Untuk kesekian kalinya, lensa kacamataku kembali pecah. Dan kali ini bukan hanya lensanya yang pecah namum juga bingkainya rusak. Kacamataku terinjak teman yang lewat di atas sajadahku ketika aku sedang shalat berjamaah di sekolah. Temanku itu terburu-buru karena hampir ketinggalan 1 rakaat sehingga tidak memperhatikan langkahnya. Ketika shalat aku memang selalu melepas kacamata dan meletakkannya di atas sajadah. Salahkah aku ? Beberapa kali aku merengek agar diizinkan memakai soft lens saja. Alasanku, memakai kacamata tidak nyaman dan seringkali pecah atau rusak bingkainya disamping juga mengganggu kebebasanku bergerak. Hobbiku memang berolah raga terutama main basket.
Ayah dan ibu berjanji memenuhi keinginan tersebut asalkan aku juga berjanji mau menghapus berbagai kebiasaan burukku diantaranya yaitu tidak teledor, rajin merapikan kamar tidur dan lemari serta bangun tidur tidak lebih dari jam 8 pagi. Biasanya setiap hari libur setelah dibangunkan untuk shalat subuh aku memang selalu tidur lagi dan bangun hingga tengah hari atau bila perutku mulai terasa lapar!.
” Mata itu sangat rapuh dan sensitif ”, begitu ibu menguliahiku. ” Selama kamu masih jorok dan malas menjaga kebersihan, lebih baik jangan memakai softlens. Bahaya…., bisa-bisa malah infeksi”. Kemudian ibu bercerita. Suatu hari ketika ibu masih kuliah, ia pernah melihat seorang remaja yang mencari softlensnya yang jatuh di atas angkot. Dengan tangannya ia meraba-raba lantai angkot dan begitu menemukannya ia langsung memasang benda super tipis tersebut ke matanya! ”Bayangin…. kayak apa tuh kotornya…..iihh… tiap hari berapa puluh kaki yang naik turun angkot dengan sepatu atau sandal yang kemungkinan besar pasti pernah nginjak kotoran di tanah …”, lanjut ibu menakut-nakutiku.
Mata adalah benda lunak seperti agar-agar. Ia rapuh tidak hanya terhadap benda tajam saja namun bahkan debu sekecil atom sekalipun berpotensi merusak bahkan mengoyaknya. Lebih parah lagi, tanpa penglihatan bagaimana kita dapat melihat dan memandang keindahan alam semesta ini. Tanpa mata yang sehat bagaimana kita dapat membaca, menulis dan menonton film yang memang menjadi kesukaanku. Singkat kata, tanpa mata dan tentu saja penglihatannya hidup jadi kurang bermakna. Dan lebih jelasnya lagi bagiku, agar ayah dan ibu mau membelikan sepasang softlens berarti aku harus terlebih dahulu merubah kebiasaan-kebiasaan burukku. Dalam hati aku berdoa semoga motivasi tersebut cukup kuat untuk merubahku.
“Tami.…bangun dong sayang…masa’ udah jam 10 gini masih tidur sih, nak??”, terdengar suara ibu membangunkanku sambil mematikan pendingin ruang tidur. “Uuhh….”, kataku dalam hati, ” ibu mengganggu mimpiku saja nih……”
Namun bukannya bangun aku malah menarik selimut menutupi seluruh tubuh dan bahkan wajahku. Sepuluh menit kemudian terdengar kembali suara ibu memanggil dari ruang makan : “ Tamiii…mie gorengnya udah siap tuh, dingin ntar ngga enak lho… “, kali ini nada ibu terdengar jengkel. Dengan masih menahan kantuk aku berusaha bangun dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.
“ Kapan sih Tam, mau berubah?… koq setiap hari kalo ngga’ dibangunin ngga mau bangun… “, omel ibu.
