Hari ini hari Jum’at, hari libur bagi rata-rata negara Timur Tengah. Namun demikian suasana kampus tidak banyak berbeda dari suasana hari-hari biasa. Bedanya bila pada hari biasa adalah sekitar ruang belajar-mengajar yang ramai maka pada hari Jumat adalah areal sekitar masjid kampus yang ramai. Biasanya para mahasiswa yang tinggal di asrama dan apartemen sekitar kampuslah yang memadati areal ini. Banyak kegiatan yang mereka lakukan sebelum shalat Jumat dimulai.
Untuk menghindari kejenuhan kuliah para mahasiswa biasanya memanfaatkan hari tersebut dengan berbagai kegiatan olahraga. Kegaduhan sudah terlihat begitu shalat subuh selesai. Kegiatan olah-raga tertutup dipusatkan di Ruang Serba Guna yang letaknya tidak terlalu jauh dari lokasi Masjid. Banyak fasilitas yang terdapat di ruang ini. Ada futsal, pingpong, bulu-tangkis, tinju, karate dan lain-lain. Sedangkan bagi yang menyukai kegiatan olah-raga di ruang terbuka, pihak kampus menyiapkan lapangan sepak bola, lapangan tenis juga jogging track dengan kwalitas yang sangat baik.
Sementara banyak pula mahasiswa yang memilih mengikuti acara kajian khusus dengan materinya yang beragam. Acara ini boleh diikuti umum dan biasanya diselenggarakan di kelas-kelas kecil di ruang bawah tanah Masjid. Untuk membahas masalah-masalah sosial dan politik nasional maupun internasional yang sedang hangat terjadi biasanya mahasiswa mendatangkan tamu khusus dari luar kampus.
Selesai melakukan berbagai kegiatan di atas, para mahasiswa termasuk aku biasanya melakukan kegiatan pribadi sehari-hari seperti mencuci pakaian, memasak dan berbelanja sebelum azan shalat Jumat dikumandangkan,.
***
Tanpa terasa 6 bulan telah berlalu ketika suatu hari aku terkejut menerima sepucuk surat dari Jakarta. Agak terkejut aku dibuatnya karena setahuku aku tak memberitahukan alamatku selama aku berada di Madinah kepada siapapun. Namun aku senang karena surat itu ternyata dari tante Rani. Dengan nekat ia hanya menuliskan nama panjangku beserta kewarnegaraanku dan alamat universitas dimana aku kuliah di atas amplopnya. Alhamdulillah bisa sampai, pikirku.
Dengan terburu-buru aku segera membuka surat tersebut. Hatiku berdebar kencang, menduga-duga apa yang menyebabkan tante Rani yang selama ini tidak pernah membalas surat-surat yang kukirimkan tiba-tiba mengirim surat.
Jakarta, Desember 2007.
Mada anakku,
Pasti kau terkejut menerima surat ini. Tante nekat mengirim surat ini ke alamat kampus yang tertera di suratmu yang terakhir kau kirimkan beberepa waktu lalu. Maaf baru kali ini tante membalasnya. Bagaimana kabarmu ? Tante harap kau baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Allah swt, amin.
Mada, ada dua hal penting yang ingin tante sampaikan padamu. Yang satu kabar baik sementara yang lain kabar buruk
Kabar baiknya, berkat doamu yang tulus akhirnya tante menyadari kesalahan tante. Dari semula tante tahu, kau adalah anak baik dan jujur. Pikiranmu bersih dan jauh dari prasangka buruk. Tante yakin itulah sebabnya Allah swt memilihmu untuk mendapatkan hidayah-Nya.
Ketahuilah Mada, beberapa hari yang lalu, mengikuti jejakmu tante telah bersyahadat di depan imam masjid Istiqlal untuk menyatakan keislaman tante.
( Masya Allah, pujiku dengan dada sesak menahan emosi. Aku langsung bersujud syukur kepada-Nya , Terima-kasih Ya Allah Ya Tuhanku… telah kau kabulkan salah satu doaku, bisikku lirih).
