dapat mengerti betapa risaunya orang yang anaknya harus masuk rumah sakit. Oleh karenanya ia tidak ingin mempersulit dan menambah beban tetangganya itu.
Lukman sadar sepenuhnya bahwa seluruh tetangganya adalah orang yang tak punya alias miskin. Sampai kapanpun mereka tak akan sanggup membayar hutang yang mereka pinjam dari dana yayasan. Penghasilan mereka itu hanya pas untuk makan dan minum sehari, tidak lebih. Namun yang membuat hati Lukman trenyuh, walaupun mereka hidup kekurangan mereka tetap bersedia menerima anak yatim di rumah mereka. Sebenarnya sudah sejak lama, bahkan sejak kakeknya masih hidup, yayasan ingin membangun kamar-kamar untuk anak-anak tersebut namun apa boleh buat uang yayasan tidak mencukupi.
Hal lain yang membuat Lukman bangga adalah kenyataan bahwa tak satupun penduduk kampungnya yang menganggur apalagi jadi pengemis atau peminta-minta. Ayah dan kakek buyutnya sejak dulu selalu mengingatkan tangan diatas adalah jauh lebih baik dari tangan di bawah. Sebagai kiyai yang dihormati masyarakatnya mereka selalu mengajarkan pentingnya kejujuran, kerja keras serta kepedulian terhadap tetangga dan sesama. Oleh karenanya rasa persaudaraan diantara penduduk kampung tersebut sangat tinggi. Mereka hidup saling tolong menolong.
***
Lima hari kemudian ketika Lukman baru pulang dari kampus, ia kembali dihampiri pak Asmuri. Ia melaporkan bahwa keadaan anaknya bukannya membaik tetapi malah memburuk. Anak tersebut kehilangan kesadaran. Sekarang ia harus masuk ICU. Pak Asmuri berusaha membujuk perawat di rumah sakit agar ia diizinkan membawa pulang anaknya dan membawanya berobat ke tempat lain namun tidak diperbolehkan. Pak Asmuri sadar bahwa ia tidak akan mampu membayar biaya pengobatan. Ia berencana membawa anaknya ke pengobatan alternatif yang tentu biayanya tidak semahal biaya rumah sakit. Sebaliknya pihak rumah sakit juga tidak mau disalahkan bila mereka membiarkan pasien yang dalam keadaan koma dibiarkan meninggalkan rumah sakit. ” Saya mohon mas Lukman mau membantu. Kami betul-betul tidak tahu harus mengadu kemana …. Pihak rumah sakit meminta uang 2 juta rupiah segera. Katanya untuk biaya city scan dan lain-lain..”, pintanya memelas. Lukman tak tahu harus berbuat apa. Ia yakin uang di kas yayasan tidak akan mencukupi.
***
Hari ini adalah hari pertama ujian akhir semester. Menurut jadwal pukul 1 ujian usai. Namun pukul 5 Lukman baru tiba di rumah. Pagi tadi ia ditelpon bu Lisa yang mengatakan bahwa uang sudah bisa diambil. Oleh karenanya usai ujian Lukman langsung mampir ke kantor tersebut. Tetapi pulangnya,.ketika ia baru sampai di ujung gang kampungnya, ia melihat bendera kuning berkibar. Hati Lukman langsung berdebar kencang, warganyakah yang meninggal dunia? Jangan-jangan anak pak Asmuri, pikirnya cemas. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana rasa bersalahnya bila benar memang anak pak Asmuri yang meninggal.
Lukman bergegas menghampiri orang banyak yang berkumpul tidak jauh dari hadapannya Betapa lemas kakinya ketika ia melihat orang-orang tersebut berkumpul di depan pintu rumah pak Asmuri. Tebakannya betul. Dari tetangganya ia mendengar bahwa beberapa hari sebelum anak pak Asmuri sakit, anak tersebut makan makanan yang dibeli ibunya dari pasar. Terdengar desas desus bahwa makanan tersebut adalah sampah daging! Lukman teringat bahwa ia pernah membaca kabar tersebut di surat kabar namun tidak pernah menyangka bahwa tetangganya bakal menjadi salah satu korbannya. Dari surat kabar, Lukman mengetahui bahwa sampah daging adalah sisa-sisa lauk-pauk yang dikais dari tempat sampah hotel. Sisa-sisa daging ayam, daging sapi, cumi ataupun udang tersebut kemudian dicampur menjadi satu, diberi bumbu kemudian digoreng dan dijual! Dengan harga yang relatif murah yaitu antara Rp 5000,- hingga Rp 8000,- per kg, banyak warga kelas bawah yang membelinya, termasuk istri pak Asmuri yang berbuntut dengan kematian anaknya tersebut.
Lukman merinding mendengar berita tersebut. Hatinya miris betapa miskinnya warganya sehingga demi melawan kelaparan mereka tidak mampu berpikir secara rasional. Bagaimana mungkin daging dijual dibawah Rp 10.000,- per kg ? Bahkan dari apa yang didengarnya daging tersebut rupanyapun tidak karuan. Namun begitulah yang terjadi. Tetapi yang lebih disesalinya mengapa ia tidak dapat membantu meminjamkan uang yang dibutuhkan pakAsmuri untuk menyembuhkan anaknya tersebut. Tiba-tiba Lukman menyadari bahwa saat ini ia bahkan masih menggenggam sejumlah uang sumbangan dari perusahaan yang baru saja diambilnya. Terlambat, pikirnya lemas.
Malam harinya, setelah ikut membantu berbagai persiapan pemakaman yang akan dilaksanakan esok hari, Lukman berusaha keras untuk memusatkan perhatian dan pikiran pada pelajarannya . Besok ia masih harus menjalani ujian akhir semesternya. Ia tidak boleh gagal! Banyak yang harus dipelajari. Ia tidak ingin warganya terus didera kemiskinan dan kebodohan. Ia merasa bahwa ia dan generasinya harus mencari jalan keluar. Ia sudah meminta izin dan menerangkan panjang lebar bahwa besok ia tidak dapat mengikuti pemakaman. Ia berusaha untuk tidak peduli terhadap pandangan sinis beberapa tetangganya. Ia sadar dan yakin bahwa mereka tidak mengerti pentingnya mengejar ilmu. Namun ia bertekad bahwa ia akan membuktikannya. Bangun dan buktikan!, bisiknya pelan.
Jakarta, September 2008.
Leave a Reply