Lega rasanya tiba di rumah kembali, kembali ke kehidupan normal. Keadaan rumah masih tidak berubah. Ibu dengan kesibukan kantornya, ayah dengan bisnisnya dan tante Rani dengan piano dan ritualnya. Kangen rasanya aku dengan teman-teman kuliahku terutama Lukman. Aku ingin segera berbagi cerita dengannya. Pasti ia terkejut kegirangan mengetahui ke-Islamanku. Aku tahu sebenarnya sudah sejak lama ia ingin agar aku memikirkan baik-baik ajaranku yang dianggapnya tidak cocok untuk orang-orang yang dapat berpikir normal sepertiku. Namun ternyata ia baru saja berangkat ke kampungnya di Lahat, Sumatra Selatan dalam rangka menyambut Ramadhan yang tinggal sepuluh hari itu. Dua tahun belakangan ini ia memang terbiasa melakukan hal tersebut. Kebetulan kampus memang libur selama 10 hari.
” Untuk menghindari kemacetan luar biasa menjelang Lebaran ”, begitu kilahnya ketika kutanyakan mengapa ia tidak pulang di hari Lebaran saja sebagaimana umumnya dilakukan orang-orang. ” Sebenarnya hanya orang Indonesia saja lho yang mewajibkan diri pulang kampung di hari Lebaran. Bagus-bagus aja sih untuk menjaga silaturahmi. Tapi aku tak tahan macetnya itu lho…” , jelasnya lagi.
Jadi selama 10 hari itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah, tidak kembali kekosan dulu. Kesempatan itu aku pergunakan untuk bolak balik ke toko buku mencari buku-buku untuk memperdalam ilmuku tentang Islam. Hingga suatu hari, sepulangku dari sebuah toko buku, aku mampir ke masjid karena aku dengar azan telah dikumandangkan. Selama aku menunggu shalat, ada seseorang yang menghampiriku dan memperkenalkan namanya sebagai Nasir. Ia mengajakku mengobrol kesana kemari. Setelah mengetahui bahwa aku adalah seorang mualaf segera selesai shalat ia mengajakku ke suatu tempat dimana aku bisa berkonsultasi mengenai Islam. Tentu saja aku senang dibuatnya.
Namun setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya aku merasa ada yang tidak beres dengannya. Lelaki setengah baya yang selalu berpeci ini sering mengajakku mangkir shalat. ” Perintah shalat baru datang setelah kita hijrah ”, begitu alasannya. ” Tugas kita yang utama saat ini adalah membentuk negara Islam dengan sistim hukum Islam pula. Contohnya adalah negara Madinah yang dibentuk Rasulullah. Kita harus hijrah karena tempat ini sudah tidak memenuhi persyaratan Islam. Kemungkaran seperti korupsi dan perzinahan meraja- lela. Ini adalah bagian dari jihad. Itu sebabnya kita harus mencari dana yang tidak sedikit, ” jelasnya lagi.
Untuk yang kesekian kalinya dalam seminggu, aku kembali menyerahkan sejumlah uang kepadanya. ” Kau tak usah khawatir.. uang yang kau berikan kepada kami akan dicatat di akhirat sebagai amal ibadah yang tak terhitung pahalanya ”, kata salah seorang seorang teman Nasir yang mengaku sebagai bendahara Negara Islam Indonesia yang mereka bentuk beberapa tahun yang lalu itu.
Mulanya walau dengan berat hati aku masih bisa menerima alasan-alasan mereka. Tetapi ketika mereka mulai memaksaku untuk mengambil paksa harta kekayaan orang-tuaku, aku mulai ragu.” Harta kekayaan yang kita miliki hanyalah titipan Allah. Jadi kalau suatu saat Ia menghendaki, harus kita ambil walaupun secara paksa. Ini semua demi terbentuknya negara Islam yang dikehendaki-Nya”. Yang lebih lagi membuatku pusing adalah kenyataan bahwa aku tidak hanya dilarang mengerjakan shalat namuh juga puasa serta berhubungan dengan orang-orang yang kukenal. Padahal bulan Ramadhan telah tiba. Aku sangat mengharapkan bulan ini akan menjadi bulan pertamaku menjalankan salah satu kewajibanku sebagai seorang Muslim.