Keputusan tersebut tante ambil setelah berbulan-bulan lamanya mencari keterangan dari berbagai sumber yang pantas dipercaya. Surat-suratmu adalah yang merupakan pemicu semua itu, terima-kasih anakku. Alhamdulillah.
Sedangkan kabar buruk yang ingin tante sampaikan adalah mengenai kedua orangtuamu. Sejak surat yang kau kirim mengenai keberangkatanmu ke Tepi Barat beberapa bulan yang lalu, ayahmu terus uring-uringan. Ia menyalahkan ibumu yang dianggapnya tidak dapat mendidikmu dengan baik. Ia makin sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan dalam keadaan setengah sadar sering memukuli ibumu. Aku benar-benar kasihan pada ibumu. Sebenarnya aku ingin sekali menasehatinya agar minta cerai saja. Bagaimana menurut pendapatmu, salahkah tante?
Mada anakku,
Masih ingatkah kau dulu sering bertanya padaku mengapa ibumu tidak terlihat menyayangimu? Bahkan kau merasa bahwa kau hanyalah seorang anak angkat.. Sekarang kau sudah dewasa. Jadi tante rasa tidak ada lagi yang perlu disembunyikan darimu.
Ketahuilah olehmu nak, ibumu melahirkanmu pada usia yang masih belia. Ia menikah dengan ayahmu karena terlanjur hamil dirimu. Ketika itu ayahmu yang usianya jauh lebih tua dari ibumu dalam keadaan mabuk menggauli ibumu. Sebenarnya ibumu mencintai ayahmu yang waktu itu memang merupakan sepasang kekasih namun ia tidak pernah menyangka dan sama sekali berharap bahwa ayahmu melakukan hal buruk yang sungguh memalukan tersebut. Ia selalu bermimpi bahwa perkawinan adalah sesuatu yang suci dan sakral.
Itulah sebabnya ibumu mulai kehilangan rasa cinta, simpatik sekaligus kasih sayang pada ayahmu justru pada awal pernikahan mereka. Sungguh ironis….
Maafkan tante Mada, bila hal ini menyakitkanmu namun itulah kenyataannya. Namun tante yakin di dalam hati ibumu yang paling dalam pasti tersimpan kasih sayang yang teramat besar padamu, anak kandungnya.
Wasswrwb,
Tante Rani.
Pelan kulipat surat tersebut. Aku menarik nafas panjang. Terngiang suara ibu “ Jangan pernah sakiti anakku” teriaknya sambil menangkis tangan ayah dari menampar pipiku. Itulah satu-satunya peristiwa yang membuatku merasa dicintainya. Terbayang wajah ibu yang hampir tak pernah ceria. Jadi inilah yang menyebabkan wajah cantik ibu tampak tertelan oleh sesuatu yang menyelimutinya, sungguh ironis, pikirku sedih. Aku yakin inilah salah satu alasan mengapa Islam melarang orang berpacaran dan berkhalwat atau berduaan dengan lawan jenis. Godaan syaitan membangkitkan hawa nafsu birahi manusia terlalu kuat untuk dilawan.
Namun yang dapat kulakukan? Ayah adalah orang yang keras kepala dan tak pernah mau mendengar pendapat orang lain apalagi aku anaknya, terlebih setelah dianggapnya sebagai anak durhaka. Tetapi kasihan ibu, aku harus membela dan menghiburnya. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk membuktikan bahwa pengorbanannya melahirkanku bukanlah hal yang sia-sia. Ya, aku bertekad, aku harus melindunginya.
Yang kusayangi Tante Rani,
Alhamdulillah, puji syukur kupanjatkan hanya kepada-Mu Ya Rabb….