Kadang-kadang aku berpikir koq ibu ngga’ bosen-bosennya ngebangunin dan ngomelin aku. Sebaliknya aku sendiri juga heran kenapa aku begitu bebal dan malas, rasanya nikmat bisa tiduur teruus sampai tengah hari. Sebenarnya bukan cuma urusan itu yang sering menjadi sumber kejengkelan ibu, namun juga kemalasanku untuk merapikan ruang tidur dan segala isinya. Sering aku kerepotan mencari jilbab juga kaos kaki ketika aku terburu-buru hendak berangkat sekolah. Kalau sudah begini tentu ibu akan kembali mengomeliku, ” Aduuh Tami….gimana kamu bisa nyari barang-barang kamu … lemari udah kayak kapal pecah gini..”.
Kuakui lemariku memang penuh dan berantakan hingga sering kali ketika aku mencari sesuatu selalu kesulitan menemukannya. Ibu sudah berulang kali mengingatkanku bahwa ibu hanya mau membelikanku baju baru bila aku mau menyingkirkan sebagian baju yang tak lagi terpakai untuk diberikan kepada anak-anak yatim yang membutuhkannya. Namun pada waktunya tetap saja akhirnya ibu yang menyeleksi baju-bajuku. Biasanya aku melepas baju-baju tersebut dengan merengut karena terpaksa. Karena meskipun aku jarang memakainya kadang aku masih ingin menyimpan dan sekali-sekali memandangnya. Tetapi ibu berkeras bahwa hal tersebut adalah mubazir, tidak ada gunanya sementara banyak orang yang lebih membutuhkannya.
Hingga suatu saat di bulan Ramadhan, ibu mengajakku ke sebuah yayasan yatim piatu dengan membawa beberapa kotak karton berisi baju-baju bekas layak pakai dan buku-buku yang sudah tak terpakai . Dengan mengendarai mobil, ibu berputar-putar beberapa kali di sekitar kawasan elite Kemang. ”Ibu ngga salah, nyari yatim piatu di daerah ini ?”, tanyaku penasaran. ” Mana mungkin sih bu?”. ” Ibu juga baru sekali ini mau nyumbang ke tempat ini. Kata temen ibu di belakang rumah-rumah mewah ini ada daerah miskin sekali.”, jawab ibu enteng.
Setelah ibu menjalankan mobil dengan perlahan akhirnya terlihat sebuah papan kecil bertuliskan ”Yayasan Yatim Piatu Al-Mukaromah”. Dibawah papan tersebut terlihat sebuah tanda panah yang menunjukkan arah dan jarak tempat tersebut. Ibu segera berbelok dan berjalan mengikuti arah panah. Jalanan makin lama makin kecil dan menyempit. Melalui sebuah jembatan sungai kecil jalan tiba-tiba menikung ke arah kanan. Dihadapan kami terlihat jalanan rusak dan menurun tajam. Kami ragu apakah kendaraan bisa masuk atau tidak. Ibu memperlambat jalannya mobil sambil celingukan mencari papan nama yayasan. Kepada seorang penjaja sol sepatu yang kebetulan melintas di depan kami, ibu bertanya keberadaan yayasan yang kami cari tersebut.
” Mobil ngga bisa masuk bu. Diparkir aja deket sini. Ibu jalan ke arah lapangan di sebelah sana. Dari sana ada jalan nanjak ,ibu tanya lagi aja ke orang di sana.”, terang orang tersebut sambil mengarahkan jari tangannya ke suatu arah. Maka ibupun mencari tempat parkir yang cukup aman di tepi jalan sementara aku menatap sekelilingku. Aku serasa berada di dunia yang berbeda. Di hadapanku terbentang tanah kosong dan agak jauh di ujung sana terlihat perkampungan yang kelihatan agak kumuh. Sementara ketika aku mendongakkan sedikit kepalaku ke atas terlihat atap-atap genteng dan tembok-tembok rumah mewah bertingkat mengelilinginya. ”Sungguh sebuah pemandangan yang sangat kontras”, pikirku.