Maka dengan nekat, aku menghubungi Lukman secara diam-diam. Beruntung ia telah kembali dari kampungnya. Aku ceritakan semua kepadanya. Ia tampak sangat terkejut. ” Itu adalah aliran sesat. Bagus kau segera menghubungiku. Kau harus segera menghindar dari mereka. Namun berhati-hatilah…mereka sangat berbahaya. Tak mungkin kau dibiarkan begitu saja membocorkan rencana keji mereka ”, katanya khawatir.
Malam itu aku tak dapat memejamkan mata sedikitpun. Hatiku gelisah. Aku merasa menyesal mengapa aku begitu mudah percaya kepada orang yang sama sekali tak kukenal. Aku merasa telah mengecewakan Karim dan Syeikh Husein yang berkali-kali mengingatkanku untuk segera mencari orang yang menguasai Islam dengan baik. Aku juga telah mengecewakan orang-orang yang telah menjadi saksi ketika aku berikrar di Al-Aqsho tempo hari. Lebih dari itu aku bahkan telah menyia-nyiakan hidayah-Nya kepadaku.
Aku tersungkur, menangis tersedu-sedan diatas sajadah yang terbentang di hadapanku. Aku bertobat, memohon ampunan dan petunjuk untuk keluar dari masalah ini. Aku tak tahu pukul berapa tepatnya aku jatuh tertidur di atas sajadah tersebut ketika tahu-tahu aku terbangun mendengar azan subuh dikumandangkan. Aku segera masuk kamar mandi, mencuci muka, berwudhu dan segera shalat.
Ketika itulah tiba-tiba aku mendengar ada yang menggedor pintu kamarku. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu ayahku telah berdiri dihadapanku. ” Apa-apaan ini ”, teriaknya menggelegar, memecahkan pagi yang senyap itu. Walaupun terkejut, aku memaksakan diri untuk menyelesaikan shalatku yang tinggal satu rakaat itu.
”Hei…tulikah kau?”. serunya kali ini sambil mendorong tubuhku dengan kasar. Aku berusaha untuk bertahan. Namun ketika ia mulai menendang kakiku maka akupun terjatuh dan menyerah.
” Sejak kapan kamu berani meninggalkan ajaran leluhurmu hah ? ”, katanya geram. ” Ini pasti gara-gara kepergianmu ke negri terkutuk itu”, serunya lagi. Ibu dan tante Rani segera datang berlarian ke kamarku. Tante Rani langsung memelukku sambil berkata ” Apa yang terjadi ?”tanyanya dengan nada khawatir. ” Lihat apa yang dilakukannya! ” jawab ayah sambil menunjuk sajadahku. ” Anak tak tahu diri… susah-payah dikasih makan, dididik, di biayai, di sekolahkan…tahu-tahu berkhianat… Ini gara-gara kamu tidak becus mendidik anak ini ”, semprot ayah penuh emosi sambil menunjuk muka ibu..
” Jangan salahkan ibu ”, belaku. ” Aku memilih memeluk Islam bukan untuk mengkhianati leluhur kita apalagi mengkhianati ayah-ibu. Aku memilih agama ini karena kebenaran. Cobalah mengerti ayah. Islam adalah agama yang datang dari Sang Pencipta untuk kita semua.. ”, aku berkata memelas. ”Keterlaluan kamu … anak bau kencur berani-beraninya mengkuliahi orang-tua …”, serunya sambil mengangkat tangan hendak menamparku. Ibu segera menahan tangan ayah yang tinggal beberapa senti lagi mengenai wajahku. ” Jangan pernah berani menyentuh anak ini. Tampar saja aku yang sudah kebal terhadap tanganmu yang menjijikkan itu”, tantang ibu.
Aku benar-benar terkejut melihat keberanian ibu melawan ayah. ” Tidak…tidak…ibu tidak bersalah”, kataku mencoba berdiri.” Awas kau Mada … Kuperingatkan, kalau kau tetap mencoba mengabaikan ajaran lelulur kita …. jangan pernah kau berharap bisa menginjakkan kembali kakimu ke rumah ini. Lupakah kau siapa ayahmu ini?Apa yang harus kukatakan pada keluarga besar kita…Harus kuletakkan dimana muka ini, hah?”, teriaknya memekakkan telingaku.