Senang sekali aku mendengar bahwasanya Allah swt telah memberi hidayah dan petunjuk-Nya kepada tante. Aku akan terus berdoa semoga Dia terus melindungi dan membimbing tante ke jalan yang dikehendaki-Nya. Teruslah mencari dan belajar …..jangan pernah merasa cukup…
Untuk ayah dan ibu, aku telah mengirim surat kepada ibu. Semoga Allah memberi jalan kepadanya. Terima-kasih banyak tante sudah mau menceritakan segalanya kepadaku. Titip ibu tante ya …
Wasswrwb.
Mada.
Kepada ibu aku menulis demikian :
Ibu yang kucintai,
Berkat doamu , aku dalam keadaan baik-baik saja.
Semoga ibu tidak marah karena tante Rani telah menceritakan apa yang terjadi dengan ibu. Sebelumnya aku mohon semoga ibu mau memaafkanku karena aku telah membuat hidup ibu menjadi kacau dan menderita.
Ibu, banyak yang kupelajari dari ajaran baruku. Tahukah kau ibu? Ternyata Islam sangat menjunjung tinggi dan menghormati kaum perempuan terutama kaum ibunya. Seorang ibu patut mendapatkan kehormatan tiga kali lebih tinggi dari ayah karena pertama, seorang ibu dengan susah payah telah merelakan perutnya dititipi janin yang makin lama makin besar dan berat, kedua, dengan menahan rasa sakit yang sangat seorang ibu telah melahirkan anaknya dan ketiga, dengan penuh kesabaran dan kasih sayang ia telah menyusui serta mendidik anaknya.
Oleh karenanya seorang ibu tidak patut mendapatkan perlakuan kasar baik dari anak maupun suaminya apalagi orang lain. Dalam Islam, seorang suami wajib menyayangi, melindungi serta mengayomi istri dan anak-anaknya. Mereka berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana kaum lelaki. Seorang suami harus bersyukur kepada istrinya karena pertama, istrinya telah menghalanginya dari perbuatan zina, kedua, istrinya telah mengandung, melahirkan dan memelihara anak yang dikandung dari benihnya dan ketiga, istrinya telah menunggui, menjaga harta dan kehormatannya serta menyiapkan makanan baginya.
Sebaliknya, lelaki sebagai seorang suami dan ayah yang telah bersusah payah membanting tulang bekerja mencarikan nafkah bagi keluarganya, ia patut mendapatkan perhatian, kasih sayang dan rasa terima-kasih dari istri dan anaknya.
Ibu yang tersayang,
Maafkan bila aku belum sempat membalas segala jerih payah dan pengorbanan ibu selama ini tetapi aku janji suatu hari nanti aku akan membalasnya, insya-Allah.
Salam,
Mada.
Namun untuk sementara aku belum mempunyai keberanian untuk menulis surat khusus kepada ayah apalagi yang berkenaan dengan kasus ibu. Tetapi aku berharap semoga suatu saat nanti aku bisa melakukannya.
***
Pagi ini aku mendapat giliran memberikan kuliah subuh di masjid kampus. Kegiatan ini telah lama dilakukan, jauh sebelum aku datang bergabung di asrama mahasiswa ini. Secara bergilir setiap mahasiswa wajib melakukan hal ini.
“ Ini untuk kepentingan kita sendiri. Sebagai seorang muslim adalah wajib hukumnya berdakwah, mengajak manusia dalam berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan. Sampaikan walau hanya satu ayat, begitu Rasulullah bersabda dalam salah satu hadisnya. Apalagi kita sebagai seorang mahasiswa yang memang secara khusus dididik agar kelak menjadi seorang da’i. Berbicara di depan umum harus dibiasakan”, kata seorang seniorku di hadapan jamaah masjid kampus kami.
“Demi Allah, wahai paman! sekiranya mereka letakkan matahari di sebelah kananku dan bulan disebelah kiriku dengan maksud agar aku tinggalkan pekerjaan ini (menyeru mereka kepada agama Allah) sehingga ia tersiar (dimuka bumi) atau aku akan binasa karenanya, namun aku tidak akan menghentikan pekerjaan ini”.