Kami turun dari mobil sambil membawa bawaan kami. Segera sejumlah anak kecil berlarian menuju arah kami. Melewati sebuah lapangan kami berjalan menuju jalan tanah menanjak, menjauh dari arah perkampungan yang tadi terlihat dari kejauhan. Anak-anak itu rupanya tahu tujuan kami. Merekalah yang menjadi penunjuk jalan. Setelah melewati tanjakan, kami memasuki gang sempit dimana rumah-rumah petak saling berdempetan di kiri kanannya.
Tak lama kemudian kami tiba di sebuah rumah yang lebih besar dibanding rumah-rumah disekitarnya. Bangunan tersebut tampak bersih dan terawat. Inilah yayasan yang dituju. Di tempat itu kami disambut oleh seorang anak muda berumur sekitar 3 atau 4 tahun diatasku, jadi kira-kira sekitar 19-an tahun. Rupanya dialah yang menjadi penanggung jawab yayasan. Penampilan pemuda tersebut bersih dan ramah serta kelihatan seperti pemuda terpelajar.
Tanpa diminta ia segera bercerita bahwa yayasan tersebut adalah yayasan milik keluarga. Ayah dan kakek buyutnya adalah para kyai yang disegani orang kampung disitu. Sejak puluhan tahun mereka telah mengajari penduduk sekitar untuk belajar selain mengaji juga belajar bagaimana caranya agar mereka dapat hidup mandiri. Itu sebabnya kini penduduk kampung tersebut walaupun miskin tetapi tak satupun diantara mereka yang hidup dari meminta-minta apalagi mengemis. Mereka diajari bahwa tangan diatas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Bahwa agama adalah untuk menyempurnakan akhlak dan kebersihan adalah bagian dari keimanan. Oleh karenanya orang tidak cukup hanya bisa mengaji dan mengerjakan shalat saja namun juga harus jujur, pandai menjaga kebersihan, mempererat tali silaturahmi serta disiplin dan gemar kerja keras.
Kakek buyut Lukman, demikian anak muda tersebut memperkenalkan dirinya, mendirikan yayasan Al-Mukaromah untuk membantu dan mendidik anak-anak di sekitar kampung yang telah ditinggal orang-tuanya. Yayasan memang tidak mampu menyediakan tempat berteduh bagi mereka namun yayasan berhasil membuka hati penduduk kampung yang miskin tersebut agar bersedia menampung anak-anak tersebut di gubuk-gubuk sempit mereka. Lalu bersama orang dewasa anak-anak tersebut diberi berbagai bekal ketrampilan seperti menganyam tikar, menganyam keset, membuat sapu ijuk , sapu lidi dan sebagainya. Dengan hasil yang tidak seberapa itu sedikit demi sedikit anak-anak dapat membantu meringankan beban orang tua angkat mereka. Bahkan sekarang anak-anak tersebut mulai bisa pergi ke sekolah. Anak-anak juga dituntut supaya rajin belajar agar sekolah mau memberi mereka beasiswa.
Lukman sendiri saat ini terdaftar sebagai mahasiswa sebuah universitas negri di Jakarta. Karena prestasinya sewaktu di pesantren ia mendapat beasiswa untuk kuliah di fakultas ekonomi yang sejak lama diminatinya. Dengan penuh semangat ia menceritakan impiannya yang menggebu-gebu agar kelak ia bersama generasinya dapat membangun sebuah masyarakat adil dan makmur dengan basis ekonomi syariah, sebuah sistim ekonomi yang berpihak kepada masyarakat kecil. Cita-cita besarnya adalah membangun rumah sakit, sekolah, lembaga penelitian, bank bahkan pusat perbelanjaan dan pom bensin lengkap dengan masjid atau musholanya yang semuanya berdasarkan atas ekonomi syariah. Ia berkeyakinan dengan cara seperti itu negri yang dicintainya ini tidak lagi akan terpuruk.