” Dan ingat, kalau kau sampai minggat…Jangan membawa apapun yang pernah kuberikan padaku”, ancamnya sambil meninggalkan kamar dan membanting pintu kamar.
Aku terhenyak. Belum sempat aku bernafas normal tiba-tiba dengan muka merah padam aku lihat ibupun segera pergi meninggalkanku. Tinggal tante Rani yang menatapku tajam seolah menanti penjelasan. Namun aku diam saja. Aku terlalu shock melihat suasana yang tiba-tiba terjadi tersebut. Tanpa berkata sepatah katapun, tak lama kemudian iapun meninggalkanku sendirian dikamar.
***
Pukul 8 pagi itu aku telah berada di kamar Lukman. Dengan hanya membawa sepasang pakaian oleh-oleh dari tante Rani ketika ia pulang dari luar negri, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah Aku melakukan semua ini dengan pertimbangan yang benar-benar matang. Aku sadar bahwa cepat atau lambat hal ini pasti akan terjadi. Aku tahu persis bahwa orang tua manapun pasti akan kecewa mengetahui anaknya tidak lagi mau mengikuti kemauan dan kehendak mereka. Yang aku tidak siap adalah waktunya. Aku tidak mengira waktunya akan secepat ini.
Mulai detik ini hidupku berubah. Aku tidak lagi memiliki siapa-siapa, tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang sepeserpun dan yang paling menyedihkan aku terpaksa harus meninggalkan bangku kuliahku. Mana mungkin aku mampu membayar biayanya, bisikku sedih.
” Aku turut bersedih atas apa yang menimpamu, Mada, Namun yakinlah, ini semua sudah diatur-Nya. Ini demi kebaikanmu. Bukankah engkau sudah melakukan shalat istikharah malam sebelum kejadian? Jadi inilah jawabannya. Dengan begini kau terhindar dari aliran sesat yang baru saja mengintaimu ”, hibur Lukman.
” Dan lagi aku pikir ini belum seberapa Mada. Aliran sesat yang kau hadapai tergolong kurang canggih kalau tidak mau dikatakan agak kasar. Orang yang memiliki akal pasti akan segera berpikir bahwa sebuah agama tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang tidak terpuji, seperti mengambil harta tanpa izin siempunya dll. Betul kan ? “, tanya Lukman.
Aku hanya mengangguk pelan.
“ Itu masih lumayan. Ada lagi aliran yang sangat mengedepankan akal dan pikiran. Aliran ini berpangkal dari pemikiran barat yang cenderung selalu ingin kritis. Orang-orang JIL, contohnya. Sepintas mungkin kedengarannya memang bagus. Tetapi tampaknya mereka lupa, agama bukan sains yang harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti indrawi. Agama adalah sesuatu yang memiliki keterikatan dengan sesuatu yang ghaib. Ini adalah keyakinan”, jelas Lukman.
” Betul pada tahap tertentu kita harus menggunakan akal. Tidak hanya mengekor pada tradisi dan kebiasaan. Namun setelah itu ada banyak hal yang tidak mungkin kita mampu memikirkannya. Allah swt hanya memberi kemampuan berpikir seorang manusia sebatas indra kita. Itu sebabnya Ia mengutus para nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia pilihan yang wajib kita jadikan contoh dan keteladanan“, lanjut Lukman lagi setelah berhenti beberapa saat, dan mengambil nafas dalam-dalam.
” Namun apa yang terjadi .. dengan berbagai dalih banyak orang Islam sekarang ini yang tidak mau mencontoh Rasulullah Muhammad saw. Kau pernah dengar nama Rasyad Khailfah?”, tanya Lukman.
Aku menggeleng pelan namun kemudian aku teringat penjelasan Karim tempo hari tentang mukjizat angka 19. Tanpa menunggu jawabanku Lukman meneruskan penjelasannya. ” Ia adalah seorang cendekiawan Mesir yang banyak terpengaruh pemikiran barat. Dengan izin-Nya, ia berhasil menemukan apa yang kemudian disebutnya Al-Quran Interlocking System. Anehnya .. temuan tersebut bukannya makin mempertebal imannya. Yang ada dia malah mengaku bahwa dirinya adalah Rasul “.