Aku mengawali kuliah subuhku dengan kata-kata diatas. Pernyataan ini adalah jawaban Rasulullah atas permintaan Abu Thalib, paman Rasul yang memintanya menghentikan dakwahnya.
“ Abu Thalib adalah paman Muhammad saw yang selama ini selalu melindungi dakwah Rasulullah. Namun karena terus menerus ditekan dan didesak masyarakatnya akhirnya ia meminta keponakan kesayangannya itu menghentikan dakwahnya. Namun setelah mendengar jawaban Rasul yang memperlihatkan keteguhan pendiriannya itu Abu Thalib sadar bahwa ponakannya itu tidak mungkin dihentikan. Maka akhirnya ia pun memutuskan untuk terus melindungi dakwah Rasulullah hingga akhir hayatnya “, kataku sambil memperbaiki letak peciku.
“ Adalah Abu Lahab salah satu paman Rasulullah. Ia adalah seorang yang terkenal sangat membenci ajaran Islam. Dialah yang kemanapun Rasulullah berjalan selalu menguntit sambil menjelek-jelekkan ajaran beliau. Orang ini pulalah yang menjadi salah satu pemrakarsa rencana busuk terhadap Rasulullah. Ia memprovokasi agar Rasulullah dibunuh walaupun akhirnya gagal. Sebagai seorang yang memiliki pengaruh dan jabatan penting di kota Mekkah pantas bila ia mentah-mentah menolak ajakan ponakannya itu. Ia sangat khawatir dan takut akan kehilangan kekuasaan dan jabatan. Karena dalam Islam yang patut ditakuti, disegani sekaligus dihormati hanyalah Allah swt “, demikian aku menutup kultumku yang merupakan singkatan dari kuliah tujuh menit, sebuah istilah yang diberikan teman-teman dari Indonesia untuk latihan berdakwah singkat di depan umum. Aku melirik jam tanganku “ Tak lebih dari lima menit. Tak apalah, lumayan untuk dakwah pertamaku” begitu pikirku menghibur.
***
Hampir setahun sudah aku tinggal di Madinah namun aku belum sempat juga memenuhi panggilan-Nya untuk berhaji. Aku merasa belum benar-benar siap menunaikan ibadah haji yang merupakan rukun Islam ke 5 yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup bila mampu tersebut. Aku tidak ingin melakukan kesalahan dalam pelaksanaan ritual ibadah ini karena kudengar banyak orang yang merasa tidak puas melaksanakan ibadah haji sepulang dari Makkah padahal mereka telah mengeluarkan harta dan tenaga yang tidak sedikit. Ini yang ingin kuhindari.
Namun begitulah, orang hanya mampu berencana dan Allahlah yang menentukannya. Beberapa hari yang lalu aku menerima surat dari tante Rani yang mengabarkan bahwa dirinya dan ibu yang telah menyusulnya bersyahadat, akan melaksanakan haji tahun ini. Allahu akbar!! O betapa lega dan senangnya hati ini mendengar kabar menyenangkan ini. Mereka berdua berharap dengan sangat agar aku dapat menemani mereka menunaikan ibadah haji tersebut. Tentu saja dengan alasan apapun tak kuasa aku menolaknya. Aku terlalu gembira, aku merasa sedang dimanjakan oleh-Nya. Dan sebagai rasa syukurku akupun segera berbenah diri membekali babak penting dalam hidupku ini.
***
Musim hajipun tiba. Tante Rani mengabari bahwa mereka akan datang ke Makkah 5 hari sebelum hari H nya. Mereka akan datang bersama kloter 85 dari DKI Jakarta. Beruntung aku dapat mengatur kedatanganku beberapa hari sebelum mereka datang. Jadi aku berkesempatan terlebih dahulu mengenal liku-liku kota Makkah.
Orang sering menyebut kota suci ini dengan sebutan Tanah Haram karena tanah atau tempat tersebut diharamkan bagi umat lain, selain umat Muslim. Didalam kota inilah bangunan persegi empat Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam berdiri sejak ribuan tahun lamanya.