Karena menurutnya hutanglah yang menjadi penyebab utama kemiskinan negri ini. ” Dengan dana zakat dan wakaf yang dikumpulkan dari seluruh penduduk yang mayoritas Muslim seharusnya kita tidak perlu lagi mengemis dan berhutang kepada negara-negara kaya dan adidaya ”, imbuhnya yakin dan penuh semangat. Sayang zakat dan wakaf yang ada selama ini berjalan sendiri-sendiri. Seharusnya pemerintah ikut terlibat sehingga zakat dan wakaf tidak hanya bersifat konsumtif dan kurang terlihat pengaruhnya.
Namun demikian ia mengaku bahwa ia tidak akan meninggalkan tugas dan tanggung-jawab yang diberikan orang-tuanya untuk terus mengurus yayasan yatim piatu yang saat ini dikelolanya. Ia mengingatkan bahwa yang dibutuhkan anak-anak tersebut bukan hanya makan, minum dan pakaian saja namun lebih lagi pendidikan baik pendidikan moral maupun pendidikan akademik.
Aku hanya manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Tak lama kemudian setelah menyerahkan bawaan kami, kamipun berpamitan. Dalam perjalanan menuju mobil aku baru sempat memperhatikan bahwa perkampungan miskin tersebut ternyata sebenarnya bersih dan asri. Disepanjang gang yang sempit itu terlihat berderet, sejajar dengan selokan yang relatif bersih, tanaman hijau yang mulai menampakkan bunganya yang berwarna-warni. Dalam hati aku merasa malu terhadap diriku sendiri sekaligus kagum terhadap kepedulian dan perhatian masyarakat yang begitu besar terhadap kebersihan lingkungannya.
Aku tiba-tiba teringat betapa aku sering merengek kepada ayah-ibuku agar dibelikan segala macam tetek bengek yang kupikir sekarang sebenarnya tidak terlalu penting. Betapa jauhnya perbedaan antara rumah di perkampungan tadi dengan rumahku. Betapa bedanya prilakuku dengan prilaku Lukman, padahal ia hanya 3 tahun lebih tua dariku. Dalam usianya yang relatif masih muda, ia telah dapat memberikan manfaat yang begitu banyak terhadap masyarakatnya. Bahkan cita-citanyapun terdengar begitu agung dan mulia. Sungguh malu aku dibuatnya. Aku jadi berpikir alangkah kasihannya kedua orangtuaku terutama ibu yang setiap hari harus kesal melihat kemalasan dan kejorokanku.
Aku berniat dalam hati bahwa mulai detik ini aku harus berubah menjadi Tami yang berbeda. Tami yang rajin dan pembersih. Tami yang peduli terhadap lingkungan dan Tami yang dapat menyenangkan hati kedua orang-tuanya walaupun mereka tidak mengabulkan rengekannya untuk dibelikan softlens. Karena bila Tami berubah menjadi pribadi yang baik tanpa diminta ayahibu manapun pasti akan dengan senang hati mengabulkan permintaan anaknya, tentu saja selama permintaan tersebut tidak mengada-ada dan mereka mampu mengabulkannya. Pasti…..
” Eh, Tami… tumben pagi-pagi udah bangun…, mau kemana ?”, selidik ayah sambil menyikat roda motor Harley kesayangannya. ” Mau basket yah..”, jawabku tersipu sambil tersenyum penuh arti ketika tatapanku bertabrakan dengan tatapan ibu. ” Ini baru awal perubahanku”, janjiku dalam hati penuh tekad. Setelah mengencangkan pengikat kacamatanya agar tidak mudah terjatuh Tamipun segera menaikkan tubuhnya ke atas sepeda dan mengayuhnya dengan rasa lebih optimis memandang perjalanan hidupnya yang masih panjang. ” Suatu hari nanti orang akan mengenangku sebagai seorang dokter perempuan yang gemar membantu rakyat miskin dan orang kecil ”, bisikku.
Jakarta, September 2008.
Sylvia Nurhadi.
Leave a Reply