Sampai disini aku benar-benar terkejut. ” Benarkah demikian ? “, tanyaku. “ Aku pernah diberi tahu sedikit tentang apa yang ditemukannya. Dan terus terang itu adalah salah satu penyebab mengapa aku kagum pada Al-Quran”.
” Begitulah .. ia gegabah mentakwilkan ayat-ayat Al-Quran. Mungkin ketika itu keimanannya belum terlalu kuat tertanam dalam dadanya. Itulah hasil pengaruh teman-teman dan didikan baratnya yang terlalu mengagungkan pemikiran manusia. Syaitan yang membisiki hatinya hingga ia menjadi congkak dan merasa dirinya adalah utusan Tuhan. Anehnya, pengikut ajaran ini banyak. Yaitu orang-orang yang merasa diri pintar dan cenderung tidak ingin menjadikan nabi Muhammad saw sebagai panutan. Mereka itulah yang disebut sebagai Ingkar Sunnah, orang yang tidak mempercayai sunnah atau hadist“, lanjutnya getir..
Akupun termenung dibuatnya. Aku merasa bersyukur Allah swt telah berkenan menghindarkanku dari aliran pemikiran tersebut. Setelah hening sesaat Lukman berkata lagi, seperti berkata kepada sediri : ” Belum lagi ajaran Syiah dan Ahmadiyah, yang sudah jelas-jelas ditetapkan sesat oleh MUI tapi tetap saja diminati. Syiah dengan bermacam tingkat kesesatannya seperti menuhankan Ali bin Abi Thalib, para imam yang maksum, penistaan istri-isti nabi dan sahabat, nikah mutah dll. Sementara Ahmadiyah menganggap pemimpin mereka, Ahmah Gulam sebagai nabi”.
Aku hanya bisa terheran-heran mendengar penjelasan Lukman tak tahu harus berkata apa.
” Aah, sudahlah Mada… yang penting kau sudah selamat, tak usah terlalu dipikirkan”, sambung Lukman menyadari temannya yang kelihatan bingung, tidak mengerti apa yang dibicarakannya.
” Kebetulan aku punya kenalan uztad yang menjadi pembimbing sebuah pesantren di Cisarua, Bogor. Aku yakin ia akan mampu mencarikanmu jalan keluar”,sambungnya memulai percakapan baru.
Dengan mengendarai angkot, pagi itu juga kami berdua pergi meninggalkan kosan Lukman menuju Cisarua, Bogor. Di sepanjang perjalanan kami hanya diam, tak berkata sepatah katapun. Ingatanku masih berada pada kejadian pagi tadi. Aku teringat ekpresi wajah ayah. Ia kelihatan begitu terluka. Heran juga aku, seingatku ayah hampir tidak pernah melakukan ritual leluhurnya, tetapi ia marah besar ketika aku meninggalkan ajarannya. Aku hanya bisa berharap semoga penyakit jantungnya tidak kumat.
Akan halnya ibu. Terus-terang aku cukup kaget melihat reaksi ibu dalam melindungiku. Yaah…pikirku, bagaimanapun aku adalah anaknya. Namun sebegitu bencinyakah ibu pada ayah? Tidakkah ia dapat memaafkannya? Kasihan ibu…pikirku sedih. Bagaimana pula dengan tante Rani ? Pasti ia kecewa sekali. Pasti ia merasa telah gagal total dalam mendidik keponakan satu-satunya ini. ” Maafkan aku, tante ”, bisikku.
Setelah berganti angkot dan bus beberapa kali, tanpa terasa kami memasuki daerah Puncak. Udara sejuk pegunungan yang menerpa wajahku memberi semangat baru padaku.
” Kita makan dulu disini ”, ajak Lukman begitu turun dari angkot sambil menuju ke sebuah warteg tak jauh dari sana.” Jangan menolak, aku yang akan mentraktirmu….. aku tahu kau tak membawa cukup uang. Oleh karenanya kau harus menghemat uang yang tersisa di dompetmu itu ”, kata Lukman ketika aku hendak merogoh dompet di saku celanaku..