Saat ini bangunan tersebut berada di tengah-tengah lingkungan yang disebut dengan Masjid Al Haram yang luasnya 356.800 meter persegi. Masjid yang mempunyai 4 pintu utama dan 45 pintu biasa serta biasanya buka 24 jam sehari ini mampu menampung 1 juta jamaah dalam satu waktu sholat berjamaah. Dengan demikian masjid ini menjadi masjid no 1 terbesar di dunia. Bila shalat di dalam masjid Nabawi memiliki keutamaan seribu kali dibanding masjid lain maka shalat di masjid Al-Haram ini seratus ribu kali lebih utama dari pada shalat di masjid lain.
Jamaah haji Indonesia adalah jamaah terbesar di dunia. Hampir setiap tahun kwota Indonesia yang 200 ribu itu selalu terisi penuh. Bahkan tahun-tahun belakangan ini seorang calon haji bisa-bisa harus mengantri 2 sampai 3 tahun sebelum akhirnya diberangkan ke tanah suci. Sebenarnya aku juga heran bagaimana mungkin ibu dan tanteku bisa secepat itu mendapatkan kesempatan emas ini. Itulah salah satu rahasia Ilahi yang selalu membuatku takjub. Ia dapat berbuat apapun yang dikendaki-Nya. Sungguh Allah Maha Besar.
Pertama kali aku melihat Kabah dengan mata kepalaku sendiri, terharu aku dibuatnya. Inilah lambang rumah Allah yang setiap hari dijadikan kiblat seluruh umat Islam di dunia. Hari ini aku berada diantara ratusan ribu saudaraku seiman yang memadati seluruh penjuru masjid dan pelataran masjid besar ini. Kami semua berada di tempat ini untuk bertasbih memuji kebesarannya.
Labbaikka Allah humma labaik ….Aku sengaja memilih tawaf yaitu mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali pukul 2 dini hari agar tidak terlalu sesak. Namun ternyata perkiraanku salah. Masjidil Haram terutama di waktu musim haji tidak mengenal jam dan waktu. Jam berapapun sama keadaannya. Baik dini hari maupun di siang hari bolong ketika matahari sedang terik-teriknya membakar, pelataran masjid tetap penuh sesak. Orang terus bergantian tanpa henti bertawaf sambil memuji dan meng-agungkan-Nya. Dialah Allah azza wa Jalla, satu-satunya tuhan yang patut disembah. Tiada sekutu bagi-Nya. Mustahil bagi-Nya beranak dan diperanakkan. Tiada satupun yang menyerupai-Nya.
Esoknya, aku dikabari bahwa kloter ibu dan tanteku telah datang. Dengan hati berdebar aku segera mendatangi alamat mereka. Tak lama aku menunggu di lobby pemondokkan maka muncullah dua orang yang paling kusayang di dunia ini. Dengan mengenakan pakaian muslimah berwarna putih lengkap dengan jilbab yang menutupi kepala, leher dan dada mereka, nyaris aku tak mengenali mereka. Aku segera mencium tangan dan memeluk keduanya.
“ Allahu Akbar”, pujiku, “ selamat ibu dan tante ya…sungguh merupakan hadiah besar buatku berjumpa dalam keadaan seperti ini”, kataku terharu.
“ Alhamdulillah”, sambut ibu terisak. “ Belum pernah aku merasa sebahagia ini”. Aku perhatikan ibu memang terlihat lebih kurus dari yang terakhir aku ingat namun sinar wajahnya sungguh berbeda. Sementara tante Rani terlihat lebih gemuk dari biasanya. Ia kelihatan sehat dan gembira sekali.
Kami mengobrol cukup lama. Aku bercerita banyak tentang pengalamanku selama di Palestina. Sementara ibu lebih banyak diam dan mendengarkan ceritaku. Tante sekali-sekali mengomentari ceritaku. Namun keduanya tak sedikitpun berbicara mengenai ayah. Jadi akupun tak berani bertanya khawatir mengganggu keceriaan kami.
***
Leave a Reply