” Kau benar, Lukman. Maaf jadi merepotkanmu..”, kataku pasrah. ” Sudahlah… jangan begitu.. kita sudah lama bersahabat. Dulu ketika kita masih berlainan kepercayaanpun kita sudah saling membantu. Apalagi sekarang, kita adalah bersaudara ”, tepuknya pelan dipundakku.
Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar bersyukur mempunyai sahabat seperti Lukman. Ia memang agak pemarah namun hatinya baik. Tanpa diminta ia sering membantu teman-teman yang dalam kesulitan. Padahal aku tahu uang yang dikirim orang tuanya di kampung hanya pas-pasan. Namun tak pernah kulihat ia sedikitpun mengeluh.
Kami berjalan menyusuri sebuah jalan kecil di sebelah stasiun angkot. Lukman menawarkan untuk menumpang ojek karena perjalanan masih agak jauh. Namun aku menolaknya, aku tidak mau terlalu membebaninya. Setengah jam kemudian kami tiba di sebuah persawahan yang luas. Di hadapanku terlihat gunung Salak berdiri dengan gagahnya. Sebuah pemandangan yang menakjubkan. Tiba-tiba aku merasa gembira. Aku seolah-olah sedang pulang kampung, pulang kedalam pelukan alam milik Allah yang luas nan tentram.
” Pesantren itu berada di balik sana. Aku yakin kau akan senang ditempat itu. Walaupun tentu saja kamarmu tak akan sebagus kamar di rumahmu…”, kata Lukman menggodaku. Aku hanya tersenyum saja, tidak ingin menanggapinya. ”Para pembimbingnyapun baik dan sabar. Ilmunya amat luas. Banyak orang-tua di kota-kota besar yang mengirim anak-anaknya ke pesantren ini”, jelasnya.
” Dan yang terpenting….ini kau harus tahu Mada walaupun kau orang baru…jangan sembarangan memilih pesantren. Sekarang ini demi mencari perhatian dan mengharap bantuan keuangan pihak Barat, banyak intelektual Muslim yang menggadaikan pemikiran Islam. Dengan bantuan keuangan yang tentu saja jumlahnya sangat besar mereka mendirikan atau bekerja sama dengan pesantren untuk mencetak anak didik yang ke-barat-baratan. Mereka tidak mengajarkan agama Islam yang murni melainkan disesuaikan dengan pemikiran sang penyuntik dana. Contohnya adalah pemahaman Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme seperti orang-orang JIL dan si Rasul palsu Rasyad Khalifa tadi ”, jelas Lukman.
” Orang-orang yang notabene adalah para intelektual Muslim ini sebenarnya tidak PD pada ajarannya sendiri. Ajaran Islam diartikan hanya sebatas ritual saja. Baju Islam hanya dikenakan ketika masuk masjid untuk melaksanakan shalat. Begitu keluar masing-masing segera mengenakan bajunya sendir-sendiri. Baju politik, baju budaya, baju demokrasi dan lain-lain adalah contohnya. Jamaah yang kompak dibawah pimpinan satu imam hanya berlaku didalam masjid. Diluar itu masing-masing berjalan semaunya sendiri. Hukum Islam diabaikan dan sebagai gantinya hukum Barat dengan teori Kapitalis dan Materialistislah yang didirikan dan dipuja”, tambahnya. Aku hanya manggut-manggut mencoba memahami penjelasannya. Aku menegaskan pada diriku sendiri bahwa aku tak mau lagi salah dan tersesat untuk kedua kalinya.
***
Sudah seminggu aku mondok di pesantren Al-Huda. Aku bersyukur akhirnya diberi kesempatan oleh-Nya untuk merasakan Ramadhan dengan suasana yang benar-benar Islami. Bersama puluhan santri disitu aku tahajud, sahur, mengaji, berbuka dn shalat tarawih. Di tengah pemandangan alamnya yang begitu memukau membuatku benar-benar jatuh hati pada tempat ini. Lukman benar. Aku betah dan yang terpenting di tempat ini aku dapat menimba ilmu yang luas. Uztad dan para pembimbing di pesantren ini membiasakan santrinya untuk aktif bertanya. Semua penjelasan selalu diberikan lengkap dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadisnya bila ada. Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal huruf Arab. Mulanya aku agak malu karena hampir semua santri sudah lancar membaca Al-Quran. Namun berkat dorongan mereka pula akhirnya hilang rasa malu itu.
Satu hal yang mengganjal di hati. Rasanya aku tak nyaman makan, minum dan tidur tanpa sedikitpun mengeluarkan uang untuk semua keperluan itu. Bisa dibilang aku adalah santri tertua karena sebagian besar santri adalah lulusan tsanawiyah atau SMP yang berarti sekitar umur 15 tahunan sedangkan aku tahun ini sudah memasuki usia 20 tahun.. Aku ingin bekerja mencari uang. Kuutarakan keinginanku itu kepada uztad Abdullah, pembimbingku.
” Kalau kau benar-benar ingin bekerja sambil terus meneruskan belajar di pesantren ini, aku rasa hanya lowongan sopir angkot yang memungkinkan”, katanya menanggapi keinginanku. ” Kau bisa tetap mondok di pesantren ini, pagi setelah subuh kau berangkat mengambil angkot di terminal dan bekerja hingga pukul 3 untuk kemudian meneruskan pelajaranmu bersama santri kelas sore”, lanjutnya.
Aku segera menerima baik usulannya tersebut. Maka beberapa hari kemudian setelah mengurus SIM dan keperluan-keperluan lainnya akupun sudah dapat memulai babak baru kehidupanku sebagai santri merangkap sopir angkot jurusan Cisarua – Bogor. Walaupun upahku tak seberapa apalagi dibanding pemberian uang ayahku dulu, aku dapat menikmatinya dengan senang. Bahkan demi menunaikan zakat, setiap harinya aku selalu berusaha menyisihkan sebagian rezekiku itu. Aku benar-benar bersyukur diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan tersendiri ketika melihat ekspresi orang yang menerima zakat yang tidak seberapa itu.
Sementara itu, selama 6 bulan aku nyantri, aku telah beberapa kali menulis surat kepada kedua orangtuaku dan tante Rani. Aku sengaja tidak menuliskan alamatku, khawatir mereka menyusulku dan memaksaku pulang ke rumah. Dalam suratku yang pertama, aku hanya memohon maaf kepada mereka karena telah meninggalkan rumah dan membuat mereka kecewa atas prilaku. Aku juga mengabarkan bahwa aku dalam keadaan baik dan sehat.
Sedangkan surat keduaku berbunyi sebagai berikut :
Yang kucintai ayah, ibu dan tante Rani,
Aku selalu berdoa semoga ayah, ibu dan tante dalam keadaan sehat dan baik. Saat ini aku mondok di sebuah pesantren di bilangan Jawa Barat. Sementara aku tidak bisa mengatakan alamatnya, semoga kalian mau memakluminya.
Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan terima-kasihku terhadap jasa ayah dan ibu, untuk sementara aku sudah bisa mencari sedikit uang untuk sekedar hidup. Jadi aku harap ayah, ibu dan tante tidak perlu terlalu mengkhawatirkan keadaan keuanganku.
Ayah, ibu dan tante Rani yang amat kusayangi,
Banyak yang kudapat dari pesantren…
Islam mengajarkan bahwa yang menciptakan kita adalah zat yang sama dengan yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya…Dialah yang memberi kita hidup. Dialah yang memberi kita rezeki, yang memberi kita kesehatan, yang menjaga kita, yang menimbulnya rasa kasih sayang diantara kita dan Dia juga yang mematikan kita nanti.
Ayah dan ibu yang kuhormati,
Islam juga mengajarkan bahwa ridho-Nya tergantung ridho kedua orang-tua. Oleh karenanya, aku memohon ya ayah dan ibu…. ridhoilah aku memeluk agama Islam … Aku mohon dengan sangat….
Salam hormatku,
Mada.
Surat keduaku itu kutulis di pagi buta usai mengerjakan shalat tahajud. Kutulis dengan setulus hatiku. Aku benar-benar sedih mendengar penjelasan uztad ketika ia menjelaskan bahwa Islam mengajarkan seseorang untuk mencari ridho kedua orang-tuanya. Yah…semoga Allah, Tuhanku berkenan membuka hati mereka berdua. ” Ya Allah, kabulkanlah permintaan hambamu yang hina ini ”.
***
Leave a Reply